Belum ada respon apa pun dari Rose. Dia masih sibuk menenggelamkan wajah di bagian terdalam lekukan leher Theo.
Rose tidak tahu harus mengatakan apa. Di satu sisi dia marah, di sisi lain dia merasa telah berbuat jahat saat Theo tak memperhitungkan sedikitpun tindakan nekat yang dia lakukan. Dari segi keuntungan ketika Rose menjadi lemah, seharusnya Theo bisa melakukan serangan balik. Pria itu justru memilih untuk menenangkannya.Sungguh, Rose benar – benar menyesal. Duduk perkara hilangnya Oracle bisa diselesaikan dengan kepala dingin, bukan melibatkan emosi yang menganak – pinak dan membiarkan amarah sebagai pelakon utama. Sekarang risikonya darah menjadi buah segar di antara mereka dan aroma anyir melengkapi sisa kekacauan tadi. Harus dengan apa Rose membayar tumpahan darah yang terbuang sia – sia? Menyetujui ajakan Theo sebelumnya?Napas Rose terembus memberi sensansi menggelitik, sampai Theo bisa merasakan betapa asa di ujung gelisah sedang menyelubungi hati dan p“Aku lebih memilih pelacur yang setia, daripada bersama pengkhianat tak tahu diri seperti Magdalena.” -Theodore Witson- ________________________ [Bajingan itu harus datang sebelum dua jam dari sekarang berakhir].Theo sedang memperhitungkan waktu yang tersisa 15 menit sejak patokan pesan ancaman itu terkirim di ponsel Rose. Dari jam rolex di tangan, kini dia berfokus pada gedung usang yang menjulang di hadapannya.Para penyandera (mungkin) Theo tidak tahu ada berapa orang di dalam sana, bisa jadi satu, bisa juga beramai – ramai, yang pasti mereka sudah menyiapkan strategi dengan pemilihan tempat tua terpelosok. Sangat jauh dengan modernisasi kota, gedung itu terlampau suram menyedihkan.“What the—“ Umpatan maupun langkah Theo terhenti saat tubuhnya melewati ambang pintu masuk. Memang tidak semua hal bisa dinilai dari cover. Luaran tempat ini tampak kumuh tak terurus, berbeda dengan bagian dalam yang dipenuhi rangkaian elektronik dan bahan magnetik lain. Interiornya seperti dirancang
“Fine.”“Tapi lepaskan borgol ini dulu.”Hanya manusia bosan hidup yang benar – benar menyetujui tawaran gila dari Bouldog. Selama itu menghirup karbon monoksida sama saja bunuh diri. Ntah, mungkin 30 menit ke depan Theo tumbang lebih dulu sebelum satu jam berdiam tak melakukan apa pun di dalam tabung. Dipikir – pikir seharusnya Bouldog membuat Theo jatuh lebih tak berdaya sebelum memberikan tawaran, karena ketika borgol yang membelenggu terbuka. Dia tak akan membiarkan dirinya dikendalikan seperti di gedung sebelah.“Apa kau pikir aku bodoh membebaskanmu begitu saja?” Bouldog menatap Theo angkuh, kemudian dia terkekeh amat keras. Tawanannya bukan orang biasa. Bisa menjebak dengan segala rencana yang tersusun rapi rasanya sebuah kebanggaan. Dia sudah tidak sabar ingin mendapat pujian dari Mr. Alenjandro atas satu keberhasilan.Sayangnya Bouldog terlalu cepat merasa puas. Dia tidak sadar Theo sedang memperhatikan set
Kebajikan seperti apa yang mungkin bisa mempengaruhi hidup seseorang. Dia yang rela mengorbankan jiwa raga atau dia yang berani memutuskan kepada siapa hidupnya digantung kenikmatan tak kasat mata?Mungkin, seandainya rantai penjerat jiwa diputus dengan keberuntungan, Theo tak akan tenggelam dalam ketidakberdayaan yang masih membelenggu sampai saat ini. Kesadaran yang seharusnya bertahan, telah berkelana jauh di luar keinginan. Dan dengan itu, harapan seseorang terenggut sebelum pupuk yang ditabur bekerja sesuai fungsinya.“Cepat ambil air.” Sayup – sayup suara memerintah dari seseorang ditangkap samar oleh indra pendengarTheo harus segera keluar! Dia melakukan segala cara agar terbebas dari kegelapan. Dinding – dinding pemisah antara dirinya dan kenyataan didobrak sekuat tenaga.Nihil. Tidak terjadi apa pun kecuali lelah dipaksa menguasai hati dan pikiran.Berapa lama lagi Theo akan terjebak dalam lingkaran hitam yang tak henti mengurungnya? Dua atau tig
“Kau tidak pantas hidup!” umpat Bouldog tak terima. Dia gelap mata, kemudian melangkah cepat menuju mesin berbahaya. Sekali tekan, bunyi alat beroperasi memenuhi seisi ruangan.Saat itu juga gas tak berbau dan tak berwarna berlomba – lomba masuk ke tabung sasaran. Atom karbon yang secara kovalen berikatan dengan atom oksigen terus menyerbu seseorang di dalam sana.Tidak ada yang bisa Theo lakukan selain menahan diri dari helaan napas. Dia menunduk dengan tangan berpegang pada dinding kaca.Mati kehabisan pasokan udara segar atau mati keracunan, keduanya merupakan pilihan sulit. Bagaimana jika Bouldog tak mau menghentikan laju mesin yang terus menyalurkan gas – gas berisiko?Theo benar – benar tak sanggup lagi menahan rasa sesak saat tak ada sedikit pun udara yang menyapa rongga dada. Nyaris empat menit berlalu, dia masih mencoba menahan diri dari keringnya paru – paru.Damn it!Persetan dengan
“Lain kali jangan seperti ini lagi Oracle. Jangan mau menerima pemberian barang dari orang yang tidak dikenal. Apa kau mengerti?” tanya Rose tegas. Dia sudah mewanti Oracle akan mengalami trauma dari kejadian penculikan itu. Syukur saat terbangun, Oracle tidak mengingat apa pun, termasuk wajah pria yang memancingnya dengan makanan padat yang dibekukan.“Mengerti, Mommy. Maaf.” Oracle menunduk takut, tidak berani menatap wajah Rose. Anak seperti Oracle mana tahan kalau dirayu dengan es krim, makanan kesukaannya.“Mommy maafkan. Lain kali Oracle harus lebih pintar lagi, okay?”“Okay, Mommy.”“Good boy.” Rose tersenyum sembari mengusap kepala Oracle pelan. Sesekali dia berpaling ke arah blankar, tempat Theo terbaring begitu betah memejamkan mata.Memang kesadaran Theo hilang tidak lama setelah ambulan datang.Sekarang mereka berada di ruang IGD, di mana gejala yang ada, ruam merah cerah di kulit dan dari hasil analisa pemeriksaan gas darah. Dokter mengatak
“Hei.”Suara lembut itu membuat Theo beku. Untuk pertama kalinya Rose memberi sapaan hangat. Selama ini tidak pernah – pernah. Rose kerasukan setan apa?Sembari memperhatikan wajah memesona Rose, diam – diam Theo menggerakkan tangan ke atas. Dia melepas masker oksigen di wajah, merasa tidak nyaman terutama saat hendak bicara.“Apa yang kau lakukan? Dokter bilang kau butuh oksigen minimal sampai paru – parumu bersih.” Rose memasang kembali masker oksigen seperti seharusnya. Tatapan Rose tajam saat Theo masih ingin menjauhkan alat penyambung kehidupan tersebut.“Ponselku.” Suara Theo tersaring, meski apa yang dikatakan masih cukup terdengar. Sementara di sampingnya Rose sudah menyodorkan gawai yang Theo cari. “Maaf, pakai tangan kiri,” ucap Theo usai berhasil melepas ulang masker oksigen dan menyambut ponsel di tangan Rose.Rose memperhatikan apa yang akan Theo lakukan. “Sebaiknuya kau menjauhkan benda canggih itu saat kondisimu sendiri sedang tidak mendukung.”Penuturan Rose tidak dire
“Aku butuh bantuanmu, Rose.”Theo mengedarkan pandangan ke segala arah, memperhatikan setiap objek hingga sorot abu – abunya terhenti tepat menatap daun pintu.“Bantuan?”Pertanyaan Rose memecah fokus Theo yang terforsir penuh. Sambil berpikir, Theo menelusuri dalam – dalam wajah cantik nan manis di depannya. Satu dorongan muncul memenuhi isi kepala.Theo meneguk ludah susah payah. Masih menatap wajah memesona Rose. Hatinya saat ini sedang dikerubungi perasaan ragu dan mau. Apa mungkin Rose akan mengiyakan? Tanyanya dalam hati.“Aku menunggumu. Bantuan apa yang kau maksud?”“Bantu aku dengan datangi Sean, dekati dia. Cari tahu kapan dia akan menyebarkan video sialan itu. Aku akan urus sisanya.”“Tapi—tunggu dulu. Tidak usah. Tidak jadi. Aku bisa sendiri.” Boro – boro merasa Rose akan berhasil, yang Theo pikirkan hanya keakraban Sean dan Rose nanti. Sudah jadi pemisah, tidak mungkin Theo menjadi pemersatu antar dua rasa. Lagipula, kalau cuma menyebar
“Aku hitung satu sampai 10, kalau tidak masuk kau akan kutinggalkan,” ancam Rose penuh perhitungan.“Sabar, bawel!”Gerutuan singkat terdengar dari luar. Setiap gerakan Theo dan reaksi lega yang pria itu tunjukkan tak lepas dari pandangan Rose. Sempat terukir senyum teramat tipis di bibirnya, meski itu tidak berlangsung lama. Sisi manis Rose hilang bersama tatapan fokus ke depan saat Theo terburu - buru membuka pintu mobil.Rose meremas setir setelah mendengar bunyi gerakan menutup pintu dan terasa bertambahnya satu penumpang. Dari ekor mata, Rose sadar Theo sedang memperhatikannya.“Seseorang yang katanya tidak peduli, tiba – tiba memaksaku untuk masuk ke dalam mobilnya,” celetuk Theo usai memasang asal sabuk pengaman.Mobil dijalankan dengan tenang. “Aku hanya kasihan. Kau dan kemewahanmu mana terbiasa berjalan kaki.” Rose menambah kecepatan, sedikit tidak tahan untuk tidak berpaling menatap Theo di samping. Sesaat sorot mereka bersirobok, tidak lama kemudian Rose mengakhiri sesuatu