Dean mengajak Giselle masuk ke dalam gedung rumah sakit, laki-laki itu menarik lengannya dengan pelan dan membawa Giselle ke lorong yang sunyi.Langkah Dean terhenti. Ia meminta Giselle untuk duduk di sebuah bangku yang berjajar sepanjang lorong dan Dean menekuk lututnya di hadapan Giselle saat ini, menelisik wajah sedih wanita itu. "Giselle..." Dean mengusap punggung tangan Giselle hingga wanita itu tertunduk dan menahan untuk tidak menangis. "Menangislah bila itu membuatmu merasa lega," ujar Dean berbisik. Giselle semakin tertunduk dan punggungnya gemetar. "Aku malu, Dean," lirihnya dengan suara parau. "Aku tidak pernah menggoda Pak Gerald seperti yang Bu Laura katakan." "Ya. Aku percaya padamu, Giselle," jawab Dean mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Giselle. "Berapa kali aku katakan padamu, kau bisa mengundurkan diri dari perusahaan Gerald agar kau tidak terus terlibat masalah dengan mereka. Mau sampai kapan mereka akan menindas dan menyakitimu?" Ekspresi di wajah Gis
"Kita sudah usai, Gerald. Apa lagi yang kau inginkan dariku? Bahkan aku sudah mengembalikan uang yang aku pinjam padamu, tapi apa yang kau lakukan?" Dengan penuh keberanian Giselle memukul dada bidang Gerald dan mendorongnya. Kedua iris biru mata Giselle dipenuhi kabut air mata. Wanita itu menyeka air matanya dan mengusap bibirnya yang baru saja dicium oleh Gerald. "Kau akan menikah dengan Laura. Kenapa kau masih menahanku seperti ini?" tanya Giselle dengan napasnya yang naik turun. Gerald mengepalkan tangannya kuat dan menatap Giselle seolah ingin ia telan bulat-bulat. "Apa kau lupa, perjanjian kita saat kau datang padaku mengemis uang lima ratus juta waktu itu, heh?" Gerald melangkah mendekatinya Giselle lagi. "A-apa?" Gerald dengan cepat menarik tengkuk leher Giselle dan mendekatkan wajah penuh emosi di hadapan Giselle. Bibirnya yang menipis, dan cengkeraman tangan yang terasa erat di tengkuk lehernya menjadi bukti betapa marahnya Gerald saat ini. "Aku tidak menginginkan u
"Nyonya, nyawa putri anda bisa tidak tertolong..."Tubuh Giselle Marjorie menegang seketika. Sepasang matanya berkaca-kaca mendengar apa yang dikatakan oleh dokter."Tolong berikan yang terbaik untuk anak saya, dok. Saya mohon..." pinta Giselle, suaranya bergetar menahan tangis.Sambil menghindari tatapan sayu Giselle, dokter itu mengangkat stetoskopnya, lantas menarik nafas panjang."Maaf, Nyonya, kami tidak bisa bertindak lebih jauh sebelum tunggakan dilunasi," ucap sang dokter.Giselle menarik jas dokter tersebut seraya berlutut, "Saya akan berusaha melunasi semua biaya pengobatannya, saya berjanji!"Dokter itu tampak kelabakan. Ia membantu Giselle untuk berdiri dengan susah payah, lalu meminta maaf karena tidak bisa melakukan tindakan apapun saat ini.Giselle tertunduk dengan bahu terkulai di lorong rumah sakit begitu dokter pamit pergi. Air matanya berdesakan di pelupuk mata mengiringi kepedihan di hatinya.Biaya pengobatan yang menunggak itu hampir menyentuh lima ratus juta. Dar
"A-apa?" lirihnya tak percaya. Seperti disambar petir, Giselle mematung menatap lekat pada pria di hadapannya itu. Tidur bersama mantan suaminya? Apakah Gerald sudah gila?!"A-apakah tidak ada cara lain?" Giselle menatapnya dengan putus asa. "Ke-kenapa harus tidur bersama? Kita ... kita tidak mungkin—""Aku tidak memaksa," ucap Gerald menyela. "Tapi aku tidak yakin, kau bisa mendapatkan uang yang kau butuhkan di luar sana."Raut wajah cantik itu menjadi muram. Jemarinya terus meremas rok yang ia pakai dan iris mata birunya bergerak gelisah. Rasa nelangsa memenuhi relung hati Giselle. Haruskah ia menjadi wanita murahan yang menukarkan tubuhnya dengan uang, pada mantan suaminya?"Tolong berikan saya waktu untuk berpikir sebentar," ujarnya kemudian. Gerald menatapnya tajam. "Putuskan secepat mungkin. Aku tidak suka menunggu." Anggukan kecil diberikan oleh Giselle. Ia pun langsung membungkukkan badannya dan pamit dari sana.Tubuh kurusnya gemetar saat meninggalkan ruangan CEO. Air mat
Giselle susah payah menelan ludah. Ia tak berani mengangkat wajahnya saat Gerald berjalan menghampirinya yang berdiri di dekat ranjang. Sedangkan Gerald tersenyum tipis, nyaris tak terlihat di wajah dinginnya. Melihat ekspresi muram di wajah mantan istrinya yang sangat ia benci saat ini, seolah ada rasa senang tersendiri di hatinya. “Kenapa diam saja?” tanya Gerald seolah menantang, ketika sudah berdiri begitu dekat dengan Giselle.Giselle akhirnya mengangkat wajah. Kedua iris mata birunya menatap lekat wajah tampan Gerald. "Sa-saya, saya tidak yakin untuk melakukannya," ujar Giselle membuang muka. Gerald tersenyum kecut. "Jangan munafik, Giselle, kau bukan seorang perawan lagi," bisik Gerald tepat di depan bibir Giselle. “Bukankah dulu kita sering melakukan ini?”Giselle tertunduk. Mereka memang sering melakukan itu dulu. Tapi itu saat mereka masih bersama. “Kenapa? Apa yang membuatmu tidak bisa melakukan ini lagi denganku?”Wajah Giselle menegang, ia menggelengkan kepalanya. "K
Keesokan paginya, Giselle sudah melunasi semua biaya pengobatan Elodie. Ia juga meminta pada dokter untuk segera melakukan pengobatan lanjutan. Giselle masih memiliki waktu beberapa menit untuk menemani putri kecilnya sebelum ia berangkat ke kantor. Seperti biasa, Elodie selalu manja pada Giselle. Ia ingin selalu ditemani. "Elodie tidak boleh sedih-sedih lagi ya, Sayang. Sebentar lagi Suster Anna akan ke sini menemani Elodie," ujar Giselle mengusap pipi putih putri kecilnya. "Mama tidak boleh pergi lama-lama, nanti hati Elodie sedih," ujar anak itu menyandarkan kepalanya di dada Giselle dengan bibir mungilnya yang mencebik. "Mama tidak akan pergi lama. Nanti sore Mama sudah pulang. Mama harus bekerja, supaya bisa beli susu buat Elodie," ujar Giselle mendekap tubuh mungil Elodie. Anak kecil itu kembali meminta berbaring. Giselle pun membaringkannya, ia mengecup wajah manis Elodie berkali-kali. Meskipun rasa sedih masih terus menyiksanya, namun di depan sang buah hati, Giselle ti
Jam menunjukkan pukul sebelas malam saat Giselle menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang sungguh tak terkira, Giselle hanya bisa beristirahat di jam makan siang saja. Gerald tak mengizinkan ia pergi sebelum pekerjaannya benar-benar selesai. Malam ini hujan turun cukup deras di kota Luinz. Kilat dan petir juga menyambar berkali-kali. Giselle berjalan terburu-buru, ia sangat panik karena meninggalkan Elodie sendirian di rumah sakit. "Ya Tuhan, semoga dia tidak takut. Aku harus segera sampai ke rumah sakit sesegera mungkin," gumam Giselle di sela langkahnya yang tergesa-gesa. Di belakangnya, ada Gerald yang berjalan ditemani ajudannya, tampak memperhatikan wanita itu. Ekspresi dingin Gerald berubah sinis saat ia melihat Giselle yang berjalan terburu-buru. "Kenapa dia sangat terburu-buru?" gumam Gerald dengan kedua mata memicing tajam. "Entahlah, Tuan. Mungkin karena pulang terlalu malam, atau ... ada seseorang yang dia tinggalkan sendirian di rumah, mungkin," jawab Sergio. "S
Keesokan paginya... Giselle sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang rapi. Pagi ini Giselle berangkat sedikit terlambat karena Elodie masih rewel untuk ia tinggalkan. Sesampainya di kantor, Giselle berjalan cepat menuju ruang CEO. Namun, begitu Giselle sampai di ruangan itu, bukan Gerald yang ia temui di sana—melainkan sosok Laura yang tengah duduk di sofa dan menatapnya tajam. Giselle menundukkan kepalanya berusaha untuk bersikap tenang. "Selamat pagi, Bu Laura," sapanya. Wanita dengan balutan dress merah tua itu menaikkan salah satu alisnya saat Giselle menyapanya. "Sejak kapan kau memanggilku dengan sebutan itu, Giselle? Bukankah dulu kau hanya memanggilku Laura saja?" tanya Laura tersenyum miring dan duduk menyilangkan kakinya. Giselle yang berada di dekat mejanya menatap ke arah Laura dengan penuh keraguan. Sahabat yang dulunya Giselle anggap seperti saudara, ternyata menikamnya dengan kejam dari belakang. Tak hanya itu, Laura juga merampas semua kebahagiaan Gisell
"Kita sudah usai, Gerald. Apa lagi yang kau inginkan dariku? Bahkan aku sudah mengembalikan uang yang aku pinjam padamu, tapi apa yang kau lakukan?" Dengan penuh keberanian Giselle memukul dada bidang Gerald dan mendorongnya. Kedua iris biru mata Giselle dipenuhi kabut air mata. Wanita itu menyeka air matanya dan mengusap bibirnya yang baru saja dicium oleh Gerald. "Kau akan menikah dengan Laura. Kenapa kau masih menahanku seperti ini?" tanya Giselle dengan napasnya yang naik turun. Gerald mengepalkan tangannya kuat dan menatap Giselle seolah ingin ia telan bulat-bulat. "Apa kau lupa, perjanjian kita saat kau datang padaku mengemis uang lima ratus juta waktu itu, heh?" Gerald melangkah mendekatinya Giselle lagi. "A-apa?" Gerald dengan cepat menarik tengkuk leher Giselle dan mendekatkan wajah penuh emosi di hadapan Giselle. Bibirnya yang menipis, dan cengkeraman tangan yang terasa erat di tengkuk lehernya menjadi bukti betapa marahnya Gerald saat ini. "Aku tidak menginginkan u
Dean mengajak Giselle masuk ke dalam gedung rumah sakit, laki-laki itu menarik lengannya dengan pelan dan membawa Giselle ke lorong yang sunyi.Langkah Dean terhenti. Ia meminta Giselle untuk duduk di sebuah bangku yang berjajar sepanjang lorong dan Dean menekuk lututnya di hadapan Giselle saat ini, menelisik wajah sedih wanita itu. "Giselle..." Dean mengusap punggung tangan Giselle hingga wanita itu tertunduk dan menahan untuk tidak menangis. "Menangislah bila itu membuatmu merasa lega," ujar Dean berbisik. Giselle semakin tertunduk dan punggungnya gemetar. "Aku malu, Dean," lirihnya dengan suara parau. "Aku tidak pernah menggoda Pak Gerald seperti yang Bu Laura katakan." "Ya. Aku percaya padamu, Giselle," jawab Dean mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Giselle. "Berapa kali aku katakan padamu, kau bisa mengundurkan diri dari perusahaan Gerald agar kau tidak terus terlibat masalah dengan mereka. Mau sampai kapan mereka akan menindas dan menyakitimu?" Ekspresi di wajah Gis
Keesokan harinya, Giselle masih sibuk mengurus Elodie di rumah sakit. Apalagi setelah dokter mengatakan kalau kondisi Elodie benar-benar drop, Giselle tidak punya pikiran untuk kembali ke kantor. Pagi ini, Giselle pergi membeli buah anggur yang diminta oleh si putrinya saat bangun tidur tadi. Giselle tersenyum tipis menatap buah anggur dalam keranjang hias kecil berwarna merah muda sebagai bonus ada dua buah stroberi di dalamnya, yang kini tengah Giselle bawa. "Elodie pasti senang melihat keranjang cantik ini," gumam Giselle, rasanya tidak sabar ingin melihat si kecil kembali tersenyum. Giselle berjalan menyebrangi jalanan menuju ke rumah sakit yang berada di depan sana. Namun, saat ia sudah berada di tepian seberang jalan, tiba-tiba saja sebuah mobil berhenti di samping Giselle dan membunyikan klaksonnya hingga membuat Gisele menoleh. Kening Giselle mengerut menatap mobil berwarna merah tersebut.Saat ia menepi dan menunggu, dari dalam mobil itu keluar Laura membawa tasnya dan
Jarum jam menunjuk tepat pukul sebelas malam. Gerald baru saja kembali setelah seharian ia tidak bisa berhenti terus memikirkan dan mencari tahu tentang Giselle. Dan kini Gerald baru saja sampai di kediaman. Laki-laki tampan itu keluar dari dalam mobil dan membawa jas hitamnya sambil berjalan dengan tegas seperti biasa. "Selamat malam, Tuan," sapa Sergio yang kini berdiri di ujung atas tangga teras. "Ada apa?" Gerald menatap ajudannya tersebut. Dia tahu, pasti Sergio ingin mengatakan sesuatu hal. Laki-laki dengan balutan kemeja hitam itu menatapnya lekat. "Nona Laura sudah menunggu Tuan Gerald sejak pukul tujuh tadi, sekarang beliau masih ada di dalam." Mendengar hal itu, Gerald pun langsung menarik napasnya panjang. Ia berdecak lidah dan wajah stress langsung memenuhi parasnya. Gerald menyerahkan tuxedo hitamnya pada Sergio sebelum ia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa berkata-kata. Di ruang keluarga, tampak Laura yang kini beranjak dari duduknya saat melihatnya masuk ke dal
"Bukan siapa-siapa! Aku tidak menyembunyikan siapapun darimu. Pergilah dari sini, kumohon...!" Giselle dengan berani mendorong Gerald yang kini berdiri di hadapannya. Meskipun sekujur tubuhnya gemetar, ia tetap akan melindungi keberadaan Elodie, dari Papa kandungnya ini. "Aku tidak akan pergi sebelum aku melihat siapa orang itu!" tegas Gerald lagi. Laki-laki itu hendak melangkah ke arah lorong tempat Elodie dirawat, namun lagi-lagi Giselle menahannya dengan sepenuh tenaganya.Giselle lebih baik bertengkar dan ribut dengan Gerald, daripada Gerald harus bertemu dengan Elodie. "Kubilang pergi…!" Giselle menjerit menangis di hadapan Gerald dengan wajah putus asanya. Giselle membungkukkan badannya dan mencekal tangan Gerald sambil menangis memohon pada mantan suaminya tersebut."Jangan temui dia, aku mohon jangan ... Gerald, aku sangat-sangat memohon padamu," lirih Giselle penuh permohonan. Wanita itu menangis menggenggam erat telapak tangan Gerald hingga terasa gemetar. Giselle menu
Gerald kembali ke kantornya untuk melanjutkan meeting setelah menemui Giselle sore tadi. Sampai menjelang malam, barulah meeting selesai dibahas dan semua anggota rapat keluar dari ruangan meeting.Gerald berjalan di lorong lantai dua puluh seorang diri. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat ia mendengar suara seseorang di ujung lorong. "Saya sedang mewakili Tuan Dean untuk meeting di kantor milik Tuan Gerald Gilbert, Nyonya Sania," ujar Petter—asisten sekaligus ajudan Dean, yang kini tengah berbincang di telepon dengan Mamanya Dean. Gerald memelankan langkahnya mendekati sumber suara. Hingga suara Petter kembali terdengar. "Kemarin malam, Tuan Dean juga meninggalkan kantor dan pergi ke rumah sakit ibu kota untuk menemui Giselle Marjorie. Bahkan, Tuan Dean juga membayar biaya pengobatan keluarga Nona Giselle. Saya melihat bukti pembayarannya di atas meja kerja Tuan Muda." Mendengar ucapan Petter barusan, Gerald langsung tercengang, keningnya mengerut seketika. Tiada hal
Sudah dua hari ini Giselle tidak kembali ke kantor, dan Gerald sama sekali belum bertemu dengan wanita itu. Selama dua hari itu juga, Gerald tidak bisa fokus bekerja, ia terus uring-uringan pada Kelly yang menggantikan Giselle selama dua hari ini sebagai asistennya. Sejak kemarin, Kelly sudah berkali-kali dimarahi oleh Gerald. Seperti halnya di sore ini. "Kenapa susunan berkasnya tidak rapi sama sekali?!" Gerald meletakkan dengan kasar berkas itu di hadapan Kelly. "Maaf, Pak. Tapi ini semua sudah saya susun seperti yang Pak Gerald minta," jawab wanita itu. "Kau bisa mencontoh berkas-berkas milik Giselle! Berapa kali kubilang! Harus sama persis!" pekiknya dengan wajah mengeras marah. Wanita dewasa itu kembali menatap Gerald lagi. Sudah dua tahunan Kelly menjadi bawahan Gerald, tapi dia tidak pernah melihat Bosnya emosi seperti ini. Sejak Giselle tidak ke kantor, Gerald terlihat kacau, tidak seperti biasanya. Bahkan ada beberapa meeting yang dia batalkan karena alasan pekerjaanny
Giselle yang tengah menangis, tampak terkejut saat tiba-tiba seorang laki-laki mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan begitu pelan. Lantas, Giselle mengangkat wajahnya perlahan dan dia melihat sosok Dean yang berdiri di sampingnya, menatap Giselle dengan begitu cemas dan iba. Dean menangkup satu pipi Giselle sebelum menarik wanita itu ke dalam pelukan hangat. Giselle menangis dalam pelukan Dean. Ia menumpahkan semua sesak di dalam dadanya yang ia tahan sejak tadi. "Sssttt, tenanglah, kau tidak sendirian. Aku akan menemanimu menjaga Elodie," ujar Dean mengusap punggung Giselle. "Elodie ... aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan pada Elodie, Dean," isak Giselle, jemarinya meremas punggung Dean yang dilapisi tuxedo hitamnya. "Elodie pasti akan sembuh. Kau jangan menangis seperti ini, kau harus tenang, Giselle. Kasihan Elodie kalau kau larut dalam kesedihanmu," ujar Dean dengan begitu sabar. Giselle menarik tubuhnya dari pelukan Dean. Wanita itu menyeka air matanya cepat da
Sejak pagi hingga sore hari, Giselle belum kembali ke kantor setelah pagi tadi dia pergi sambil menangis kepanikan. Gerald kebingungan mencari ke mana Giselle saat ini. Panggilannya juga tidak dijawab sama sekali oleh Giselle. Gerald hanya ingin menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. "Ke mana kau, Giselle?" gumam Gerald dengan wajah bingung. Pandangannya terus tertuju pada meja kerja Giselle. Semua barang-barangnya masih ada di sana, dari tas, hingga berkas-berkas pekerjaannya yang biasa Giselle bawa pulang. Gerald mengusap wajahnya dan memejamkan kedua matanya. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa cemas yang kini menakutinya. Sergio—ajudan Gerald yang kini tengah duduk di sofa, tampak memperhatikan Tuannya yang sangat gundah dan gelisah. "Tuan Gerald, Tuan bisa mencari Nona Giselle ke rumahnya kalau memang Tuan sangat mencemaskannya," ujar Sergio memberikan saran. Decakan pelan terdengar dari bibir Gerald. "Siapa yang mencemaskannya?" ketus laki-laki itu. "Aku h