Share

6. Mencari Rezeki Halal

"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh.

Axel terlihat mengangguk singkat.

"Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran.

Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ....

"Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."

****

Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan  gontai keluar kantor. 

Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.

Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak lembab oleh keringat.

Sungguh, ia lelah lahir batin.

Sejak pukul delapan pagi tadi, tidak terhitung sudah berapa kali ia keluar masuk kantor-kantor demi mencari pekerjaan.

Kantor-kantor itu juga bukan sembarang kantor. Melainkan kantor-kantor rekanan ayahnya sebelum ayahnya jatuh bangkrut.

Raline mengira, dengan melamar pekerjaan di kantor-kantor yang dulu pernah dibantu oleh ayahnya, niscaya dirinya akan diterima. Minimal dimudahkan segala sesuatunya.

Tapi apa mau dikata? Seperti semboyan yang selalu digaungkan ayahnya, hidup itu keras, memang benar adanya. Teman memang teman. Saudara adalah saudara. Tetapi uang tidak mengenal teman dan saudara.

"Mas Axel sudah membayar hutang-hutang ayah pada Pak Riswan. Beserta bunga tambahan pula. Maka, urusan Mas Axel pada kita sudah selesai. Jadi Raline harap, ayah jangan lagi meminta-minta apapun pada Mas Axel. Khususnya meminta uang. Tolong, punguti sedikit saja harga diri yang masih ada di diri kita. Mas Axel sudah tahu kalau Raline ini bodoh. Ayah jangan menambahi kekurangan Raline ini dengan menjadi calon mertua pemeras. Nanti nilai Raline di mata Mas Axel merah semua karena tidak ada bagus-bagusnya. Mengerti, Yah?"

"Ayah mengerti, Line. Tapi keuangan kita benar-benar sedang sekarat. Tagihan listrik dan air kita sudah menunggak. Mungkin sebentar lagi keduanya akan diputus. Debt collector juga sudah berkali-kali mempermalukan ayah, karena tidak bisa membayar cicilan. Bahkan sekarang untuk makan saja kita terancam. Kamu tahu akan hal itu, tidak?"

"Raline tahu, Yah. Untuk itu Raline akan mencari pekerjaan demi kelangsungan hidup kita. Ayah sabar saja. Raline akan berusaha sekuat tenaga."

"Hidup ini keras Raline. Kamu tidak tahu apa yang akan kamu alami di luar tembok nyaman rumah kita ini. Ayah yakin, kamu akan menyerah sebelum mulai berjuang. Ayah sangat mengenalmu. Jangan memaksakan diri. Kamu itu terlahir sebagai putri raja. Bukan rakyat jelata. Kamu tidak akan sanggup menghadapi kekejaman di luar sana."

"Kalau belum dicoba, kita tidak akan tahu hasilnya seperti apa, Yah. Yakinlah, Raline pasti akan berhasil. Semangati dan doakan saja Raline, Yah."

Dalam keadaan putus asa seperti ini, peringatan kerasnya pada sang ayah kemarin kembali terngiang-ngiang di benak Raline. Dirinya sendiri yang bersikukuh akan menjadi tulang punggung keluarga. Oleh karenanya ia tidak boleh menyerah! 

Memikirkan omong besarnya pada sang ayah kemarin, kembali melecut semangat Raline.

Apa yang terjadi, terjadilah.

Mau kerja apapun, terserahlah asal halal dan ada uangnya.

Yang penting, ia mau usaha.

Hasil akhirnya, biar Tuhan saja yang memperhitungkannya.

Soalnya, masalah hitung menghitung, dirinya memang parah.

Jadi, daripada salah hitung lebih baik ia menyerah saja.

Kalau Tuhan yang turun tangan, alamat aman semua. Bukankah Tuhan itu Maha adil dan sempurna? 

Setelah berdialog dengan dirinya sendiri, Raline kembali semangat 45.

Ia melanjutkan langkah ke trotoar. Lebih baik ia menunggu angkutan umum di halte depan. Ia akan kembali mencoba melamar pekerjaan di sekitar jalan Gatot Subroto. 

Di sana banyak sekali perkantoran-perkantoran elit.

Mudah-mudahan saja, di antara puluhan kantor yang berjejer, ada satu yang mau menerimanya.

Jikalau tidak menjadi tenaga marketing seperti yang diinginkannya, menjadi OG pun dirinya rela.

Yang penting, ada gajinya.

OG itu juga pekerjaan penting. Bayangkan, akan jadi apa sebuah kantor kalau tidak ada OG-nya? Riweuh bukan?

Jadi, kedudukan OG dan staff kantor itu sama pentingnya. Yang berbeda cuma di masalah gajinya. Titik.

Ternyata, halte dalam keadaan sepi.

Suasana siang bolong yang terik seperti ini, pasti membuat orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah atau kantor. Tidak seperti dirinya yang harus hilir mudik berganti kendaraan umum demi melamar pekerjaan. 

Cuaca yang panas membuat Raline berkeringat. Aliran air yang keluar dari pori-pori tubuhnya membuat dalamannya lembab.

Istimewanya, ia mengenakan setelah blazer berbahan tweed. Panasnya luar biasa!

Rambutnya pasti juga sudah lepek karena keringat.

Ditambah, rasa lapar yang memilin-milin perutnya Raline merasa sungguh tersiksa.

Menjadi orang miskin seperti ini rupanya. Pantas saja banyak sekali orang yang melakukan kejahatan demi uang, agar bisa hidup enak. Contohnya adalah para koruptor dan yah, ayahnya sendiri. Ia harus jujur dalam hal ini.

"Akhirnya bisa makan juga. Alhamdullilah." Kursi Raline bergoyah pelan. Seorang remaja laki-laki berkostum badut, duduk di sebelahnya.

Remaja laki-laki itu menenteng sebuah bungkusan.

Ketika bungkusan itu dibuka, isinya adalah nasi bungkus es teh manis, dan air putih.

Es teh manisnya dibungkus plastik berembun dan diikat karet gelang. Begitu juga dengan air putihnya. Raline iseng melongok isinya.

Glek!

Raline menelan ludah melihat sang remaja menggigit sisi plastik dan minum es teh manis dengan rakus.

Sejurus kemudian, giliran perut Raline yang bergemuruh.

Bagaimana perutnya tidak berbunyi?

Sang remaja lelaki membuka nasi bungkusnya yang harum. Seketika aroma rendang sapi yang khas berlalu-lalang di penciumannya.

"Mari makan, Kak." Sang remaja putra berbasa-basi saat akan makan. 

"Silakan, Dik." Raline menjawab singkat.

Pandangannya ia jaga dengan hati-hati agar tidak memandang isi daun sang remaja. Beberapa saat kemudian, perutnya kembali bergemuruh. Dirinya memang lapar. Tadi pagi ia memang tidak sempat sarapan, saking semangatnya ingin mencari pekerjaan. Ditambah melewatkan makan siang, perutnya kini benar-benar merintih kelaparan.

 "Kakak lapar?" tanya sang remaja putra menatap Raline penasaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status