"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim.
"Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.
Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?
"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya.
Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!
"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran.
"Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja.
Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta.
"Oh, Kakak tidak punya uang? Masa sih? 'Kan Kakak orang kaya?" Sang remaja mencebikkan bibirnya.
Sepertinya ia tidak mempercayai ucapan Raline.
Wajar, saat ini Raline mengenakan set blazer tweed merek Chanel.
Penampilannya meneriakkan hoyang kayah.
Tas chanel maxinya saja yang kw.
Itu pun mirror quality. Alias satu banding satu dengan aslinya. Tas-tas branded authenticnya semua telah ia jual demi membayar bunga dari hutang-hutang ayahnya. Itu pun masih belum cukup.
"Kakak memang orang kaya. Tapi itu dulu." Raline mengangkat bahu pasrah. Dirinya dulu memang kaya bukan? Walau dulunya hanya beberapa bulan lalu, tapi tetap saja namanya dulu.
"Dulu? Lantas kenapa Kakak sekarang jadi miskin? Kakak boros ya?" Sang remaja putra menuduh. Ia kemudian mencuci tangan dengan plastik yang berisi air putih. Melipat sisa makanannya ke dalam plastik dan melemparkannya ke tong sampah di samping halte.
"Kenapanya bukan karena satu hal, Dik. Tapi banyak. Kakak boros iya. Orang tua Kakak banyak hutang iya. Gaya hidup kami yang borjuis iya juga. Pokoknya banyak lah." Raline berdecak. Perutnya kembali berbunyi tidak tahu diri.
"Kakak lapar 'kan? Saya ada sisa uang. Saya belikan makanan mau?" tawar sang remaja putra.
"Kenapa kamu menawarkan membelikan makanan untuk Kakak? Memangnya kamu banyak duit apa? Sepenglihatkan Kakak kamu juga orang susah." Raline menjebi.
"Saya ingin membelikan makanan untuk kakak bukan karena saya kaya. Tetapi karena saya tahu bagaimana rasanya lapar tapi tidak mempunyai uang untuk membelinya," cibir sang remaja putra.
"Oh. Tapi tidak usah. Kakak tidak mau menerimanya kalau Kakak tidak bekerja." Raline menggeleng keras.
"Eh tapi Kakak ada ide." Raline tersenyum manis. Ketika ia melihat wajah sang remaja putra yang diwarnai bagai pelangi dan hidung bulat merahnya, ia mendapat ide segar.
"Kakak boleh tidak meminjam pakaian badutmu dan juga aksesorisnya. Juga cat untuk merias wajah sepertimu. Boleh tidak?" Raline memberikan tatapan memohon pada sang remaja putra.
"Kakak yang cantik begini ingin menjadi badut?" Sang remaja putra mengerutkan kening.
Ia tidak yakin kalau gadis cantik di hadapannya ini ingin menjadi badut seperti dirinya.
"Untuk saat ini, iya. Kakak sedang sangat membutuhkan uang. Kakak sudah capek melamar pekerjaan tapi terus ditolak. Mungkin karena Kakak dianggap tidak kompeten untuk bekerja. Kalau menjadi badut begini 'kan tidak butuh keahlian. Yang dibutuhkan hanya berani malu, bertingkah lucu dan panas-panasan. Betul tidak?" Raline yang sedang hopeless memutuskan akan menjadi badut saja.
Setidaknya, pekerjaannya halal dan orang-orang tidak akan mengenalinya nantinya.
Dengan begitu, dirinya tetap akan mendapatkan uang. Namun, tidak mempermalukan nama besar keluarganya.
"Kalau Kakak mau, saya bisa saja sih membawa Kakak menemui Bang Ali," ucap sang pemuda antara yakin dan tidak yakin. Ia masih belum percaya kalau kakak cantik ini mau menjadi badut yang harus menahan malu, panas dan lelah luar biasa.
"Bang Ali itu siapa?" Raline penasaran.
"Bang Ali adalah pemilik sanggar Janji Jiwa. Sanggar yang bergerak dibidang tari, pantomin dan seni lainnya. Bang Ali lah yang selama ini membantu kami, anak-anak jalanan untuk bertahan hidup. Misalnya dengan mengajari kami menjadi badut dalam acara-acara ulang tahun dan event-event tertentu. Mengajari kami menyanyi dan menari dalam acara-acara penikahan dan lain sebagainya. Intinya kami harus bekerja untuk bertahan hidup. Bukan dengan cara mengemis."
Wah! Pemilik sanggar ini berhati mulia, batin Raline takjub.
"Boleh. Kakak tertarik untuk bekerja dengan Bang Ali. Kamu mau mengantarkan Kakak pada Bang Ali?"
"Boleh saja, Kak. Tapi Kakak sudah siap menjadi badut tidak? Kata Bang Ali menjadi badut itu tidak mudah dan sesungguhnya menyedihkan."
"Menyedihkan? Kenapa? Bukankah badut selalu membuat orang-orang senang?"
"Itu dia. Sesungguhnya menjadi badut itu menyedihkan. Karena ia tertawa di luar namun ia menangis di dalam. Kakak sanggup tidak?"
Ketawa di luar, menangis di dalam?
Memang seperti itulah dirinya selama ini.
Ia tidak perlu berperan. Ia hanya menjalani hari-harinya seperti biasa. Bedanya orang-orang tidak akan mengenali wajahnya. Batin Raline."Tentu saja siap, Dik. Ayo kita temui Bang Ali. Oh ya, nama Kakak Raline. Namamu siapa?"
"Panggil saja saya badut sedih."
"Heh, Cecev Saklitinov. Ponakan lo bapaknya orang Rusia ya?" Axel bersiul. Hebat juga adik Kang Endang ini bisa mendapatkan suami orang Rusia. Karena sepengetahuannya keluarga Kang Endang itu suku Sunda. "Bukan, Boss. Adik ipar saya teh namanya Mulyono, orang Jawa. Mana ada orang Rusia panggilannya si Mul?" Kang Endang meringis."Lah, itu namanya kenapa Cecev Saklitinov? Cecev-nya huruf V lagi, bukan P," tukas Axel lagi."Itu mah cuma singkatan, Boss. Saklitinov itu teh singkatan dari Sabtu kliwon tiga November kata bapaknya." Kang Endang nyengir."Astaga." Axel menggeleng-gelengkan kepala sementara Bang Raju tersedak kopi. Nama keponakan Kang Endang memang antik."Boss, dicariin Mbak Raline." Bik Sari berlari-lari kecil menghampiri Axel. Nyonya mudanya kebingungan karena tidak menemukan bayinya."Nah, jagoan. Kita sudah dicariin. Kita ke mamamu dulu ya? Nanti Papa akan membawamu ke ruang bawah tanah. Banyak jalan-jalan rahasia yang harus kamu ingat nantinya." Axel mempercepat langka
Axel tak henti-hentinya mengagumi putranya yang baru saja pulang ke rumah. Setelah empat hari lamanya berada di rumah sakit, ini adalah hari pertama sang putra berada di rumah sendiri. Gemas, Axel mengelus jemari putranya. Menghitung jumlahnya yang sempurna dalam ukuran yang sangat mungil. "Bangun dong, jagoan. Masa tidur terus sih? Baru aja minum susu eh sekarang udah tidur lagi. Papa 'kan pengen main sama kamu." Axel menjawil pipi sang putra lembut. Putranya yang saat ini masih tertidur dalam boks bayi, hanya meresponnya dengan erangan khas bayi."Namanya juga bayi umur empat hari, Mas. Kerjaannya kalo nggak minum susu ya molor. Kata dokter anak bayi usia nol sampai satu bulan itu minimal tidur sekitar enam belas jam sehari." Raline yang baru keluar dari kamar mandi memberitahu Axel. "Begitu ya? Ya udah, Xander bobok aja kalau gitu. Papa mau mesra-mesraan dengan mama dulu ya?" Axel mengecup pipi Raline mesra, saat istrinya itu duduk di sudut ranjang."Mas, beneran nggak ilfeel nge
Raline ada di tempat tidur aneh dengan penutup kepala seperti dirinya. Tangan kirinya diinfus sementara hidungnya dipasang selang oksigen. Tubuh Raline ditutupi semacam kain berbahan parasut. Hal aneh yang Axel maksud adalah mengenai ranjang Raline. Ranjangnya memiliki dua penyangga. Di atas penyangga itulah kedua kaki Raline diletakkan. Sementara kedua tangan Raline diletakkan pada pegangan tangan di sisi kanan dan kiri ranjang. Posisi berbaring Raline juga aneh. Ia tidak berbaring dalam posisi tidur telentang. Melainkan setengah duduk dengan kedua kaki terbuka lebar. Axel sebenarnya tidak nyaman melihat posisi Raline seperti ini. Namun ia sadar mungkin inilah posisi orang yang akan melahirkan."Kalo lo mau menemani istri lo melahirkan, jangan banyak protes. Gue udah melakukan prosedur yang benar. Tolong lo jangan mendebat gue di saat yang tidak tepat." Dokter Saka lebih dulu memperingati Axel yang ekspresi wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan. Axel menarik napas panjang dua k
"Dokter, Suster, tolong istri saya!" Axel berteriak keras setelah mobil yang dikendarai Pak Hamid berhenti di parkiran UGD rumah sakit. "Ini petugasnya pada ke mana sih? Masa rumah sakit sebesar ini nggak ada petugasnya? Brankar mana brankar?" Axel meneriaki petugas di ruang UGD."Sabar, Mas. Ini tengah ma--malam. Itu petugasnya juga sudah berlari ke dalam. Pasti mereka akan mengambil brankar. "Raline menenangkan Axel dari dalam mobil."Lama! Ayo, lo gue gendong aja, Istriku. Menunggu petugas membawa brankar, anak kita keburu lahir di dalam mobil," rutuk Axel kesal. Axel membuka pintu mobil. Mengambil ancang-ancang menggendong Raline. Axel tahu Raline pasti sedang kesakitan walau istrinya itu tidak bersuara. Wajah Raline sudah basah oleh keringat dan ia juga terus menggigit-gigit bibirnya. Pasti istrinya itu bersusah payah menahan suara erangan kesakitan agar dirinya tidak khawatir.Namun aksinya urung dilakukan karena petugas rumah sakit sudah menyiapkan brankar. Axel hanya menggend
"Pak Hamid... Pak Hamid... siapkan mobil sekarang!" Axel berteriak keras. Ia cemas melihat Raline yang kesakitan dengan keringat bermanik di dahinya. Padahal kamar diberi pendingin udara. Napas Raline juga pendek-pendek. Kentara sekali kalau Raline tengah kesakitan. "Ada ada, Boss? Oh, Mbak Raline mau ke rumah sakit ya? Saya akan meminta Mas Hamid bersiap-siap." Bik Sari yang melongok ke kamar, dan dengan cepat menarik kesimpulan. Ia segera ke paviliun, untuk membangunkan suaminya. Untung saja ia tadi mengecek stok bahan makanan di dapur, sehingga ia mendengar teriakan Axel. "Mas, tunggu sebentar. Ambil dulu tas gue di lemari." Raline menunjuk lemari tempat ia menyimpan tas serbagunanya. Ia telah menyiapkan tas besar untuk keperluannya di rumah sakit. Axel tidak jadi keluar kamar. Ia membuka lemari yang sebelumnya telah terbuka setengah dengan bahunya. "Peluk leher gue sebentar. Gue mau nyangklongin tas." Axel meraih tas tangan bling-bling kesayangan Raline. Ia kemudian menyandangn
Delapan bulan kemudian.Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun Raline masih belum bisa memejamkan mata. Ia terus membolak-balik tubuhnya di ranjang. Sedari sore tadi perutnya terasa tidak enak. Ia merasa mulas dan begah. Kandung kemihnya juga acapkali penuh. Makanya ia bolak-balik ke kamar mandi."Gue kebanyakan makan rujak kali ya?" Raline meringis. Tadi siang ia memang memakan rujak yang dikirim oleh Lily. Perutnya sekarang mengencang diikuti rasa sakit yang menusuk. "Apa gue mau melahirkan ya? Tapi 'kan belum jadwalnya? Kata si Saka sekitar lima hari lagi." Raline mengelus-elus perut buncitnya."Gue coba ke belakang aja deh. Siapa tahu gue cuma mules karena mau buang air." Bersusah payah, Raline beringsut dari ranjang. Hamil tua begini membuat gerakannya sangat terbatas. Raline menghabiskan waktu lima belas menit di toilet. Ia memang buang air. Tapi rasa mulas di perutnya tidak juga berkurang."Apa gue nelpon Mas Axel aja ya? Tapi dia 'kan lagi ada pertemuan dengan Bang