Share

Suamiku Pelakunya?

Noda di Seragam Puteriku

(2)

Laila tampak lemas dan tak sadarkan diri.

Untungnya dia masih bernapas. Ya Tuhan, semoga dia hanya letih saja. Bukan karena kesakitan.

Kami pun segera membawa Laila ke kamarnya. Lalu merebahkan di ranjang. Saat akan menutupkan selimut ke tubuh anakku, tak sengaja mataku menangkap sesuatu yang mencurigakan di rok berwarna abu-abu yang dikenakan. Sebuah noda mirip seperti darah yang belum lama mengering.

Apa itu darah haid? Tak mungkin, Laila baru seminggu lalu bersih dari haidnya. Pikiran ini jadi tak karuan karena melihat noda itu. Apa itu darah perawan karena anakku diperkosa? Ya Tuhan. 

Tapi siapa pelakunya? 

Tak terima aku pun segera ke luar kamar dan membiarkan Laila beristirahat, kemudian menginterogasi kakak beradik itu sebelum pergi.

"Tunggu!" hardikku pada dua bersaudara yang akan pergi itu. Enak saja, apa mereka mau kabur sekarang? Semuanya belum jelas.

Dua remaja itu, berhenti. Aku bicara dengan tersengal karena emosi. Bisa jadi kan mereka menipuku, demi melindungi kesalahan diri sendiri. Harusnya aku tak percaya, mana mungkin Aris kakaknya Lintang sedang mereka terlihat sebaya.

Pasti dua teman itu yang telah mengerjai puteri kesayanganku, Laila.

"Tolong jelaskan sesuatu ibu Lintang," pintaku setengah memaksa.

Gadis bermata belok itu langsung menatap pemuda di sampingnya. Kan ... dia seperti tengah minta pendapat, atau sedang mengatakan keraguannya pada sang kakak.

Aris yang juga menatap Lintang, lalu mengangguk. Entah, apa maksud anak-anak itu? Bagaimana bisa bicara dan saling memahami satu sama lain tanpa keluar kata-kata? Semakin membuatku curiga dan berpikir tak menentu saja.

"Oya, motor Laila di mana? Kalian tadi habis dari acara ulang tahun temen sebangkunya Laila, kan? Terus kenapa sekarang cuma dia yang pakai seragam dan kalian enggak?" tanyaku begitu ingat. Rasanya ingin kuberondong saja kedua anak itu dengan lebih banyak pertanyaan. 

Namun, aku takut mereka malah bingung, takut dan akhirnya tak menjelaskan apa pun.

Lintang kembali menoleh menatap Aris. Tampaknya dia memang bingung atas pertanyaanku.

"Eum, Lintang temen sebangku Laila, Bu." Lintang menyahut cepat. 

"Ap-apa?" Kenapa Laila berbohong? Untuk apa? Takut aku marah atau ada yang mengancamnya?

Sesuatu yang membuatku membulatkan mata terkejut. Bayangan yang semakin mengerikan menimpa Laila. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan panggilan telepon dari Ayah, sebelum dia berangkat tadi?

Apa itu artinya ...? Seketika pikiranku mengembara pada Mas Heru dan memprasangkainya.

"Ada apa, Bund?" tanya Mas Heru yang datang dari arah dapur.

Aku terhenyak, sempat berpikir yang bukan-bukan. Langsung menoleh melihat ke arah suamiku yang tampaknya juga panik melihat ekspresi kami.

"Mas, ini Laila datang tapi dalam keadaan lemas. Dan anehnya mereka bilang Laila tak pergi ke acara ultah temannya," cerocosku begitu sang suami muncul.

"Hah? Laila lemas? Kenapa?" Pria itu langsung bergerak. Matanya menyapu sekeliling. Merasa tak menemukan Laila ia pun bergegas ke kamarnya.

"Bund!" seru Mas Heru yang sudah separuh badannya di kamar Laila.

"Ya, Yah?" 

"Kenapa tak dibawa ke rumah sakit?!" tanyanya panik.

"Rumah sakit?" Kenapa aku tak memikirkannya?  

Kenapa malah Mas Heru yang sangat perhatian pada Laila? Bukan kah itu artinya, bukan dia pelakunya. Tak mungkin Mas Heru yang sangat sayang pada Laila, terlibat pada kasus yang menimpanya. Tidak mungkin kalau Mas Heru pelakunya mau membawa Laila ke rumah sakit. Karena bisa saja dokter mengeluarkan hasil visum dan scret siapa yang ada di rahim Laila.

Aku menggeleng. Menepis pikiran yang bukan-bukan.

Tenang, Rani. Tenang. Lagi pula semua belum jelas. Bisa jadi Laila jatuh dari motor dan selaput daranya robek. Kenapa aku terus berprasangka?

"Ehm. Biar saya antar, Bu." Aris menawarkan diri. Dia juga sangat baik. Tahu kami tak punya mobil. Aku jadi merasa bersalah telah curiga padanya.

Dengan cekatan, Mas Heru menggendong Laila ke mobil dibantu Aris, tanpa menunggu persetujuanku. Aku dan Lintang mengikuti mereka.

Mas Heru memintaku masuk duluan ke mobil, agar bisa meletakkan tubuh puteriku. Kan, begini saja dia tahu diri dan batasan, memintaku yang memeluk Laila, dan dia duduk di kursi depan.

Sekitar 20 menit, akhirnya mobil sampai di rumah sakit Bayangkhara. Satu-satunya rumah sakit terdekat dari rumah kami.

"Ke sana!" Mas Heru menunjuk area IGD, memberi tahu pada Aris ke mana parkir yang seharusnya.

"Ya." Pemuda itu mengangguk. 

Ya Tuhan, melihat kebaikan keduanya. Aku semakin merasa bersalah telah berpikir yang tidak-tidak.

Begitu mobil berhenti, Mas Heru keluar lebih dulu memanggil perawat yang berjaga. Mereja segera mendorong ranjang dorong untuk membawa Laila. Di waktu yang sama, selang infus dipasang di tangan, karena gadisku tampak semakin lemah. Dalam hati aku tak henti-hentinya berdoa semoga yang kupikirkan salah. Semoga Laila bukan korban perkosaan.

Namun, harapan itu tampaknya pupus. Kala dokter memberi tahu, area mulut rahim puteriku telah robek.

Seketika aku lututku terasa lemas. Jika tadi hanya dugaan dan dugaan, kini semua itu telah jelas. Puteri kesayanganku Laila, adalah korban perkosaan.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Syifa Bardah Fuadah
ibu mana yang sanggup denger anaknya jadi korban pemerkosaan ... dijaga dan di besarkan tp dirusak orang lain huhu
goodnovel comment avatar
puji.rhy
yaAllah siapa kira kira makin penasaran...tega bnr si
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status