Sentuhan panas di kulitnya membuat tubuh Celia bergetar. Kelopak matanya berat, tapi napas berat pria di atasnya terdengar jelas di telinganya. Gerakannya perlahan namun mantap, hingga—
"Aargh!" teriak Celia, tubuhnya menegang. Sakit menyayat di antara pahanya saat sesuatu yang asing menerobos masuk.
Morgan mematung sejenak. "Sial, kau masih perawan?" suaranya parau, tercampur rasa bersalah dan bingung. Ia tak menyangka wanita cantik yang ia pikir cuma pemuas malam itu ternyata belum pernah disentuh lelaki.
Dia memicingkan mata, menatap Celia yang tampak kesakitan di bawahnya. Sekilas, rasa ragu muncul, tetapi hasrat terlalu mendominasi. "Aku akan memberimu kompensasi besar," ucapnya cepat, sebelum kembali membenamkan dirinya dalam tubuh gadis itu.
Napas mereka berpacu. Morgan tidak bisa berhenti. Dia menyukai cara Celia memanggilnya dengan suara manja, “My Honey Bee,” di tengah kenikmatan. Baginya, dia seperti lebah jantan yang menemukan bunga paling segar.
Beberapa kali dia kembali menuntaskan gairahnya pada Celia. Kulit putih susu itu dipenuhi jejak ciuman dan gigitan. Tubuhnya begitu menggoda, membuat Morgan, pria yang dikenal dingin dan tertutup dalam hubungan, tak bisa berhenti.
Keringat membasahi tubuh keduanya saat dia menekan kuat untuk terakhir kalinya, melepaskan dirinya jauh di dalam Celia. Gadis itu menggeliat kesakitan, namun tak bersuara. Lelah dan mabuk, hingga membuat Celia tertidur pulas di samping Morgan.
Morgan mencium bibir mungil Celia yang tampak cemberut dalam tidurnya, lalu bangkit, berjalan ke kamar mandi. Sebelum pergi, dia kembali ke sisi gadis itu, mencium keningnya dan berbisik, “Kau milikku sekarang. Dan besok, aku akan memintamu menjadi istriku.”
**
Cahaya pagi menembus tirai. Celia terbangun dengan tubuh sakit dan nyeri, terutama di bagian intimnya. Dia terperanjat. Kulitnya telanjang di bawah selimut. Sepasang lengan kekar melingkari tubuhnya erat. Dadanya berdebar kencang saat sesuatu yang keras menyentuh pahanya.
'Ya Tuhan… apa yang terjadi?!'
Celia berusaha melepaskan diri. Dia tak tahu siapa pria di sampingnya. Yang dia ingat, hanya mabuk karena begitu kecewa dengan Austin dan Esmeralda.
Dalam kegugupan, dia meraih gaun merah kusutnya dan mengenakannya kembali. Tak sadar gelang emas berhias zamrud jatuh dari pergelangannya ke kasur.
Dengan sepatu di tangan, dia melangkah diam-diam keluar kamar night club mewah itu. Napasnya memburu, jantungnya seperti mau pecah. Apa yang dia lakukan semalam?!
Di luar, dia cepat-cepat naik taksi. Malam tadi dia ke tempat itu karena undangan dari nomor tak dikenal, dan memergoki sendiri pengkhianatan Austin. Sekarang, dia pulang dengan tubuh ternoda dan hati porak-poranda.
Taksi berhenti di gerbang rumah besar keluarga Richero. Celia turun cepat dan petugas keamanan segera membukakan gerbang. Dia melangkah masuk dengan tubuhnya yang masih berantakan: dress kusut, rambut awut-awutan dan lebih parahnya lagi ada jejak bekas ciuman pria asing menghiasi kulitnya!
“Celia!” suara Esmeralda melengking dari ruang tengah, mengagetkan Celia yang baru menjejak anak tangga menuju lantai dua.
Semua mata berbalik menatapnya. Tamu-tamu di ruang tengah, termasuk orang tua Austin, memandangi penampilannya yang kacau.
“Apa kau tidak ingin menyapa Mr. Brian dan Mrs. Olivia Robertson?” sindir Esmeralda, suaranya tajam.
“Mungkin nanti,” jawab Celia pelan, canggung.
Namun, Esmeralda meraih tangannya, menyeret Celia ke tengah ruangan. Semua mata menyapu tubuhnya. Dress terbuka itu tak bisa menyembunyikan bekas gigitan dan ciuman.
Terlalu hina.
“Jadi kau memilih Esmeralda, bukan Celia?” tanya Olivia kepada Austin, matanya jijik menatap Celia.
Austin hanya mengangguk santai. “Iya. Aku tak bisa menikahi perempuan liar. Esme lebih pantas jadi istriku.”
Kata-kata itu seperti pisau. Celia menatap Austin dengan mata berkaca. Bibirnya bergetar.
Tak tahan lagi, dia berlari naik ke kamarnya.
Tangisnya pecah, hatinya hancur. Cinta tiga tahunnya dibuang begitu saja, tetapi yang lebih parah adalah ia sudah kehilangan segalanya dalam satu malam. Kehormatan, cinta, dan harga diri.
"Mom, aku tidak bisa menemukan kaca mata renangku!" ucap Calista saat memasuki kamar Celia dan Morgan. Gadis cilik itu kini berusia sepuluh tahun dan mewarisi kecantikan ibunya."Sepertinya nanti kita membeli satu di minimarket bandara atau outlet di sana saja. Kali ini kita beramai-ramai naik pesawat komersil untuk pergi berlibur sekeluarga ke Bora-Bora!" jawab Celia sembari menarik risleting kopernya di atas kasur.Morgan mengangguk setuju, dia mendukung Celia dan berkata, "Kita hampir terlambat, Calie. Ayo turun ke bawah!" Gadis berwajah imut itu memutar bola matanya kesal. Seharusnya dia mencari kaca mata berenang itu kemarin bukannya asik main game online. Sayangnya, papa mamanya benar, mereka tidak boleh ketinggalan pesawat. Bisa-bisa kedua kembarannya ditambah dua sepupunya menghajarnya beramai-ramai.William dan Vesper, putri Esmeralda yang berjarak usia dua tahun dari kakaknya itu telah duduk manis di tangga teras menunggu waktu mereka berangkat ke bandara."Akhirnya, semua
Keesokan harinya Austin terbang langsung ke Boston. Dia ingin menemui ibunya terlebih dahulu. Tiga tahun ditambah masa hukumannya nyaris sepuluh tahun mereka tidak bertemu. Austin juga tidak mengirim surat apa pun. Dari bandara dia naik taksi menuju rumah warisan keluarga Robertson. Paman, bibi, dan para sepupunya bercokol di situ. Mereka bukan orang yang mau bekerja keras dan genius sepertinya, tetapi arogan. Maka dari itu Austin membatasi kontak dengan mereka baik dalam kekurangan maupun kelimpahan seperti saat ini."TING TONG!" Bel pintu ditekan sekali oleh Austin. Tak lama seseorang membukakan pintu, seorang gadis remaja menatap Austin dari ujung kepala hingga ujung sepatu fantofel mengkilap yang dikenakannya."Hello, Anda mencari siapa?" sapa gadis itu tak mengenal Austin."Apa Mrs. Olivia Robertson ada?" tanya Austin langsung."Ohh Nenek Olivia, maaf beliau sudah meninggal empat tahun lalu. Makamnya ada di Granary Burrying Ground, Sir. Anda siapa ya?" jawab gadis remaja yang na
Selama tiga tahun penuh Austin mengabdikan dirinya di Evo Market Tech Corporation atau yang biasa disebut EMTech Corp oleh sebagian besar orang awam. Perusahaan market place online shopping itu menjadi pilihan utama bagi para netizen yang mencari barang kebutuhan mereka apa pun bentuknya. Pusat belanja online, pinjaman fintech, booking ticket online, maupun reservasi apa pun bisa melalui EMTech Corp. Hingga suatu hari Tuan Arnold Richero menemui Austin di ruangan CEO karena pria itu telah naik ke puncak tangga karir dengan kemampuannya. "Selamat datang di perusahaan kami, Sir. Apakah ada yang bisa saya bantu?" sambut Austin. Dia menebak bukan hal biasa bila orang sekelas Tuan Arnold Richero mengunjunginya di kantor."Hmm ... aku ingin menyerahkan surat ini. Dikirim oleh Levi Sorrano. Mungkin kau masih ingat bocah itu?" ujar Tuan Arnold Richero sembari meletakkan sepucuk surat beramplop putih panjang di meja sofa.Austin mengucap terima kasih singkat lalu segera membaca isi surat itu
"Selamat untuk hari kebebasanmu, Austin!" ujar Pepe, rekan satu selnya, si mantan pengedar narkoba.Austin tersenyum tipis lalu menjawab, "Terima kasih, Kawan. Jujur aku tak tahu akan melakukan apa selepas dari penjara. Bertahun-tahun hanya makan, tidur, dan tenggelam dalam lamunan!" Ketiga rekannya terkekeh serempak, apa yang dikatakan Austin memang benar. Sebagian besar narapidana pasti akan gamang menjalani kehidupan di luar penjara terutama bagi yang tak punya keluarga atau sanak saudara. Tidak banyak perusahaan yang mau menerima mantan narapidana sebagai karyawan.Sipir penjara menghampiri sel tahanan mereka dan membuka gembok seraya memanggil nama Austin yang dibebaskan dari situ hari ini."Good luck, Austin!" ucap Brett, rekan satu selnya juga sebelum dia melangkah ke luar dari sana.Austin melempar senyuman untuk ketiga mantan rekan satu selnya. Kemudian dia melangkah mengikuti sipir untuk mengambil beberapa barang penting. Sebuah tas ransel pemberian Levi Sorrano dan ibunya
"Andrew, tolong menghadap ke kantor saya sekarang!" panggil Mrs. Alberthina Tortolini, bos pria itu di kantor melalui interkom mejanya."Siap, Ma'am. Saya segera menemui Anda!" jawab Andrew dengan sigap seperti biasa. Pria yang telah mengabdi selama lima tahun di Flex-It Company, sebuah perusahaan distributor alat kebugaran itu pun bergegas memasuki ruang CEO.Wanita yang sangat dihormati oleh Andrew Vinson itu mempersilakan dia duduk di kursi seberang meja kerjanya. "Andrew, aku memanggilmu ke mari karena akan ada perubahan besar di perusahaan ini. Mulai awal bulan depan aku sudah tidak menjadi CEO sekaligus owner di perusahaan ini. Singkat cerita, sahabatku yang bernama Harry Voges membeli Flex-It karena memang aku berencana pindah menetap di New Jersey. Calon suamiku berasal dari sana, kami akan segera menikah bulan depan dan aku ikut tinggal bersamanya!" tutur Madam Bertha dengan wajah penuh kebahagiaan selayaknya wanita yang akan segera menikah.Berkebalikan dengan Andrew Vinson
"Jadi kalian berencana memasak berdua dan direkam videonya secara amatir pagi ini?" tanya Jeff di meja makan sambil mengunyah Rissotto Tuna Melt buatan koki kediaman Richero."Yeah ... konsepnya begitu, kami baru akan mencobanya. Nanti pun harus diedit, dipercepat dari step satu ke step berikutnya agar tidak makan terlalu banyak waktu. Apa kau sedang santai hari ini, Jeff?" balas Morgan yang juga sedang menikmati sarapan bersama-sama.Jeff menganggukkan kepalanya. "Tak ada rencana khusus untuk sementara, kami berdua sudah mulai libur dari rutinitas kerja yang hectic hari ini sampai tanggal 5 Januari nanti!" jawabnya."Bolehkah aku meminta bantuanmu mengawasi kamera dan pencahayaan nanti? Ada tripod, hanya saja mungkin perlu diarahkan ketika kami melakukan pergerakan aktif di area dapur!" ujar Morgan."Serahkan saja kepadaku, kedengarannya seru!" tukas Jeff. Esmeralda pun menyahut, "Apa acara tontonan dadakan gratis ini bisa dinikmati oleh aku dan anak-anak juga?" "Yes, Esme. Anak-an