Share

BAB 8 KARANGAN BUNGA

#Karangan Bunga Untuk Si Candik

Aku tertegun, bagaimana uang tidak habis dalam sekejap jika gaya hidupnya seperti ini. Kuingat tujuh bulan terakhir ini mas Gun mengurangi anggaran uang belanjaku sangat banyak. Ternyata di buat untuk si ganjen itu.

drtt

Alunan suara panggilan ponselku mengalun merdu, terbaca dilayar ponsel nama Tristan.

[Bos sedang di mana, laporan yang kau minta sudah kukirim via email] 

[Dirumah sakit, lagi jadi detektif conan]

[Lagakmu Bos seperti lagi menggarap mission impossible saja, emang lagi buntuti siapa Mrs Bean] 

Tristan tertawa ngakak sedikit mengejek ke Firda teman kuliahnya dulu itu.

[Anak candiknya mas Gun sakit] seloroh firda pelan

[Hah, sebaik itu kah dirimu hingga harus mengurus anak tirimu] 

kata Tristan dengan nada tinggi.

[Aku ingin menangkap basah mereka, tapi kalau terlalu cepat kok enak betul, aku ingin mas Gun merasakan puting beliung dalam hidupnya]

ujar Firda pada sahabatnya itu.

[Terus apa rencanamu?] 

tanya Tristan pada teman sekaligus Bosnya itu.

[Tolong pesankan karangan bunga duka cita  dan kirim ke rumah sakit Ayah Bunda yang besar dikirim ke ruang VIP 1, kirim jam empat sore]

[Emang mati anaknya?]

[Ya nggak lah, masih dirawat diruang itu]

[Tulisannya apa Bos]

[Dengar dan simak baik-baik ya, TURUT BERDUKA CITA ATAS SAKITNYA ANAK  (ZANA KIRANIA) DAN AYAH ANAKKU (GUNARSO ADHITAMA RAHARJA) 

[Yakin kamu ?]

[Yakin sekali] ujar Firda mantap.

[Baiklah bu Bos] jawab Tristan kemudian menutup teleponnya.

Gunarso dan Zana Kirania sibuk menenangkan Aina yang terus menangis. Firda hanya mengamatinya dari jarak sekitar sepuluh meter, Wik warna blonde dan kaca mata hitamnya membuat dia tidak dikenali.

Ada rasa miris dan gemas menatap suami dan candiknya itu. Andaikan dia tidak merencanakan sesuatu yang lebih besar ingin sekali dia mendatangi mereka berdua terus menyatroninya.

❤️❤️❤️

Firda masuk kerumah mertuanya disambut tawa anak-anak  yang ceria. Mereka semua sudah menyiapkan barang-barang yang akan di bawa.

Sembari menunggu anak-anak Firda bercakap-cakap dengan mertuanya itu.

"Bu, hari ini anak-anak saya bawa pulang semua. Ibu nggak apa-apa kan? Masa liburan mereka sudah habis, biar mereka konsentrasi dengan pelajarannya dirumah," kata Firda meminta ijin.

"Ia Firda, jika anak-anak libur kirim kesini lagi. Aku senang mereka disini. Rumah jadi ramai canda tawa mereka. Kamu kok sendirian, mana suamimu ?"seloroh ibu mertua Firda.

Firda menghela napas panjang mendapat pertanyaan mertuanya itu.

"Kau bertengkar dengan suamimu ? tanya mertuanya itu. Firda menggeleng lemah.

"Bu, jika almarhum Bapak hidup dan dia punya wanita simpanan apa yang akan ibu lakukan?" tanya Firda tiba-tiba mengalihkan perhatian ibu mertuanya.

Wanita paruh baya itu menarik napas yang dalam hingga kedasar hatinya,

"Jika ibu mendapat perlakuan seperti itu hal yang pertama ibu lakukan adalah mencari bukti, kemudian mengusutnya hingga tuntas," ujar ibunya mantap.

"Kalau begitu ijinkan aku melakukan hal yang sama untuk mas Gunarso bu," ijin Firda pada mertuanya itu.

"Apakah Gunarso berselingkuh?" tanya wanita itu.

"Aku tidak tahu kepastiannya Bu, Aku masih mencari bukti," jawab Firda 

"Bukti apa yang sudah kau temukan?" tanya mertuanya.

Firda mengambil ponsel di tasnya, satu persatu photo dia tunjukkan pada mertuanya itu.

Wanita anggun dan baik hati itu menitikkan air mata, tak menyangka kalau anak yang selama ini dia anggap baik ternyata sebaliknya.

"Aku akan mengajukan cerai Bu dengan mas Gunarso, jika dia tidak mau menghentikan perbuatannya," ujar Firda.

"Sabar dulu Firda, ibupun tidak setuju jika dia  melakukan keburukan seperti itu. Ibu berada di pihak kamu," jawab wanita itu mantap dan bijak.

"Ayo kita selidiki bersama Firda, jika ibu bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Maka aku akan menghukumnya," ajak ibu mertuanya itu.

"Baiklah bu, nanti ibu ikut Firda kerumah sakit sekitar jam setengah empat untuk membuktikan kebenarannya," ujar Firda.

"Ia Firda, ibu pasti ikut," jawab mertuanya.

"Baiklah bu," jawab Firda

Sejurus kemudian bu Zahra berpikir.

"Coba telepon suamimu dan loudspeaker biar ibu dengar apa yang di ucapkan," perintah bu Zahra.

Firda mengeluarkan ponselnya lalu menekan nomer telpon Gunarso. Setelah bunyi tut lima kali baru diangkat oleh suaminya itu.

[Hallo Assalamualaikum]

[Waalaikum salam]

[Kamu berada dimana Mas, kok dari tadi belum pulang]

[Jangan cerewet kok kepo saja sama urusan orang laki-laki] 

Jawab Gunarso agak ketus karena capek bergantian menggendong bayi dengan Zana.

[Kamu sebenarnya di mana Mas kok rame banget, masih di rumah sakitkah untuk check up]

[ia, ada perlu apa ?]

[Kok ada suara bayi menangis, bayinya siapa?]

[Ba-bayinya pasien dirumah sakit ini] 

dengan sedikit terbata dia menjawab

[Bukan anakmu kan?] tanya Firda vulgar

Gunarso tersedak sampai batuk-batuk mendengar pertanyaan istrinya yang spontan itu

[Bu-bukanlah] katanya ragu seakan takut.

[Aku ingin memberi tahu kalau aku dirumah ibu Mas, nanti nggak usah di jemput. Aku sama anak-anak mau naik taxi online saja]

Dari ponsel terdengar suara wanita berkata sangat jelas

[Mas kok nelpon terus, aku capek gantian nggendong Aina dong.]

[Suara wanita siapa itu mas?]

Jantung Gunarso seakan lepas mendapat pertanyaan dari Firda. Dia langsung menepis Zana agar tidak ngomong dulu. Wanita muda itu cemberut merasa diabaikan.

[Oh, itu pasien yang memanggil suaminya meminta bantuan menggendong anaknya. Ya sudah aku nanti tidak menjemput. Aku pulang agak terlambat]

[Baiklah Mas, Assalamualaikum]

Firda menutup ponselnya dan melihat raut muka ibu Zahra yang tak seperti biasanya.

"Firda kita selidiki sekarang saja, ayo kerumah sakit sekarang insting ibu dia tidak sedang check up," ujar bu Zahra.

Terserah ibu saja, aku mengikuti. Sengaja Firda membiarkan, agar ibu Zahra mengetahui sendiri kelakuan anaknya itu dengan mata kepalanya. 

Firda mengirimkan pesan pada Tristan agar mengirimkan karangan bunga setinggi dua meter dan selebar satu setengah meter dipercepat sebelum dirinya sampai ke rumah sakit bersama mertuanya. 

Firda juga menginstruksikan pula melakukan pemberitahuan via email dan kurir surat peringatan mangkir kerja dari perusahaan disertai dengan bukti.

Bu Zahra bergegas mandi dan menyiapkan diri, begitu pula dengan Firda. Tepat pukul tiga sore mereka berangkat ke rumah sakit Ayah Bunda. Secara tidak langsung Firda menjadi penunjuk jalan setelah hampir seharian membuntuti suaminya.

Firda menuntun bu Zahra menyusuri koridor rumah sakit. Beliau heran kenapa anaknya check up dirumah sakit anak. Firda tak menjelaskan apapun pada mertuanya itu.

 

Di depan ruang paviliun satu Firda menghentikan langkahnya dia telah melihat karangan bunga besar sesuai pesanannya. Sepertinya Gunarso dan Zana belum tahu walaupun semua orang yang lewat di ruangan ini kasak kusuk sambil mengintip kaca pembatas ruangan itu.

"Orang terkenalkah Firda yang sakit didalam hingga mendapat karangan bunga sebesar itu," tanya bu Zahra yang hanya melihat rangkaian indah bunganya saja. Dia tidak melihat tulisan dan nama yang tertera disitu.

Firdapun tak memberi tahu pada mertuanya itu.

" Brak," 

pintu ruangan paviliun satu di buka dengan keras.

Gunarso keluar didepan pintu di buntuti seorang wanita.

"Sudah cukup, kamu jangan merajuk terus. Aku seharian sudah bersamamu bahkan aku telah membohongi istriku," seloroh Gunarso dengan suara keras sambil membentak wanita yang sedang memegang lengan kanannya itu.

"Tapi aku nggak berani sendiri Mas, nanti malam disini. Pokoknya kamu harus tidur disini," jawab wanita itu memelas.

"Panggil asisten saja atau ibumu suruh menemanimu, aku tidak bisa Zana, kau kan dari awal sudah tahu kalau aku laki-laki beristri selama ini aku sudah memanjakanmu dengan materi apa masih kurang. Rumah mewah di Cempaka Puri  juga sudah kubelikan untukmu sebagai kompensasi saat malam aku tidak bisa bersamamu," seloroh Gunarso kesal.

Begitu asyiknya mereka berdebat tanpa tahu ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka. Air mata mengembang di pelupuk mata dua orang wanita itu. Tulang kaki Firda serasa tidak berpijak ke tanah, badannya lemas mendengar semua perdebatan suami dan candiknya itu.

Bu Zahra tiba-tiba melepas pegangan tangan Firda. Dia melangkahkan kakinya kearah anak lelakinya itu  dengan gontai, air mata yang meleleh dia sapu dengan tangannya. 

Firda hanya memandangi mertuanya yang telah pergi dari sampingnya itu. Wanita itu tidak tahu apa yang akan dilakukan mertuanya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status