Share

4. Memulai Rencana

Axel menatap Raline malas. "Ya tidak bagaimana-bagaimana. Kita harus masuk tentu saja. Satu hal yang harus lo ingat. Kalo gue tidak meminta lo bicara, jangan bersuara. Paham?"

"Oke. Sebelum gue bisu, gue kasih tahu lo satu hal. Nama aki-aki rentenir itu Pak Riswan. Lo jangan lupa lagi." Raline memperingatkan Axel.

"Katanya aja mafia? Masa mafia bisa lupa nama orang? Kagak pantes amat lo menyandang julukan seorang mafia," gerutu Raline.

"Eh mafia itu kerjanya membunuh orang. Bukan menghapal nama orang. Paham lo?" Axel panas karena terus diceng-cengi oleh Raline.

"Iya... iya... gue cuma mengeluarkan pendapat sebelum jadi orang bisu ntar di dalem. Gue turun dulu. Mau buka pager." Raline membuka pintu mobil. Ia bermaksud melebarkan pintu gerbang. 

"Kagak usah!" bantah Axel.

"Lah, kagak usah jadi kita masuknya lewat mana? Terbang? Berubah jadi semut?" Raline lama-lama emosi juga karena semua kalimatnya dibantah oleh Axel.

"Kagak perlu lo yang turun maksud gue. Sejak lo setuju jadi istri gue, maka gue akan memperlakukan lo selayaknya seorang istri. Istri gue akan gue perlakukan kayak ratu, bukan babu." 

Axel turun dari mobil dan melebarkan pintu gerbang.

Kalau menuruti kebiasaan, ia akan menerjang saja pintu gerbang ini dengan mobil hingga terbuka.

Namun, Axel sadar.

Saat ini, ia harus berperilaku baik. Bagaimanapun, jeleknya prilaku kedua orang tua Raline. Namun, keduanya tetap akan menjadi calon mertuanya.

Untuk itu, ia akan menghormati keduanya sebagai orang yang telah menyebabkan calon istrinya ada di dunia ini. Baginya adab pada orang yang lebih tua, adalah wajib. 

Sementara Raline yang masih berada di dalam mobil, menyusuti air mata yang tiba-tiba saja mengalir bagai air bah.

Seumur hidupnya, ia tidak pernah diperlakukan sehormat ini sebagai seorang perempuan.

Dipuji cantik, sering.

Namun, tujuan orang yang memujinya rata-rata busuk.

Mereka merayunya karena ingin mendapatkan akses memiliki tubuhnya.

Diperlakukan manis, sering juga. Tapi lagi-lagi ada pamrihnya. Ujung-ujungnya mereka ingin menidurinya. 

Sementara Axel berbeda.

Axel memujinya tanpa bermaksud mencari keuntungan darinya.

Axel dingin namun menghargainya.

Hal ini yang tidak ia dapatkan dari laki-laki yang ada di sekelilingnya. 

Kalau Aksa dan Heru, mereka berdua menyayanginya. Bukan mencintainya. Mereka menganggapnya adik dan bagian dari keluarga besar. Raline tidak bisa menyalahkan keduanya.

Tapi Axel ini? Lihatlah!

Betapa gentlenya seorang mafia gahar ini membuka pintu pagar rumahnya. Menegaskan padanya bahwa istrinya akan ia hormati dan perlakukan selayaknya seorang ratu. Bukan babu.

Bagaimana Raline tidak terharu? Inilah yang ia inginkan dari laki-laki yang akan menjadi imamnya. Menghormatinya dan syukur-syukur mencintainya. 

 "Ke mana saja kamu seharian ini hah?" Raline nyaris terjungkal kala ayahnya membentak kasar.

Ia kaget. Untungnya, ia masih sempat meraih pegangan pintu. Akan sangat memalukan kalau ia terjerembab seperti katak lompat di depan semua orang. 

Saat ini yang tampak dalam penglihatan Raline adalah ayah dan ibunya, Pak Riswan serta dua orang bodyguard si aki-aki yang biasa.

Ayah dan ibunya duduk bersisian di sofa.

Sementara Pak Riswan duduk di hadapan kedua orang tuanya.

Kedua bodyguard Pak Riswan masing-masing berdiri di belakang sofa dalam posisi siaga. Sepertinya Pak Riswan tengah mengintimidasi kedua orang tuanya.  

Raline tidak langsung menjawab pertanyaan ayahnya. Melainkan ia menatap Pak Riswan dengan pandangan penuh kebencian.

Ketika tatapan Raline bersirobok dengan Pak Riswan di udara, si tua bangka itu mengedipkan sebelah matanya mesum. 

Raline memelototi Pak Riswan.

Dulu, ia memang takut pada Pak Riswan. Makanya, Raline tidak pernah menatap mata Pak Riswan secara langsung. 

Tapi, kali ini beda! Sudah ada Axel yang berdiri di sampingnya. Bersama Axel, Raline tidak takut terhadap apapun lagi.

"Raline mencari uang, Yah. Ayah jangan marah-marah terus. Duduk dulu, Yah. Nanti darah tinggi Ayah naik lagi. Kita sedang tidak punya uang ke rumah sakit bukan?" 

Setelah memberi tatapan peringatan kepada Pak Riswan, Raline bergegas menghampiri ayahnya.

Ayahnya berdiri sembari memegangi dada.

Raline takut kalau ayahnya kolaps lagi. Dalam sebulan ini, sudah dua kali ayahnya kolaps karena tensinya melonjak. Ia sampai harus menjual tas branded terakhirnya demi membawa ayahnya ke dokter.

"Mencari uang katamu? Lantas mana uangnya?" Pak Adjie menepis tangan Raline. Selain marah, sesungguhnya ia juga cemas.

Seharian putrinya ini tidak pulang-pulang.

Ponselnya juga tidak aktif.

Bagaimanapun, Raline itu putrinya. Ia takut kalau putrinya yang naif ini mendapat masalah di luar sana.

Belum lagi, Pak Riswan yang mengamuk karena mengira dirinya bersekongkol dengan Raline untuk mengelakkan perjodohan.

Dan kini pulang-pulang putrinya malah membawa seorang laki-laki bule?

Ia sangat antipati pada bule. Karena di masa lalu, putrinya ini sudah pernah ditipu oleh seorang bule. Bagaimana ia tidak makin jengkel karenanya?

"Bule ini siapa?" Pak Adjie menunjuk Axel. 

"Ini Mas Axel, Yah. Sebagai informasi Mas Axel bukan bule original. Tapi bule KW. Kata Lily, almarhum papanya saja yang orang Prancis. Kalau mamanya mah asli Ciamis." Raline mengedit tuduhan ayahnya. 

"Mau original, mau KW, tetap saja judulnya bule. Apa kamu tidak kapok pernah ditipu bule?" sembur Pak Adjie gusar. Putrinya ini memang susah diajak berbicara serius. Kekurangancerdasannya lah yang kerap membuat putrinya ini mudah dipengaruhi dan ditipu.

"Tapi sepertinya Ayah pernah melihat wajah orang ini. Tapi, entah di mana, ya?" Pak  Adjie mengerutkan kening.

Ia mencoba mengingat-ingat di mana ia melihat wajah bule dingin ini. Tatapan mata sang bule begitu mengintimidasi. Ada aura sangar yang menguar dari raut wajahnya.

Pak Adjie mengalihkan tatapan. Ia ngeri memandang sang bule. Tatapan mata bule ini jelas menyiratkan ancaman tanpa kata-kata. Siapa dia?

Beda lagi dengan Pak Riswan. Nyalinya langsung ciut ketika mendengar Raline menyebut nama Axel.

Ternyata, dugaannya benar.

Bule gahar ini adalah anak almarhun Pierre Delacroix Adams. Kakak angkat almarhum Texas Delacroix Bimantara, sahabat lamanya. 

 Walau semua orang mengenal Axel sebagai anak kandung Pierre, sesungguhnya Axel adalah anak kandung Texas.

Aimee, ibu Axel, sebelumnya adalah pacar Texas sebelum menikah dengan Pierre. Rahasia ini hanya segelintir orang yang tahu. Sebelum Texas tewas tertembak karena mencoba menyerang Lily, sahabatnya itu sempat memberitahu rahasianya.

 Sebenarnya, Pak Riswan telah mempunyai prasangka, kala menatap wajah dingin si bule. Garis wajahnya bagai pinang dibelah dua dengan Texas. Namun, ia masih berharap semoga dugaannya salah. 

Tapi ketika Raline menyebut nama Axel dan Lily, Pak Riswan seketika loyo.

Nama anak-anak Pierre memang Axel dan Lily. Dulu, ia pernah beberapa kali bertemu dengan anak-anak Pierre, kala ia menemani Texas mengunjungi kakak angkatnya.

Saat itu, Pierre belum tewas. Texas menembak kakak angkatnya sendiri karena cemburu. Waktu berlalu begitu cepat. Axel sekarang sudah sedewasa ini.

Nama Delacroix Adams sendiri adalah nama yang paling menakutkan dalam dunia hitam. Tiga generasi Delacroix Adams, terkenal bengis kalau diusik. Dimulai dari Javier, Pierre dan kini Axel.

Sepertinya, niatnya memperdaya Pak Adjie agar bisa memperistri Raline, tidak akan terwujud.

Putra Texas ini sudah menandai daerah teritorinya. Bersahabat dengan Texas, membuat Pak Riswan khatam dengan karakter sahabatnya itu.

Texas itu kalau sudah punya mau, semua rintangan akan ia terjang. Darah Texas dan Axel sama. Keduanya pasti memiliki karakter yang kurang lebih sama juga.

"Nanyanya satu-satu dong, Yah. Raline bingung kalau pertanyaan Ayah keroyokan begini. Yang mana dulu yang harus Raline jawab? Oh, sepertinya masalah uang saja dulu yang Raline jelaskan. Ayah 'kan suka sekali dengan uang." 

 Raline menjentikkan jari dengan gembira. Ia bangga atas ide cemerlang yang tiba-tiba saja singgah di benaknya. Ayahnya pasti tidak jadi marah kalau dirinya membahas masalah uang. 

"Ayah tadi tanya mana uang yang Raline cari bukan? Nah, ini uangnya." Raline menepuk-nepuk saku celana Axel dengan senyum lebar. 

"Lo biasa naroh uang di saku yang mana? Saku celana atau saku jas?" bisik Raline lirih.

"Di saku jas." Axel balas berbisik lirih. Ia memang selalu membawa cek di saku jasnya untuk pembayaran dalam jumlah besar. Di saku celana, ia mengisi dompet dengan uang cash beberapa lembar  dan beberapa kartu sekedarnya saja.

"Oke, gue ngerti." Raline mengangguk takzim. Kalimatnya salah. Untuk itu ia akan mengulanginya lagi.

 "Di sini uangnya, Yah. Raline salah tunjuk." Raline menepuk-nepuk saku jas Axel dengan bangga.

 "Apa maksudmu, Line?" Pak Adjie meremas rambut frustasi. Putrinya ini sedang kambuh onengnya. Lain yang ia tanya, lain juga yang ia jawab. 

 "Maksud Raline, Mas Axel ini membawa uang dua--"

 "Biar saya saja yang akan menjelaskan semuanya." Axel mendekat dan dengan cepat memotong kata-kata Raline. Ia juga mengganti kata gue dengan saya. Bagaimanapun tidak respeknya dirinya pada orang tua Raline, tetap saja mereka berdua akan menjadi mertuanya. Adab harus ia utamakan.

"Saya Axel Delacroix Adams. Saya akan membayar hutang Anda pada orang ini sebesar dua milyar, beserta bonus bunga dari saya; calon menantu Anda." Axel menunjuk Pak Riswan saat mengucapkan kata orang ini.

"Hah, bayar hutang? Calon menantu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status