#Karangan Bunga Untuk Si Candik
Aku tertegun, bagaimana uang tidak habis dalam sekejap jika gaya hidupnya seperti ini. Kuingat tujuh bulan terakhir ini mas Gun mengurangi anggaran uang belanjaku sangat banyak. Ternyata di buat untuk si ganjen itu.drtt
Alunan suara panggilan ponselku mengalun merdu, terbaca dilayar ponsel nama Tristan.
[Bos sedang di mana, laporan yang kau minta sudah kukirim via email]
[Dirumah sakit, lagi jadi detektif conan]
[Lagakmu Bos seperti lagi menggarap mission impossible saja, emang lagi buntuti siapa Mrs Bean]
Tristan tertawa ngakak sedikit mengejek ke Firda teman kuliahnya dulu itu.
[Anak candiknya mas Gun sakit] seloroh firda pelan
[Hah, sebaik itu kah dirimu hingga harus mengurus anak tirimu]
kata Tristan dengan nada tinggi.
[Aku ingin menangkap basah mereka, tapi kalau terlalu cepat kok enak betul, aku ingin mas Gun merasakan puting beliung dalam hidupnya]
ujar Firda pada sahabatnya itu.
[Terus apa rencanamu?]
tanya Tristan pada teman sekaligus Bosnya itu.
[Tolong pesankan karangan bunga duka cita dan kirim ke rumah sakit Ayah Bunda yang besar dikirim ke ruang VIP 1, kirim jam empat sore]
[Emang mati anaknya?]
[Ya nggak lah, masih dirawat diruang itu]
[Tulisannya apa Bos]
[Dengar dan simak baik-baik ya, TURUT BERDUKA CITA ATAS SAKITNYA ANAK (ZANA KIRANIA) DAN AYAH ANAKKU (GUNARSO ADHITAMA RAHARJA)
[Yakin kamu ?]
[Yakin sekali] ujar Firda mantap.[Baiklah bu Bos] jawab Tristan kemudian menutup teleponnya.Gunarso dan Zana Kirania sibuk menenangkan Aina yang terus menangis. Firda hanya mengamatinya dari jarak sekitar sepuluh meter, Wik warna blonde dan kaca mata hitamnya membuat dia tidak dikenali.
Ada rasa miris dan gemas menatap suami dan candiknya itu. Andaikan dia tidak merencanakan sesuatu yang lebih besar ingin sekali dia mendatangi mereka berdua terus menyatroninya.
❤️❤️❤️
Firda masuk kerumah mertuanya disambut tawa anak-anak yang ceria. Mereka semua sudah menyiapkan barang-barang yang akan di bawa.
Sembari menunggu anak-anak Firda bercakap-cakap dengan mertuanya itu."Bu, hari ini anak-anak saya bawa pulang semua. Ibu nggak apa-apa kan? Masa liburan mereka sudah habis, biar mereka konsentrasi dengan pelajarannya dirumah," kata Firda meminta ijin.
"Ia Firda, jika anak-anak libur kirim kesini lagi. Aku senang mereka disini. Rumah jadi ramai canda tawa mereka. Kamu kok sendirian, mana suamimu ?"seloroh ibu mertua Firda.
Firda menghela napas panjang mendapat pertanyaan mertuanya itu.
"Kau bertengkar dengan suamimu ? tanya mertuanya itu. Firda menggeleng lemah.
"Bu, jika almarhum Bapak hidup dan dia punya wanita simpanan apa yang akan ibu lakukan?" tanya Firda tiba-tiba mengalihkan perhatian ibu mertuanya.
Wanita paruh baya itu menarik napas yang dalam hingga kedasar hatinya,
"Jika ibu mendapat perlakuan seperti itu hal yang pertama ibu lakukan adalah mencari bukti, kemudian mengusutnya hingga tuntas," ujar ibunya mantap.
"Kalau begitu ijinkan aku melakukan hal yang sama untuk mas Gunarso bu," ijin Firda pada mertuanya itu.
"Apakah Gunarso berselingkuh?" tanya wanita itu.
"Aku tidak tahu kepastiannya Bu, Aku masih mencari bukti," jawab Firda
"Bukti apa yang sudah kau temukan?" tanya mertuanya.
Firda mengambil ponsel di tasnya, satu persatu photo dia tunjukkan pada mertuanya itu.
Wanita anggun dan baik hati itu menitikkan air mata, tak menyangka kalau anak yang selama ini dia anggap baik ternyata sebaliknya.
"Aku akan mengajukan cerai Bu dengan mas Gunarso, jika dia tidak mau menghentikan perbuatannya," ujar Firda.
"Sabar dulu Firda, ibupun tidak setuju jika dia melakukan keburukan seperti itu. Ibu berada di pihak kamu," jawab wanita itu mantap dan bijak.
"Ayo kita selidiki bersama Firda, jika ibu bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Maka aku akan menghukumnya," ajak ibu mertuanya itu.
"Baiklah bu, nanti ibu ikut Firda kerumah sakit sekitar jam setengah empat untuk membuktikan kebenarannya," ujar Firda.
"Ia Firda, ibu pasti ikut," jawab mertuanya.
"Baiklah bu," jawab FirdaSejurus kemudian bu Zahra berpikir.
"Coba telepon suamimu dan loudspeaker biar ibu dengar apa yang di ucapkan," perintah bu Zahra.
Firda mengeluarkan ponselnya lalu menekan nomer telpon Gunarso. Setelah bunyi tut lima kali baru diangkat oleh suaminya itu.
[Hallo Assalamualaikum]
[Waalaikum salam][Kamu berada dimana Mas, kok dari tadi belum pulang][Jangan cerewet kok kepo saja sama urusan orang laki-laki]
Jawab Gunarso agak ketus karena capek bergantian menggendong bayi dengan Zana.
[Kamu sebenarnya di mana Mas kok rame banget, masih di rumah sakitkah untuk check up]
[ia, ada perlu apa ?]
[Kok ada suara bayi menangis, bayinya siapa?]
[Ba-bayinya pasien dirumah sakit ini]
dengan sedikit terbata dia menjawab
[Bukan anakmu kan?] tanya Firda vulgar
Gunarso tersedak sampai batuk-batuk mendengar pertanyaan istrinya yang spontan itu
[Bu-bukanlah] katanya ragu seakan takut.
[Aku ingin memberi tahu kalau aku dirumah ibu Mas, nanti nggak usah di jemput. Aku sama anak-anak mau naik taxi online saja]
Dari ponsel terdengar suara wanita berkata sangat jelas
[Mas kok nelpon terus, aku capek gantian nggendong Aina dong.]
[Suara wanita siapa itu mas?]
Jantung Gunarso seakan lepas mendapat pertanyaan dari Firda. Dia langsung menepis Zana agar tidak ngomong dulu. Wanita muda itu cemberut merasa diabaikan.
[Oh, itu pasien yang memanggil suaminya meminta bantuan menggendong anaknya. Ya sudah aku nanti tidak menjemput. Aku pulang agak terlambat]
[Baiklah Mas, Assalamualaikum]
Firda menutup ponselnya dan melihat raut muka ibu Zahra yang tak seperti biasanya.
"Firda kita selidiki sekarang saja, ayo kerumah sakit sekarang insting ibu dia tidak sedang check up," ujar bu Zahra.
Terserah ibu saja, aku mengikuti. Sengaja Firda membiarkan, agar ibu Zahra mengetahui sendiri kelakuan anaknya itu dengan mata kepalanya.
Firda mengirimkan pesan pada Tristan agar mengirimkan karangan bunga setinggi dua meter dan selebar satu setengah meter dipercepat sebelum dirinya sampai ke rumah sakit bersama mertuanya.
Firda juga menginstruksikan pula melakukan pemberitahuan via email dan kurir surat peringatan mangkir kerja dari perusahaan disertai dengan bukti.
Bu Zahra bergegas mandi dan menyiapkan diri, begitu pula dengan Firda. Tepat pukul tiga sore mereka berangkat ke rumah sakit Ayah Bunda. Secara tidak langsung Firda menjadi penunjuk jalan setelah hampir seharian membuntuti suaminya.
Firda menuntun bu Zahra menyusuri koridor rumah sakit. Beliau heran kenapa anaknya check up dirumah sakit anak. Firda tak menjelaskan apapun pada mertuanya itu.
Di depan ruang paviliun satu Firda menghentikan langkahnya dia telah melihat karangan bunga besar sesuai pesanannya. Sepertinya Gunarso dan Zana belum tahu walaupun semua orang yang lewat di ruangan ini kasak kusuk sambil mengintip kaca pembatas ruangan itu."Orang terkenalkah Firda yang sakit didalam hingga mendapat karangan bunga sebesar itu," tanya bu Zahra yang hanya melihat rangkaian indah bunganya saja. Dia tidak melihat tulisan dan nama yang tertera disitu.
Firdapun tak memberi tahu pada mertuanya itu.
" Brak,"
pintu ruangan paviliun satu di buka dengan keras.Gunarso keluar didepan pintu di buntuti seorang wanita."Sudah cukup, kamu jangan merajuk terus. Aku seharian sudah bersamamu bahkan aku telah membohongi istriku," seloroh Gunarso dengan suara keras sambil membentak wanita yang sedang memegang lengan kanannya itu.
"Tapi aku nggak berani sendiri Mas, nanti malam disini. Pokoknya kamu harus tidur disini," jawab wanita itu memelas.
"Panggil asisten saja atau ibumu suruh menemanimu, aku tidak bisa Zana, kau kan dari awal sudah tahu kalau aku laki-laki beristri selama ini aku sudah memanjakanmu dengan materi apa masih kurang. Rumah mewah di Cempaka Puri juga sudah kubelikan untukmu sebagai kompensasi saat malam aku tidak bisa bersamamu," seloroh Gunarso kesal.
Begitu asyiknya mereka berdebat tanpa tahu ada dua pasang mata yang memperhatikan mereka. Air mata mengembang di pelupuk mata dua orang wanita itu. Tulang kaki Firda serasa tidak berpijak ke tanah, badannya lemas mendengar semua perdebatan suami dan candiknya itu.
Bu Zahra tiba-tiba melepas pegangan tangan Firda. Dia melangkahkan kakinya kearah anak lelakinya itu dengan gontai, air mata yang meleleh dia sapu dengan tangannya.
Firda hanya memandangi mertuanya yang telah pergi dari sampingnya itu. Wanita itu tidak tahu apa yang akan dilakukan mertuanya itu.
#Pergulatan AmarahBu Zahra tiba-tiba melepas pegangan tangan Firda. Dia melangkahkan kakinya kearah anak lelakinya itu dengan gontai, air mata yang meleleh dia sapu dengan tangannya. Gejolak bathinnya bergemuruh meluap-luap didada mertua Firda ituFirda hanya memandangi mertuanya yang telah pergi dari sampingnya itu. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan mertuanya itu."Plak!"Tamparan keras dilayangkan bu Zahra di pipi Gunarso hingga empat kali. Laki-laki itu sangat kaget karena tiba-tiba ibu yang melahirkan ada didepannya. Dia tidak menyadari jika ibunya mengawasi sejak tadi . Gunarso pasrah tak berkutik dihadapan ibunya."Lho siapa kamu kok tiba-tiba menampar suamiku, dasar wanita tua nggak tahu adat," teriak Zana melihat suaminya ditampar tanpa melawan."Apa katamu, coba ulangi!"Bu Zahra menatap tajam penuh dengan emosi yang menguasai hatinya, mencoba mengenali perempuan yang memakai rok seksi pendek
#POV FIRDAKelopak mata ini serasa berat kubuka seakan ada beban yang menindih diatasnya. Lamat-lamat ada sinar putih yang masuk di netra mata ini.Begitu mata terbuka seribu tanya dalam pikiran yang terus mengembara. Atap putih ini, jendela besar warna hijau toska yang beda dengan kamarku dirumah. Selang infus yang menggantung diatasku serta tangan yang begitu sulit kugerakkan."Dimanakah aku, disurgakah ini? Kenapa sepi sekali?""Kenapa badanku terasa sakit seperti ini, mengapa ada infus yang menggantung di atasku. Apa yang terjadi padaku ?"Batinku terus bertanya."Kau sudah sadar Miana sayang ?"Aku menoleh perlahan pada suara yang menanyaiku."Mas Bion?" pekikku kaget melihat lelaki berseragam dokter itu berdiri disamping ranjang."Ia aku, Sayang," ujar mas Bion sambil terus menatapku.Aku merasa risih dipanggil sayang seperti itu seakan-akan aku masih pujaan hatinya sa
Gunarso Hadi bertekat,"Satu persatu masalah dalam hidupku akan kuselesaikan dengan bijak."Saat membuka notifikasi tertangkap dalam netra matanya di layar ponsel membikin sesak dadanya yang tadi mulai longgar. Dia seakan tak percaya melihat nilai nominal dalam M-banking itu. Lelaki itu terduduk lemas di pinggiran ranjang dalam kamarnya itu. Belum hilang rasa kagetnya, notifikasi dalam layar ponsel muncul kembali."Ting!"Sekilas Gunarso menangkap tulisan yang masih berjalan itu mengenai laporan kinerjanya.Dengan gemetar tangan Gunarso memegang benda pipih warna biru langit seperti tanpa tulang. Matanya membeliak lebar memastikan nilai nominal yang tertera dalam notifikasi transfer bank dari perusahaannya yang hanya tiga juta rupiah saja seakan tak percaya."Aku harus menelep
GUNARSO BINGUNG#POV GUNARSOGila bener siapa laki-laki itu, tiba-tiba sudah akrab sekali dengan Firda pakai acara gendong-gendongan lagi. Sebenarnya apa yang terjadi pada Firda hingga dia nggak pulang dua hari ini.Kenapa kau telepon disaat yang tidak tepat begini Zana? Jika tidak kuangkat khawatir ada apa-apa dengan Aina. Jika kuangkat aku tidak bisa merebut Firda dari gendongan lelaki itu. Harga diriku sebagai laki-laki akan tercoreng.Aku hanya terdiam memegang tubuh Firda yang masih lengket pada lelaki itu."Ayo angkat ponselmu, bidadarimu sedang menunggu Mas, aku kan hanya setan, abaikan saja aku. Dia lebih butuh kamu sepertinya. Aku sudah ditemani dengan dokter Bion," gertak Firda.
Di Lantai 2Dion Aditama raharja membawa Firda kekamarnya dengan hati berbunga- bunga merasa dimenangkan oleh Firda dari suaminya.Begitu sudah memasuki kamar , Firda melihat suaminya pergi dia langsung berusaha melompat dari gendongan lelaki itu.Dion masih memeluknya dengan erat seakan sayang mau menurunkan wanita yang selalu mengisi hatinya itu. Dia pandangi wanita cantik dengan sejuta cinta terpancar dari wajahnya yang selalu menyunggingkan senyuman.Firda salah tingkah mendapat tatapan mesra dari mantannya itu, dia berusaha melepas pelukan Dion dan memintanya untuk menurunkannya.“Hai, turunkan aku. Jangan cari kesempatan,” kata Firda ketus sambil menyembunyikan semburat merah dipipinya itu.
Bu Zahra terpana sambil menatap wanita yang memakai setelan gamis warna daun kering itu. Berulangkali dia resapi untaian kata wanita yang selisih umurnya nggak beda jauh dengan usianya itu.Wanitu itu terus berterima kasih pada Gunarso yang telah berjasa mengeluarkan biaya yang tak sedikit untuk perjalanan umrohnya dengan fasilitas VIP.Belum habis kekagetannya, justeru yang di panggil bu Tukha oleh Gunarso itu mengira dirinya sebagai baby sitter untuk cucunya.Rasa pening kepala bu Zahra menyerang perlahan menusuk-nusuk kepalanya seakan ada rangkaian jarum yang terus tak berhenti gerak menghujam.Hati yang selama ini penuh kasih pada anak kesayangan yang bernama Gunarso berangsur melemah tak berdaya berganti rasa kecewa yang mendalam . Tetes demi tetes air mata berebut keluar dari manik mata lembut bu Zahra.Gunarso terdiam tanpa ekspresi, dia tidak berani bersit
Gunarso bergegas ke depan, matanya menatap kaget melihat siapa yang datang. Ternyata pak Tristan yang datang sang CEO di perusahaannya.Gunarso masih terkaget dari mana pak Tristan tahu rumahnya di Puri Cempaka Putih ini."Hai apa kabar Gun, lama kita tidak ketemu,""Eh ... iya ...Pak," jawab Gunarso terbata-bata merasa tertangkap basah karena sering mangkir kerja."Kemana saja Kau, hingga seluruh anak buahmu kutanya tidak ada yang tahu keberadaanmu," tanya pak Tristan menyelidik."Anu pak ... Itu anakku baru pulang dari rumah sakit," jawab Gunarso berlibet karena tegang.Pak Tristan membiarkan saja melihat Gunarso yang kebingungan celingak-celinguk bahkan sampai tidak memasukkan dirinya kedalam rumah."Sejak kapan kau pindah kesini? rumahmu bagus, kau pandai sekali investasi barang," ujar pak Tristan santai sedikit menyindir."Hampir dua tahun Pak," jawabnya singkat
POV FIRDAFirda masih duduk di pinggir ranjangnya sambil melihat perkembangangan kesembuhan wajahnya dengan sebuah kaca rias. Sesekali mengelus pipinya yang masih berbekas cakaran itu.Mengingat kejadian hari itu Firda merasa sangat marah pada suaminya itu. Lelaki yang kurang tegas dan tak bertanggungjawab bagi keluarga ini."Mestinya jika berani poligami ya harus seijin istri pertama bukan seenaknya saja main nikah tanpa memberitahu aku dan ibu. Sehingga tragedi cakar-cakaran sampai berkelahi didepan umum seperti beberapa waktu yang lalu bisa dihindari. Aku harus memberi pelajaran hingga tuntas pada lelaki yang ku sebut suamiku itu,"bathinku dalam hati.Oh ya hari ini adalah kepulangan si Zana dan Aina anak suamiku dan istri keduanya itu seperti kata Tristan.Ku cari ponselku, dan scroll perlahan didata contact aplikasi hijau itu untuk mencari no kontak Tristan[ Hallo Tristan]