Share

5. Harga Diri

"Hah, bayar hutang? Calon menantu?" Diberi kejutan bertubi-tubi, membuat Pak Adjie kebingungan.

 "Ah saya ingat sekarang. Kamu ini adalah Axel Delacroix Adams. Kakak Lily, istri Heru. Kamu ini seorang mafia!" Bu Lidya bangkit dari sofa.

Sekarang, ia ingat di mana ia pernah melihat bule gahar ini. Di pernikahan Heru dan Lily!

"Betul. Bawa kedua orang tuamu ke dalam Alka--" Axel mendecakkan lidah. Ia lupa lagi nama perempuan ini.

"Raline. Nama gue Raline. Inget baik-baik. Jangan lupa lagi. Bagaimana ortu gue percaya kalo lo serius pengen nikahin gue, kalo nama gue aja lo lupa?" bisik Raline di sisi telinga Axel.

"Oke. Ra--line." Axel balas berbisik.

"Pinter. Oh ya, jangan lupa. Nanti pas lo ngelamar, bilang kalo lo itu kaya. Ortu gue suka khilaf kalau membahas soal harta. Oke kakaknya Lily?" Raline mambalas Axel iseng. Ia mendadak ceria karena telah lepas dari cengkraman Pak Riswan.

"Axel. Nama gue Axel. Tapi nanti setelah kita nikah, lo bisa manggil gue Mas Axel." Axel mengultimatum tegas.

"Sekarang juga nggak apa-apa, Mas Axel." Raline nyengir. Kedua mata sipitnya membentuk bulan sabit kala ia tertawa.

Sejurus kemudian, Raline memandu kedua orang tuanya masuk ke ruang keluarga. Raline mamahami maksud Axel. Axel akan membahas masalah hutang piutang dengan Pak Riswan.

"Raline, ingat janji lo," teriak Axel. Ia mengingatkan Raline akan janjinya yang tidak boleh membuka mulut. 

"Siap, Mas Axel," Raline balas berteriak seraya membuat gerakan mengunci mulut. Setelahnya ia kaget sendiri.

"Set dah, mulut gue kok lancar amat ya manggil itu mafia reseh, Mas?" Raline bingung sendiri. 

"Udah ah, biarin aja. Gue lagi males mikir." Raline menyusul kedua orang tuanya masuk ke dalam ruang keluarga. Akhirnya ia bebas juga dari keharusan menjadi istri aki-aki tua bau tanah. Alhamdullilah.

***

"Raline, coba ceritakan bagaimana ceritanya mafia itu ujug-ujug bisa menjadi calon suamimu? Ayah bingung." 

Di ruang keluarga, Pak Adjie berjalan hilir mudik. Sungguh, ia tidak mengerti bagaimana putrinya bisa berhubungan dengan seorang mafia berbahaya seperti Axel. 

"Ehem..  ehem... ehem..." Raline menjawab dengan bahasa isyarat seraya menggeleng-gelengkan kepala. Sesuai janjinya dengan Axel, Raline tetap menutup mulut. 

Saat ini ia duduk manis di sofa keluarga bersama sang bunda. Ia menjawab pertanyaan ayahnya hanya dengan deheman. Ia tetap memegang teguh janjinya pada Axel, walau ia pusing melihat tingkah ayahnya. Ya, ayahnya terus mondar-mandiri di depannya seperti setrikaan yang tidak licin-licin. 

"Ham... hem... ham... hem... melulu. Kamu kenapa Line? Tenggorokanmu gatal?" Pak Adjie kesal karena tingkah aneh putrinya.

Raline menggeleng cepat. Ia kemudian menunjuk mulutnya. Memberi kode kalau ia tidak bisa berbicara dengan gerakan tangan seperti mengunci. 

"Oh, kamu tiba-tiba sakit gigi?" Kali ini Bu Lidya yang menebak. Raline kembali menggeleng.

"Bukan sakit gigi? Kamu sariawan?" tebak Bu Lidya lagi. Raline tetap menggeleng. Melihat gelengan kepala putrinya Bu Lidya menepuk kening putus asa. 

"Astaga, kenapa kamu mendadak gagu begini?" Pak Adjie yang ikut putus asa menghempaskan pinggul di sofa. 

"Lihat, anak perempuanmu, Lid. Bagaimana caramu mendidiknya sampai berperangai seperti ini?" Pak Adjie memijat-mijat keningnya.

"Raline bukan cuma anakku seorang, Mas. Aku tidak bisa hamil sendirian. Itu artinya mendidiknya juga bukan tugasku seorang. Mengenai perangainya, itu juga di luar kuasaku. Aku bukan Tuhan," desis Bu Lidya geram. 

Raline diam seribu bahasa. Perdebatan kedua orang tuanya selalu tidak jauh-jauh dari kekurangannya. Raline sedih.

Jujur kadang ia ingin sekali protes.

Dirinya selama ini selalu menuruti keinginan kedua orang tuanya, walau terkadang keinginan mereka berdua bertentangan dengan hati nuraninya. Tetapi ia tetap menurut, agar kedua orang tuanya bahagia.

Jikalau dalam menjalankan aksinya, ia gagal dan kedua orang tuanya kembali kecewa, itu bukan salahnya, bukan?

Manusia hanya bisa merencanakan, namun Tuhan yang punya kuasa. Begitulah kalau menurut tanggapan Lesty Kejora. 

"Kalian berdua ini orang tua macam apa? Menghina dan mematahkan hati anak kalian sendiri, yang sesungguhnya kalian juga tahu semua itu bukan salahnya? Anak kalian toh tidak pernah minta dilahirkan?" Axel yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor ruang keluarga, tidak tahan untuk tidak memaki kedua orang tua egois ini.

"Dengar baik-baik. Kalian berdua tidak fair jika kalian menyalahkan anak, atas segala ketidakpuasan kalian. Kalian itu punya pilihan untuk mau, atau tidak mau punya anak. Tetapi anak, mereka tidak punya pilihan. Mereka ada, karena kalian keenakan berhubungan."

Raline menatap Axel dengan mata berair. Untuk pertama kalinya, ada orang yang mampu menyuarakan isi hatinya. Apa yang dikatakan oleh Axel sebenarnya sudah lama sekali ingin ia ungkapkan. Namun ia tidak sampai hati mengucapkannya.

Ia menyayangi kedua orang tuanya, bagaimanapun keadaan mereka. Ia tidak pernah membanding-bandingkan kedua orang tuanya yang selalu bertengkar dalam segala hal, dengan orang tua-orang tua teman-temannya yang harmonis. Ia memahami bahwa tiap-tiap keluarga mempunyai nilai plus dan minusnya sendiri. 

Ia juga tidak pernah iri melihat orang tua-orang tua teman-temannya, selalu mendukung dan memuji anak-anak mereka, baik dikala anak-anak mereka menang ataupun kalah. Sementara kedua orangnya tidak pernah sekalipun memuji dirinya pada saat ia menang, apalagi kalah. Namun begitu, ia tidak benci apalagi menyesal mempunyai orang tua seperti orang tuanya. Ia mencintai keduanya tanpa syarat.

Pak Adjie dan Bu Lidya terdiam.

Mereka berdua tidak bisa membantah kata-kata Axel, karena memang benar adanya. Mereka sadar, mereka memang salah. Tapi sebagai orang tua, wajar kalau mereka sesekali kesal karena anak mereka tidak seperti anak orang lain yang cerdas dan pintar. 

*****

"Saya telah menyelesaikan masalah hutang piutang kalian berdua dengan Pak Riswan. Saya pastikan, mulai hari ini dan seterusnya Pak Riswan tidak akan berani mengusik Anda lagi."

Entah mengapa Raline jadi kepingin bergoyang bebek mabuk, seperti yang diajarkan Lily di rumah sakit kemarin.

Lily adalah rivalnya dalam meraih cinta Heru dulu sekaligus adik perempuan Axel. Entah mengapa, Raline jadi akrab dengan Lily akhir-akhir ini. Lily itu sama somplaknya seperti dirinya. Bedanya Lily sedikit lebih cerdas darinya. Ingat ya, sedikit saja.

Lily mengajarkannya banyak hal. Salah satunya adalah; Apabila kita sedang kesal, sedih, senang, kecewa ataupun bahagia, jogetin saja. Dengan begitu semua perasaan hati kita akan tersalurkan tanpa kita harus bunuh diri ataupun memamerkan masalah kita.

Perlahan, Raline meper-meper ke dapur. Setelah sedikit menjauh dari ruang keluarga, Raline menundukkan tubuh seksinya sambil menggoyangkan bokongnya ke kiri satu kali dan ke kanan dua kali. Ia terus berjoget berulang-ulang sampai dirinya puas.

Axel yang telah selesai bernegosiasi dengan kedua orang tua Raline dan berniat ke toilet, meringis melihat calon istrinya bergoyang heboh sendirian.

Tidak adik, tidak istri, ternyata keduanya doyan berjoget dangdut campur sari.

Hidupnya tidak jauh-jauh dari perempuan-perempuan istimewa sepertinya. Sebentar lagi ia akan bergabung dengan Christian dan Heru, dalam club para istri istimewa.

"Lantai dapur akan runtuh kalau kamu terus bergoyang heboh seperti itu."

Raline yang baru menggoyangkan bokong sekali ke kiri, seketika berdiri tegak. Mampus, ia ketahuan sedang joget bebek mabuk oleh Axel.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yanie Abdullah
hahhahah menghibur orang yang lagi gabut nih cerita
goodnovel comment avatar
Amee la
Haha ... emang nih ya cewek2 Di tokoh nya kak Suzy rata2 emang oneng bin somplak ......
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
wkwkkkkk..... somplakĀ² semuanya somplak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status