"Apa Donna membuatmu tak nyaman?"
Pagi hari sudah membuat Taylor malas bicara. Kenapa harus membicarakan tentang orang asing? "Paman tahu sendiri, kalau aku tidak nyaman dengan orang asing."
"Kalau begitu, apa kamu sudah nyaman denganku?" tanya Dave dengan senyum miring.
Taylor mendecakkan lidah. Menyesal menjawab pertanyaan yang menjebak. "Jangan lambat, Paman Jo! Aku ingin berangkat sekarang. Tugas kelompok tinggal sedikit lagi selesai, akan kulanjut di sekolah saja."
Dave meminum kopi dengan cepat. Memperhatikan Taylor yang asal memakai sepatu, Dave kembali bersuara. "Ikat tali sepatumu dulu dengan benar."
"Nanti saja di mobil." Taylor mulai bergerak keluar dari rumah.
Sebelum itu, Dave menghalangi jalan Taylor untuk mengikat tali sepatu. Membuat Taylor merasa sedikit tidak nyaman. "Kalau kamu jatuh sebelum masuk mobil, jangan salahkan aku. Tinggal diikat seperti ini saja, tidak sulit, 'kan?."
"Terima kasih." Taylor pun memasuki mobil dengan santai.
Ketika di perjalanan, Taylor kembali lagi melanjutkan tugas. Mengetik di dalam mobil dengan kepala sedikit ditekuk, membuat tengkuk Taylor merasa pegal. Sesekali Taylor memijat tengkuk.
Dave yang melihat Taylor sedang memijat tengkuk, langsung ikut memijat tengkuk anak sang sahabat. Tidak lupa mengomel, "Itu tugas kelompok, kenapa kamu kerjakan sendiri? Di mana kelompokmu? Apa mereka yang menyuruh?"
"Tidak. Aku yang meminta," jawab Taylor dengan cepat. "Ada masalah sedikit kemarin, tapi tidak parah. Ini keinginanku. Aku lebih suka kerja individu, daripada kelompok," lanjutnya sambil menghela napas.
"Tidak bisa begitu. Kelompok harus dikerjakan bersama-sama. Namanya saja kelompok. Kalau teman-temanmu tidak bisa bantu mengetik laptop, setidaknya mereka memberi ide atau saran."
Dave tidak suka melihat Taylor yang selalu melakukan sesuatu sendiri. Individu memang bagus, bekerja dengan keadaan tenang dan pikiran lancar, tetapi kelompok lebih bagus.
"Kalau ada tugas kelompok lagi, biarkan aku membantumu. Teman-temanmu tidak berguna," lanjut Dave yang selesai memijat tengkuk Taylor.
Taylor tidak ingin membahas masalah ini lagi, jadi laptop ditutup dan akan dilanjut lagi di sekolah.
Sampai di sekolah, Taylor ditahan sebentar oleh Dave. "Apa nanti kamu ke rumah teman atau langsung pulang? Aku akan menjemputmu, dan kita akan ke perusahaan. Dan, ya, bilang pada teman kelompokmu itu, untuk bergabung dalam kerja kelompok."
"Aku bisa mengurus masalah sekolahku. Paman Jo urus saja masalah perusahaan. Jangan terlalu pikirkan aku." Taylor pun pergi tanpa menoleh ke belakang.
Entah kenapa, Dave tidak suka, jika ada orang yang memperlakukan Taylor seperti itu. Mungkin karena kasih sayang Dave pada Taylor yang sudah seperti papa dan anak.
Entah dengan Taylor, apa Taylor menganggap Dave sebagai papa atau tidak. Namun, panggilan paman sudah cukup untuk Dave.
Dave jadi teringat pada masa lampau, di mana Taylor hanya memanggil dengan nama belakang. Jo. Saat itu, Taylor berumur 4 tahun, jadi Dave masih memaklumi Taylor.
Senyuman mengembang di wajah Dave.
***
"Apa? Rudy dan Fanny menyuruhmu untuk kerja sendiri?" Riley berceloteh di sela-sela kunyahan. "Memangnya mereka siapa? Jangan mau disuruh, Tay. Lapor pada guru."
Taylor menggeleng kepala. "Bukan mereka yang menyuruh, tapi aku yang mau. Mereka tidak suka dengan orang yang penyakitan. Daripada berdebat dan membuat asma kambuh lagi, lebih baik kukerjakan sendiri," balasnya sambil memainkan ponsel.
"Untung tugas kelompokmu selesai tepat sebelum guru datang. Padahal, kamu bisa meminta bantuanku, 'kan? Tema tugas kita sama." Laki-laki bernama Brian bersuara.
"Kamu tahu, aku tidak suka mengganggu orang, dan aku tidak suka diganggu." Taylor menghela napas kesal, karena kalah setelah bermain ponsel.
Dikeheningan, Taylor dan Brian menoleh pada Riley yang sedang berbicara melalui ponsel. Ketika Riley menutup panggilan, Riley beranjak sambil membereskan semua barang-barang.
"Tolong ijinkan aku saat masuk kelas nanti. Orang tuaku tiba-tiba menyuruh untuk ikut pergi. Menyebalkan."
"Jangan kembali lagi," canda Taylor tanpa ekspresi.
"Jangan lupa jaga kesehatanmu, Nona Spark." Ketika berjalan melewati Taylor, Riley usil menoyor kepala Taylor sambil terkekeh.
Kembali hening. Taylor memang jarang bicara, membuat Brian terlihat kikuk dan bingung. Namun, demi menghilangkan rasa bosan, Brian memberanikan diri untuk meramaikan suasana.
"Pulang nanti, ikut aku, ya? Aku tidak ada jadwal piket. Temani aku beli kaset game. Ada game keluaran terbaru. Nanti kita main bersama."
"Aku pulang bersama pamanku. Paman Jo, tahu, 'kan?"
Brian mengangguk, sambil menjawab, "Tahu. Pria yang datang ke UKS. Riley cerita padaku." Ada sedikit keraguan untuk bertanya, tetapi Brian tetap melakukannya. "Aku dengar kamu tinggal dengannya. Apa dia tidak ... melakukan hal buruk padamu?"
Taylor terkekeh. Semenyebalkannya Dave, Taylor pasti tahu, jika Dave punya batasan. Apalagi, Dave pasti lebih suka dengan wanita dewasa yang seksi.
"Dia tidak akan melakukan itu. Walaupun dia berani melakukannya, aku juga akan memilih." Lagi-lagi Taylor terkekeh. "Dia buka tipeku." Kali ini, kekehannya berubah menjadi tawa.
"Lalu, tipe laki-laki yang kamu suka seperti apa?"
Seketika tawa Taylor terhenti, wajah mulai merona, tatapan ke segala arah, dan terlihat bingung untuk menjawab. Sebelum membalas, Taylor berdeham dulu. "Apa aku boleh terus terang?"
"Kamu selalu berkata jujur, untuk apa bertanya?" Brian tertawa, sebelum menyedot minuman.
"Sepertimu."
Brian pun mematung sebentar, lalu tertawa dengan keras. Jawaban Taylor dianggap sangat lucu. "Aku tidak tahu, kalau kamu pandai membuat lelucon."
"Aku tidak bercanda, Brian." Dan Brian pun terdiam, di saat Taylor memainkan jari karena malu. "Kamu tipeku. Aku mengagumimu sudah sangat lama. Peduli, pintar, asik, lucu, aku suka itu."
Sudah berapa kali keheningan muncul? Brian terkejut, sedangkan Taylor tidak tahan untuk menahan malu.
"Terima kasih sudah mendengarkan. Lupakan saja. Itu tidak penting. Aku mau ke loker dulu." Taylor pergi meninggalkan Brian yang masih mematung.
Tidak percaya, Brian menutup mulut untuk pertama kali. Seorang perempuan baru saja mengungkapkan perasaan pada lelaki, yang juga menyukai perempuan tersebut. Padahal, Brian ingin mengungkapkan perasaan di suatu hari dengan cara yang romantis. Akan tetapi, Taylor maju seribu langkah.
"Kalau Taylor sekaligus mengajakku jadi pacar, aku akan menerimanya."
***
Berkas catatan pembuatan parfum baru sudah berada di tangan Dave, begitu juga hasil parfum yang telah dibuat. Kepala Dave mengangguk seraya menerima hasil catatan.
"Tolong difotokopi. Hasil fotokopi kamu simpan, yang asli berikan pada sekretaris. Untuk catatan sudah bagus. Kita butuh bahan-bahan yang lain, setelah itu lanjut memperbanyak parfum." Dave mengembalikan berkas.
Karyawan yang duduk di depan Dave meminta ijin untuk keluar dari ruangan dengan berkas di tangan.
Hasil pertama dari parfum baru kini berada di tangan Dave. Dengan wangi ringan seperti citrus, Dave menyemprot sedikit parfum ke tangan. Menghirup wangi yang sangat cocok untuk remaja.
Mengingat parfum ini cocok untuk remaja, Dave memotret parfum yang dipegang, lalu dikirim melalui pesan. Foto itu tertuju pada remaja yang tinggal bersamanya.
"Ini hasil parfum buatanku untuk remaja perempuan. Bagaimana menurutmu? Apa kamu suka?"
Jika Taylor menyukai parfum buatan Dave, maka Dave akan melanjutkan proses memperbanyak parfum remaja. Jika tidak, kemungkinan besar, Dave akan mengurung niat tersebut.
Berharap ada balasan cepat, ternyata tidak. Dibaca saja belum. Tentu saja, Taylor mungkin sedang belajar. Dave tidak bisa menahan diri untuk melihat reaksi Taylor.
Pesan pun dibaca, membuat Dave semangat untuk menunggu balasan.
"Jemput aku, paman. Langit mulai mendung. Aku tidak bawa payung dan jas hujan."
Dave menggeleng kepala, sambil tertawa. "Apa dia tidak melihat gambar yang kukirim? Aku beri pesan apa, dia balas apa. Tidak ada kata tolong pula. Menyebalkan, tapi kusuka."
Selesai dengan celotehan, Dave mulai beranjak dan pergi dari perusahaan. Menjemput sang gadis dingin.
Baru saja mendekati pintu, pintu tersebut terbuka dan munculah Donna dengan senyum nakal.
Sepertinya, Dave akan terlambat menjemput Taylor.
Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.
Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid
Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,
Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J
Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."
Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.