Sean Rahardja.
Julukan Lady Killer yang disematkan padanya bukan tanpa alasan. Sean senang bergonta ganti wanita alias pacar. Dengan wajah gantengnya itu, tidak mungkin ada wanita yang menolaknya.
Tiga hari adalah waktu tercepat dalam hubungan yang Sean jalani. Alasan Bosan selalu Sean lontarkan saat ditanya kenapa, padahal wanita-wanita yang dipacari Sean kecantikannya jauh diatas rata-rata karena berasal dari kalangan atas.
Kegiatan bergonta-ganti pacar itu berhenti tepat saat ia bertemu Ara. Jika sebelumnya Sean tidak perlu mengeluarkan banyak usaha dalam mendapatkan wanita yang ia mau, maka untuk Ara hal tersebut tidak berlaku.
Sean jatuh bangun untuk mendapatkan Ara dan setelah enam bulan baru gadis itu luluh. Ara berbeda. Gadis itu melihat Sean sebagai dirinya sendiri, bukan Sean yang menyandang nama Rahardja di belakangnya.
Lelaki menangis itu wajar. Lelaki juga manusia yang bisa merasakan sedih. Berkali-kali Sean membisikan kalimat itu untuk dirinya sendiri. Terakhir kali Sean menangis di pemakaman ayahnya dan sekarang air mata Sean kembali jatuh.
Rasanya begitu sesak. Rasa ketidak siapan kehilang orang yang ia sayangi menghimpit kuat dadanya. Memaksa Sean lagi dan lagi harus menerima kenyataan ia akan ditinggalkan.
Kenapa?
Setelah ayahnya, ibunya dan sekarang Ara?Apa Sean benar-benar harus hidup sendiri?Sean tidak suka ditinggalkan, itulah mengapa ia selalu meninggalkan lebih dulu wanita-wanita yang menjadi pacarnya.
Sean memejamkan matanya dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Tidak boleh ada yang tahu jika ia habis menangis. Sean menarik napas dan mengeluarkannya, berulang kali hingga dirasanya sudah cukup, ia sedikit lebih tenang.
Terdengar suara pintu dibuka dan muncul lelaki berperawakan tinggi yang tidak kalah tampan dengan Sean.
"Aku pikir kau mati bunuh diri disini," sindir lelaki itu lantas ia mendudukan dirinya pada sofa yang ada diruangan Sean.
"Tidak berkaca eh? Siapa yang hampir minum obat pembunuh semut saat diputuskan pacarnya?"
"Cih. Masih saja kau mengingat hal itu."
"Ada keperluan apa kau kesini Cakra?" tanya Sean.
"Tidak ada. Hanya ingin memastikan temanku tetap hidup." Sebuah seringaian muncul dari wajah lelaki dengan tato monyet ditangannya itu.
Cakra kesini untuk memastikan Sean sudah menanda tangani proposal yang ia ajukan. Perusahaannya ingin menjalin kerjasama dengan perusahaan Sean.
Dua perusahaan besar menjalin hubungan kerjasama bukankah itu bagus?
OS Corp diwariskan pada Sean langsung dari kakeknya dikarenakan ayahnya sudah meninggal. Sejak kecil Sean sudah diajak kakeknya untuk singgah di kantor setiap pulang sekolah. Mau tidak mau secara tidak langsung Sean mempelajari kegiatan di kantor.
Sewaktu SMP Sean sudah turun langsung membantu kakeknya. Setiap Sore, Sean ada diruangan kakeknya untuk belajar bisnis, hingga malam tiba. Hal itu berlanjut hingga SMA dan masa kuliahnya.
Sean tidak serta merta begitu saja menduduki jabatan direktur OS Corp. Ia benar-benar diuji kelayakannya oleh sang kakek sendiri. Sean diharuskan menjadi karyawan magang disalah satu cabang perusahaan dan tidak ada satupun yang tahu jika Sean adalah cucu satu-satunya pemilik OS Corp.
Uji kelayakan yang diberikan oleh kakeknya bukan hanya soal kemampuan bisnis, namun juga menguji sikap.
"Sudah ada perkembangan dari gadismu?" tanya Cakra.
Sean menggeleng lemah. "Tidak ada harapan."
"Dokter bukan Tuhan. Berdoalah supaya terjadi keajaiban. Kenapa tidak coba membawanya berobat ke luar negeri?"
Jangan dipikir Sean tidak mencoba hal itu. Sean sudah memberitahukan alternatif itu namun Ara menolaknya, bahkan Ara mendiamkan Sean hampir seminggu karena usul yang diberikannya.
"Aku ingin bertanya pendapatmu," ucap Sean tiba-tiba.
Kata-kata itu menarik atensi Cakra dari ponselnya, ia langsung menatap heran pada Sean.
"Wah, kepalamu terbentur?" sindir Cakra.
Seorang Sean tidak pernah menanyakan pendapatnya pada orang lain. Ia memutuskan semuanya sendiri dan melakukan sesuai apa yang ia mau.
"Kau mencintai seseorang tapi orang yang kau cintai menyuruhmu menikahi orang lain. Apa kau mau?"
"Biar kutebak. Ara yang memintanya?"
"Jawab saja pertanyaanku, bodoh!" umpat Sean. Ugh, Sean memang tidak pandai dalam merangkai kalimat. Pantas saja Cakra bisa menebak maksud tersembunyi dari pertanyaannya.
"Hei! Aku lebih tua darimu, kau tidak boleh mengataiku bodoh!"
"Lebih tua dan lebih bodoh. Jawab saja pertanyaanku!"
Dua manusia yang berada di ruangan itu beradu mulut. Cakra, dia lebih ekspresif. Matanya membulat sempurna tatkala mendengar Sean menyebutnya bodoh. Sedangkan Sean mengatakan itu dengan wajah datarnya, seolah tidak melakukan apapun.
"Kalau aku tentu saja tidak mau. Aku hanya ingin menikah sekali dan dengan orang yang kucintai."
♤♤♤♤♤
Perbincangan itulah yang akhirnya membuat Sean menawarkan pernikahan kontrak terhadap Jihan.
Sean tidak mencintai Jihan.
Sean tidak mau hidup bersama orang asing.Satu tahun rasanya waktu yang cukup untuk menuruti permintaan Ara. Setelah itu ia akan berpisah dengan Jihan menggunakan alasan ketidak cocokan.
Orang yang kehidupannya teratur seperti Sean sudah pasti merencanakan semuanya sebaik mungkin, hingga hal-hal yang mendetailpun juga ia pikirkan. Ia tidak akan membiarkan Jihan mengambil keuntungan dari pernikahan kontrak yang ditawarkannya.
Kecuali materi. Sean akan memenuhi semua kebutuhan materi Jihan bahkan Sean akan memberikan kompensasi yang cukup besar jika nanti mereka bercerai.
Tapi Jihan tidak berhak atas dirinya.
♤♤♤♤♤
"Kalau begitu, laksanakan secepatnya," pinta Ara lirih.
Sorot mata Ara yang sayu menatap Sean penuh harap. Bisa jadi ini adalah permintaan terakhirnya.
Diruang rawat itu Sean dan Jihan duduk berhadapan. Mereka sepakat untuk mengiyakan permintaan Ara.
Tangan kurus Ara bergerak mengambil tangan Sean. "Sayang, harus hidup dengan baik ya! Jangan terlalu keras bekerja," ucap Ara.
Sean menahan tangisnya mendengar itu. Memangnya untuk siapa lagi ia bekerja keras seperti ini jika bukan untuk meminang Ara? Sean ingin mewujudkan impian Ara dan tentu saja Sean harus berjuang.
Satu tangan Ara meraih tangan Jihan. "Jaga Sean-ku yang ganteng ya! Dia luarnya aja yang dingin, tapi aslinya manja banget."
Sean melotot mendengar ucapan Ara, baru saja Ara membuka aibnya. Sedangkan Jihan, ia cukup kaget dengan penuturan Ara.
Dan ketika dua tangan Ara mendekat, ingin menyatukan tangan lain dalam genggamannya, secepat kilat Sean menarik tangannya.
"Istirahatlah, jangan terlalu banyak pikiran. Aku keluar dulu," ujar Sean.
Sean berdiri, mengelus pelan kepala Ara dan mengecup kening gadis itu seperti biasanya.
Jihan yang pandangannya tidak lepas dari Sean, memutuskan kontak matanya saat tertangkap basah oleh Sean. Ada sisi lain dari Sean, sisi hangat yang selama ini tidak pernah Sean tunjukan, atau hanya Sean tunjukan pada Ara. Dunianya.
Diluar ruangan, Sean memastikan bahwa ini hal terbaik yang bisa ia berikan pada Ara. Selama itu bisa membuat Ara tersenyum di sisa hidupnya, maka akan Sean lakukan apapun permintaannya.
♤♤♤♤♤
Seorang model kelas atas tertangkap kamera memasuki sebuah hotel bintang lima bersama pengusaha muda berinisial SR. Ini adalah kali kedua mereka tertangkap kamera berada di lokasi yang sama.Jihan menatap kosong pada layar ponselnya yang baru saja menampilkan informasi dari dunia hiburan.Sebuah headline dari salah satu portal berita online merenggut kesadaran Jihan selama beberapa detik.Jari yang tadinya hendak memencet tanda silang kini malah menggulirkan layar ponsel. Di sana, terdapat sebuah foto satu lelaki dan satu perempuan, jari-jari mereka bertaut dan saling mengisi satu sama lain.Walaupun tampak belakang, tapi sepertinya Jihan mengenal siluet lelaki itu. Seperti Sean jika dilihat dari postur tubuhnya."Tidak mungkin." Jihan bergumam, menepis semua pemikiran buruknya.Tapi sayangnya pikiran-pikiran buruk itu terus berputar didalam kepala Jihan, membuatnya kesal. Lantas Jihan mengambil ponselnya dan mencari nama Sean disana.Jihan.Sean?Sean.Ya?Jihan.Kau sedang apa?Sean
"PERMISIIIIII."Teriakan seseorang dari depan rumah membuat Jihan bergegas ke depan untuk melihat siapa tamu yang datang."Cari siapa ya?" tanya Jihan bergitu melihat lelaki dengan kulit sedikit gelap berdiri didepannya.Lelaki itu tersenyum, memamerkan giginya yang rapi. "Sean ada?""Ada. Tunggu sebentar."Jihan baru membalikan badan tapi Sean sudah berjalan mendekat ke arahnya."Kau terlambat lima menit, Eros," ucap Sean."Hanya lima menit. Ini hari pertamaku kembali bekerja, seharusnya kau menyambutku," protes lelaki bernama Eros itu."Bagaimana bulan madumu? Sudah puas?""Sangat puas, terimakasih atas hadiah liburannya. Ini... pacarmu yang mana lagi?" tanya Eros sambil melirik Jihan."Dia istriku.""Apa? Kapan kau—?""Ayo berangkat! Aku bisa terlambat jika kau terus mengoceh," potong Sean cepat. Jika meladeni Eros sudah pasti akan lama, lelaki itu betah sekali jika berbincang.Saat Eros sudah menghidupkan mobilnya, Sean berbalik dan kembali mendekati Jihan. "Kau yakin tidak mau ti
Hari libur biasanya dimanfaatkan untuk bersantai atau bermalas-malasan bagi sebagian orang. Namun bagi Sean, hari libur atau bukan, rutinitasnya tetap sama yaitu bangun pagi.Terkadang di hari libur pun Sean tetap bekerja, namun ia bekerja di rumah, di ruang kerjanya sendiri. Bedanya, jika Sean bekerja dirumah, jam kerjanya lebih pendek daripada saat di kantor.Hidup Sean memang sudah teratur sejak dulu. Hasil dari didikan kakeknya, wajar jika ia bisa seperti sekarang ini.Sean mengecek ulang barang-barang yang akan ia bawa ke luar kota, setelah diyakin cukup lelaki itu memasukannya kedalam koper."Jihan! Kau mau pergi kemana?" tanya Sean saat melihat Jihan melewati kamarnya dan memakai jaket.Jihan memundurkan langkahnya. Ini kali pertama bagi Jihan melihat secara langsung dan jelas kamar milik Sean. "Aku mau ke supermarket, beli kebutuhan dapur." jawab Jihan. "Kau butuh sesuatu?""Tunggulah sebentar," pinta Sean.Jihan menurut, ia berdiri dan bersandar di dinding sembari menunggu Se
Jihan bergerak gelisah di tempatnya. Pikirannya bercabang. Antara setumpuk pekerjaan atau Sean yang ia tinggalkan dirumah.Jarum jam bergerak lambat, bahkan pergantian menit terasa sangat lama bagi Jihan. "Kau kenapa?" Qilla yang menyadari gerak-gerik Jihan akhirnya bertanya."Eum, apa boleh ijin pulang cepat?" tanya Jihan."Boleh. Tapi nanti gajimu dipotong," jawab Qilla."Ah tidak masalah. Aku harus ijin kemana?""Langsung ke HRD saja." Qilla menatap heran pada Jihan yang langsung melesat setelah ia memberikan jawaban.Setengah jam kemudian, Jihan sudah mengantongi ijin walaupun ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari HRDnya.Sudahlah, yang penting sekarang ia bisa pulang.Setelah berpamitan pada rekan-rekannya, Jihan bergegas keluar dari area kerjanya. Ia berjalan tergesa menuju lobi, tangan dan matanya berfokus pada ponsel karena ia sedang berusaha memesan taksi online."Aw."Jihan mengaduh saat dahinya menabrak sesuatu tapi anehnya tidak terasa sakit. Kepalanya mendongak da
Sepuluh menit kemudian Sean keluar kamar dengan keadaan yang lebih segar. Ia sudah berganti dengan baju santai, butiran air menetes turun membasahi kaos dari rambutnya yang setengah basah."Belum selesai?" tanya Sean. Lelaki itu menarik kursi di ruang makan dan duduk disana, ia menyangga kepalanya dengan satu tangan."Sudah."Jihan mendekat dengan dua piring mie instan buatannya, lalu meletakannya di hadapan Sean.Alis Sean terangkat satu saat menyadari Jihan tidak segera duduk. "Kau mau kemana?""Makanlah dulu. Aku akan makan setelah mandi," jawab Jihan."Duduklah dan temani aku makan.""Kau makan lebih dulu saja.""Aku tidak suka meminta dua kali, Jihan."Daripada terjadi perdebatan, Jihan mengalah. Ia menarik kursi dan duduk didepan Sean.Tanpa bicara apapun lagi, Sean mulai memakan mie buatan Jihan. Dengan ekspresi bercampur, Jihan menunggu reaksi Sean.Jihan menegang saat Sean berhenti menyuapkan mie ke dalam mulutnya."Tidak enak ya?" tanya Jihan, melihat pucuk hidung Sean mulai
Sean.Aku pulang terlambat hari ini.Jihan.Aku juga.Jihan menutup ponsel setelah mengirim balasan pesannya untuk Sean. Jihan merasa bersemangat sekali hari ini, ia sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan kerjanya yang baru.Dan hari ini Jihan memutuskan untuk pulang sedikit terlambat, ada beberapa hal yang harus ia selesaikan terlebih dahulu. Jihan melemburkan diri bersama dengan rekan satu divisinya, beberapa dari mereka memang memilih sedikit pulang terlambat daripada besok harus datang lebih pagi."Jihan, kau yakin tidak mau pulang lebih dulu?" tanya Lamia.Jihan menggeleng. "Aku selalu pulang tepat waktu sebelumnya, kali ini biar aku pulang sedikit terlambat.""Ah baiklah kalau begitu. Kurasa pekerjaan ini akan cepat selesai jika kau membantu," sahut Qilla —rekan Jihan yang lain.Jihan yang fokus dengan komputernya, harus berhenti mengetik lantaran ponselnya bergetar.Dahi Jihan berlipat saat melihat nomor yang memanggilnya. Nomor yang waktu itu? Jihan masih hafal tiga angka
Tangan Sean bergerak menyentuh dahi Jihan namun Jihan segera menepisnya. Perempuan itu menolehkan kepalanya ke samping, membuat Sean gagal mendaratkan tangannya dengan sempurna di dahi Jihan.Tiba-tiba Sean berteriak saat punggung kakinya diinjak oleh Jihan, bukan karena sakit tapi karena kaget.Sean masih bertahan dengan wajah polosnya saat Jihan melewatinya begitu saja. Jihan pergi dengan wajah memerah."Kau tak jadi membuatkanku kopi?!" teriak Sean lagi karena Jihan sama sekali tidak berhenti."Kau buat saja kopimu sendiri!" balas Jihan lantang. Jihan terus berjalan dan menghilang dibalik pintu kamarnya.Sean melepas tawanya saat mendengar suara pintu kamar tertutup. Jihan lucu sekali saat sedang malu. Ntah sejak kapan, melihat wajah Jihan memerah menjadi pemandangan favorit bagi Sean.Sean bergerak membereskan kekacauan yang Jihan buat. Mengembalikan gelas yang tidak jadi dipakai dan menuang gula pada toplesnya, agar besok Jihan tidak kesulitan lagi.Sean bukannya tidak tahu menga
Vidi baru saja tiba di kantornya. Ia berjalan santai dengan satu tangan masuk ke kantong celana, tatapannya datarnya langsung menyapu area perkantoran miliknya.Tidak peduli dengan suasana ramai di lobi kantor yang penuh sesak oleh orang-orang dengan map ditangan, Vidi terus melangkah sekalipun ia tahu netra orang-orang itu sebagian besar tertuju padanya.Namun saat netranya menangkap kemunculan seorang perempuan yang akhir-akhir ini memenuhi kepalanya, mau tidak mau Vidi menjadi tertarik.Gerak-geriknya membuat langkah Vidi tertahan. Ia berhenti dan batal menuju ruangannya, memilih merekam setiap raut ekspresi serta gerakan yang perempuan itu lakukan. Tanpa sadar sudut bibir Vidi terangkat kala bibir perempuan itu bergerak-gerak tanpa suara, semacam memberi semangat untuk dirinya sendiri.Ntah apa yang ada dipikiran Vidi, tiba-tiba ia menemui salah satu karyawannya yang memang bertugas dalam hal perekrutan lalu meminta berkas dengan menunjuk perempuan itu.♤♤♤♤♤Layu sebelum berkemba
"Sean, bisa kita bicara?" "Duduklah." Sean melepas kacamata bacanya dan menutup buku yang ia pegang."Ada apa?"Jihan sudah memikirkan hal ini matang-matang selama beberapa hari sebelum akhirnya ia mengumpulkan keberanian dan nekat membicarakannya dengan Sean."Aku bosan. Dirumah aku tidak ada kegiatan, aku ingin bekerja."Sean menatap tidak suka dengan tiga kata terakhir yang diucapkan. "Kenapa? Kau butuh sesuatu?"Tangan Sean bergerak membuka laci paling bawah dari nakas disampingnya dan mengambil sebuah dompet darisana. Dari dalam dompet itu, ia mengeluarkan dua buah kartu berwarna hitam lalu menyerahkan pada Jihan."Gunakan ini untuk semua keperluanmu, apapun itu. Jalan-jalanlah jika kau bosan."Jihan menghela napasnya mendapati respon Sean yang tidak sesuai perkiraannya. Bukan itu yang Jihan mau.Jihan mendorong tangan Sean mundur kembali, membuat Sean mengeluarkan pandangan bertanya pada Jihan."Aku butuh kegiatan agar tidak bosan.""Kau bisa berbelanja, kau bisa jalan-jalan un