"Jihan, kamu mau kan gantiin aku jagain Sean?"
Jihan menggeleng-gelengkan kepalanya sesekali menepuk dahinya sendiri, setengah jam yang lalu ia baru saja menjerumuskan dirinya sendiri kedalam masalah.
Bagaimana bisa ia mengiyakan permintaan konyol Ara? Sean sudah besar dan ia laki-laki, seharusnya ia bisa menjaga dirinya sendiri.
"Duh, kok oon banget sih?" Jihan menempelkan dahinya pada meja.
"Umur aku nggak lama lagi Jihan. Anggap aja ini terakhir kali aku ngrepotin kamu."
Ucapan itu kembali menghentak Jihan, bagaimana bisa Jihan menolak permintaan itu mengingat keadaan Ara dan tatapan sayunya?
Pupus sudah harapan Jihan menikah dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya. Sekalipun sekarang Jihan masih jomblo, tapi berharap tidak ada salahnya kan?
Mengingat kembali tentang Sean Rahardja membuat Jihan bergidik ngeri. Lelaki itu terlalu dingin dan datar. Sangat jauh dari tipe pasangan yang diidamkan Jihan.
Suasana kantin rumah sakit ini sedikit lengang, mungkin karena jam besuk sudah selesai. Hanya ada segelintir orang yang sibuk dengan keperluannya masing-masing.
Jihan tidak tahu apakah Ara memberitahukan hal yang sama pada tunangannya itu atau tidak.
Tapi sepertinya, iya.
Karena didepan Jihan sekarang sudah berdiri sosok lelaki berkulit putih pucat dengan tatapan tanpa ekspresinya.
Lelaki itu menyugar rambut hitamnya dengan jemari panjangnya. "Aku harap kau menolak permintaan tunanganku," ujarnya tegas.
Bahkan lelaki itu tidak menyebutkan nama Ara melainkan tunangannya. Sepertinya Sean ingin menunjukan pada Jihan bahwa ia setia.
Jihan menyangga kepalanya dengan satu tangan, lalu menelisik penampilan lelaki didepannya yang bernama Sean ini.
Tampan? Tentu. Jihan juga mengakui jika Sean ini tampan.
Kaya? Pasti. Dilihat dari setelan pakaian dan jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya.
Cukup dengan dua hal itu Sean bisa meluluhlantakan hati perempuan manapun. Terkecuali Jihan.
"Namun dilihat dari ekpresi, sepertinya kau menerima permintaan Ara," lanjut Sean saat Jihan tidak segera memberikan respon dari kalimatnya.
Jihan mengangkat kedua alisnya lalu menghembuskan napas panjang. "Rasanya kau bisa menebak dengan benar."
Sean berdecih lalu menyunggingkan senyuman miring dan tatapan dinginnya berubah meremehkan. "Berarti dugaanku meleset. Lagipula mana mungkin kau menyia-nyiakan kesempatan emas," ujar Sean dengan kalimat sarkasnya.
Punggung Jihan menegak mendengar hal itu. Apa maksudnya dengan kesempatan emas? Apa ia pikir Jihan senang berada dalam situasi seperti ini?
"Kau pikir aku mau berada di situasi sulit seperti ini?" balas Jihan dengan tatapannya yang menajam, ia tidak suka disudutkan seperti ini. "Lagipula kenapa bukan kau yang menolaknya?"
"Kau pikir aku juga bisa menolak melihat kondisinya sekarang?"
Cih.
Konsep perempuan selalu benar, tidak berlaku saat ini. Lihat saja bagaimana Sean menjawab ucapan Jihan.
"Kau saja tidak bisa menolaknya, apalagi aku," jawab Jihan.
Sean mengalihkan pandangannya pada taman yang terletak disisi kantin.
"Pernikahan kontrak. Satu tahun," ucap Sean tiba-tiba.
♤♤♤♤♤
Pasangan impian Jihan adalah sosok lelaki yang hangat dan sedikit romantis. Harus nyaman dipeluk dan wangi. Selain itu harus memiliki pekerjaan yang tetap karena bagaimanapun lelaki adalah tulang punggung keluarga dan Jihan juga tidak masalah untuk tetap bekerja saat sudah berumah tangga nanti.
Semua kriteria itu ditetapkan Jihan setelah ia berkaca dari rumah tangga kedua orang tuanya yang hancur, terutama poin terakhir.
Selain itu, pernikahan impian Jihan bukanlah pesta yang mewah, Jihan hanya ingin mengadakan pesta outdoor. Menurutnya pesta outdoor itu unik dan keren, apalagi tempatnya lebih luas.
Sayangnya kedua hal diatas tidak akan pernah Jihan dapatkan, setidaknya dalam waktu dekat ini.
Pernikahan kontrak. Satu tahun.
Lelaki bernama Sean itu selain minim ekspresi ternyata juga gila. Ia mengajak Jihan menjalani pernikahan kontrak. Padahal pernikahan adalah sebuah ikatan suci dan sakral, bukan main-main.
Lagipula Jihan hanya ingin menikah sekali seumur hidup.
Sean pergi meninggalkan Jihan, memberinya waktu untuk memikirkan tawarannya. Lelaki itu sepertinya kembali ke ruang rawat milik Ara, setelah membeli dua botol air mineral.
Jihan masih menatap punggung lebar itu hingga Sean menghilang di tikungan. Bagaimana bisa Ara jatuh cinta dengan lelaki sedingin kutub seperti Sean?
Ara dan Sean bagaikan langit dan bumi. Ara yang ceria dan selalu bisa menghangatkan suasana, membuat orang tertawa dengan lelucon-lelucon konyolnya bersanding dengan Sean yang bahkan tersenyum saja tidak bisa.
Dunia benar-benar hampir kiamat!
♤♤♤♤♤
"Kondisi pasien kembali tidak sadar dan mengalami penurunan. Kami meminta keluarga sudah siap dengan kemungkinan terburuk," ujar seorang lelaki berusia 50 tahunan yang mengenakan jas dokter.
Menangis.
Hanya itu satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh Ibunda Ara —Sarah. Disisi Sarah ada seorang lelaki yang dengan tegarnya terus mendengarkan ucapan dokter sedang tangannya sibuk mengelus lengan ibunya untuk menyalurkan kekuatan.
"Ara nggak akan meninggal kan?" tanya Sarah pada Dio.
Dio sejenak berpikir, menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
"Ibu lebih seneng ngelihat Ara kesakitan atau nggak?" tanya Dio pada akhirnya.
Sarah dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tentu saja ibu nggak suka melihat Ara sakit!"
Pertanyaan yang tidak perlu dijawab rasanya. Lagipula, ibu mana yang rela melihat anaknya kesakitan? Bahkan jika bisa, Sarah akan meminta biar dirinya saja yang merasakan sakit.
"Nah, berarti ibu harus ikhlas kalau sewaktu-waktu Ara pergi."
Air mata yang tadinya sudah mereda kini mengalir lagi.
Dio mati-matian menahan agar ia tidak ikut menangis. Ia lelaki, harus kuat, tidak boleh cengeng. Setidaknya itu pesan sang ayah sebelum pergi dan tidak kembali.
"Bu...."
Sebuah sapaan membuat Dio dan Sarah menoleh. Sean sudah berdiri disisi mereka dengan penampilan yang cukup berantakan.
"Ara... Gimana?" tanya Sean terbata, sorot matanya tidak bisa berbohong bahwa ia sangat mengkhawatirkan gadis itu.
Bahkan Sean mengabaikan pandangan orang-orang yang melihatnya di sepanjang lorong rumah sakit lantaran penampilannya yang cukup berantakan.
"Kondisinya menurun lagi. Dokter bilang, kita harus siap menerima kemungkinan terburuk," jawab Dio.
Sean bergerak, berpindah menuju ke depan kaca, dimana ia bisa melihat dengan jelas Ara yang sedang terbaring antara hidup dan mati.
Andai ada hal yang bisa ia lakukan untuk menyembuhkan Ara, maka dengan senang hati Sean akan melakukannya. Sekarang dalam hatinya Sean hanya bisa berdoa semoga Tuhan tidak mengambil Ara-nya.
♤♤♤♤♤
Sean Rahardja.Julukan Lady Killer yang disematkan padanya bukan tanpa alasan. Sean senang bergonta ganti wanita alias pacar. Dengan wajah gantengnya itu, tidak mungkin ada wanita yang menolaknya.Tiga hari adalah waktu tercepat dalam hubungan yang Sean jalani. Alasan Bosan selalu Sean lontarkan saat ditanya kenapa, padahal wanita-wanita yang dipacari Sean kecantikannya jauh diatas rata-rata karena berasal dari kalangan atas.Kegiatan bergonta-ganti pacar itu berhenti tepat saat ia bertemu Ara. Jika sebelumnya Sean tidak perlu mengeluarkan banyak usaha dalam mendapatkan wanita yang ia mau, maka untuk Ara hal tersebut tidak berlaku.Sean jatuh bangun untuk mendapatkan Ara dan setelah enam bulan baru gadis itu luluh. Ara berbeda. Gadis itu melihat Sean sebagai dirinya sendiri, bukan Sean yang menyandang nama Rahardja di belakangnya.Lelaki menangis itu wajar. Lelaki juga manusia yang bisa merasakan sedih. Berkali-kali Sean membisikan kalimat itu untuk dirinya sendiri. Terakhir kali Sean
Jihan menatap pantulan dirinya didepan kaca. Memakai gaun pengantin mewah bertabur berlian. Gaun ini seharusnya tidak untuknya, gaun ini seharusnya Ara yang memakai. Tapi Ara bersikeras meminta Jihan untuk memakainya, alih-alih membiarkan Jihan memilih gaun yang lain.Hari yang ditentukan tiba. Hari dimana Jihan akan melepas status singlenya untuk menikah dengan lelaki yang sama sekali tidak ia cintai. Beberapa jam lagi, ia akan resmi menjadi seorang istri.Tatap kagum ditujukan Ara untuk Jihan saat masuk ke ruangan dan mendapati Jihan sedang duduk, dengan beberapa tangkai bunga ditangannya."Kamu lebih cocok pakai gaun itu daripada aku," ucap Ara, membuat Jihan tersentak dari lamunannya.Jihan memperhatikan Ara, gadis itu benar-benar berjuang menuruti omongan dokter sampai akhirnya dokter mengijinkan Ara untuk menyaksikan pernikahan kekasihnya sendiri.Ara duduk dikursi roda, dalam sakitnya pun, Ara masih terlihat cantik. Ara menampilkan senyumannya. Ntah hanya perasaan Jihan saja ata
Tangan Jihan bergetar membuka kain putih didepannya. Rasanya tidak sanggup, namun Jihan ingin melihat Ara untuk yang terakhir kalinya. Jihan kembali menangis saat wajah pucat Ara terlihat disana."Pembohong! Katanya pasti sembuh!" ujar Jihan lirih. "Gue udah turutin mau lo, kenapa lo malah pergi, Ra?"Berbeda dengan Sean, lelaki itu meninju dinding didepannya, tidak peduli tangannya sudah memerah bahkan mengeluarkan darah. Ia benci karena dirinya tidak bisa mengemudi lebih cepat.Ara tidak mau menunggunya.Ara meninggalkannya.Seandainya Sean datang sepuluh menit lebih cepat. Atau Ara sengaja pergi sebelum Sean datang karena tidak mau melihat Sean sedih?Sean tidak menangis, bukan berarti dia tidak kehilangan, bukan berarti dia tidak sedih. Wajah Sean yang merah padam bukti bahwa ia mati-matian menahan tangisnya."Berenti menyakiti dirimu sendiri, Sean." Dio menahan tangan Sean agar tidak kembali mengenai tembok. Sudah cukup lelaki itu bertindak bodoh."Lepas.""Apa kau pikir Ara bisa
Butuh waktu untuk Sean bisa menerima semuanya. Sebaik apapun kita mempersiapkan diri untuk ditinggalkan, nyatanya kehilangan rasanya tetap menyakitkan.Anggap saja ini ganjaran bagi Sean karena kelakuannya dulu. Sean menerimanya. Dan ia mungkin tidak akan membuka hatinya lagi. Sean ingin Ara menjadi wanita terakhirnya.Sesuai keputusannya, pernikahannya dengan Jihan akan berakhir setelah satu tahun.Sean kembali memasuki area kantornya dengan wajah datar, para karyawan terkejut melihat perubahan Sean. Aura dingin kembali memancar dari lelaki itu, padahal sebelumnya lelaki itu sudah berubah menjadi atasan yang lebih hangat.Bisik-bisik menyebutkan jika hal tersebut dikarenakan meninggalnya Ara. Beruntungnya Sean tidak mendengar soal hal itu karena Cakra lebih dulu membungkam mulut gibah para karyawan. Tentu saja dengan ancaman mutasi atau pemberhentian kerja.Sebagai teman, Cakra tidak mau hidup Sean kembali berantakan seperti dulu. Sekalipun bukan dengan Ara, Cakra ingin Sean tetap hid
Jihan benci saat harus menurunkan egonya untuk makhluk bernama lelaki. Bagi Jihan semua lelaki itu sama, brengsek semua!Dan sialnya Jihan rela mempermalukan dirinya di hadapan lelaki bernama Sean.Jika tahu usahanya akan ditolak mentah-mentah, maka Jihan tidak sudi repot-repot membuat sushi dan mengantarnya. Padahal demi sushi itu, Jihan merelakan tangannya terkena pisau.Kaki Jihan melangkah keluar dari gedung OS Corp dengan wajah masam. Ia turun menuju parkiran dengan lift, saat keluar dari lift Jihan tidak sengaja menabrak seseorang lantaran terlalu fokus dengan rasa kesalnya."Ah maaf," ucap Jihan seraya mengusap dahinya."Dahimu baik-baik saja?" tanya lelaki itu dan membuat Jihan mendongak.Jihan seperti terhipnotis saat memandang lelaki itu. Sepertinya yang berdiri didepannya saat ini bukan manusia, tetapi utusan dewa."Nona?" panggil lelaki itu sembari menggerakan tangan didepan Jihan."Ah iya! Dahiku baik-baik saja. Maaf aku tidak melihatmu," jawab Jihan lalu membungkukan bada
Jihan sudah mandi dan sudah membersihkan semuanya sesuai yang diperintahkan Sean. Kini, perempuan itu tengah duduk beristirahat di sofa.Jihan melihat ke arah dapur, dari tempatnya duduk ia bisa melihat punggung tegap Sean. Ntah apa yang dilakukan lelaki itu disana.Karena penasaran, Jihan mendekat ke arah dapur lalu menarik kursi pantry dan duduk disana.Baru saja duduk, Jihan sudah berteriak panik saat melihat api kompor yang terlalu besar, dengan sigap Jihan berlari dan mematikan kompor.Munculnya Jihan yang mematikan kompor secara tiba-tiba membuat Sean jengkel."Apa maksudmu mematikan kompor? Kau tidak melihat aku sedang memasak?"Jihan mundur satu langkah, sungguh penampilan Sean saat ini sangat langka di mata Jihan.Sean memakai apron.Biasanya Jihan hanya akan melihat Sean memakain 2 pakaian. Yang pertama kemeja formal dan yang kedua jas kantor. Sampai-sampai Jihan bosan melihat pakaian itu."Kau mau memasak atau membuat rumahmu kebakaran?" tanya Jihan."Jadi menurutmu aku tid
Sean menatap tas diatas nakas sisi sebelah kiri meja kerjanya. Berkali-kali ia menghembuskan napasnya.Ini sudah satu minggu semenjak ia meminta Jihan membuatkannya bekal makan siang. Yang membuat Sean takjub adalah tas yang melapisi kotak bekal itu.Tas itu berwarna ungu dengan hiasan kupu-kupu didepannya, ada juga huruf J yang tertempel cukup besar disana, jangan lupakan pita berwarna pink disisi kiri dan kanan tas itu.Seorang Sean dengan wajah minim ekspresinya menenteng tas kiyut seperti itu, memangnya siapa yang berani menertawakannya?Hanya tatapan tidak percaya yang ia dapat saat pertama masuk ke kantor dengan tas itu ditangannya. Sean mengusap wajahnya kasar, mungkin lain kali ia harus meminta Jihan untuk membeli tas lain dengan motif yang lebih normal."Kau kenapa lagi?"Siapa lagi oknum yang berani masuk ke ruangan Sean tanpa mengetuk kecuali Cakra?
Sebuah sedan berwarna hitam terparkir manis di kediaman Oscar Rahardja. Sean tau betul bahwa itu bukan mobil kakeknya.Rumah minimalis itu terkesan sejuk dan nyaman untuk ditinggali, sekalipun bukan berada dideretan perumahan elite seperti milik Sean. Bagi kakeknya, rasa nyaman adalah nomor satu. Sebesar apapun rumah, jika tidak ada rasa nyaman didalamnya maka itu tidak pantas disebut rumah.Sean turun dan berjalan memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Jihan. Formalitas, begitu pikir Sean. Apalagi saat Sean tiba, kakeknya sudah berdiri didepan pintu siap menyambut cucu dan cucu menantunya.Jemari Sean ditautkan pada milik Jihan, lalu mengajak Jihan menghampiri kakeknya."Kakek lagi kedatangan tamu?" tanya Sean.Kakeknya terkekeh, terlihat keriput muncul diwajahnya saat lelaki berumur 3/4 abad itu tersenyum."Bukan tamu kakek. Tapi tamu kamu, Sean. Ayo masuk."Sean menjadi bingung. Kalau tamu Sean, mengapa tidak datang ke kantor saja atau ke rumah? Alih-alih malah datang kerumah ka