Share

Not A Dream Wedding
Not A Dream Wedding
Author: dimmoischata

1

Ada sekumpulan pria dewasa yang sedang duduk santai sambil menyesap segelas kopi milik masing-masing. Berbicara santai dengan beberapa kali membahas mengenai pekerjaan mereka. Mereka adalah Jeffin, Freja, dan Ajen. Tiga orang yang sudah bersahabat sejak lama namun masih tetap meluangkan waktu untuk berkumpul bersama ditengah kesibukan pekerjaan mereka.

Jeffin Arsenka Sevchen, seorang CEO dari sebuah perusahaan yang cukup besar di Indonesia. Meneruskan tugas dari sang ayah untuk mengelola perusahaan pada umur yang masih cukup muda. Hal itu dikarenakan sang ayah yang ingin menghabiskan waktu bersama ibunya. Sejak saat itu juga Jeffin memilih untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen.

 Jeffin menghela napas pelan setelah membaca sebuah pesan dari ibunya. “Gue pamit duluan,” ucap Jeffin yang membuat kedua sahabatnya menatapnya karena sudah bersiap untuk pergi.

“Mau kemana lo?” tanya Ajen yang penasaran dengan sahabat sekaligus atasannya itu. Ya, Ajen memang bekerja pada Jeffin sebagai sekretaris pria itu.

“Ke rumah, di suruh nyokap, duluan.” Jeffin langsung beranjak keluar dari kafe tanpa menunggu balasan dari kedua sahabatnya.

“Makin hari makin nggak beres tuh orang,” komen Freja sambil menyesap americano miliknya.

“Ya tahu sendirilah gimana dia sebelumnya,” balas Ajen.

Jeffin mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Bersyukur hari ini jalanan tidak terlalu macet sehingga Jeffin bisa sampai di rumah sebelum makan malam tiba. Sesampainya di rumah ia disambut oleh beberapa pelayan yang memang dipekerjakan oleh orang tuanya.

Tanpa bertanya Jeffin langsung menuju meja makan. Di sana sudah ada Reksa dan Aera beserta Crystal, adik perempuannya yang tentu saja sedang menunggu kehadirannya. Ibunya bangkit dan menyambutnya dengan pelukan singkat kemudian mempersilahkan untuk duduk.

“Kak Jeffin, sekarang jarang banget pulang ke rumah. Iya kan Ma,” kata Crystal, yang dibalas oleh Aera dengan senyum memaklumi akan kesibukan putranya. Dan Jeffin yang mengabaikan ucapan sang adik karena malas menanggapinya.

Tak banyak pembicaraan yang terjadi selama makan, karena yang pastinya pembicaraan itu akan dilakukan setelah makan malam selesai. Benar saja, setelah makan malam selesai, Reksa menggiring anggota keluarganya ke ruang keluarga. Jeffin duduk di sofa single, yang berada di seberang sofa yang di duduki kedua orang tuanya.

“Gimana pekerjaan kamu?” tanya Reksa memulai pembicaraan setelah tadi beberapa saat hanya ada keheningan.

“Baik, Pa,” jawab Jeffin singkat. Kemudian mengalir begitu saja pembicaraan antara anak dan ayah yang sudah lama tidak berbincang. Meskipun sekarang yang dibahas mengenai perusahaan dan pekerjaan.

Sementara Aera menyimak pembicaraan mereka dengan mata yang berbinar. Meski yang dibicarakan adalah hal yang tidak disukainya, tetapi Aera merasa senang karena melihat kembali interaksi Jeffin dengan Reksa. Semenjak Jeffin yang memegang tanggung jawab perusahaan, mereka jarang sekali berkumpul seperti ini. Crystal sendiri setelah makan malam langsung pergi ke kamarnya karena katanya ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

“Jeffin,” panggil Aera yang membuat Jeffin menatap ibunya. Setelah dirasa pembicaraan antara Jeffin dan Reksa sudah selesai, Aera melanjutkan, “maaf sebelumnya kalau Mama nggak ngasih tahu kamu.” Perkataan Aera terhenti sejenak. “Mama mau kamu datang ke kencan yang sudah Mama atur buat kamu.”

“Ma.” Jeffin yang hendak mengatakan akan keberatannya terpotong karena Aera yang terlebih dahulu kembali berbicara.

“Mama mau kamu memiliki pasangan, bahkan kalau bisa kamu menikah secepatnya. Umur kamu sudah cukup buat untuk membangun rumah tangga.” Tegas Aera. “Mama juga pengen punya cucu.”

“Pa,” protes Jeffin dengan niat meminta bantuan pada Reksa, namun Reksa hanya mengangkat kedua bahunya yang menandakan bahwa Reksa setuju dengan Aera.

“Papa setuju dengan mama kamu, lagian kami ini sudah tua, pengen liat kamu menikah terus punya anak.”

“Pokoknya kamu harus datang, kalau kamu cocok lanjut, kalau enggak ya nanti mama cari lagi yang lain. Kalau kamu nggak mau Mama atur acara seperti ini, kamu harus cari pacar terus kenalin ke kita berdua dan tentunya menikah.” Jeffin tak bisa membalas perkataan Aera selain mengiyakan saja dulu daripada semuanya akan berujung panjang.

Jeffin tentu saja kembali kepikiran dengan perkataan Aera tadi. Sekarang dia sedang mengendarai mobilnya dengan santai untuk kembali ke apartemennya. Sambil memikirkan cara apa yang bisa membuatnya tidak terlibat dengan dua pilihan tadi. Di tengah perjalanan, Jeffin melihat seorang perempuan dengan celana jeans panjang dan kaos biasa berlari dari sebuah gang dengan sesekali melihat ke arah belakang. Jeffin yang tak ambil pusing tetap melajukan kendaraannya menyusuri jalanan yang ramai meskipun hari sudah malam.

🌾🌾🌾

“Bagi duit dong,” kata seorang pria pada seorang perempuan yang terlihat lebih muda darinya.

“Nggak ada, Kak.” Mendengar pernyataan itu membuat laki-laki yang bernama Yasa itu memukul pintu dengan keras sehingga membuat perempuan yang bersama Abiyya itu tersentak kaget, lalu Yasa pergi begitu saja. Meskipun Yasa bukanlah keluarga kandungnya, tetapi Abiyya tetap menyayanginya. Mau bagaimanapun juga dia tumbuh bersama dalam ikatan sebuah keluarga.

Kejadian seperti ini sudah sering terjadi semenjak kedua orang tua angkatnya meninggal beberapa tahun yang lalu akibat sebuah kecelakaan. Yasa yang berubah secara drastis membuat Abiyya harus menghidupi kehidupannya sendiri. Pada saat ia kehilangan orang tua angkatnya, Abiyya masih mengenyam pendidikan di sebuah kampus. Beruntungnya Abiyya yang mendapatkan beasiswa penuh sampai ia lulus, hanya saja Abiyya tetap bekerja part time untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya.

Abiyya yang sudah terlelap, terkejut karena gedoran pintu yang terus-menerus dilakukan bahkan lebih keras dari sebelumnya. Abiyya menebak bahwa itu adalah Yasa, karena seperti itulah kebiasaannya ketika pulang malam. Namun, yang lebih mengejutkan adalah Yasa yang tidak sendirian. Di belakangnya ada beberapa orang yang tidak Abiyya kenal.

“Kak, bisa bicara sebentar,” ucap Abiyya memberanikan diri untuk berbicara dengan Yasa meskipun perasaannya sudah mengatakan hal yang tidak mengenakkan sepertinya akan terjadi.

“Kebetulan gue juga mau ngomong sama lo.” Abiyya mengikuti langkah Yasa menuju dapur. Di sana Yasa melihat Abiyya dari atas sampai bawah beberapa kali. Tentu saja hal itu membuat Abiyya merasa tidak aman sekarang.

“Gue mau lo ikut mereka, kerja bareng mereka buat lunasin semua hutang gue.”

“Kak, nggak ada cara lain apa? Gue bisa kok bantu lo, tapi nggak kayak gini, gue mohon ya, Kak.” Yasa mendekati Abiyya sampai Abiyya mundur dan punggungnya menempel pada dinding dapur. Yasa mencekram leher Abiyya dengan keras sampai Abiyya merasa susah untuk bernapas.

“Selama ini gue nggak pernah minta apapun sama lo selama orang tua gue hidup. Setidaknya sekarang lo harus berguna sekali saja buat gue, ngerti lo,” ucap Yasa dengan penuh penekanan.

Abiyya memegang lehernya yang sakit sambil mengambil napas dengan kasar. Abiyya harus mencari cara agar bisa lari dari Yasa, setidaknya untuk saat ini saja dulu. Perkataan Yasa yang menyuruhnya untuk bersiap mengembalikan kesadaran Abiyya akan hidupnya yang tidak aman.

“Sekarang lo siap-siap dan jangan sekali-kali berpikir buat kabur.” Abiyya bergegas masuk ke dalam kamar dan langsung pergi ke arah jendela untuk melarikan diri. Setelah berhasil keluar dari rumah itu dengan sekuat tenaga Abiyya berlari keluar dari kawasan gang rumahnya menuju jalanan besar. Setidaknya di tempat yang ramai ketika Yasa menemukannya, lelaki itu tidak akan berani berbuat macam-macam.

Di sisi lain Yasa sudah mengumpat kasar karena kecolongan membuat Abiyya kabur dari dirinya. Hilang sudah kesempatan dirinya membayar hutang sekaligus mendapatkan uang. Setelah bernegosiasi dengan orang-orang yang datang bersamanya tadi, akhirnya orang-orang itu pergi meskipun tadi Yasa sempat mendapatkan beberapa pukulan di wajahnya.

Abiyya yang tidak tahu akan pergi kemana hanya berjalan pelan menyusuri jalanan malam tanpa memiliki tujuan. Hari yang semakin malam membuat hawa dingin menerpa tubuhnya yang hanya berbalut kaos polos. Abiyya benar-benar bingung harus pergi kemana. Hanya mengikuti langkah kakinya yang malah membawanya ke sebuah jalanan sepi dan Abiyya tidak tahu sekarang dirinya berada di daerah mana.

“Ayah, Ibu, Abiyya takut. Sekarang Abiyya nggak tahu ada di mana,” batin Abiyya sembari memandangi keadaan sekitar dengan memeluk tubuhnya sendiri yang sudah sedikit menggigil.

Pandangan Abiyya sudah sedikit memburam ketika ada sebuah sorot lampu mengarah ke dirinya. Abiyya yang kehilangan kesadarann membuat sang pengendara mobil menghentikan kendaraannya. Seorang lelaki dengan celana bahan serta kemeja yang lengannya digulung sampai siku memeriksa keadaan Abiyya.

🌾🌾🌾

Abiyya membuka matanya perlahan. Menatap ruangan mewah yang kini ditempatinya. Abiyya langsung memeriksa pakaiannya dan semua masih sama seperti semalam.

Sebuah ketukan terdengar membuat Abiyya menoleh ke arah pintu. Muncullah seorang lelaki yang sudah rapi dengan kemejanya serta sebuah nampan berisi makanan di tangannya. Abiyya menundukkan kepalanya, tak berani menatap lelaki itu.

“Maaf sebelumnya karena saya membawa kamu ke rumah saya, karena keadaan kamu semalam sangat mengenaskan,” kata lelaki itu sambil meletakkan nampan di nakas samping tempat tidur. Suaranya yang terdengar lembut membuat Abiyya mengangkat kepalanya perlahan. Abiyya yakin bahwa orang ini adalah orang baik. Dan entah mengapa Abiyya merasa seperti aman di sini.

“Terima kasih sudah menolong saya.”

Lelaki itu mengangguk. “Lebih baik kamu makan dulu.”

Dengan pelan Abiyya menyendok makanan sedikit demi sedikit meskipun agak tidak nyaman. Setelahnya Abiyya mengucapkan banyak terima kasih sekali lagi karena sudah menolongnya. Kemudian Abiyya pamit untuk pulang, tanpa Abiyya tahu siapa yang sudah menolongnya itu.

Abiyya kembali ke rumah hanya untuk sekedar mengambil barang-barang penting miliknya. Setelah itu ia akan mencari tempat tinggal sendiri. Pelan-pelan Abiyya masuk ke dalam rumah yang pintunya tidak terkunci dan sepi itu.

Namun, hal yang tidak pernah Abiyya duga bahwa Yasa sekarang berada di rumah. Menatapnya tajam seakan ingin membunuhnya. Yasa dengan cepat menahan lengan Abiyya ketika Abiyya akan kabur. Yasa sudah pasti tidak akan membiarkan kecolongan lagi seperti semalam.

Abiyya hanya meringis ketika lengannya ditarik kasar masuk ke dalam rumah. Yasa benar-benar marah sekarang. Yasa mengikat lengan Abiyya dengan sebuah tali yang entah tiba-tiba ada. Setelah itu terlihat Yasa yang mengobrol lewat ponselnya, entah berbicara dengan siapa Abiyya tidak tahu.

Hari berganti menjadi malam, semua terasa lebih cepat. Padahal Abiyya tidak melakukan apa-apa selain duduk berdiam diri dengan kedua tangan yang terikat dan mulut yang di sumpal sebuah kain. Kemudian datanglah Yasa dengan membawa sebuah gaun berwarna hitam dan melemparnya ke arah Abiyya. Setelah itu barulah Yasa melepaskan ikatan di tangan Abiyya lalu menyuruhnya untuk memakai gaun tersebut.

Abiyya benar-benar merasa tidak nyaman menggunakan gaun yang sangat pas di tubuhnya. Abiyya juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan agar bisa lari dari Yasa. Untuk saat ini Abiyya hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh Yasa sambil memikirkan berbagai cara agar bisa terlepas dari kondisi ini.

Yasa menggiring Abiyya agar masuk ke dalam mobil entah milik siapa yang sudah ada di depan rumahnya. Abiyya menahan tangisnya sambil menatap kosong jalanan yang dilewatinya. Mobil berhenti di sebuah tempat yang tidak pernah Abiyya datangi tetapi Abiyya tahu itu tempat seperti apa.

Abiyya yang tahu bahwa pintu mobil sudah tidak terkunci, bergerak cepat untuk membukanya. Melepaskan sepatu high heels yang tadi diberikan oleh Yasa dan meninggalkannya begitu saja. Berlari sekuat tenaga agar tidak ditangkap oleh Yasa yang kini sedang mengejarnya di belakang sambil berteriak memanggil namanya agar berhenti. Tanpa melihat ke kanan kiri Abiyya langsung menerobos menyebrang jalan yang menyebabkan dirinya hampir di tabrak oleh sebuah mobil. Untung saja mobil itu bisa menghentikan laju mobilnya sebelum benar-benar menabrak Abiyya.

🌾🌾🌾

Jeffin baru saja menyelesaikan pekerjaannya yang sangat menguras tenaga. Setelah menggulung lengan kemejanya sebatas siku, Jeffin beranjak meninggalkan ruang kerjanya dan memilih untuk pulang. Jeffin merasa hari berjalan dengan sangat cepat. Ingin rasanya hari jangan cepat berlalu, karena Jeffin tidak ingin datang ke acara kencan buta yang sudah di atur oleh Aera.

Hanya membaca sekilas pesan dari Aera yang mengingatkannya agar datang ke tempat yang sudah ditentukan sudah membuatnya malas. Jeffin juga tadi sempat menolak ajakan Freja untuk berkumpul bersama agar merilekskan diri. Tetapi Jeffin lebih memilih untuk cepat pulang saja.

Di tengah perjalanan hampir saja Jeffin menabrak seorang gadis jika ia tidak menginjak pedal rem dengan kuat. Jeffin mengernyitkan dahinya ketika melihat wajah gadis itu yang sepertinya sama dengan gadis yang kemarin malam dia lihat setelah pulang dari rumah orang tuanya. Jeffin tersadar ketika gadis itu sudah mengetuk kaca jendelanya tanpa henti.

“Ada apa?” tanya Jeffin dengan datar.

“Tolong saya, saya mohon,” kata perempuan itu dengan suara yang sedikit bergetar. Jeffin menatap tajam perempuan dihadapannya yang sesekali menoleh ke arah belakang. Dari tatapannya yang semakin ketakutan dan hampir menangis membuat Jeffin merasa kasihan.

“Masuk.” Jeffin melihat perempuan itu menghela napas lega dari kaca spion meskipun sesekali melihat ke arah belakang sana. Seolah memastikan tidak ada yang mengikutinya atau mungkin mengejarnya.

“Mau kemana, biar saya antar sekalian?” suara Jeffin membuyarkan lamunan perempuan itu dan tersadar bahwa sekarang dirinya tengah menumpang perjalanan pada seseorang.

“Saya nggak tahu,” gumamnya pelan dengan sedikit isakan yang bisa di dengar oleh Jeffin. “Tapi saya turun di sini saja nggak papa, makasih sebelumnya sudah mau menolong saya.” Jeffin tak menghiraukan perkataan perempuan yang ada di belakangnya itu. Mana mungkin ia akan meninggalkan seorang perempuan di tengah jalan disaat tengah malam seperti ini. Ditambah dengan pakaian yang dikenakannya dan kondisinya yang seperti itu.

“Saya tidak tahu apa masalah kamu, tapi saya juga tidak akan tega meninggalkan kamu dengan kondisi seperti ini di tengah jalan. Apalagi ini sudah sangat malam untuk seorang perempuan berada di jalanan.” Meskipun terdengar datar, perempuan itu yakin jika pria yang menolongnya adalah orang yang tidak memiliki niat jahat padanya.

“Terima kasih, tapi ....” Belum sempat mengutarakan apa yang ada di pikirannya, Jeffin sudah menyuruhnya untuk diam dan tidak usah bertanya apapun.

Entah apa yang Jeffin pikirkan sampai-sampai ia membawa perempuan yang bahkan tidak ia ketahui namanya ke kediamannya. “Nama?” tanya Jeffin ketika mereka sudah berada di dalam lift menuju lantai tempat tinggalnya.

Dengan tangan yang saling bertaut dan menundukkan kepalanya, perempuan itu menjawab, “Abiyya.”

Setelah itu tidak ada pembicaraan yang tercipta. Keduanya sama-sama diam. “Jen, tolong bawakan beberapa baju perempuan seukuran Crystal.” Perkataan Jeffin membuat Abiyya yang tengah menatap sekitar ruangan beralih memperhatikan pria yang sedang duduk di sofa dengan ponsel yang menempel di telinganya.

“Nggak usah banyak tanya.” Setelah memutuskan sambungan teleponnya dengan Ajen, Jeffin menyuruh Abiyya untuk duduk.

Bel berbunyi membuat Jeffin bangkit dan berjalan menuju pintu. Terlihat orang yang di luar penasaran akan kenapa Jeffin menyuruhnya membawakan pakaian, apalagi pakaian seorang wanita. Entah apa yang dikatakan oleh Jeffin sehingga orang itu pergi dan setelah itu dilihatnya Jeffin menenteng beberapa paper bag dan meletakkannya di depan Abiyya. Abiyya menatap Jeffin lalu ke barang yang ada di depannya secara bergantian. Seolah meminta penjelasan akan semua ini.

“Pakaian buat kamu.”

“Hah? Buat saya?” tanya Abiyya memastikan dan dibalas Jeffin dengan berdeham pelan. “Tapi pak?”

“Tidak usah menolak dan jangan panggil saya pak, saya nggak setua itu. Ah iya, pakai aja kamar itu untuk malam ini.”

“Maaf dan terima kasih, pak....”

“Sudah saya bilang, jangan panggil saya pak, panggil aja Jeffin.” Setelah itu Jeffin memasuki sebuah ruangan yang mungkin kamarnya.

Dengan ragu Abiyya membawa barang yang tadi diberikan Jeffin. Abiyya membuka pelan pintu kamar yang tadi ditunjukkan Jeffin untuk ditempatinya. Kemudian Abiyya membersihkan tubuhnya. Abiyya menghela napas dan memikirkan kemana ia akan pergi besok. Tidak mungkin juga ia kembali ke rumah itu. Sampai tidak sadar Abiyya sudah pergi ke alam mimpinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status