Share

Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia
Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia
Penulis: Suzy Wiryanty

1. Bangkrut

Raline memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul 19.30 WIB. Berarti, ia telah menghabiskan waktu kurang lebih sepuluh jam untuk mencari pekerjaan.

Ia keluar rumah pada pukul 09.00 WIB tadi pagi. Sialnya dalam kurun waktu sepuluh jam itu, ia belum juga mendapat pekerjaan.

Raline melirik pos Satpam di depan pintu gerbang yang kosong melompong. Namun, Pak Udin atau Bang Jaja tidak lagi di sana.

"Tentu saja, keduanya tidak ada," gumam Raline lesu.

Satpam, supir, ataupun Aristen Rumah Tangga.

Ayah Raline memang telah memberhentikan semua pegawai untuk menghemat pengeluaran,

Raline lantas membuka pintu pagar dan menutupnya perlahan. 

Setelah seharian berjibaku dari satu kantor ke kantor lainnya untuk mencari pekerjaan, Raline ingin mengisi perut dan beristirahat.

Ia merasa sangat lelah. Mungkin dengan beristirahat, ia bisa memulihkan kondisinya. Dengan begitu, diharapkan keesokan harinya ia bisa kembali mencari pekerjaan.

"Semua masalah ini terjadi, itu karena kamu tidak bisa mendidik anak!"

"Mas!"

Baru saja tiba di depan pintu, Raline telah disambut oleh pertengkaran kedua orang tuanya.

Akhir-akhir ini, kedua orang tuanya kerap berselisih paham. Tepatnya, sejak Heru batal menjadi suaminya, karena menikahi Lily.

Dengan lepasnya Heru sebagai kandidat menantu potensial, ayahnya sekarang pusing tujuh keliling.

Dulu, ayahnya tenang-tenang saja terus dan terus meminjam uang panas pada Pak Riswan meski renternir itu menetapkan suku bunga di atas rata-rata.

Ayahnya mengira Heru akan melunasi semua hutang-hutangnya setelah Heru menjadi menantunya.

Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Rencana pernikahan mereka gagal  karena Heru mendadak jatuh cinta pada Lily. 

Semua rencana yang disusun ayahnya, berbalik 180 derajat. Hutang ayahnya semakin menggunung, sementara ayahnya tidak mempunyai uang untuk melunasinya.

Ayahnya bangkrut. Perusahaan mereka telah ditutup sebulan yang lalu.

Sisa uang yang ada, telah habis untuk membayar pesangon para karyawan. Itu pun tidak cukup.

Setiap hari, ada saja mantan-mantan karyawan ayahnya yang berteriak-teriak di luar rumah. Mereka menuntut pesangon yang lebih besar. 

Karena ayahnya memang sudah tidak lagi memiliki uang, ayahnya mendiamkan Raline.

Mau bagaimana lagi? Mereka memang sudah tidak memiliki apapun lagi. Bahkan, rumah yang mereka tempati ini kabarnya akan segera disita oleh bank. Mereka hanya tinggal menunggu waktu. 

Kedua orang tuanya sudah satu satu bulan ini tidak berani keluar rumah. Mereka malu pada tetangga  kanan kiri. Biasanya kedua orang tuanya ini sombong dan tinggi hati. Sehingga pada saat susah seperti ini, para tetangga dengan bahagia menyoraki alih-alih ikut bersusah hati.  

"Pokoknya, ini semua salah dirimu yang tidak bisa mendidik Raline dengan benar!"

Mendengar suara bentakan ayahnya, Raline urung memutar panel pintu.

Ia takut terkena imbas amarah kedua orang tuanya. Jika sedang bertengkar seperti ini, keduanya acapkali menjadikannya pelampiasan atas rasa frustasi. Semua kesalahannya di masa lalu akan terus diungkit-ungkit. Sebaiknya ia menyingkir saja.

Padahal saat ini ia sangat lelah dan lapar. Seharian berkeliling dari satu kantor ke kantor yang lain untuk mencari pekerjaan, benar-benar menguras tenaganya. 

Sialnya lagi, meskipun telah berjibaku seharian, tidak ada satu perusahaan pun yang bersedia menerimanya. Selain ijazahnya yang nilainya memang pas-pasan, mungkin karena isu-isu ayahnya yang bangkrut juga. Makanya mereka semua kompak menolaknya. 

Untuk meminta tolong Aksa atau Heru, Raline tidak berani.

Pada Aksa, dulu Raline pernah berbuat jahat pada Camelia, istri Aksa. Atas desakan ibunya, Raline terpaksa memfitnah Camelia supaya Aksa tidak jadi menikahi Camelia.

Selain itu, Raline juga takut dihajar oleh Camelia. Istri Aksa itu sangat mumpuni dalam ilmu bela diri. Ia bisa dijadikan perkedel oleh Camelia, kalau ia tahu bahwa dirinya berani menemui Aksa lagi.

Meminta bantuan pada Heru, Raline juga tidak enak hati.

Selain masih di rumah sakit, Heru sekarang juga telah menikah dengan Lily. Tidak pantas rasanya jika ia merecoki suami orang.

Lagi pula, dulu ia dan sang mama kerap menyakiti Lily, demi mempertahankan Heru.

Tidak tahu diri sekali kalau ia sekarang mengemis pada Lily, bukan? Makanya, Raline berinisiatif untuk mencari pekerjaan demi menyambung hidup. Ia tidak mau menjadi tukang minta-minta lagi. 

Namun pada kenyataannya, bekerja itu sangat tidak mudah. Terbiasa dimanja sedari kecil, membuat Raline  gamang saat menghadapi kenyataan hidup.

Di luar tembok rumahnya, kehidupan begitu keras. Tanpa koneksi, mencari pekerjaan itu bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Sulitnya pangkat tiga. Alias sulit, sulit dan sulit.

Sementara keadaan keuangan keluarganya sudah sampai pada taraf kritis. Selain tidak mampu lagi membayar gaji karyawan,  untuk mengisi perut saja mereka harus benar-benar berhemat.

"Kok aku yang disalahkan? Dari kecil, aku sudah mengajarinya berdandan. Mendidiknya agar pandai membawa diri dan bersikap layaknya seorang wanita kelas atas. Salahku di mana, Mas?"

Bantahan keras sang ibu yang tidak mau disalahkan, memutus lamunan Raline.

Raline meringis. Seperti inilah perangai ibunya apabila diintimidasi. Ibunya akan balik menyerang apabila diserang. 

Nyali Raline menciut.

Ia jadi takut masuk ke dalam rumah.

Karena kalau ia memaksa, sudah bisa dipastikan ia akan menjadi bulan-bulanan kedua orang tuanya.

Tapi kalau tidak masuk, ia sangat lelah dan lapar. Lagi pula, nanti ia akan tidur di mana? Di depan pintu rumah, Raline berhadapan dengan dilema.

"Kamu masih berani bertanya? Salahmu itu tidak mendidik otaknya! Kamu hanya fokus pada penampilan fisiknya, tapi tidak dengan cara berpikirnya!" 

Deg! 

Raline menutup telinga dengan kedua tangan, kala mendengar ayahnya membahas kekurangcerdasannya.

Terkadang, Raline bingung.

Mengapa kedua orang tuanya acapkali menganggapnya bodoh? Padahal di sekolah dulu ia tidak bodoh-bodoh amat. Buktinya ia tidak pernah tidak naik kelas. 

Guru-gurunya dulu juga mengatakan bahwa dirinya cukup cerdas terkait calistung.

Menghapal, ia jagonya. Ia mampu menghapal titik dan koma dalam buku pelajarannya.

Berhitung pun, ya bisalah. Dirinya hanya lemah pada bidang studi yang memerlukan inisiatif sendiri.

Misalnya menggambar atau mengarang. Ia selalu tidak punya ide jika diminta berpikir sendiri. Dalam hal apapun, ia memang memerlukan pengarahan.

 "Kalau cara berpikirnya itu bukan salahku. Tapi salah genetika Mas dong. Toh, benih Mas lah yang menghasilkan Raline!" 

Cukup sudah! Raline memutuskan tidak akan masuk ke dalam rumah.

Lebih baik, ia membeli mie instan dan makan malam di Indomare* saja.

Kalau hanya membeli mie instan, sepertinya sisa uangnya masih cukup. Paling ia akan menghemat untuk tidak membeli air minum.

Perkara tidur, nanti saja ia pikirkan. Kalau hanya sekedar memejamkan mata di pos Satpam juga bisa. Pokoknya, ia harus menunggu emosi kedua orang tuanya reda barulah ia pulang ke rumah.

Dengan langkah tersaruk-saruk, Raline kembali membuka pintu pagar. Niatnya untuk makan dan berisrirahat buyar sudah. 

***

Raline duduk terkantuk-kantuk setelah satu cup popmie berpindah ke perutnya.

Saat ini, ia duduk di depan minimarket komplek. Ia menumpang mengisi perut setelah membeli satu cup popmie di sana.

Raline menggigil kedinginan ketika angin basah bertiup.

Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Raline berdehem. Tenggorokan sakit dan matanya terasa panas. Raline sangat ingin berbaring.

Kepalanya seperti diganduli batu berat, sementara suhu tubuhnya terus merangkak naik. Sembari memeluk diri sendiri, Raline menelungkupkan kepalanya di meja. Ia akan mencoba tidur sebentar untuk meredakan sakit kepalanya.

 Raline tidak tahu berapa lama ia tertidur, kala suara ponsel yang terus berdering membangunkannya. Raline yang kaget, terbangun sembari mengucek-ucek mata. Ternyata ibunya yang menelepon. Dengan segera Raline mengangkat teleponnya. 

"Ha--"

"Ini sudah jam sembilan malam, Raline. Kamu ada di mana?!"

Raline meringis. Belum sempat mengucapkan kata halo, ibunya sudah membentaknya.

"Raline ada di minimarket komplek, Bu. Ada a--"

"Cepat pulang ke rumah! Pak Riswan ingin bertemu denganmu. Pak Riswan akan membicarakan masalah pernikahan."

 Mata Raline terpejam, Dia tahu arah pembicaraan ini.

Dengan tegas, perempun itu pun berkata, "Tidak! Raline tidak mau menikah dengan Pak Riswan! Pak Riswan bahkan lebih tua dari ayah. Istrinya juga banyak sekali. Raline--"

"Jadi kamu memilih kalau ayahmu di penjara oleh Pak Riswan karena hutang dua milyar? Dasar anak durhaka kamu. Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kamu pulang sekarang!"

"Apa? Penjara?"

Suzy Wiryanty

Halo, kembali lagi dengan ceritaku yang kali ini mengisahkan tentang jodoh yang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Bahwasanya jodoh itu tidak bisa dipaksa, dijebak apalagi dikejar dengan berbagai cara. Karena sejatinya jodoh akan datang di saat hatimu telah siap dan waktu yang tepat. Jadi, terus baca cerita ini sampai selesai, ya. Jangan lupa vote dan beri komentar :)

| 1
Komen (4)
goodnovel comment avatar
zahra
emak bapaknya Alexa
goodnovel comment avatar
jeni lie
poor Raline...
goodnovel comment avatar
Yosefa Wahyu
akhirnya kembali hadir...ini ceritanya raline ya...sampe hampir lupa sama raline..wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status