Share

6. Mencari Rezeki Halal

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-28 10:46:24

"Ah lo ngagetin aja kayak jaelangkung. Urusan lo dengan ortu gue udah kelar, belum?" Demi menutupi rasa malu, Raline pura-pura acuh.

Axel terlihat mengangguk singkat.

"Cakep. Lo ngomong apa sih sama mereka?" Raline penasaran.

Mengapa cepat sekali Axel meluluhkan hati kedua orang tuanya? Jangan-jangan Axel menodongkan senjata pada keduanya? Dia kan mafia ....

"Seperti yang lo pesan. Gue bilang kalo gue kaya."

****

Raline kini mendorong pintu kaca kantor dengan lesu. Dikepitnya map coklat yang berisi dokumen-dokumen lamaran kerjanya di bawah lengan. Ia kemudian berjalan  gontai keluar kantor. 

Untuk ke sekian kali lamaran kerjanya kembali ditolak. Di depan pintu kaca kantor yang baru saja ia tinggalkan, Raline memandang kantor salah seorang kolega ayahnya miris. Tidak ada yang bersedia menolongnya saat keluarganya tengah terpuruk begini. Beginilah sifat dasar manusia. Didekati ketika berjaya, dan dijauhi ketika tertimpa musibah.

Raline memandang nanar map coklatnya yang kini tampak lembab oleh keringat.

Sungguh, ia lelah lahir batin.

Sejak pukul delapan pagi tadi, tidak terhitung sudah berapa kali ia keluar masuk kantor-kantor demi mencari pekerjaan.

Kantor-kantor itu juga bukan sembarang kantor. Melainkan kantor-kantor rekanan ayahnya sebelum ayahnya jatuh bangkrut.

Raline mengira, dengan melamar pekerjaan di kantor-kantor yang dulu pernah dibantu oleh ayahnya, niscaya dirinya akan diterima. Minimal dimudahkan segala sesuatunya.

Tapi apa mau dikata? Seperti semboyan yang selalu digaungkan ayahnya, hidup itu keras, memang benar adanya. Teman memang teman. Saudara adalah saudara. Tetapi uang tidak mengenal teman dan saudara.

"Mas Axel sudah membayar hutang-hutang ayah pada Pak Riswan. Beserta bunga tambahan pula. Maka, urusan Mas Axel pada kita sudah selesai. Jadi Raline harap, ayah jangan lagi meminta-minta apapun pada Mas Axel. Khususnya meminta uang. Tolong, punguti sedikit saja harga diri yang masih ada di diri kita. Mas Axel sudah tahu kalau Raline ini bodoh. Ayah jangan menambahi kekurangan Raline ini dengan menjadi calon mertua pemeras. Nanti nilai Raline di mata Mas Axel merah semua karena tidak ada bagus-bagusnya. Mengerti, Yah?"

"Ayah mengerti, Line. Tapi keuangan kita benar-benar sedang sekarat. Tagihan listrik dan air kita sudah menunggak. Mungkin sebentar lagi keduanya akan diputus. Debt collector juga sudah berkali-kali mempermalukan ayah, karena tidak bisa membayar cicilan. Bahkan sekarang untuk makan saja kita terancam. Kamu tahu akan hal itu, tidak?"

"Raline tahu, Yah. Untuk itu Raline akan mencari pekerjaan demi kelangsungan hidup kita. Ayah sabar saja. Raline akan berusaha sekuat tenaga."

"Hidup ini keras Raline. Kamu tidak tahu apa yang akan kamu alami di luar tembok nyaman rumah kita ini. Ayah yakin, kamu akan menyerah sebelum mulai berjuang. Ayah sangat mengenalmu. Jangan memaksakan diri. Kamu itu terlahir sebagai putri raja. Bukan rakyat jelata. Kamu tidak akan sanggup menghadapi kekejaman di luar sana."

"Kalau belum dicoba, kita tidak akan tahu hasilnya seperti apa, Yah. Yakinlah, Raline pasti akan berhasil. Semangati dan doakan saja Raline, Yah."

Dalam keadaan putus asa seperti ini, peringatan kerasnya pada sang ayah kemarin kembali terngiang-ngiang di benak Raline. Dirinya sendiri yang bersikukuh akan menjadi tulang punggung keluarga. Oleh karenanya ia tidak boleh menyerah! 

Memikirkan omong besarnya pada sang ayah kemarin, kembali melecut semangat Raline.

Apa yang terjadi, terjadilah.

Mau kerja apapun, terserahlah asal halal dan ada uangnya.

Yang penting, ia mau usaha.

Hasil akhirnya, biar Tuhan saja yang memperhitungkannya.

Soalnya, masalah hitung menghitung, dirinya memang parah.

Jadi, daripada salah hitung lebih baik ia menyerah saja.

Kalau Tuhan yang turun tangan, alamat aman semua. Bukankah Tuhan itu Maha adil dan sempurna? 

Setelah berdialog dengan dirinya sendiri, Raline kembali semangat 45.

Ia melanjutkan langkah ke trotoar. Lebih baik ia menunggu angkutan umum di halte depan. Ia akan kembali mencoba melamar pekerjaan di sekitar jalan Gatot Subroto. 

Di sana banyak sekali perkantoran-perkantoran elit.

Mudah-mudahan saja, di antara puluhan kantor yang berjejer, ada satu yang mau menerimanya.

Jikalau tidak menjadi tenaga marketing seperti yang diinginkannya, menjadi OG pun dirinya rela.

Yang penting, ada gajinya.

OG itu juga pekerjaan penting. Bayangkan, akan jadi apa sebuah kantor kalau tidak ada OG-nya? Riweuh bukan?

Jadi, kedudukan OG dan staff kantor itu sama pentingnya. Yang berbeda cuma di masalah gajinya. Titik.

Ternyata, halte dalam keadaan sepi.

Suasana siang bolong yang terik seperti ini, pasti membuat orang-orang lebih memilih berdiam diri di rumah atau kantor. Tidak seperti dirinya yang harus hilir mudik berganti kendaraan umum demi melamar pekerjaan. 

Cuaca yang panas membuat Raline berkeringat. Aliran air yang keluar dari pori-pori tubuhnya membuat dalamannya lembab.

Istimewanya, ia mengenakan setelah blazer berbahan tweed. Panasnya luar biasa!

Rambutnya pasti juga sudah lepek karena keringat.

Ditambah, rasa lapar yang memilin-milin perutnya Raline merasa sungguh tersiksa.

Menjadi orang miskin seperti ini rupanya. Pantas saja banyak sekali orang yang melakukan kejahatan demi uang, agar bisa hidup enak. Contohnya adalah para koruptor dan yah, ayahnya sendiri. Ia harus jujur dalam hal ini.

"Akhirnya bisa makan juga. Alhamdullilah." Kursi Raline bergoyah pelan. Seorang remaja laki-laki berkostum badut, duduk di sebelahnya.

Remaja laki-laki itu menenteng sebuah bungkusan.

Ketika bungkusan itu dibuka, isinya adalah nasi bungkus es teh manis, dan air putih.

Es teh manisnya dibungkus plastik berembun dan diikat karet gelang. Begitu juga dengan air putihnya. Raline iseng melongok isinya.

Glek!

Raline menelan ludah melihat sang remaja menggigit sisi plastik dan minum es teh manis dengan rakus.

Sejurus kemudian, giliran perut Raline yang bergemuruh.

Bagaimana perutnya tidak berbunyi?

Sang remaja lelaki membuka nasi bungkusnya yang harum. Seketika aroma rendang sapi yang khas berlalu-lalang di penciumannya.

"Mari makan, Kak." Sang remaja putra berbasa-basi saat akan makan. 

"Silakan, Dik." Raline menjawab singkat.

Pandangannya ia jaga dengan hati-hati agar tidak memandang isi daun sang remaja. Beberapa saat kemudian, perutnya kembali bergemuruh. Dirinya memang lapar. Tadi pagi ia memang tidak sempat sarapan, saking semangatnya ingin mencari pekerjaan. Ditambah melewatkan makan siang, perutnya kini benar-benar merintih kelaparan.

 "Kakak lapar?" tanya sang remaja putra menatap Raline penasaran.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia   118. Akhir Bahagia.

    "Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka

  • Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia   117. Mengagumi buah hati.

    Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge

  • Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia   116. Lahirnya Generasi Baru.

    Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k

  • Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia   115. Perjuangan Melahirkan.

    "Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend

  • Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia   114. Kepanikan Calon Ayah.

    "Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn

  • Nona Badut itu Ternyata Istri Mafia   113. Menanti Lahirnya Jagoan.

    Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status