"Aku akan pergi esok, bukankah kau akan merinduku?" seloroh Satria.
"Aish," jawab Bhista.
Pria ini selalu berhasil membuat Bhist merasa lebih baik setelah dihantam masalah besar. Satria membuatnya lupa akan permintaan ibu mertuanya itu. Tak hanya itu, Satria juga meyakinkan Bhista jika dia tak akan pernah menikah dengan siapapun apapun alasannya. Dan seperti biasanya Bhista pun percaya padanya.
"Aku tak akan memaksa kau percaya apapun. Aku tahu semua sangat sulit. Kau menghadapi ibu yang begitu menekanmu untuk berbagai situasi," kata Satria.
"Kau benar, situasi sulit yang ku hadapi tak seberapa. Aku merasa sangat hangat dan tenang saat berada di sisimu. Kita memiliki banyak sekali jarak sebelum ini. Bahkan kau tahu, hatiku masih sangat kaku untuk membuka hatiku untukmu," jelas Bhista.
"Aku mengerti, kita menikah dengan kondisi yang seadanya. Dan aku juga tahu benar, kau menerimaku karena wasiat ayahmu," jawab Satria.
Bhista menundukkan kepalanya. Malam semakin larut membuat hati mereka semakin tenang walau hanya dengan duduk berpegangan tangan di bawah sinar bulan purnama malam ini. Satria juga banyak menunjukan rasi bintang yang tergambar indah di langit malam ini.
"Apa kau mau melakukannya malam ini?" tanya Bhista tiba-tiba.
Satria menatap istrinya itu dengan tajam, dia tak menyangka Bhista menanyakan hal itu di situasi yang seperti ini.
"Mengapa menanyakan hal itu di sini? Harusnya kau bertanya saat kita berada di ranjang," canda Satria.
"Hentikan bercandamu, aku mengatakan hal yang serius. Kau selalu membatasi dirimu untuk menyentuhku karena tak ingin menyakitiku. Saat ini aku ingin kau jujur padaku. Tak perlu lagi menahan diri dan membatasi diri. Apa kau menginginkan aku malam ini?" desak Bhista.
Satria merasa sedikit tertekan dengan pertanyaan Bhista yang ambigu itu.
"Setiap malam setelah pernikahan kita aku selalu menginginkanmu, tapi aku tak ingin melakukannya jika kau belum mencintaiku. Aku akan membuatmu menyesal seumur hidup jika aku merengut kesucianmu dengan hubungan tanpa cinta ini," jelas Satria.
Hati Bhista tertampar telak, bagaimana bisa ia mendapatkan pria sesabar dan sesempurna Satria. Dia sangat menghormati Bhista. Dan itu membuat Bhista semakin tak kuat menahan rasa takut kehilangannya.
"Ternyata aku salah, bukan karena aku belum mencintainya tapi saat ini karena aku sangat mencintainya dan sangat takut kehilangannya." Bhista merutuki dirinya sendiri.
"Aku mencintaimu, aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu," ujar Satria.
Bhista mengalihkan pandangannya pada pria yang sudah menjadi suaminya itu. Tak ada kalimat yang bisa dia ucapkan saat ini. Dia merasana sebuah rasa yang begitu dalam dan sebuah rasa takut kehilangan yang amat besar. Tapi dia masih saja menepis jika itu cinta.
"Semakin dingin saja," ucap Bhista mencoba mengalihkan pembicaraan.
Satria tersenyum mendengar istrinya mengatakan kalimat pengalihan itu. Dia tahu benar Bhista sedang tak baik-baik saja.
"Katakan jika kau mulai merasakan perasaan yang berbeda padaku," kata Satria.
Bhista memandang suaminya yang tiba-tiba memakai pahanya sebagai bantal.
"Banyak hal yang ingin aku tunjukkan padamu, segalanya yang aku miliki, bahkan ada banyak hal yang kau belum tahu," kata Satria.
"Tak adil sekali bukan? Kau tahu banyak tentangku tapi aku hanya sedikit tahu tentangmu," keluh Bhista.
"Mulailah membuka hatimu untukku. Biarkan aku masuk dan membuat hatimu berbunga. Cobalah, barangkali kau bisa merubahnya menjadi sebuah kebahagiaan untuk dirimu sendiri," balas Satria.
Bhista meneteskan air matanya mendengar apa yang Satria katakan. Sungguh hatinya sudah tak tahan lagi. Gejolak terus saja mengusik relung batinnya yang sudah bagai terkoyak perasaan yang sebenarnya dia rasakan.
"Kau membuatku seperti seorang tersangka pembunuhan," lirih Bhista.
"Apa maksudmu?" tanya Satria.
"Aku menyadari apa yang terjadi dengan sepenuhnya. Aku memilih menyetujui semua walau tanpa bicara padamu. Kau tahu jika aku memaksakan hatiku untuk ini dan membuat semua terasa sulit bagimu," jelas Bhista.
"Aku tak ingin mengungkit apapun darimu. Bagiku tak penting walau saat kita memutuskan menikah kau tak merasakan apapun padaku. Aku mencoba menerima karena aku benar-benar mencintaimu," jawab Satria.
Bhista meraih tangan suaminya itu. Dia mengakui dengan jelas jika dia masih begitu mencintai Pandu saat memutuskan menikah dengan Satria. Tapi semua sudah berubah saat ini. Perhatian dan segala yang hal yang Satria lakukan mampu membuat hati Bhista tersentuh dan mulai terbiasa merasakan cinta pria itu.
"Sudahlah, jangan bebani dirimu dengan hal seperti ini. Aku tak apa, ayo jalani sebaik mungkin. Aku akan menunggumu sampai semua sudah siap," ujar Satria dengan sangat bijaksana.
Bhista meraih tangan Satria dan menciumnya dengan lembut. Dia merasakan sebuah gejolak besar dalam hatinya.
"Aku mulai mencintaimu. Aku sangat takut saat jauh darimu. Aku juga sangat takut kehilanganmu," sebut Bhista.
Satria terkejut. Dia tak menyangka Bhista mengatakan hal itu. Kalimat yang sangat ingin dia dengar. Pria tampan itu merengkuh tengkuk istrinya dan mulai mengecup bibir Bhista. Diselingi hisapan lembut dan decit kemesraan.
Di tengah malam yang dingin, Bhista teringat jika dia berjanji akan ke kamar Satria setelah Arsy tidur. Dia segera turun dari ranjang perlahan agar tak membangunkan gadis manis yang sudah tertidur lelap itu."Aku akan ke sana sekarang," batin Bhisat.Dengan langkah kaki yang pelan dan hampir tak terdengar, Bhista menuju pintu berwarna putih itu. Dia membukanya secara perlahan dan segera keluar tanpa suara. Setelah sampai di luar dia menghela napas kasarnya."Aku beruntung, Arsy sangat lelap hingga dia tak terbangun." Bhista mengoceh sendiri.Baru saja dia akan melangkah, seseorang menepuk pundaknya. Dia merasa begitu kaget hingga hampir saja meninju orang itu."Lama sekali, aku hampir mati menunggumu," omelnya.Satria segera menarik Bhista menuju kamarnya. Suara pintu yang terkunci menandakan mereka berdua sudah masuk dan tak ingin diganggu.Bisa duduk di tepi ranjang besar kamar itu. Dia begitu rindu dengan hangatnya ranjang yang sel
Arsy selesai makan dan membuka pintu kamar Bhista. Dia melihat teman sekamarnya itu masih sibuk dengan pekerjaan kantornya."Sambil makan ini, Bhis. Biar tak terlalu tegang," kata Arsy sembari memberikan sebuah wadah plastik berisi potongan buah melon."Ah, terima kasih," jawab Bhista menerima wadah itu dan meletakan di mejanya."Kau membawa pekerjaan pulang. Apa terlalu sibuk di kantor?" tanya Arsy."Ada beberapa hal yang harus kupersiapkan untuk meeting besok," jawab Bhista."Satria ada meeting besok?" desak Arsy lagi.Bhista lupa jika Arsy tak tahu dia memegang perusahaan sendiri."Ah, bukan. Ini meeting staf," bohong Bhista beralasan."Kau pasti repot menjadi sekretaris Satria. Dia pria yang perfeksionis walau terlihat lembut. Dahulu Lucky sering mengeluh padaku," kenang Arsy."Benarkah, sekarang mungkin masih sama seperti itu," kata Bhista berpura-pura tanggap.&n
Bhista berjalan menuju kamarnya dengan langkah lemah. Hatinya begitu dipenuhi perasaan khawatir hanya saja dia tak boleh lemah. Ini adalah bagian dari rencananya sehingga dia harus bersikap dengan baik."Ayolah, Bhis. Jangan membuat hal kecil menjadi besar. Kau harus mulai terbiasa." Bhista bergumam dalam hati.Baru saja ia rebahkan tubuhnya, Arsy datang dengan membawa barangnya. Dia pindah dari kamar Satria."Bhis, boleh kuletakkan di sini?" tanyanya."Hm, letakkan saja. Aku akan pergi mandi," jawab Bhista dan segera mandi.Arsy menata beberapa bajunya di lemari Bhista dan beberapa barangnya di meja rias juga."Kau ternyata pecinta make-up, Bhis. Banyak sekali peralatan make-up yang kau miliki," lirih Arsy seraya tersenyum.Dia kembali membereskan segalanya. Setelah selesai dia menyimpan kopernya. Tak berselang lama Bhista keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah.
"Selamat datang, Sayang," sambut Nyonya Winata."Terima kasih, Ibu," jawab Satria.Dengan langkah ragu dan terpaksa, Satria masuk dan melinguk kesana kemari. Hatinya terasa tak tenang."Tunggu, Nak," kata Nyonya Winata.Satria menghentikan langkahnya dan memandang ibunya."Arsy tinggal di kamarmu, Ibu membawanya atas keputusan bersama dengan Bhista. Terimalah ini semua, demi Arsy," jelas Nyonya Winata."Di kamarku? Lalu, di mana Bhista tidur?" tanya Satria."Dia berada di kamar tamu sebelah kamarmu, Nak. Ini yang terbaik, karena memang keadaannya begitu rumit," elak Nyonya Winata.Satria tak mampu berkilah. Bisa bahkan tak memberi tahu jika Arsy menempati kamarnya."Kau sudah gila, Bhis. Kau membuat pernikahan kita benar-benar ternodai," batin Satria dengan kesal."Sat, biarkan Arsy sembuh dan membaik dahulu," ujar Nyonya Winata.Belum juga Satria menjawab, Bhista sudah datang dengan langkah panjangnya.
"Hanya kau yang bisa membujuk Arsy. Kita coba dahulu," paksa Bhista."Siapa yang menjemputnya untuk tinggal? Apakah ibuku?" desak Satria."Aku. Dia juga tak tahu jika aku istrimu. Aku berada di sana sebagai sekretarismu dan kumohon jangan buat aku dalam keadaan sulit. Aku akan bertahan," jelas Bhista."Kau benar-benar sudah gila, Bhis. Kau membuat keadaan pernikahan kita seperti neraka. Ini baru dua minggu. Bahkan kita belum bulan madu. Kau sudah menyusupkan wanita itu dalam rumah tangga kita." Satria mencecar Bhista dengan berbagai hal."Tak ada jalan lain lagi," kata Bhista."Ayo hentikan, Bhis. Kita akan segera pulang dan menghentikan semua kesalahan ini," ajak Satria."Bukan hanya aku yang menginginkan hal ini. Ibu juga tampak lebih baik setelah Arsy tinggal di rumah kita, dia lega setiap saat bisa melihat Arsy," jelas Bhista."Omong kosong. Aku tak peduli dengan apapun pendapatmu," sahut Satria.Air mata Bhista menitik lag
Waktu berlalu, hari ini Satria mendarat dari Jerman. Kerinduannya yang mendalam pada Bhista harus ditunda beberapa jam karena Lucky terlanjur membuat janji dengan seseorang di sebuah restoran."Apa ini lebih penting dari istriku?" tanya Satria."Entahlah," jawab Lucky.Hati Lucky merasa sangat tak enak. Dia hanya melakukan apa yang dia bisa lakukan. Bhista meminta Lucky membawa Satria mampir sebelum sampai rumah. Ini adalah cara agar Satria bisa bekerja sama demi Arsy."Aku tak yakin Satria mau mengerti, tapi setidaknya Satria bisa membuat keputusan yang tepat sebelum dia benar-benar menghadapi apa yang ada di rumahnya," batin Lucky.Mobil melaju ke restoran tempat di mana janji bertemu dibuat Bhista sudah duduk dengan segala kerinduan dan kegelisahannya. Dia tak yakin bisa mengatakan apa yang bisa dia katakan. Hanya saja tak ada jalan lain, ini adalah keputusan penting.Bhista terus mengelus lengannya pelan. Tampak sekali dia sedang sangat