Share

(Not) Just Married
(Not) Just Married
Penulis: liamhrn

01. Permintaan Konyol

"Jihan, kamu mau kan gantiin aku jagain Sean?"

Jihan menggeleng-gelengkan kepalanya sesekali menepuk dahinya sendiri, setengah jam yang lalu ia baru saja menjerumuskan dirinya sendiri kedalam masalah.

Bagaimana bisa ia mengiyakan permintaan konyol Ara? Sean sudah besar dan ia laki-laki, seharusnya ia bisa menjaga dirinya sendiri.

"Duh, kok oon banget sih?" Jihan menempelkan dahinya pada meja.

"Umur aku nggak lama lagi Jihan. Anggap aja ini terakhir kali aku ngrepotin kamu."

Ucapan itu kembali menghentak Jihan, bagaimana bisa Jihan menolak permintaan itu mengingat keadaan Ara dan tatapan sayunya?

Pupus sudah harapan Jihan menikah dengan lelaki yang dicintai dan mencintainya. Sekalipun sekarang Jihan masih jomblo, tapi berharap tidak ada salahnya kan?

Mengingat kembali tentang Sean Rahardja membuat Jihan bergidik ngeri. Lelaki itu terlalu dingin dan datar. Sangat jauh dari tipe pasangan yang diidamkan Jihan.

Suasana kantin rumah sakit ini sedikit lengang, mungkin karena jam besuk sudah selesai. Hanya ada segelintir orang yang sibuk dengan keperluannya masing-masing.

Jihan tidak tahu apakah Ara memberitahukan hal yang sama pada tunangannya itu atau tidak. 

Tapi sepertinya, iya.

Karena didepan Jihan sekarang sudah berdiri sosok lelaki berkulit putih pucat dengan tatapan tanpa ekspresinya.

Lelaki itu menyugar rambut hitamnya dengan jemari panjangnya. "Aku harap kau menolak permintaan tunanganku," ujarnya tegas.

Bahkan lelaki itu tidak menyebutkan nama Ara melainkan tunangannya. Sepertinya Sean ingin menunjukan pada Jihan bahwa ia setia.

Jihan menyangga kepalanya dengan satu tangan, lalu menelisik penampilan lelaki didepannya yang bernama Sean ini.

Tampan? Tentu. Jihan juga mengakui jika Sean ini tampan.

Kaya? Pasti. Dilihat dari setelan pakaian dan jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya.

Cukup dengan dua hal itu Sean bisa meluluhlantakan hati perempuan manapun. Terkecuali Jihan.

"Namun dilihat dari ekpresi, sepertinya kau menerima permintaan Ara," lanjut Sean saat Jihan tidak segera memberikan respon dari kalimatnya.

Jihan mengangkat kedua alisnya lalu menghembuskan napas panjang. "Rasanya kau bisa menebak dengan benar."

Sean berdecih lalu menyunggingkan senyuman miring dan tatapan dinginnya berubah meremehkan. "Berarti dugaanku meleset. Lagipula mana mungkin kau menyia-nyiakan kesempatan emas," ujar Sean dengan kalimat sarkasnya.

Punggung Jihan menegak mendengar hal itu. Apa maksudnya dengan kesempatan emas? Apa ia pikir Jihan senang berada dalam situasi seperti ini?

"Kau pikir aku mau berada di situasi sulit seperti ini?" balas Jihan dengan tatapannya yang menajam, ia tidak suka disudutkan seperti ini. "Lagipula kenapa bukan kau yang menolaknya?"

"Kau pikir aku juga bisa menolak melihat kondisinya sekarang?"

Cih. 

Konsep perempuan selalu benar, tidak berlaku saat ini. Lihat saja bagaimana Sean menjawab ucapan Jihan.

"Kau saja tidak bisa menolaknya, apalagi aku," jawab Jihan.

Sean mengalihkan pandangannya pada taman yang terletak disisi kantin.

"Pernikahan kontrak. Satu tahun," ucap Sean tiba-tiba.

♤♤♤♤♤

Pasangan impian Jihan adalah sosok lelaki yang hangat dan sedikit romantis. Harus nyaman dipeluk dan wangi. Selain itu harus memiliki pekerjaan yang tetap karena bagaimanapun lelaki adalah tulang punggung keluarga dan Jihan juga tidak masalah untuk tetap bekerja saat sudah berumah tangga nanti.

Semua kriteria itu ditetapkan Jihan setelah ia berkaca dari rumah tangga kedua orang tuanya yang hancur, terutama poin terakhir.

Selain itu, pernikahan impian Jihan bukanlah pesta yang mewah, Jihan hanya ingin mengadakan pesta outdoor. Menurutnya pesta outdoor itu unik dan keren, apalagi tempatnya lebih luas.

Sayangnya kedua hal diatas tidak akan pernah Jihan dapatkan, setidaknya dalam waktu dekat ini.

Pernikahan kontrak. Satu tahun.

Lelaki bernama Sean itu selain minim ekspresi ternyata juga gila. Ia mengajak Jihan menjalani pernikahan kontrak. Padahal pernikahan adalah sebuah ikatan suci dan sakral, bukan main-main.

Lagipula Jihan hanya ingin menikah sekali seumur hidup.

Sean pergi meninggalkan Jihan, memberinya waktu untuk memikirkan tawarannya. Lelaki itu sepertinya kembali ke ruang rawat milik Ara, setelah membeli dua botol air mineral.

Jihan masih menatap punggung lebar itu hingga Sean menghilang di tikungan. Bagaimana bisa Ara jatuh cinta dengan lelaki sedingin kutub seperti Sean? 

Ara dan Sean bagaikan langit dan bumi. Ara yang ceria dan selalu bisa menghangatkan suasana, membuat orang tertawa dengan lelucon-lelucon konyolnya bersanding dengan Sean yang bahkan tersenyum saja tidak bisa.

Dunia benar-benar hampir kiamat!

♤♤♤♤♤

"Kondisi pasien kembali tidak sadar dan mengalami penurunan. Kami meminta keluarga sudah siap dengan kemungkinan terburuk," ujar seorang lelaki berusia 50 tahunan yang mengenakan jas dokter.

Menangis.

Hanya itu satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh Ibunda Ara —Sarah. Disisi Sarah ada seorang lelaki yang dengan tegarnya terus mendengarkan ucapan dokter sedang tangannya sibuk mengelus lengan ibunya untuk menyalurkan kekuatan.

"Ara nggak akan meninggal kan?" tanya Sarah pada Dio.

Dio sejenak berpikir, menyusun kalimat yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.

"Ibu lebih seneng ngelihat Ara kesakitan atau nggak?" tanya Dio pada akhirnya.

Sarah dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Tentu saja ibu nggak suka melihat Ara sakit!"

Pertanyaan yang tidak perlu dijawab rasanya. Lagipula, ibu mana yang rela melihat anaknya kesakitan? Bahkan jika bisa, Sarah akan meminta biar dirinya saja yang merasakan sakit.

"Nah, berarti ibu harus ikhlas kalau sewaktu-waktu Ara pergi."

Air mata yang tadinya sudah mereda kini mengalir lagi.

Dio mati-matian menahan agar ia tidak ikut menangis. Ia lelaki, harus kuat, tidak boleh cengeng. Setidaknya itu pesan sang ayah sebelum pergi dan tidak kembali.

"Bu...."

Sebuah sapaan membuat Dio dan Sarah menoleh. Sean sudah berdiri disisi mereka dengan penampilan yang cukup berantakan.

"Ara... Gimana?" tanya Sean terbata, sorot matanya tidak bisa berbohong bahwa ia sangat mengkhawatirkan gadis itu.

Bahkan Sean mengabaikan pandangan orang-orang yang melihatnya di sepanjang lorong rumah sakit lantaran penampilannya yang cukup berantakan.

"Kondisinya menurun lagi. Dokter bilang, kita harus siap menerima kemungkinan terburuk," jawab Dio.

Sean bergerak, berpindah menuju ke depan kaca, dimana ia bisa melihat dengan jelas Ara yang sedang terbaring antara hidup dan mati.

Andai ada hal yang bisa ia lakukan untuk menyembuhkan Ara, maka dengan senang hati Sean akan melakukannya. Sekarang dalam hatinya Sean hanya bisa berdoa semoga Tuhan tidak mengambil Ara-nya.

♤♤♤♤♤

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status