Dia buka ponselnya di aplikasi hijau itu, rentetan pesan masuk sangat banyak. Laporan panggilan tak terjawab bertubi-tubi. Satu persatu pesan Gunarso jawab hingga berhenti di pesan dari kontak nama Bidadari,
[Mas Hadi, cepat datang kerumah kita , Aina Mas … Aina]
Gunarso lingak-linguk melihat istrinya yang masih di kamar sibuk membersihkan kamar. Dengan cepat dia keluar rumah dan menelpon Zana Kirania, gadis penjual rokok yang dinikahi secara siri oleh Gunarso tujuh bulan lalu.
["Ada apa Yang dengan Aina?"] dengan mesra memanggil istri sirinya.
[Aina badannya panas Mas Hadi, terus ada ruam-ruam merah hampir diseluruh tubuhnya] dengan nada penuh kecemasan.[Bawa dulu kerumah sakit sayang, nanti Mas Hadi langsung kesana sehabis kerja][Apa nggak bisa ijin nggak masuk Mas?][Jatah cutiku sudah habis, Sayang dan aku sudah sering nggak masuk karena mendampingimu.][Nggak mau, pokoknya Mas Hadi harus dampingi aku untuk kerumah sakit untuk mengobatkan Aina, kalau tidak aku tidak berangkat.] Zana merajuk pada Gunarso.
[Sayang, jangan begitu dong. Kasihan Aina.]
[Kalau Mas tidak datang, aku akan menjemput kerumahmu.][Sayang, jangan begitu dong.][Sayang!]Langsung di matikan telpon dari kejauhan.Gunarso Hadi Prayoga, geram tak tahu harus berbuat apa. Dirumah ada istrinya yang dari kemarin lusa mulai curiga akan dirinya. Sementara di tempat lain ada darah dagingnya yang sedang sakit.
Sementara dari balik kaca depan rumah, Firda mengamati setiap gerak-gerik suaminya yang sedang menggaruk-nggaruk kepalanya seperti kebingungan.
"Siapa Mas Gun yang kau panggil sayang itu? pacarmukah? atau simpananmu," tanya Firda pada suaminya yang menatapnya kebingungan.
"Apa? kamu salah dengar Ma, orang aku ngomong dengan teman kerjaku, kamu kok jadi bawel sih," seloroh Gunarso pura-pura tenang sambil ngomel ke Firda.
Hatinya sedang bingung dan ketakutan jikalau Zana Kirania datang kerumahnya, bisa hancur semua nanti kalau ketahuan Firda.
"Oh, begitu Mas? ya sudah kalau begitu. kupikir ada apa," ujar Firda.
"Kamu nggak kerja Mas hari ini?" tanya Firda pada suaminya.
"Aku cuti hari ini mau check up ke rumah sakit," seloroh Gunarso.
"Kamu sakit Mas ?" tanya Firda
"Nggak, hanya periksa rutin saja," jawab Gunarso sambil melangkah pergi dari hadapan istrinya ke dalam rumah."Ma, aku lapar," kata Gunarso
"Makan aja apa yang ada Pa," pekik Firda dari ruang tamu yang sedang menyapu lantai.
Gunarso membuka tudung saji diatas meja makan. Matanya membelalak menatap semua piring lauk yang kosong hanya ada nasi putih di magic com.
"Kok nggak ada lauknya, Ma," ujar Gunarso.
" Maaf Pa, sama suamiku tidak di beri uang belanja sehingga aku tidak membeli lauk, taburi garam saja," ujarku menyindir.
Lelaki yang kusebut suami itu hanya celinguran di ruang makan, aku tersenyum penuh kemenangan menatapnya. Mulai sekarang dia harus menerima pembalasanku sedikit demi sedikit.
Alhasil dia tak jadi makan, akupun membiarkannya dan kuteruskan mengepel lantai.
Hari ini pun aku tak menyiapkan baju kerja seperti sebelumnya, aku pura-pura sibuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain yang belum ku kerjakan.
Maklum dua asisten rumah tangga yang ada di rumah ini ku pulangkan ke kampung.
Aku kaget begitu masuk kamar semua bajunya telah berserakan di lantai. Mungkin karena nggak bisa ngambil hingga banyak baju yang jatuh.
Dasar, selama ini memang nggak pernah tahu rasanya mengurus pakaian ya begitu akhirnya. Baju yang tergeletak urap itu aku biarkan begitu saja.
Selama ini aku berbohong kepada mas Gunarso bahwa asisten rumah tangga yang ada di rumah di bayar dari kantorku untuk meringankan pekerjaanku.
Karena berkomitmen berhenti kerja ada alasan menghentikan mereka sementara agar aku sempurna membalasnya.
Tak seberapa lama kemudian kudengar deru suara mobil keluar dari rumahku pertanda dia telah keluar. Sapu langsung kulempar ke luar kemudian bergegas kedepan rumah untuk membuntuti suamiku lagi.
Dari pagi buta sudah kusiapkan rencanaku untuk mengekor secara rahasia kemanapun suamiku pergi. Taxi online yang tadi kupesan telah siap menunggu di depan rumah.
"Pak, ikuti mobil Avanza putih itu," pintaku pada pak sopir.
Mobil Avanza terus kuikuti membelah jalan yang mulai padat merayap. Pak Sopir dengan lincah mengikuti kelak kelok mobil suamiku yang seperti dikejar setan itu.
"Lho, mau kemana dia seharusnya belok kiri kok belok kanan," bathinku.
Aku semakin penasaran mengikuti arahnya. Mobil berhenti di restoran padang, aku menunggu sesaat di pinggir jalan berjarak sekitar dua puluh meteran.
Mata ini terus mengawasi. Lima menit kemudian kulihat suamiku telah keluar membawa satu kresek penuh makanan.
"Mau di bawa kemana makanan itu kok banyak banget," bisikku dalam hati.
Deru mesin mobilnya terdengar langsung melaju membelah jalanan lagi. Cara berkendaranya berlagak seperti pembalap Valentino Rossie. Pak sopir agak kerepotan mengikutinya.
" Jangan sampai kehilangan jejak Pak," pintaku padanya
"Ia bu, ini saya sedang konsentrasi mengejarnya," ujarnya meyakinkanku.
"Memang yang kita kejar ini siapa bu?" tanyanya.
"Dia Suamiku Pak," selorohku tanpa menjelaskan kenapa aku mengejarnya.
"Sepertinya ini memasuki area Puri Cempaka Putih , Bu." Pak sopir memberi tahuku.
Aku melihat sekeliling, ternyata benar ini di lokasi Puri Cempaka Putih. Hati ini sungguh gemas melihat suamiku datang lagi ketempat ini.
Lelaki yang dulu pernah kukagumi dengan segala pesona dan kharismanya kini seakan lenyap begitu saja rasa dalam hatiku yang ada tinggal tersisa kekecewaan yang mendalam.
Kulihat Mas Gun jalan tergopoh-gopoh ke dalam rumah itu.
"Kok lama banget sih Mas, aku sudah lapar," kata wanita berdaster pink itu dengan manja.
Tangannya menggapit lengan Mas Gun dengan manja.
"Ayo makan dulu setelah itu segera mengantarkan Aina," ujar Gunarso.
Masya Allah ternyata makanan yang dibeli itu untuk istri mudanya itu. Sementara aku yang istrinya sah menikah di penghulu tidak di beri uang belanja.
Derap-derap jantung ini serasa ingin mencabik-cabik dua orang di hadapanku itu.
Kaca mobil kubuka dengan tangan terus keker kupasang untuk mengamati apa yang mereka lakukan dari jarak jauh ini.
Kulihat mereka makan bersama. Ada seorang memakai seragam asisten rumah tangga dan seorang wanita paruh baya yang memakai daster kembang-kembang warna ungu. Mungkin itu ibunya wanita itu.
Tiba-tiba kudengar lagi suara gemerisik.
"Istri tuamu nggak curiga kan Mas kalau kamu kesini?" kata wanita itu.Aku mendengarkan dengan seksama dengan earphone di telingaku semua yang diomongkan perempuan itu. Tadi malam sengaja ku pasang perekam canggih di kancing baju suamiku agar aku tahu semua rahasianya. Ponselnya pun telah aku sadap tetapi mas Gunarso tidak tahu.
"Pak, Aina kejang, Aina kejang," kata wanita berseragam itu.
"Ayo kita kedokter sekarang," ajak Suamiku pada wanitanya itu.
"Baiklah Mas," seloroh wanita itu agak panik.
Gunarso dan candiknya itu pergi dengan mobil Avansa putih terburu-buru dengan membawa anaknya itu. Mobil melesat dengan cepat melewatiku."Siapakah Aina itu ? anak mereka berduakah?" pikirku dalam hati.
"Ayo pak, kejar mobil itu lagi," perintahku pada sopir taxi.
Sesat kemudian, kami kembali melaju bekejar-kejaran berebut jalan.
Tak seberapa lama mereka memasuki gerbang rumah sakit Ayah Bunda. Tempatnya sangat asri dan nyaman. Disini terkenal dengan pelayanannya yang bagus serta berfasilitas mewah.
Mereka berlari dengan cepat ke Unit Gawat Darurat, aku mengekor di belakangnya. Topi dan Wik serta kaca mata hitam yang kupakai ini menutupi identitas asliku sehingga mereka tak mengenali walaupun aku di belakang mereka.
Aku tertegun, bagaimana uang tidak habis dalam sekejap jika gaya hidupnya seperti ini. Kuingat tujuh bulan terakhir ini mas Gun mengurangi anggaran uang belanjaku sangat banyak. Ternyata di buat untuk si ganjen itu.
drtt
Alunan suara panggilan ponselku mengalun merduBersambung
#Karangan Bunga Untuk Si CandikAku tertegun, bagaimana uang tidak habis dalam sekejap jika gaya hidupnya seperti ini. Kuingat tujuh bulan terakhir ini mas Gun mengurangi anggaran uang belanjaku sangat banyak. Ternyata di buat untuk si ganjen itu.drttAlunan suara panggilan ponselku mengalun merdu, terbaca dilayar ponsel nama Tristan.[Bos sedang di mana, laporan yang kau minta sudah kukirim via email][Dirumah sakit, lagi jadi detektif conan][Lagakmu Bos seperti lagi menggarap mission impossible saja, emang lagi buntuti siapa Mrs Bean]Tristan tertawa ngakak sedikit mengejek ke Firda teman kuliahnya dulu itu.[Anak candiknya mas Gun sakit] seloroh firda pelan[Hah, sebaik itu kah dirimu hingga harus mengurus anak tirimu]kata Tristan dengan nada tinggi.[Aku ingin menangkap basah mereka, tapi kalau terlalu cepat kok enak betul, aku ingin mas Gun merasakan puting beliung dalam hidu
#Pergulatan AmarahBu Zahra tiba-tiba melepas pegangan tangan Firda. Dia melangkahkan kakinya kearah anak lelakinya itu dengan gontai, air mata yang meleleh dia sapu dengan tangannya. Gejolak bathinnya bergemuruh meluap-luap didada mertua Firda ituFirda hanya memandangi mertuanya yang telah pergi dari sampingnya itu. Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan mertuanya itu."Plak!"Tamparan keras dilayangkan bu Zahra di pipi Gunarso hingga empat kali. Laki-laki itu sangat kaget karena tiba-tiba ibu yang melahirkan ada didepannya. Dia tidak menyadari jika ibunya mengawasi sejak tadi . Gunarso pasrah tak berkutik dihadapan ibunya."Lho siapa kamu kok tiba-tiba menampar suamiku, dasar wanita tua nggak tahu adat," teriak Zana melihat suaminya ditampar tanpa melawan."Apa katamu, coba ulangi!"Bu Zahra menatap tajam penuh dengan emosi yang menguasai hatinya, mencoba mengenali perempuan yang memakai rok seksi pendek
#POV FIRDAKelopak mata ini serasa berat kubuka seakan ada beban yang menindih diatasnya. Lamat-lamat ada sinar putih yang masuk di netra mata ini.Begitu mata terbuka seribu tanya dalam pikiran yang terus mengembara. Atap putih ini, jendela besar warna hijau toska yang beda dengan kamarku dirumah. Selang infus yang menggantung diatasku serta tangan yang begitu sulit kugerakkan."Dimanakah aku, disurgakah ini? Kenapa sepi sekali?""Kenapa badanku terasa sakit seperti ini, mengapa ada infus yang menggantung di atasku. Apa yang terjadi padaku ?"Batinku terus bertanya."Kau sudah sadar Miana sayang ?"Aku menoleh perlahan pada suara yang menanyaiku."Mas Bion?" pekikku kaget melihat lelaki berseragam dokter itu berdiri disamping ranjang."Ia aku, Sayang," ujar mas Bion sambil terus menatapku.Aku merasa risih dipanggil sayang seperti itu seakan-akan aku masih pujaan hatinya sa
Gunarso Hadi bertekat,"Satu persatu masalah dalam hidupku akan kuselesaikan dengan bijak."Saat membuka notifikasi tertangkap dalam netra matanya di layar ponsel membikin sesak dadanya yang tadi mulai longgar. Dia seakan tak percaya melihat nilai nominal dalam M-banking itu. Lelaki itu terduduk lemas di pinggiran ranjang dalam kamarnya itu. Belum hilang rasa kagetnya, notifikasi dalam layar ponsel muncul kembali."Ting!"Sekilas Gunarso menangkap tulisan yang masih berjalan itu mengenai laporan kinerjanya.Dengan gemetar tangan Gunarso memegang benda pipih warna biru langit seperti tanpa tulang. Matanya membeliak lebar memastikan nilai nominal yang tertera dalam notifikasi transfer bank dari perusahaannya yang hanya tiga juta rupiah saja seakan tak percaya."Aku harus menelep
GUNARSO BINGUNG#POV GUNARSOGila bener siapa laki-laki itu, tiba-tiba sudah akrab sekali dengan Firda pakai acara gendong-gendongan lagi. Sebenarnya apa yang terjadi pada Firda hingga dia nggak pulang dua hari ini.Kenapa kau telepon disaat yang tidak tepat begini Zana? Jika tidak kuangkat khawatir ada apa-apa dengan Aina. Jika kuangkat aku tidak bisa merebut Firda dari gendongan lelaki itu. Harga diriku sebagai laki-laki akan tercoreng.Aku hanya terdiam memegang tubuh Firda yang masih lengket pada lelaki itu."Ayo angkat ponselmu, bidadarimu sedang menunggu Mas, aku kan hanya setan, abaikan saja aku. Dia lebih butuh kamu sepertinya. Aku sudah ditemani dengan dokter Bion," gertak Firda.
Di Lantai 2Dion Aditama raharja membawa Firda kekamarnya dengan hati berbunga- bunga merasa dimenangkan oleh Firda dari suaminya.Begitu sudah memasuki kamar , Firda melihat suaminya pergi dia langsung berusaha melompat dari gendongan lelaki itu.Dion masih memeluknya dengan erat seakan sayang mau menurunkan wanita yang selalu mengisi hatinya itu. Dia pandangi wanita cantik dengan sejuta cinta terpancar dari wajahnya yang selalu menyunggingkan senyuman.Firda salah tingkah mendapat tatapan mesra dari mantannya itu, dia berusaha melepas pelukan Dion dan memintanya untuk menurunkannya.“Hai, turunkan aku. Jangan cari kesempatan,” kata Firda ketus sambil menyembunyikan semburat merah dipipinya itu.
Bu Zahra terpana sambil menatap wanita yang memakai setelan gamis warna daun kering itu. Berulangkali dia resapi untaian kata wanita yang selisih umurnya nggak beda jauh dengan usianya itu.Wanitu itu terus berterima kasih pada Gunarso yang telah berjasa mengeluarkan biaya yang tak sedikit untuk perjalanan umrohnya dengan fasilitas VIP.Belum habis kekagetannya, justeru yang di panggil bu Tukha oleh Gunarso itu mengira dirinya sebagai baby sitter untuk cucunya.Rasa pening kepala bu Zahra menyerang perlahan menusuk-nusuk kepalanya seakan ada rangkaian jarum yang terus tak berhenti gerak menghujam.Hati yang selama ini penuh kasih pada anak kesayangan yang bernama Gunarso berangsur melemah tak berdaya berganti rasa kecewa yang mendalam . Tetes demi tetes air mata berebut keluar dari manik mata lembut bu Zahra.Gunarso terdiam tanpa ekspresi, dia tidak berani bersit
Gunarso bergegas ke depan, matanya menatap kaget melihat siapa yang datang. Ternyata pak Tristan yang datang sang CEO di perusahaannya.Gunarso masih terkaget dari mana pak Tristan tahu rumahnya di Puri Cempaka Putih ini."Hai apa kabar Gun, lama kita tidak ketemu,""Eh ... iya ...Pak," jawab Gunarso terbata-bata merasa tertangkap basah karena sering mangkir kerja."Kemana saja Kau, hingga seluruh anak buahmu kutanya tidak ada yang tahu keberadaanmu," tanya pak Tristan menyelidik."Anu pak ... Itu anakku baru pulang dari rumah sakit," jawab Gunarso berlibet karena tegang.Pak Tristan membiarkan saja melihat Gunarso yang kebingungan celingak-celinguk bahkan sampai tidak memasukkan dirinya kedalam rumah."Sejak kapan kau pindah kesini? rumahmu bagus, kau pandai sekali investasi barang," ujar pak Tristan santai sedikit menyindir."Hampir dua tahun Pak," jawabnya singkat