Share

2

Entah keberanian dari mana Abiyya menyentuh dapur milik Jeffin. Membuat sarapan dengan bahan yang ada di dalam kulkas. Abiyya siap saja jika pria itu akan memarahinya nanti. Salah Abiyya juga yang sudah lancang menggunakan dapur tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Setelah memasak, Abiyya membersihkan semua ruangan. Mulai mengelap, menyapu, lalu mengepel sudah Abiyya lakukan. Tentu saja kecuali kamar yang ditempati Jeffin. Abiyya mengelap keringat di dahinya kemudian membenarkan ikatan rambutnya.

Bel berbunyi membuat Abiyya sedikit takut akan siapa yang datang. Karena tidak kunjung dibuka, sepertinya orang yang berada di luar langsung menghubungi Jeffin. Terbukti dengan pria itu yang sepertinya terpaksa bangun dengan telepon yang menempel di telinganya. Dengan balutan pakaian santai dan wajah yang masih terlihat mengantuk, Jeffin berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Seorang wanita paruh baya dengan setelan baju dan tas mewah yang bertengger di tangannya sambil menatap Abiyya dengan pandangan seperti terkejut atau mungkin tidak percaya. Abiyya hanya tersenyum canggung ketika wanita itu berjalan mendekatinya. Kemudian wanita tersebut tersenyum lebar sambil menatap Jeffin yang baru saja menutup pintu apartemennya.

“Jeffin, kenapa nggak bilang sama mama, kalau kamu udah punya pacar. Kalau tahu gitu kan mama nggak akan atur jadwal buat kencan kamu.” Abiyya hanya menatap wanita yang ternyata adalah ibu dari lelaki yang membantunya itu dengan tatapan bingung. Kemudian melihat ke arah Jeffin yang tengah memijat keningnya pelan.

“Ma,” panggil Jeffin pelan. “Dia bukan pacar Jeffin,” katanya melanjutkan.

Aera menarik Abiyya dan mendudukkannya di sampingnya. “Kalau bukan pacar terus apa?”

“Kenapa mama ke sini?” tanya Jeffin tak menanggapi pertanyaan Aera dan duduk tepat di samping Aera.

“Kamu ini, memang mama nggak boleh berkunjung ke tempat tinggal anak mama sendiri gitu.” Omelan khas ibu-ibu pada anaknya ketika jarang bertemu.

“Ajen kan yang ngasih tahu ke mana?”

“Ngasih tahu apa? Ajen nggak ada ngasih tau mama apa-apa kok,” jawabnya dengan wajah seperti tidak ada apa-apa. Wajah cantik Aera yang Abiyya yakini membutuhkan perawatan yang sangat mahal.

“Nama kamu siapa sayang?” tanya Aera yang kini mengabaikan Jeffin dan beralih pada Abiyya. Abiyya mengerjapkan matanya pelan beberapa kali dan berkata pelan. “Abiyya, Tante.”

“Cantik seperti orangnya.” Abiyya hanya tersenyum tipis mendengar pujian dari Aera kemudian mengucapkan terima kasih. Abiyya merasa malu karena bertemu dengan orang tua Jeffin padahal mereka tidak saling kenal.

“Kamu pacarnya Jeffin?”

“Ma!” tegur Jeffin yang membuat Aera menatap tajam putranya itu. “Jangan buat Abiyya nggak nyaman sama pertanyaan mama. Lebih baik mama sekarang pulang, nanti Jeffin jelasin semua ke mama.”

“Emang kenapa si kalau mama ada di sini, toh Abiyya nggak apa-apa kan kalau tante ada di sini?” Abiyya menggelengkan kepalanya. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Apalagi tadi mendengar pertanyaan Aera apakah dirinya pacar Jeffin. Yang benar saja, mereka baru bertemu tadi malam dan ia hanya menumpang di sini karena Jeffin yang kasihan padanya.

“Hmm, oke, mama bakal pulang sekarang, mama tau kayaknya kamu nggak pengen di ganggu kan waktu berduaan bareng Abiyya. Kalau gitu mama pamit dulu.” Aera bangkit dari duduknya dan memeluk Abiyya sebentar. “Tante tunggu kamu di rumah ya.” Setelah itu Aera benar-benar pulang yang membuat Abiyya menghela napas lega.

“Maaf, sudah bikin kamu nggak nyaman karena mama saya.”

“Enggak, harusnya saya yang minta maaf, karena saya di sini jadi mama kamu salah paham.”

“Santai aja, mama saya jadi urusan saya.”

Abiyya mengangguk. “Tadi saya bikin sarapan, kalau berkenan mungkin kamu mau makan,” ucap Abiyya dengan tangan yang menunjuk ke meja makan dengan ragu. Tanpa di duga Jeffin bergerak menuju meja makan yang sudah tersedia nasi goreng buatan Abiyya tadi.

“Saya udah makan duluan tadi,” kata Abiyya yang seolah mengetahui apa yang Jeffin tanyakan lewat tatapan matanya. Kemudian Jeffin menikmati makannya dalam diam sampai makanannya habis tak tersisa.

“Ah iya, habis ini saya mau pamit pergi. Terima kasih sebelumnya sudah membantu saya dan memberikan saya tempat buat tinggal semalam.”

Jeffin yang hendak masuk ke kamarnya jadi berhenti dan menatap Abiyya. “Sudah ada tempat yang mau dituju?” Entah kenapa pertanyaan itu muncul begitu saja seolah Jeffin peduli dengan Abiyya yang baru dia temui tadi malam.

“Hah? Eee... sebenarnya belum ada si, tapi saya juga nggak mau ngerepotin kamu.”

“Oke, terserah kamu.”

“Oh iya, buat baju yang dikasih kamu semalam, bakal saya ganti kok, tapi nggak bisa sekarang. Kalau udah ada uang saya bakal cari kamu buat ganti itu.” Jeffin mengibaskan tangannya dan hilang dari pandangan Abiyya.

🌾🌾🌾

Abiyya berjalan tanpa arah setelah tadi sempat berpamitan pada Jeffin ketika ia akan pergi. Abiyya mengelap keringat yang menetes di keningnya karena cuaca panas saat ini. Sambil berjalan, Abiyya juga berharap di dalam hatinya agar ia tidak dipertemukan dengan Yasa setelah dua kali ia bisa melarikan diri. Entah nanti apakah bisa ia melarikan diri lagi atau tidak ketika kembali berhasil ditangkap oleh Yasa. Dua kali pula ia bertemu orang baik yang mau membantunya dari kejaran Yasa.

Terasa menyedihkan ketika tidak mempunyai teman satupun. Jujur saja Abiyya bukanlah orang yang punya banyak teman atau kenalan karena dia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan belajar terus-menerus. Menyapa teman saat sekolah dan kuliah pun hanya untuk berbasa-basi saja.

Abiyya menatap jalanan yang ramai akan kendaraan karena memang hari libur. Tak hanya itu, banyak juga pengguna jalan raya seperti dirinya yang berlalu lalang. Kalau dirinya tidak dalam kondisi seperti ini, Abiyya lebih memilih untuk tetap berada di rumah. Menikmati waktu dengan bersantai daripada pergi dengan terik panas yang sangat menyengat kulit.

Mata Abiyya membulat ketika ia melihat beberapa teman Yasa yang Abiyya ingat kemarin. Dengan cepat Abiyya berusaha untuk menghindari mereka dan jangan sampai mereka melihat keberadaan dirinya. Dan ternyata ada satu orang yang melihat dan mengenali Abiyya sehingga memberitahukan kepada teman-temannya yang lain.

Terjadilah aksi kejar-kejaran seorang gadis dengan beberapa orang pemuda membuat sedikit orang memperhatikan mereka tanpa ada yang tahu apa yang akan terjadi pada gadis itu ketika tertangkap oleh pemuda yang mengejarnya. Tanpa sadar langkah kaki Abiyya menuju tempat tinggal Jeffin yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat Abiyya tadi. Memastikan orang yang mengejarnya sedikit jauh, Abiyya menambah kecepatan larinya masuk ke kawasan gedung tinggi yang mewah itu.

Abiyya terjatuh ketika tubuhnya tak sengaja menabrak seseorang di lobi karena tidak bisa mengendalikan kecepatan larinya. “Ngapain kamu lari-lari di sini?” Mendapatkan pertanyaan dari seseorang yang suaranya Abiyya kenal membuat Abiyya langsung mendongakkan kepalanya menatap Jeffin. Yap, orang yang ditabraknya adalah Jeffin. Meskipun baru bertemu kemarin, tetapi Abiyya bisa mengenali suara Jeffin. Abiyya meringis pelan kemudian berdiri dan menepuk pelan baju bagian belakangnya lalu menggeleng pelan.

Jeffin mengibaskan tangannya lalu berkata, “Kebetulan kamu datang ke sini lagi, saya perlu bantuan kamu,” ucap Jeffin tanpa basa-basi.

“Saya bakal bantuin apapun itu, tapi tolong saya dulu, saya kembali bertemu dengan orang-orang yang mengejar saya kemarin.”

“Astaga.” Jeffin langsung menarik Abiyya menuju lift dan naik ke lantai di mana unit Jeffin berada. “Saya minta penjelasan dari kamu nanti.”

“Jadi apa yang bisa saya bantu?” tanya Abiyya ketika mereka berdua sudah berada di ruang tamu apartemen Jeffin.

“Apa!” Abiyya mengerjapkan matanya beberapa kali setelah mendengar penjelasan dari Jeffin yang memintanya untuk berpura-pura menjadi pacar dari pria itu. “Kenapa harus saya?”

“Mama saya tahunya kamu pacar saya, karena tadi pagi. Kamu masih ingat kan?” Abiyya mengangguk pelan. “Dan mama saya mau kamu datang ke rumah buat makan malam, minggu depan.” Jeffin menghela napas sebentar sebelum menjelaskan semua rencana yang telah ia susun ketika tadi mendapatkan pesan dari sang ibu agar mengajak Abiyya untuk datang ke rumah.

“Jadi, saya perlu mengenal tentang kamu begitu pula sebaliknya.”

“Harus banget seperti itu?” Jeffin hanya mengangguk.

“Ah iya, saya mau tahu masalah kamu biar saya bisa bantu kamu juga.”

Abiyya menceritakan semua yang ia alami kemarin. Tentu saja hal itu membuat Jeffin sedikit terkejut. Bisa-bisanya ada orang yang mau menjual saudaranya sendiri hanya untuk membayar hutang. Padahal uang itu digunakan sendiri oleh saudara Abiyya.

Setelah itu mereka sepakat untuk saling membantu. Dan beruntungnya Abiyya, Jeffin mau menampungnya di tempat tinggalnya sampai waktu yang belum ditentukan. Itu semua dilakukan untuk menyelamatkan Abiyya dari kakaknya.

🌾🌾🌾

Setelah saling sepakat, keduanya mulai mengenal satu sama lain. Bahkan sejak seminggu yang lalu Abiyya tinggal berdua bersama Jeffin. Semua dilakukan agar terlihat nyata di hadapan keluarga pria itu nantinya. Keduanya kini telah siap dengan pakaian yang terlihat serasi. Lagi-lagi keduanya menyiapkan semuanya seolah-olah yang terjadi di antara mereka adalah nyata.

Kini keduanya sedang dalam perjalanan menuju rumah Jeffin. Abiyya menatap takjub rumah yang lebih terlihat seperti istana itu. Di depan sudah ada para pelayan yang menyambut kedatangan mereka berdua.

Abiyya menegang ketika lengan Jeffin merangkul pinggangnya sehingga membuat mereka sedikit menempel. Jantung Abiyya berdegup kencang akibat ulah Jeffin yang mendadak ini. Kemudian dapat dilihat Aera yang sedang menunggu kedatangan keduanya dengan senyum lebar yang tercetak di wajah cantiknya. Abiyya tak bisa berhenti mengagumi wajah Aera yang benar-benar sangat cantik luar biasa itu.

Aera memeluk Abiyya singkat dan langsung mengajaknya ke meja makan yang di mana sudah ada lelaki paruh baya yang sangat mirip dengan Jeffin. Ada juga perempuan yang tak kalah cantik Aera yang sepertinya seumuran dengannya. Lalu Aera menyuruhnya untuk memperkenalkan diri. Mau tidak mau dengan canggung Abiyya mengenalkan dirinya yang di sambut baik oleh ayah Jeffin yang diketahui bernama Reksa. Namun, sambutan berbeda dari perempuan yang Abiyya tahu bernama Crystal itu yang membuat Abiyya sedikit takut.

Setelah perkenalan singkat Abiyya kepada keluarga Jeffin, kemudian Aera memutuskan untuk memulai makan malam ini. Di tengah acara makan malam, ada sedikit obrolan yang tercipta tentunya karena Aera. Sehabis makan selesai, mereka kembali berbincang santai sambil makan makanan penutup.

“Jadi, kalian kenal di mana?” tanya Crystal untuk yang pertama kalinya ikut dalam obrolan sepanjang Abiyya ada di rumah ini. Tentu saja dengan cara bicaranya yang tidak bersahabat.

“Hmm, acara kampus, kebetulan kita dari kampus yang sama,” jawab Abiyya yang memang tak sepenuhnya bohong bahwa ternyata mereka kuliah di tempat yang sama.

“Kok bisa? Bukannya kalian nggak satu angkatan dan setelah beberapa tahun Kak Jeffin lulus, lo baru masuk kan?” pertanyaan yang keluar dari mulut Crystal seolah menaruh curiga pada hubungan keduanya. Untung saja dengan cepat Jeffin menjawabnya sehingga tidak menimbulkan pertanyaan aneh lainnya.

“Orang tua kamu bekerja di mana?” kali ini Reksa yang bertanya dengan suara khasnya yang terdengar sangat tegas.

“Saya sudah tidak punya orang tua,” jawab Abiyya sambil tersenyum tipis sehingga membuat Aera yang berada di sampingnya mengelus pundaknya lembut.

“Ah, saya minta maaf, saya nggak tahu.”

“Ma, Pa, Kak Jeffin, Crystal mau ke kamar dulu,” pamit Crystal tiba-tiba yang langsung pergi tanpa mendapatkan persetujuan dari ketiga orang yang tadi di ia pamiti.

“Pasti berat banget ya buat kamu, kalau kamu mau, boleh panggil tante, mama. Anggap aja mama kamu sendiri.” Perkataan Aera membuat Abiyya merasa terharu bahkan sampai tidak sadar matanya sudah meneteskan air mata. Kemudia Abiyya mengucapkan terima kasih karena mengizinkannya untuk memanggil Aera seperti itu.

Sudah banyak obrolan yang mereka bicarakan sampai ada perkataan Aera yang membuat tiga orang lainnya hanya terpaku. “Bagaimana kalau kalian menikah saja? Toh kalian udah sama-sama dewasa dan untuk Jeffin sudah waktunya untuk menikah.”

“Ma!” tegur Jeffin yang tak menyukai pembicaraan tentang pernikahan. Bagaimana mungkin ia menikahi Abiyya, wanita yang belum lama ia kenal dan juga dirinya belum ada rasa untuk cepat-cepat menikah.

“Mama tuh udah pengen gendong cucu Jef, lagian orang-orang yang seumuran kamu udah pada nikah semunya.”

“Nggak semuanya ma, banyak juga kok yang belum menikah. Lagian Abiyya baru saja lulus kuliah, dia masih harus cari pengalaman bekerja.”

“Sudahlah Ma, serahkan keputusan sama mereka berdua. Kalau mereka ingin menikah pasti akan memberi tahu kita.” Reksa akhirnya membuka suara setelah tadi hanya menyaksikan istri dan anaknya membicarakan tentang pernikahan.

“Mama harap kamu secepatnya mengambil keputusan seperti yang mama bilang tadi. Sebelum nanti mama akan meninggal.”

“Mama apaan si kok ngomongnya begitu seolah-olah mau pergi aja, Jeffin yakin mama bakal ngeliat Jeffin sama Crystal menikah dan mama bakal panjang umur sampai tua nanti.”

“Umur nggak ada yang tahu Jef.”

Keduanya berpamitan ketika hari sudah semakin malam. Abiyya menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi yang di dudukinya. Ternyata memainkan sebuah drama sangat melelahkan. Memikirkan bagaimana nanti untuk kedepannya. Karena satu kebohongan pasti akan menimbulkan kebohongan lainnya.

Abiyya memejamkan matanya untuk sedikit merilekskan tubuhnya dari obrolan yang terjalin pada saat di rumah Jeffin yang ternyata membawa efek pada dirinya yang sedikit kepikiran. Namun, lama kelamaan matanya memberat dan akhirnya Abiyya sudah pergi ke alam mimpi. Jeffin yang sedang menyetir hanya melirik Abiyya sekilas kemudian fokus kembali pada jalanan di depannya.

Setelah sampai di basemen, Jeffin yang berniat ingin membangunkan Abiyya pun mengurungkan niatnya. Karena wajah cantik yang sedang terlelap itu terlihat sangat kelelahan. Jeffin memutuskan untuk menggendong Abiyya. Dengan balutan gaun yang sangat cantik Jeffin meletakkan Abiyya di tempat tidur yang kini sudah ditempatinya selama seminggu ini.

Jeffin pun menuju ke kamarnya dan membersihkan tubuhnya. Dengan tubuh yang sudah segar Jeffin melanjutkan pekerjaan yang sudah menunggunya sedari tadi. Jeffin memeriksa satu persatu dokumen di hadapannya dengan teliti. Jeffin mendongak ketika ada segelas kopi berada di hadapannya. Terlihat Abiyya yang sudah mengganti bajunya menjadi baju tidur yang dibelinya, tentu saja menggunakan uang dari Jeffin.

“Kenapa bangun?” tanya Jeffin dengan mata yang kembali fokus pada tulisan-tulisan di hadapannya.

Abiyya mendudukkan pantatnya pada kursi di depan meja Jeffin. “Kebangun aja terus pengen minum, eh malah lihat orang super sibuk ini masih bekerja padahal hari udah menjelang pagi.”

“Jeffin,” panggil Abiyya yang di balas dengan dehaman singkat. “Kenapa kamu mau bantuin saya?” tanya Abiyya tiba-tiba.

“Karena kamu juga bantuin saya.” Abiyya tak membalas kembali jawaban Jeffin.

Kali ini Abiyya hanya menatap Jeffin yang terlalu serius memeriksa dokumen di hadapannya. Sesekali mengernyitkan dahinya yang membuat Jeffin terlihat lucu, tentu saja bagi Abiyya. Entah sudah berapa kali Abiyya menguap akibat memutuskan untuk menemani Jeffin mengerjakan pekerjaannya.

“Kembalilah ke kamar!” Perintah dari Jeffin yang tak dihiraukan oleh Abiyya sampai pada akhirnya Abiyya tertidur di atas meja kerja Jeffin dengan satu tangan yang dijadikan sebagai bantal.

“Ckck.” Jeffin berdecak pelan namun dengan hati-hati ia mengangkat tubuh Abiyya dan memindahkannya ke kamar yang perempuan itu tempati.

Jeffin membereskan meja kerjanya terlebih dahulu sebelum kembali ke kamarnya. Hanya beberapa jam saja tidur, kini Jeffin sudah bersiap dengan kemeja putih yang melekat pas di tubuhnya. Membuat sarapan sederhana berupa sandwich yang setelah jadi ia langsung menikmatinya. Tak lupa juga ia menyiapkan buat Abiyya yang kini masih belum juga terlihat wujudnya.

Abiyya terbangun ketika hari sudah mulai beranjak siang. Sambil meregangkan tubuhnya Abiyya berjalan menuju meja makan yang sudah ada sesuatu di atasnya. Melihat ada sebuah notes yang tertulis di dekat piring bertuliskan ketika sudah bangun untuk segera memakannya, tak lupa untuk di angati terlebih dahulu. Abiyya memakan sandwich dengan pelan, ia merasa tidak cocok berada di tempat seperti ini sebenarnya. Kalau saja ia tak membutuhkan perlindungan seseorang untuk menghindari kakaknya, Abiyya lebih memilih untuk tinggal di tempat yang biasa saja seperti hari-hari sebelum Yasa mempunyai niat yang tidak pernah Abiyya sangka.

“Huft.” Abiyya menghembuskan napas kasar. Kemudian mulai membersihkan rumah seperti sebelumnya. Setidaknya ia harus sadar diri bahwa dirinya sedang menumpang sekarang. Jadi untuk hal bersih-bersih seperti ini sudah biasa Abiyya lakukan.

Abiyya bingung apa yang harus ia lakukan lagi ketika sudah selesai beberes. Jalan mondar-mandir adalah cara Abiyya agar tidak bosan. Untuk zaman sekarang tidak memiliki ponsel adalah hal yang jarang sekali ada atau mungkin tidak ada anak yang tidak memilikinya. Apalagi banyak anak kecil yang diberi kebebasan oleh orang tuanya untuk bermain ponsel agar bisa diam. Tetapi itu tidak berlaku bagi Abiyya yang sekarang bahkan usianya sudah dewasa. Dulu Abiyya sempat memiliki ponsel yang hanya bisa untuk mengirim SMS dan telepon saja, namun itu sudah tidak ada karena diminta oleh Yasa untuk dijual.

Suara pintu terbuka membuat Abiyya tanpa sadar langsung mengambil sapu dan berjalan mengendap-endap untuk melihat siapa yang datang. Seorang lelaki dengan pakaian rapi yang berbalut jas berjalan santai masuk. Tanpa menunggu lagi Abiyya langsung mengarahkan gagang sapunya untuk memukul orang tersebut berkali-kali.

“Woi, woi, woi!”

“Heh, berhenti woi!”

“Gue Ajen, sekretaris Jeffin!”

Teriakan itu membuat Abiyya menjauhkan gagang sapunya dari tubuh pria yang diketahuinya bernama Ajen, sekretaris Jeffin. “Maaf-maaf, saya nggak tahu.”

Ajen memicingkan matanya menunjukkan tatapan permusuhan di antara mereka. “Kalau saja gue nggak buru-buru, bisa abis lo sama gue.” Setelah mengatakan itu Ajen langsung menuju ruang kerja Jeffin. Terlihat Ajen yang membawa sebuah map, mungkin itu dokumen Jeffin yang tertinggal.

“Mas, saya minta maaf ya, saya nggak tahu kalau Mas sekretarisnya Jeffin.” Abiyya memukul kepalanya pelan berkali-kali. Merutuki kebodohannya setelah Ajen tanpa membalas ucapan maafnya langsung pergi begitu saja. Abiyya benar-benar merasa bersalah karena itu, dalam hati Abiyya berkali-kali mengingatkan dirinya kalau bertemu kembali dengan Ajen ia harus meminta maaf.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status