Laurel bingung harus mencari adiknya di mana. Ia menanyakan tentang keberadaan Laura pada Bik Mia, namun nihil. Bik Mia tidak mengetahui dimana Laura berada saat ini. Saat melewati area danau, tiba-tiba ia melihat dua orang yang sedang duduk di tepian danau itu. Laurel menepikan mobilnya, ia memperhatikannya.Dan ternyata benar, itu adalah Laura dan Rafael. Ia lega, karena Laura baik-baik saja. Karena saat ini, adiknya sedang berada bersama Rafael."Hm, pemandangan di sini sejuk banget, ya." keduanya menengok ke arah suara, dan mendapati Laurel yang sedang berdiri di belakang mereka."Kakak?" Laura berdiri yang di ikuti dengan Rafael. "Bagaimana lo bisa ada di sini, kak?""Emang gue nggak bisa ada di sini?""Ya bukan gitu kak. Gimana sih lo," Laura memperhatikan sekitar, ia mengira kalau Alya sedang bersama kakaknya itu."Eh, bro. Kita ketemu lagi. Makasih ya udah jagain Laura selama ini," kata Laurel sambil menepuk-nepuk pundaknya Rafael. Sementara Rafael hanya tersenyum sebagai jawab
Hari ini, adalah hari kelulusan Laura. Tidak heran jika sekarang Laura sangat lama bersiap. Banyak yang ingin ia persiapkan. Tapi yang menjadi masalahnya saat ini, siapa yang akan menghadiri acaranya? Laura bahkan tidak berani mengatakan hal ini pada orang tuanya.'Bagaimana gue bakalan kasih tahu bunda ma ayah, gue aja gak berani. Ayah, pasti ia sibuk di kantor. Kakak? Ia pasti sibuk dengan para pasiennya. Dan bunda? Tidak mungkin bunda mau menghadiri kelulusan gue, bunda kan sangat benci sama gue. Hm, Bik Mia mau gak ya?' Batinnya bingung.Tidak ada pilihan lain, Laura memutuskan untuk mengajak Bik Mia ke sekolahnya. Laura berjalan gontai ke dapur, selagi meja makan masih sepi. Ia memeluk Bik Mia dari belakang, tentu saja hal itu membuat Bik Mia kaget."Non, bikin Bibi kaget aja deh.""Hehe, maaf ya, Bik.""Apa non perlu sesuatu?" Bik Mia menanyakan maksud dari tindakan Laura saat ini."Iya nih Bik. Hari ini kan hari kelulusan Laura, Bibi mau kan menghadirinya?" Laura menatap Bik Mia
Laura menatap layar ponsel, menampilkan berbagai referensi kampus terbaik. Laura berniat melanjutkan pendidikannya ke jenjang perguruan tinggi.Setidaknya dengan melanjutkan pendidikan, Laura bisa melupakan sejenak masalah hidupnya. Belum lama menatap ponsel, Laura merasakan nyeri di kepalanya, hingga cairan kental berwarna merah menetes dari hidungnya membasahi layar ponsel dalam genggamannya.Penyakit Laura kambuh, memang sudah saatnya ia mengikuti saran dokter, rutin minum obat yang sudah diresepkan. Tapi, Laura lebih memilih untuk menahan rasa sakitnya dibanding meminum obat tersebut. Mungkin, ia punya alasan tersendiri.Dadanya sesak, dan Laura lebih memilih untuk menikmati rasa sakit itu. Malam sudah beranjak larut, rasa sesak di dada Laura sangat menyiksanya.Laura tidak punya cara lain, ia berdiri dan mulai mengambil pil penghilang rasa sakit. Tapi pil tersebut, hanya membawa rasa kantuk. Mungkin, karena malam sudah larut, rasa kantuk jelas akan menyerang siapa saja.Sejenak, L
Hari itu, Indah dan ketiga anaknya sedang bersantai. Laura yang saat itu masih berumur tujuh tahun, bermain dengan kedua kakak-kakaknya. Mereka bersenda gurau bersama di taman, hari yang menyenangkan.Namun, siapa sangka? Hari yang indah itu justru akan menjadi hari paling menyakitkan bagi keluarga tersebut. Bagaikan cuaca yang tadinya cerah, seketika di tutupi awan kelabu. Kejadian yang tidak akan pernah di inginkan oleh siapapun juga, akan terjadi hari itu.Indah duduk di salah satu bangku taman, sembari memperhatikan ketiga putra-putrinya yang tengah asyik bermain bola lempar. Mereka berniat untuk pergi berlibur. Saat ini, Indah sedang menunggu suaminya untuk bersiap berangkat.Tidak lama memperhatikan anak-anaknya, Ponsel Indah berdering. Indah menjawab panggilan tersebut, tanpa berpikir panjang. seseorang di seberang sana sedang asik berbicara dengannya."Iya, baik Pak. Akan saya sampaikan kepada suami saya," rupanya, itu adalah salah satu klien suaminya, Iswan."Tolong secepatnya
Setelah hari itu, Laura di rawat beberapa hari di rumah sakit yang sama. Namun, Indah tidak pernah sekalipun menjenguk Laura. Peristiwa itu, cukup membuat Laura trauma."Di tinjau dari gejalanya, tampaknya anak bapak mengalami trauma akibat kejadian beberapa hari yang lalu."Dokter menjelaskan bagaimana keadaan Laura kepada Iswan, ayahnya. Setelah kejadian itu, hanya Iswan yang mengurus keperluan Laura di rumah sakit. Ia juga mengurus istrinya di rumah, menjalani terapi karena suatu penyakit psikis yang di alaminya. Situasi kacau balau."Apa yang akan terjadi selanjutnya, dok? Apa putri saya akan baik-baik saja?""Akibat tekanan batin tersebut, beberapa saraf di otak Laura tidak berjalan sesuai fungsinya. Mengakibatkan, Laura kehilangan ingatannya secara permanen."Iswan terdiam, masalah apa lagi ini? Apa yang harus dilakukannya?"Apa Laura juga akan lupa dengan keluarganya, dok?" Lantas ia bertanya, takut Laura melupakan semua orang."Hal itu belum bisa di pastikan, kemungkinan kecil
Pagi hari, Laura bangun dari tidurnya. Tubuh Laura terasa kaku dan lemas. Tidak di sangka, menangis dapat menghabisi hampir seluruh tenaga yang tersisa dalam tubuhnya. Laura berpikir, jika ia adalah robot, mungkin daya baterai nya sudah habis.Atau bahkan bisa lebih buruk lagi, sistem pertukaran energi dalam baterai mengalami konsleting. Tapi, robot bahkan tidak busa menangis, terkena sedikit percikan air sudah cukup untuk merusak sistem robot.Sudah puas membahas tentang robot dalam benaknya, Laura beranjak dari ranjang, menuju kamar kecil untuk mandi dan melakukan rutinitas lain yang biasa di lakukannya selama sekolah. Walaupun kini ia telah menyelesaikan pendidikan tingkat atas, tapi rutinitas itu sudah melekat dalam dirinya.Sembab dan bengkak di matanya tidak hilang begitu saja, bahkan setelah di kompres dengan air dingin. Laura menghembuskan nafas perlahan. Mungkin ad
Laura bersantai di tepi koam renang, duduk berdiam diri. Kurangnya aktivitas membuatnya sesekali termenung. Dala pikirannya, selalu saja muncul pertanyaan.Setelah ingatannya kembali beberapa hari yang lalu, pikiran Laura terus tertuju di hari itu.Siapa sih, pelaku tabrak lari itu? Siapa yang dengan teganya menabrak kakaknya? Kalaupun ia mau melaporkan kejadian di hari itu, ingin mendapatkan keadilan, tentu saja tidak bisa. Sudah berlarut-larut.Insiden tersebut terjadi 14 tahun yang lalu. Bisa jadi, lembaran-lembaran kasusunya sudah berakhir di tempat sampah.Laura bosan. Memikirkan semua itu malah membuatnya semakin kacau. Tapi apa boleh buat? Ia tidak ingin hidup seperti ini. Kehadiran dirinya malah di anggap sebagai pembawa sial oleh ibunya sendiri.Laura ingin membuktikan, bahwa ia bukanlah pembawa sial, bahwa ia bukanlah pembunuh.
"Apa!?" gue ga salah denger? Kok bisa, sih!?" Kinan kaget dengan pernyataan yang di berikan Laura. Ia menceritakan tentang kuliahnya di luar negeri."Gue yakin lo gak tuli, Kinan.""Tapi kenapa? Kita kan udah punya rencana kuliah di kampus yang sama, tante Indah jahat banget, ih."Laura tetap diam, mencoba berfokus pada buku yang sedang ia genggam.Ke-empat sahabat itu sedang menikmati senja di tepi danau. Laura ingin berpamitan dengan mereka, sahabat-sahabat terbaiknya."Akbar sama Rafael ke mana, sih?" Laura mengalihkan topik pembicaraan, cukup penasaran dengan kedua cowok yang keberadaannya belum diketahui."Gak tau, katanya mau beli camilan, Ra.""Eh, Ra. Lo beneran kuliah di luar negeri? Terus gue gimana dong? Gue gak mau pisah sama lo, Ra!" Kinan kembali menyinggung tentang pendidikan selanj