"Kai, kau yakin akan kembali ke Krasterberg malam ini?" Chen mendatangi apartemen Kai setelah Kai menelfonnya. Laki-laki itu tampak mengomelinya dan melihat Kai merapikan barang-barangnya yang akan ia bawa ke Krasterberg. "Kai! Oh ayolah kawan! Bagaimana dengan pekerjaanmu di sini?!" seru Chen menahan kangen Kai. Kai menatapnya tajam. "Kau mau membantuku atau tidak?! Aku ke Krasterberg aku juga punya tujuan, Chen! Ada hal yang jauh lebih penting dari pekerjaanku yang harus aku utamakan!" Kai menjawabnya dengan kesal. Chen terdiam, laki-laki itu mendengkus pelan dan ia tidak mau kaget lagi dengan Kai yang sudah berkeras kepala. "Ya ... maaf, aku pikir karena hal apa kau pulang ke Krasterberg lagi. Sayang karirmu," lirih Chen menatapnya. "Apalagi, pagi tadi ... ramai sekali berita tentang Elodie dan video yang tersebar itu. Aku sangat syok! Gadis sependiam itu..." "Pergilah, Chen!" seru Kai tiba-tiba. Chen sontak menoleh menatapnya. "Ke-kenapa kau main usir-usir saja, hah?! Tadi
Hari sudah malam. Elodie sendirian di dalam apartemen milik Kai. Sore tadi, Amara pulang dijemput oleh sopir, hingga kini Elodie sendirian dan menunggu Kai pulang kerja. Gadis itu duduk diam di dalam kamar Kai. Wajahnya terlihat sendu. "Kenapa Mama dan Papa tidak ke sini? Mereka bilang akan ke sini lagi. Apa Mama dan Papa pergi ke Krasterberg?" gumamnya lirih menoleh ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Elodie menatap gelapnya malam dari balik dinding kaca di kamar itu. Ia mengembuskan napasnya panjang dan merasakan kesepian di sana. Namun, sekuat mungkin Elodie berusaha memastikan kalau ia sangat aman berada di sini dibandingkan di tempat lain. Ia hanya ingin ditemani. Elodie berjalan ke arah nakas kamar. "Mungkin aku harus menelfon Mama," gumam gadis itu. Elodie membuka laci dan ia meraih ponselnya di sana. Gadis itu menyalakan kembali ponselnya yang mati. Saat ponsel itu menyala dan koneksi internet terhubung. Ekspresi wajah Elodie berubah memucat dan te
"Sayang, jangan memegang ponsel dulu untuk beberapa hari ini supaya kau tenang. Kau mengerti?"Kai mengusap pucuk kepala Elodie dengan lembut. Gadis yang hampir kembali ke alam mimpi itu pun terbangun lagi. Elodie membalikkan badannya beralih menatap Kai yang duduk di sampingnya. "Kenapa, Kak?" tanyanya. "Aku memang tidak akan ke sekolah lagi," jawab gadis itu. Kai mengangguk. "Ya, di sini saja dan jangan ke mana-mana. Aku akan menemanimu seharian ini." "Heem." Elodie mengangguk patuh. Kai mengusap pucuk kepala Elodie dan laki-laki itu beranjak dari kamarnya. Ponsel milik Kai terus bergetar. Pesan-pesan masuk dari nomor Elodie yang terhubung ke ponselnya sangat ramai. Kai berdiri di depan kamarnya, ia melihat semua pesan masuk di grup sekolah dan semua teman Elodie melontarkan kata-kata yang tidak pantas, hingga setidaknya ada yang merasa kasihan pada Elodie. Helaan napas panjang terdengar dari bibir Kai. Laki-laki itu menyugar rambut hitamnya dan mendongakkan kepalanya. "Om
Gerald dan Kai telah sampai di apartemen milik Kai. Saat mereka tiba di sana, Gerald mendapati istrinya duduk di tepi ranjang menemani Elodie yang telah tertidur pulas. Gerald berjalan masuk ke dalam kamar itu. Ia menatap hangat wajah Elodie dan istrinya menatapnya dengan mata sembab. "Elodie tidak pulang, Sayang," ujar Giselle pada sang suami. Gerald mengulurkan tangannya mengusap kepala Elodie. Ia mengelusnya dengan lembut dan mengecup kening anak semata wayangnya itu. Lalu, ia menoleh pada Kai. "Kai, semalam saat, boleh Elodie menginap di sini?" Kai mengangguk. "Jangan khawatir, Om. Aku akan menjaganya." Gerald dan Giselle mengangguk percaya. Mereka berdua segera beranjak dari duduknya dan bergegas untuk berpamitan pulang. Setelah itu, Kai kembali mengunci pintu apartemennya. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Ia menyelimuti Elodie dengan hangat. Kai mengelus pipi gadis itu. "Mimpi indah, Sayangku..." Kai berbisik lembut, ia meninggalkan kecupan lembut di pipi
Gerald mendatangi kediaman Robin malam ini. Diikuti oleh Kal dan Kai yang mengejar mobil Gerald di depan sana melaju dengan kecepatan tinggi. Sampai akhirnya mobil hitam milik Gerald berhenti di depan rumah Robin. Gerald turun dari dalam mobil dan ia berjalan menaiki anak tangga teras. Gerald mengetuk pintu rumah itu berulang kali. "Robin...! Buka pintunya!" pekik Gerald, ia sudah diselimuti emosi yang tidak terbendung. Pintu rumah itu terbuka, dari dalam rumah tampak Alissa dan Robin berdiri membuka pintu. "Gerald, tumben sekali kau ke sini malam-malam?" tanya Robin, tersenyum ramah seperti biasa. "Giselle mana?" Alissa tersenyum manis seperti biasa. Gerald tidak menjawabnya. Wajahnya yang kaku dan dingin membuat Alissa menatap suaminya bingung. Dari belakang Gerald, tiba-tiba muncul Kai dan Kai dengan wajah tegang mereka. "Di mana Rafael?!" tanya Gerald dengan nada membentak. "Ra-Rafael..." "Kenapa kau mencari Rafael, Rald?" Robin bingung. "Panggil anak bajinganmu itu, R
"Elodie..." Gerald dan Giselle menoleh ke arah pintu kamar Kai. Gadis itu menatap Kai dengan tatapan yang sulit diartikan. Giselle beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Elodie. Elodie tidak bergerak sedikitpun, rasanya enggan menatap wajah orang tuanya yang sedih seperti ini. "Kenapa tidak pernah bercerita pada Mama dan Papa? Kenapa selama ini kau hanya diam saja, Elodie!" Giselle meremas pundak Elodie dan menangis. Gerald hanya menatap putrinya yang tertunduk menangis. Gadis itu meremas jemari tangannya. "Siapa? Dan temanmu yang mana yang berani melakukan hal itu padamu, Elodie?" Gerald mendekati anaknya. Elodie merasa seperti disudutkan, kedua matanya berkaca-kaca dan gadis itu menangis menggeleng-gelengkan kepalanya.Giselle memeluknya erat, mengelus kepala Elodie. "Jangan takut, Sayang, katakan pada Mama dan Papa. Supaya kami tahu!" seru Giselle menangkup kedua pipinya. Elodie bungkam dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mama dan Papa pasti marah," lirih gadis itu