Share

BAB 3 Emosi Jiwa

 

 

 

 

BAB 3

 

EMOSI JIWA

 

 

"Maaf pak jika berkenan tolong sebutkan nama bapak, agar saya tak menduga duga jika tidak berkenan telpon saya tutup. Aku berpura-tak mengenal nomer ponsel ini.

 

"Tunggu ... tunggu jangan ditutup dulu telponnya, Benarkah kamu nggak mengingat suaraku lagi Miana?" jelas orang itu.

 

Mak jleb sekali rasanya mendengar nama akhirku disebut. Selama ini yang memanggil nama akhirku hanya satu orang yaitu Mas Bion saja.

Mengapa ia masih memanggilku seperti itu?

Apa maksudnya?

 

Tiba tiba mataku gelap sekali rasanya, keringat dingin mengucur diseluruh tubuhku. Aku tak mampu mengangkat telpon.

 

"Miana, Miana kamu masih mendengarku kan? Aku minta maaf miana jika aku mengejutkanmu. Aku dapat nomer telponmu dari Kresna itupun ia tak tahu kalau aku mengambil nomermu dari ponselnya."

 

Aku hanya diam mendengar penjelasannya di telpon sambil tiada terasa airmata ini mengalir deras hatiku di penuhi amarah yang sangat.

 

"Maumu  apa mas?" pekikku dengan keras penuh emosi.

 

"Ayo kita bertemu !" tantangnya dari sana.

 

"Tidak ... tidak sekali tidak tetap tidak semua sudah jadi bubur, gara gara keegoisanmu aku menjadi korban. Pergilah sejauh mungkin nggak usah datang lagi." 

 

Ku pertegas suaraku agar ia tahu bahwa aku juga punya harga diri dan rasa amarah.

 

"Ayolah Miana, beri aku kesempatan untuk menjelaskan."

 

"Terlambat!"

 

"Jika mas Bion mau menjelaskan sekarang semua sudah tidak berguna. Maaf Mas."

 

Telpon langsung kututup dan kumasukkan tas, lalu ku teruskan langkah kaki bercengkerama dengan Randi si anak bontotku itu.

 

Randi tertawa riang bermain bersamaku, ibu mertuaku hanya mengamati kegaduhan kami berdua yang sedang berguling-guling di lantai. 

 

Senyumnya terkembang melihat Randi yang tertawa sampai berkentut. Bau harum menyeruak semua yang ada diruangan itu menutup hidung. Raksa mengejar adiknya yang lari terbirit-birit karena mau di cubit kakaknya. Randi tak kurang akal langsung berlari kearah neneknya dan bersembunyi di balik rok neneknya yang lebar.

 

Ibu mertuaku terkekeh-kekeh karena Randi menggelitik kaki neneknya dari dalam roknya. Diangkatnya putera bontotku itu kepangkuannya. Diciuminya seluruh muka dan ketiaknya hingga Randi tertawa menjerit-jerit karena terasa geli.

 

drtttt

Ponselku bergetar dilayar tertulis papa Gunarso. langsung kuangkat benda pipih ini dengan semangat empat lima ... idiiih seperti pejuang aja. Jangan-jangan suara aneh lagi seperti sebelumnya. Aku secepatnya menghindar dari ruangan keluarga. Aku keluar ke taman depan rumahku.

 

"Hallo, Ma hari ini papa lembur. Pulang agak lambat. Mama tunggu aku di   Ibu aja nanti aku jemput sekalian ambil anak-anak."

 

"Ia Pa, jaga diri ya mmmuah," kataku memberi ijin dan semangat. 

 

Aku berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa. Aku harus mengumpulkan bukti terlebih dahulu sebelum menuduhnya agar dia tidak bisa mengelak lagi.

 

"mmuah." dari seberang sana membalas. 

 

Suamiku menutup panggilan suaranya denganku.

 

Aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka agar ada sedikit kesegaran di wajahku terus berdandan ala kadarnya di kamar. Celana jeans warna biru dan setelan hem motif garis kupakai. Rambut sebahu ini  tersisir dengan rapi lalu kubiarkan tergerai.  

 

Tas mungil coklat kuselempangkan ditubuh yang ramping ini. Sebelum ku masukkan ponsel, kucoba menghubungi Tristan sahabat yang sangat kupercaya mengelola perusahaan. Aku memintanya untuk memberitahukan keberadaan mas Gunarso. 

 

"Tris, tolongin aku dong?" pintaku.

 

"tumben chat, apa sudah bosan dirumah?" tanyanya.

 

"Coba lihatkan mas Gun di kantor situ ada apa nggak, hari ini ada lembur kah?" tanyaku memastikan.

 

 

"Barusan pulang tuh, nggak ada lembur," jawab Tristan

 

"Tolong minta bantuan sama tim IT perusahaan untuk cek lokasi posisinya," perintahku padanya.

 

"Ngapain?" tanyanya keheranan.

 

"Ceritanya panjang, buruan gih. Aku tunggu."

 

"Siap bu Bos," jawab Tristan.

 

Tak seberapa lama kemudian Tristan telah mengirimkan data detail ke aplikasi hijauku ini.

 

"Penginapan puri cempaka putih, ngapain suamiku disini," batinku.

 

Tolong ke Puri Cempaka Putih, Pak!" pintaku pada sopir taxi yang ku pesan lewat online.

 

Wig warna blonde dan kaca mata hitam kupakai untuk menyamar saat masuk di tempat itu. Aku berharap semua tak mengenali ketika aku masuk agar aku bergerak bebas.

 

Tiga puluh menit kemudian telah kumasuki kawasan elit yang asri dengan hamparan taman yang sangat luas dan indah.

 

Mbak, ada pemesanan  atas nama pak Gunarso ?" tanyaku pada resepsionis setelah aku sampai 

 

"Mbak siapa?" tanya resepsionis cantik itu.

 

"Saya sekretarisnya mau menyampaikan berkas yang harus ditanda tangani" jawabku berbohong yang meyakinkan.

 

Setelah bernegoisasi sebentar aku diberikan nomer villa yang di pakai suamiku. 

 

Aku sungguh terheran cara hidup suamiku yang irit cenderung pelit kok bisa menyewa villa hunian yang sangat mewah seperti ini. Nggak mungkin, suamiku berada disini.

 

Pikiranku terus mengurai kebingungan di kepala yang serasa mau meletus ini. Tak terasa Golf Car yang membawaku sudah sampai di paviliun kembang kenanga. Nama villanya sungguh unik di Puri Cempaka Putih ini.

 

Sepatu Nike putih yang kupakai ringan menyusuri halaman taman vila kembang kenanga. Villa yang didominasi kaca itu nampak terang benderang sehingga tampak bagian  seluruh ruangan yang ada disana. Aku bersembunyi di tempat yang agak gelap tapi bisa mengontrol semua yang ada didalam.

 

Belum lama berselang, tampak seorang wanita memakai baju warna biru dengan belahan dada yang menonjol dan rok mini, terlihat sangat seksi . Kulit putihnya sungguh kontras dengan warna baju yang dia pakai.

 

Mataku terus mengawasi yang terjadi di dalam, aku berharap disitu tidak ada suamiku. 

 

"Deg!"

 

Jantung ini terasa copot, melihat laki-laki yang kukenal menggendong bayi perempuan gendut yang lucu. Mas Gunarso tampak riang bermain dengan anak itu. 

 

Wanita yang dari tadi duduk di sofa itu bangkit dan mendekati lelaki yang kusebut suami itu. Dia duduk disebelah suamiku, menggelandot manja. 

 

Sejuta tanya berkecamuk dalam hatiku, apakah suamiku benar-benar telah mendua? Apakah wanita ini istri mudanya?

 

"Klik," kuabadikan semua melalui ponselku semua yang terjadi didepan mata ini. 

 

Gumpalan darah di dada sebelah kiri ini mengernyit sakit seakan di tindih batuan besar. 

 

"Sabar Firda," bisikku dalam hati.

 

Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul delapan malam. Mas Gun tak bergeming di sana, seorang wanita berseragam putih seperti suster mengambil bayi lucu itu dari gendongannya. Kemudian masuk kedalam kamar.

 

Wanita berbaju biru itu menatap suamiku penuh hasrat, tangan mas Gun membopong wanita itu dan direbahkan diatas sofa di ruang tamu tersebut. 

 

Sungguh tidak kuduga sepasang manusia itu sungguh telah kehilangan rasa malu. mereka melakukan hubungan suami istri di ruang tamu dengan lampu yang terang benderang seperti ini. Berbagai gaya dia lakukan bersama wanita itu. Aku lihat mas Gun sangat menikmatinya. 

 

Selama ini aku sungguh tidak pernah tahu jika suamiku punya fantasi dan gairah yang liar seperti  itu. 

 

Ponselku telah terisi penuh dengan foto mereka, aku pun beringsut dari tempatku duduk dan persembunyianku terus keluar dan pergi menaiki taxi online .

 

 Sengaja aku tidak melabraknya saat ini. Dalam hati kecil ini akan memberi kenangan yang sangat manis dengan lelaki yang kusebut suami itu sampai dia akan merasakan getirnya hidup.

 

"Tak ada gunanya aku ratapi, aku lahir bukan untuk sengsara. Hidupku harus bisa bahagia walaupun tanpa dia."

 

Gejolak hati dan pikiran ku atur  setenang-tenangnya hingga  bisa menguasai diri sepenuhnya sebelum masuk rumah mertuaku.  Wig blonde ini sudah tersimpan rapi dalam tas yang kubawa . Hati yang luka parah ini kuajak berdamai disepanjang perjalanan.

 

"Dari mana saja kamu Firda hampir jam sembilan baru pulang," tanya mertuaku.

 

"Ada keperluan bu, maaf tadi  nggak sempat pamit  karena terburu-buru," jawabku.

 

Aku nggak tahu apa yang akan terjadi jika ibu tahu kelakuan anaknya itu. Aku sengaja tidak memberitahunya dan langsung masuk ke kamar.

 

Didalam kamar ini kutumpahkan seluruh isi hatiku, ku buat menangis sepuas-puasnya. Begitu malang nasib ini, dulu aku ditinggal mas Bion dengan cara seperti itu. Sekarang suami yang kuanggap mencintaiku ternyata juga menipuku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Adindatsaa
menangislah Firda agar luka hatimu sedikit lega
goodnovel comment avatar
Amat Muksin
aduh kok sedih sih nasib si firda
goodnovel comment avatar
Anquin Dienna
mending sendiri aja Firda daripada ngarepin si Gun-dul
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status