Share

7. Badut

"Tidak!" jawab Raline cepat sambil mengangguk takzim. 

"Tidak, tapi kok ngangguk?" sang remaja menjinjitkan alis.

Raline menggigit bibit. Dirinya memang cenderung kesulitan jikalau harus berbohong. Istimewa keadaannya sedang lapar begini. Kalau orang sedang lapar, otak cenderung tidak bisa diajak berpikir bukan?

"Sesungguhnya Kakak memang lapar. Tapi--" Raline menghentikan kalimatnya.

Tidak! Dirinya tidak boleh mengeluh. Bukankah dirinya semalam begitu jumawa mengaku akan berjuang? Masa baru cobaan seiprit begini dirinya sudah menyerah? Tidak bisa!

"Tapi...?" Sang remaja putra menanti jawaban. Kedua matanya yang digambari dengan cat hitam tebal menatap dengan penasaran.

"Tapi Kakak belum punya uang untuk membeli makanan. Uang Kakak hanya cukup untuk ongkos mencari pekerjaan." Raline memutuskan untuk jujur saja.

Otaknya tidak sampai, kalau harus berbohong yang panjang-panjang. Dirinya sedang malas berpikir. Yang penting dia 'kan tidak minta-minta.

"Oh, Kakak tidak punya uang? Masa sih? 'Kan Kakak orang kaya?" Sang remaja mencebikkan bibirnya.

Sepertinya ia tidak mempercayai ucapan Raline.

Wajar, saat ini Raline mengenakan set blazer tweed merek Chanel.

Penampilannya meneriakkan hoyang kayah.

Tas chanel maxinya saja yang kw.

Itu pun mirror quality. Alias satu banding satu dengan aslinya. Tas-tas branded authenticnya semua telah ia jual demi membayar bunga dari hutang-hutang ayahnya. Itu pun masih belum cukup.

"Kakak memang orang kaya. Tapi itu dulu." Raline mengangkat bahu pasrah. Dirinya dulu memang kaya bukan? Walau dulunya hanya beberapa bulan lalu, tapi tetap saja namanya dulu. 

"Dulu? Lantas kenapa Kakak sekarang jadi miskin? Kakak boros ya?" Sang remaja putra menuduh. Ia kemudian mencuci tangan dengan plastik yang berisi air putih. Melipat sisa makanannya ke dalam plastik dan melemparkannya ke tong sampah di samping halte. 

"Kenapanya bukan karena satu hal, Dik. Tapi banyak. Kakak boros iya. Orang tua Kakak banyak hutang iya. Gaya hidup kami yang borjuis iya juga. Pokoknya banyak lah." Raline berdecak. Perutnya kembali berbunyi tidak tahu diri.

"Kakak lapar 'kan? Saya ada sisa uang. Saya belikan makanan mau?" tawar sang remaja putra.

"Kenapa kamu menawarkan membelikan makanan untuk Kakak? Memangnya kamu banyak duit apa? Sepenglihatkan Kakak kamu juga orang susah." Raline menjebi.

"Saya ingin membelikan makanan untuk kakak bukan karena saya kaya. Tetapi karena saya tahu bagaimana rasanya lapar tapi tidak mempunyai uang untuk membelinya," cibir sang remaja putra.

"Oh. Tapi tidak usah. Kakak tidak mau menerimanya kalau Kakak tidak bekerja." Raline menggeleng keras. 

"Eh tapi Kakak ada ide." Raline tersenyum manis. Ketika ia melihat wajah sang remaja putra yang diwarnai bagai pelangi dan hidung bulat merahnya, ia mendapat ide segar.

"Kakak boleh tidak meminjam pakaian badutmu  dan juga aksesorisnya. Juga cat untuk merias wajah sepertimu. Boleh tidak?" Raline memberikan tatapan memohon pada sang remaja putra.

"Kakak yang cantik begini ingin menjadi badut?" Sang remaja putra mengerutkan kening.

Ia tidak yakin kalau gadis cantik di hadapannya ini ingin menjadi badut seperti dirinya.

"Untuk saat ini, iya. Kakak sedang sangat membutuhkan uang. Kakak sudah capek melamar pekerjaan tapi terus ditolak. Mungkin karena Kakak dianggap tidak kompeten untuk bekerja. Kalau menjadi badut begini 'kan tidak butuh keahlian. Yang dibutuhkan hanya berani malu, bertingkah lucu dan panas-panasan. Betul tidak?" Raline yang sedang hopeless memutuskan akan menjadi badut saja.

Setidaknya, pekerjaannya halal dan orang-orang tidak akan mengenalinya nantinya.

Dengan begitu, dirinya tetap akan mendapatkan uang. Namun, tidak mempermalukan nama besar keluarganya. 

"Kalau Kakak mau, saya bisa saja sih membawa Kakak menemui Bang Ali," ucap sang pemuda antara yakin dan tidak yakin. Ia masih belum percaya kalau kakak cantik ini mau menjadi badut yang harus menahan malu, panas dan lelah luar biasa. 

"Bang Ali itu siapa?" Raline penasaran.

"Bang Ali adalah pemilik sanggar Janji Jiwa. Sanggar yang bergerak dibidang tari, pantomin dan seni lainnya. Bang Ali lah yang selama ini membantu kami, anak-anak jalanan untuk bertahan hidup. Misalnya dengan mengajari kami menjadi badut dalam acara-acara ulang tahun dan event-event tertentu. Mengajari kami menyanyi dan menari dalam acara-acara penikahan dan lain sebagainya. Intinya kami harus bekerja untuk bertahan hidup. Bukan dengan cara mengemis."

Wah! Pemilik sanggar ini berhati mulia, batin Raline takjub.

"Boleh. Kakak tertarik untuk bekerja dengan Bang Ali. Kamu mau mengantarkan Kakak pada Bang Ali?"

"Boleh saja, Kak. Tapi Kakak sudah siap menjadi badut tidak? Kata Bang Ali menjadi badut itu tidak mudah dan sesungguhnya menyedihkan."

"Menyedihkan? Kenapa? Bukankah badut selalu membuat orang-orang senang?"

"Itu dia. Sesungguhnya menjadi badut itu menyedihkan. Karena ia tertawa di luar namun ia menangis di dalam. Kakak sanggup tidak?"

Ketawa di luar, menangis di dalam?

Memang seperti itulah dirinya selama ini.

Ia tidak perlu berperan. Ia hanya menjalani hari-harinya seperti biasa. Bedanya orang-orang tidak akan mengenali wajahnya. Batin Raline.

"Tentu saja siap, Dik. Ayo kita temui Bang Ali. Oh ya, nama Kakak Raline. Namamu siapa?"

"Panggil saja saya badut sedih."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status