Pukul lima petang, Gerald sampai di rumah sakit kota Lasster. Sepanjang perjalanan, Giselle sempat terbangun dan mual-mual meskipun tidak memuntahkan apapun sebelum wanita itu tidak sadarkan diri. Sesampainya di rumah sakit, para dokter segera menangani Giselle di sebuah ruangan khusus. Di sana, Gerald masih ditemani oleh Dean dan Sergio. Tampak Gerald mondar-mandir di depan ruangan pemeriksaan. "Sudah dua jam, dan matahari juga sudah bersinar, tapi dokter belum juga keluar," ucap Gerald dengan suara cemasnya, ia menatap ke dalam pintu kaca buram di depannya. Dean mendekat dan menepuk pundak Gerald. "Giselle akan baik-baik saja, Rald. Percayalah..." Gerald terdiam dan mengangguk dengan kedua matanya yang sembab. "Ya, istriku pasti baik-baik saja." Di sana, Sergio duduk di bangku rumah sakit. Ia sibuk dengan ponselnya.Sergio yang mengontrol beberapa orang di luar seperti Stefan, Hendre, dan Reiner untuk setiap tugas masing-masing.Dean mengembuskan napasnya pelan. "Pemuda yang d
Suara rintihan kecil terdengar dari bibir Giselle. Sekujur tubuhnya basah kuyup dan kacau, kaki kirinya sakit tak tertahankan.Sekuat tenaga yang tersisa, Giselle merangkak dengan kedua lututnya melewati sebuah semak-semak hutan di tepian laut yang gelap. Hingga ia menginjak kerikil-kerikil kecil. "Hah ... Hah!" Giselle ambruk dan terbaring di atas kerikil-kerikil itu. "Apakah aku akan mati di sini?" Giselle menatap langit yang gelap. Kedua matanya ia pejamkan perlahan. Giselle merasakan sesuatu mendekatinya. Ia merasakan suara dengkusan napas cepat dan hangat seekor hewan yang kini menjilati wajahnya. Giselle kembali membuka kedua matanya. Ia menatap seekor anjing berwarna cokelat keemasan jenis Golden retriever kini mengendus dan mengitarinya. "Ka-kau tidak memakanku, kan?" lirih Giselle mengusap kepala hewan itu di sela napasnya yang seolah hampir terputus. Sejenak Gerald terdiam, ia teringat apa yang Kal katakan padanya. Ia memiliki seekor anjing di tengah hutan, yang bisa m
Empat mobil mendekati membelah jalanan malam di pesisir pantai Palonia di pukul setengah satu dini hari. Di depan sana, Gerald dan Sergio melihat sebuah tempat tampak terbakar menyala-nyala api. Sergio semakin menaikkan kecepatan mobilnya. "Semoga bukan tempat itu, Tuan," ucap Sergio, suaranya gemetar dan tangannya pun tampak gemetar memegang kemudi mobil. "Tidak mungkin, Sergio!" jawab Gerald. Sergio memutar kemudi mobil berbelok ke arah tempat itu. Di sana, mereka melihat beberapa orang tampak berdiri di depan gubuk terbakar itu dan terkejut melihat siapa yang datang. "Jangan bergerak!" teriakan itu terdengar dari belakang, diikuti suara tembakan yang sangat keras. Gerald menatap sosok Laura di depan sana. Wanita itu tergemap dan ketakutan sambil mengangkat kedua tangannya saat polisi berlari ke arahnya, beberapa polisi juga berlari mengejar para penculik yang berlari. Namun di sana, hanya Kal yang diam dan menyerahkan diri. Meskipun Gerald kini tidak peduli padanya. Gerald
Sepeninggal Kal dari dalam ruangan sempit itu, Giselle duduk di lantai dengan wajah sembab dan tangis terisak-isak. Di tangannya, tergenggam erat pisau lipat yang Kal berikan padanya tadi. Kedua mata Giselle melebar menatap tempat dipenuhi dengan jerami tersebut. Jerami dengan api, pasti mudah terbakar. Jerami, gubuk kayu yang sudah rapuh...'Tidak, aku tidak boleh mati! Aku percaya Kal tidak akan berbohong. Di bawah sini benar-benar ada pintu keluar!' Giselle menangis ketakutan. Dress putihnya benar-benar sangat kotor, penampilannya yang acak-acakan dan Giselle seperti orang gila dikurung dua hari tiga malam di tempat mengerikan ini. Saat rasa panik dan ketakutan menyerang Giselle. Tiba-tiba derap langkah kaki terdengar di sana. Giselle terkesiap saat pintu di hadapannya terbuka. Laura berdiri di sana menatap Giselle dengan tatapan tajam dan marah. "Tamat sudah riwayatmu, Giselle!" ucap Laura dengan wajah memerah.Laura tersenyum smirk dan merogoh saku jaket yang ia pakai dan m
Hari sudah gelap, Gerald dan Sergio kembali ke Palonia. Mereka kini berada di kediaman rekan Asher—rekannya yang berada di kota dingin Palonia. Semua orang berada di dalam rumah megah itu, tetapi tidak dengan Gerald. Ia duduk di depan sendirian, menatap gelapnya malam yang sunyi dan dingin. Kini semua rasa sakit, sedih, dan takut benar-benar terasa nyata. Gerald seperti kehilangan sebagian dari nyawanya, bahkan ia tidak menghubungi Martin untuk bertanya bagaimana Elodie di sana. Gerald ingin segera menemukan Giselle, dalam keadaan hidup dan baik-baik saja. "Rald ... sedang apa kau di sana? Ayo masuk ke dalam, istirahat sebentar," bujuk Dean, ia menepuk pundak Gerald. "Istrinya Asher sudah menyiapkan makan malam untuk kita semua." "Pergilah makan, aku tidak lapar," jawab Gerald. Suara Gerald terdengar berat dan sedih. Dean terdiam menatapnya, tidak mungkin ia meninggalkan sahabatnya yang tengah dirundung kesedihan seperti ini. Dean duduk di samping Gerald, ia menoleh menatap waj
Sementara di tempat lain.Elodie merasa sedih, sudah dua hari ia tidak dijemput oleh Papanya. Bahkan Elodie tidak tahu apakah Mamanya sudah pulang atau belum. Anak perempuan itu berdiri di depan jendela, menatap taman luas yang berada dalam kediaman keluarga Hoopers. Elodie memeluk boneka beruang berwarna putih yang Amara belikan untuknya. "Mama ... Elodie kangen Mama, kenapa Mama tidak pulang-pulang?" lirih anak itu, kedua mata indahnya sudah tampak berkaca-kaca. Elodie menangis tanpa suara dan diam tidak menunjukkan pada siapa-siapa. Meskipun Martin, Amara, dan Kai, serta semua orang di dalam rumah ini sangat baik padanya, tetapi Elodie sangat merindukan Mama dan Papanya. Elodie ingin berkumpul kembali dengan Giselle dan juga Gerald. Dari arah ruangan keluarga, Amara dan Martin menatap Elodie. "Pa, lihatlah Elodie ... Mama tidak tega, dia sejak tadi berdiri di sana dan diam saja," ujar Amara. "Dia pasti sangat merindukan Mamanya, Ma," sahut Martin. "Anak seusianya memang seda