Setelah acara makan siang, Gerald dan saudara-saudara Papanya juga sepupunya tetap berada di rumah kaca. Sedangkan Giselle menemani Mama mertuanya berjalan-jalan di sekitar taman rumah menuju kediaman utama. Giselle merasa tubuhnya tidak nyaman, selain perutnya yang terasa sakit, kulit tubuhnya juga sangat gatal dan rasanya ia ingin muntah. Wajahnya menjadi sedikit pucat. "Giselle, kau baik-baik saja?" tanya Bella mendekatinya. "O-oh iya, aku tidak apa-apa," jawab Giselle tersenyum. "Benarkah, Nak?" Bibi Mika mendekatinya. Marisa mendengus kesal. "Giselle memang seperti itu, Kak Mika. Jangan kaget dengannya, dia memang anak yang pendiam."Kedua wanita tua lainnya itu ikut tersenyum mendengar apa yang Marisa katakan. Mereka kini berada di taman, berdiri melihat bunga-bunga Hydrangea di taman rumah Marisa yang bermekaran. Warna ungu, merah muda, dan juga biru menghiasi luar taman rumah itu. "Saat Erika hamil si kembar waktu itu, aku sangat khawatir dengannya, Marisa. Aku selalu
Hampir semua Keluarga Gilbert kini berkumpul di kediaman Charles pagi ini. Seperti biasa, setiap tahun mereka selalu mengadakan acara berkumpul bersama. Gerald dan Giselle pun turut dari di sana. Kedatangan mereka disambut dengan baik, termasuk oleh kedua Paman dan Bibinya, juga ada empat sepupu Gerald. Mereka melakukan makan siang bersama di dalam sebuah rumah kaca di taman samping kediaman Charles Gilbert, suasana menjadi sangat hangat dan menyenangkan saat Keluarga Gilbert yang jauh-jauh datang dari Berlington. "Ya ampun, jadi kalian rujuk kembali? Aku sangat ketinggalan kabar ini," ujar Rifan, dia adalah Paman Gerald—Kakak pertama Charles. Gerald mengangguk. "Itu sudah beberapa bulan yang lalu, Paman," jawab Gerald. "Kalau jodoh itu memang tidak akan ke mana," sahut Vincent—laki-laki berambut panjang pirang itu tersenyum, dia adalah Kakak kedua dari Charles. "Sejak dulu juga Gerald dan Giselle itu sangat serasi," imbuh Louis, wanita cantik bertubuh kecil dan tinggi itu adala
Hari sudah gelap, Giselle dan Elodie kini berada di lantai dua. Giselle tampak mengajari Elodie belajar di sana. Elodie yang masih kecil, cukup cerdas dan tanggap. Dia sudah bisa membaca secara perlahan-lahan meskipun menulisnya belum terlalu bagus. Anak itu duduk di pangkuan Giselle sambil menatap buku-buku belajarnya yang warna-warni. "Mama," panggilnya pelan. "Iya, Sayang. Kenapa, hm?" Giselle menundukkan kepala menatap si kecil. "Kenapa di lantai satu ramai sekali? Siapa yang datang?" tanya Elodie sambil mengerjapkan kedua matanya. "Itu teman-teman Papa, Elodie di sini saja sama Mama," jawab Giselle memeluk putri kecilnya dan memberikan kecupan di pipi gembil Elodie. Elodie mengangguk, anak itu beranjak dari duduknya dan berjalan mengambil botol susunya yang kosong. Ia menatap sang Mama yang kini merapikan buku-buku miliknya. "Mama, Elodie mau minum susu..." Anak itu mendekati Giselle sambil menyerahkan botol susu di tangannya. Giselle menerimanya dan tersenyum manis. "Ma
Gerald pulang lebih awal karena mendapatkan pesan dari ajudannya untuk menjemput Giselle di kediaman orang tuanya. Laki-laki itu datang bersama Elodie yang baru saja ia jemput dari sekolah. Mereka berdua baru saja turun dari dalam mobil, Elodie yang berlari hendak masuk ke rumah sang Opa, tiba-tiba saja anak itu kembali dan berlari balik ke arah Gerald. "Ada apa, Sayang?" tanya Gerald pada sang buah hati. Elodie mendongak menatapnya. "Papa ... Oma sama Opa bertengkar," ujar anak itu dengan suara berbisik. Kening Gerald langsung mengerut. "Bertengkar?"Sontak, Gerald langsung mengangkat tubuh kecil Elodie dan ia menggendongnya. Gerald berjalan masuk ke dalam rumah megah orang tuanya tersebut. Dari arah ruangan keluarga, ia mendengar suara Papanya yang keras terdengar marah-marah."Mama itu harusnya tahu diri! Giselle masih memaafkan Mama dan Gerald mau ke kembali ke sini, mereka berdua merawat Mama saat Mama sakit, harusnya Mama berterima kasih untuk hal itu! Bisa-bisanya Mama mal
Giselle membawa semua belanjaan Mama mertuanya pulang. Bahkan ia sendiri yang menata beberapa belanjaan ke dalam lemari es. Setelah itu, Giselle duduk di ruang keluarga seorang diri. Ia menatap pemandangan indah taman luas di kediaman mertuanya. Hingga tak lama kemudian mobil berwarna biru tua berhenti di depan rumah. Laki-laki tua turun dari dalam mobil diikuti oleh ajudannya masuk ke dalam rumah. "Loh, Giselle ... ke sini dengan siapa, Nak?" tanya Charles melihat menantunya di sana. "Sendiri, Pa," jawab Giselle tertunduk. Charles yang hendak masuk ke dalam ruangan kerjanya pun terhenti. Laki-laki tua itu menyerahkan sebuah berkas yang ia bawa pada ajudannya. "Bawa masuk ke ruangan kerja," perintahnya. "Baik, Tuan." Di dalam ruangan itu, kini tersisa Charles dan Giselle. Laki-laki itu duduk di hadapan Giselle dan menatap wajah menantunya yang murung dan pucat. "Ada apa? Mama mana?" tanyanya, Charles mulai panik melihat ekspresi wajah menantunya yang sedih. Kalau Gerald sampa
Setelah dijemput oleh Mama mertuanya untuk diajak pergi menemaninya berbelanja, Giselle pun ikut bersama Mama mertuanya. Mereka pergi ke pusat perbelanjaan yang berada di kota Luinz. Mama mertuanya itu membeli banyak belanjaan untuk kelengkapan acara keluarga yang akan diselenggarakan besok. "Giselle, tolong pilihkan piring-piring keramik untuk Mama," ujar Marisa sambil memilih beberapa piring hias. "Semuanya menurutku cantik, Ma," jawab Giselle sambil menatap beberapa piring keramik. Marisa menoleh dan berdecak kesal. "Ck! Aku tahu kau mungkin kalau tidak dinikahin oleh Gerald, kau tidak akan mempu membeli piring-piring keramik ini, Giselle. Tapi tolong jangan terlalu menunjukkan kampunganmu di sini! Jangan membuat nama baikku buruk!" Mendengar hal itu, Giselle langsung diam. Ia menjauhkan tangannya dari piring keramik di hadapannya. Marisa pun langsung menoleh padanya. "Sudah, jangan dipikirkan ucapanku barusan. Yang ada kau malah mengadu pada suamimu nanti!" serunya. Giselle