Taylor sudah membaik, karena inhaler dari Dokter Elsa, juga sarapan yang disuapi Dave. Padahal, tangan Taylor masih bisa bergerak, tetapi Dave keras kepala. Membuat Dokter Elsa tertawa melihat perilaku dua orang di depan.
Sekarang, Taylor sudah siap untuk pergi ke rumah teman kelas untuk mengerjakan tugas kelompok.
"Tay, sepertinya kamu pulang saja. Aku takut asmamu tiba-tiba kambuh." Fanny menggendong tas dengan wajah khawatir.
"Tugasnya dikumpul besok. Lagipula, aku sudah ada inhaler dari Dokter Elsa. Santai saja," kekeh Taylor yang ingin ikut. Demi mendapat nilai tambahan, kerjasama memang harus. Apalagi, guru yang mengajar telah mengatakan, yang hanya menumpang nama tidak akan mendapat nilai.
Rudy yang satu kelompok dengan Taylor, menyetujui ucapan Fanny. Namun, wajah Rudy terlihat tidak suka. "Fanny benar. Kamu pulang saja. Kalau ditengah tugas tiba-tiba kamu kambuh, tapi inhaler tidak berfungsi, percuma saja, 'kan?"
Entah kenapa, Taylor merasa ada yang aneh dari alasan tersebut. Bukan untuk menyuruh istirahat, tetapi ada maksud lain. "Kenapa? Kalian tidak ingin aku ikut buat tugas?"
Rudy dan Fanny saling menatap. Melihat peristiwa Taylor yang mendadak kambuh di kelas tadi, membuat mereka sedikit tidak suka.
"Kamu mau kami jujur? Baiklah, kami tidak ingin berdekatan dengan orang yang penyakitan. Itu membuat kami risih," jawab Rudy, mewakili Fanny yang tidak berani menyampaikan.
Seketika, hati Taylor merasa seperti terperosok, tetapi wajahnya tidak menunjukkan wajah kecewa. Taylor tidak suka menunjukkan wajah lemah di depan orang yang dianggap sebagai musuh. Harus berani!
"Tidak masuk akal. Pilih kasih sekali. Lebih baik aku yang kerjakan saja." Taylor meminta kemudahan. Matanya mulai bergerak ke arah lain, merasa tidak nyaman dengan keberadaan orang yang pilih kasih.
"Ya, sudah, kerjakan saja. Jangan lupa tulis nama kami." Rudy memerintah seakan ketua dalam kelompok, padahal tidak ada jabatan yang disetujui.
Rudy pun pergi, disusul Fanny dengan wajah kasihan pada Taylor.
Langsung saja Taylor memberi tatapan jijik pada orang berwajah dua. Dulu mereka baik, tetapi terlihat sekali aslinya. Tidak ingin berteman dengan orang yang berpenyakitan.
"Terserahlah. Aku tinggal pulang, lalu buat tugas. Paman Jo pasti belum pulang, jadi tidak ada yang mengganggu," gumam Taylor yang mulai bergerak meninggalkan tempat.
***
Sore menjelang malam. Dave baru saja menyelesaikan produk parfum dengan wangi baru. Belum 100% selesai, tetapi semuanya akan selesai dengan cepat, jika Donna tidak menggoda Dave tadi.
Sebelum keluar ruangan, Dave memutuskan untuk menghubungi rumah. Menanyakan apa Taylor sudah pulang atau belum pada pelayan.
"Sudah pulang, tuan. Sekarang ada di kamar. Biar saya berikan dulu telponnya." Pelayan pun mendatangi kamar Taylor.
"Masuk," suruh Taylor yang mendengar ketukan pintu.
"Nona Spark, Tuan Dave menelpon." Pelayan pun memberikan telpon rumah, lalu pergi meninggalkan Taylor sendiri.
"Ada apa, Pak tua?" Taylor menjepit telpon rumah antara bahu dan telinga. Kedua tangan bergerak untuk mengetik tugas di laptop.
"Kamu masih di rumah temanmu? Berikan alamat rumahnya, aku akan menjemputmu. Sekaligus, kita makan malam di luar."
Telpon yang dijepit, Taylor pegang, lalu punggung bersender di kursi belajar. "Tidak jadi kerja kelompok, aku kerja sendiri. Sudah makan malam. Belikan saja cemilan dan inhaler."
Dave yang sedari tadi duduk di kursi kebesaran menjadi bingung. "Aku hampir lupa dengan inhaler. Baguslah, tidak jadi ke rumah teman. Kamu bisa istirahat, jika tugasmu sudah selesai. Aku akan pulang."
"Pulang saja. Aku menunggu cemilan dan inhaler."
Mendengar balasan Taylor, Dave tertawa. Dave mengira, jika Taylor menunggu Dave. Taylor memang selalu bisa membuat Dave tersenyum.
"Orang itu yang ada menunggu kepulangan seseorang," protes Dave yang sengaja membuat Taylor kesal. "Aku tidak akan membelikanmu cemilan dan inhaler." Dave berpura-pura merajuk.
Taylor mendecakkan lidah. "Baiklah. Sepertinya, Paman ingin melihat asmaku kambuh, lalu kehabisan napas, dan-"
"Hey, aku bercanda," potong Dave sambil tertawa. "Aku pulang sekarang. Dah, gadis dinginku." Kecupan pun diberikan berkali-kali.
Jijik dengan perilaku sang paman, Taylor langsung mematikan panggilan, lalu telpon rumah dilempar ke ranjang. "Aku tidak mengerti, kenapa orang tuaku bisa bersahabat dengan pria seperti itu? Paman berperilaku seperti ini, pasti ke banyak wanita. Dan paman pernah bilang, kalau tidak ada wanita yang menyukainya, 'kan? Omong kosong."
Kedua tangan Taylor kembali bekerja dengan cepat.
Di tempat lain. Dave berjalan ke mobil sendiri. Tidak sengaja mendapati seorang wanita berpakaian minim. "Donna? Kamu belum pulang? Bukankah hari ini tidak ada jadwal iklan?"
"Memang tidak ada. Pagi tadi, aku sengaja ingin bertemu denganmu. Setelah itu, aku bosan." Kedua lengan Donna kembali dilingkarkan pada leher Dave. "Aku ingin pergi bersama calon suami."
Dave melepas kedua lengan Donna. Entah kenapa, kali ini Dave merasa risih. "Aku belum bilang ingin menikah denganmu."
"Lalu? Tidak ada salahnya, kalau aku memanggilmu calon suami, 'kan? Ingat, kamu tidak bisa kehilanganku." Donna membelai pipi pria yang dicintai. Perlahan, kepalanya mendekati kepala Dave.
Namun, Dave memilih untuk mundur selangkah. "Kamu ingin ikut denganku? Aku akan pergi ke supermarket, lalu apotek. Ada yang harus kubeli." Dave pun masuk ke mobil.
Diikuti Donna juga masuk ke mobil dengan heran. "Apotek? Siapa yang sakit? Kamu sakit?"
Sambil memakai sabuk pengaman, Dave menjawab, "Tidak. Ada sahabat yang menitipkan anak padaku selama seminggu. Anaknya punya penyakit asma. Sempat kambuh di sekolah tadi, jadi aku harus membelikannya inhaler."
Donna mengangguk tanda mengerti. Niat Donna ingin pergi bersama Dave pun diurung. Penasaran seperti apa anak dari sahabat Dave, Donna berniat ingin bertemu. "Aku ingin bertemu dengan anak sahabatmu."
"Kamu yakin?" Sesekali Dave menoleh. "Maksudku, kamu pasti tidak akan suka dengannya. Dia sangat dingin pada orang asing, dan juga cuek. Sedangkan kamu, kamu paling tidak suka dicueki."
"Tidak masalah, calon suami. Mungkin karena baru pertama kali bertemu, jadi ada rasa canggung. Santai saja," balas Donna sedikit memaksa.
***
Tugas yang masih belum selesai, harus terhenti karena suara Dave yang memanggil nama Taylor. Taylor pun keluar sambil membawa telpon rumah untuk dikembalikan ke tempat.
"Aku sudah membelikan pesananmu." Dave mengeluarkan isi dari plastik belanjaan.
"Lama sekali," ejek Taylor sengaja, sambil membawa memasukkan kembali pesanan yang dikeluarkan Dave. "Aku akan bawa semua ini ke kamar."
Sebelum Taylor pergi, Dave memperkenalkan Donna. "Jangan buru-buru. Tay, dia adalah Donna, model produk parfumku."
Seperti apa yang dikatakan Dave sebelumnya, Taylor tidak suka dengan orang asing. Taylor menatap Donna dari ujung rambut, hingga ujung kaki. "Salam kenal." Lalu, pergi begitu saja.
Donna melirik Taylor dengan tidak suka. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Namanya Taylor Spark. Jangan terlalu diambil hati. Dia memang dingin di awal, tapi dia sebenarnya menyenangkan. Kalian harus kenal dekat," ujar Dave sambil menatap punggung Taylor yang semakin jauh. "Aku mandi dulu. Nanti akan kuantar kamu pulang."
Menyenangkan? Ini suatu hal yang aneh dalam kehidupan Dave Jo. Pasal, Dave memang banyak disukai wanita, tetapi kenapa Dave hanya merasa senang pada anak sahabatnya? Inilah yang mengganggu pikiran Donna. Tentu saja Donna tidak tinggal diam.
"Tidak ada yang bisa membuat calon suamiku berpaling."
Sedang asik melanjutkan tugas dengan mulut penuh cemilan, Taylor dikejutkan dengan Donna yang asal masuk tanpa mengetuk. Pemilik rumah saja bisa mengetuk, kenapa Donna tidak?
"Maaf, kalau aku mengganggu. Aku ingin kenal lebih banyak denganmu. Sepertinya, kamu dan Dave begitu dekat." Donna berbasa-basi, ketika duduk di tepi ranjang.
Taylor tidak begitu tertarik dengan pembicaraan ini, tetapi Taylor tetap menghargai usaha orang yang mencoba mencari pembicaraan. "Paman Jo sahabat orang tuaku, dan aku kenal dengannya sudah sangat lama. Dia hanya menganggapku sebagai anak, tidak lebih."
Donna berpikir, jika Taylor sepertinya cepat mengerti, bahwa Donna menyukai Dave.
"Dave memang ... penyayang. Dia sangat menyukai anak-anak," balas Donna santai.
Sayangnya, Taylor terlihat biasa saja. Tidak ada reaksi apa pun. Membuat Donna mendengus kesal. Entah Taylor terlalu fokus atau tidak peduli, Donna memilih untuk keluar dengan perasaan kesal.
Empat bulan berlalu. Keadaan semua sudah berubah. Tidak ada gangguan. Taylor sudah tidak lagi di rumah sakit, dan Dave memilih untuk bekerja di rumah setiap hari.Mendengar berita yang telah tersebar ke media, membuat orang tua Sally datang untuk meminta maaf sebesar-besarnya. Bahkan, mereka sudah tidak menganggap Donna dan Sidney sebagai anak.Hari ini adalah hari besar, di mana ada dua pengantin yang akan segera menikah di gedung besar. Ini adalah acara pernikahan Taylor dengan Dave!Setelah mengurus kejahatan Sidney, menunggu tiga bulan Taylor keluar dari rumah sakit, lalu sisa satu bulan adalah kelulusan Taylor. Dave langsung mengajak Taylor menikah.Betapa cantiknya Taylor dengan gaun putih pernikahan panjang, dengan beberapa hiasan bunga di sekitar rambut.Begitu pula dengan Dave. Terlihat gagah dengan setelan jas putih yang cocok di tubuh.Dave pernah mengatakan bahwa Taylor adalah anak yang diadopsi pada para karyawan dan karyawati.
Sally pergi menuju kamar Taylor yang belum bangun. Biasanya, Taylor tidak telat bangun tidak sampai satu jam lebih. Karena berpikir bisa saja asma Taylor kambuh, Sally menjadi khawatir."Tay? Bangun. Semua orang sudah menunggu di ruang makan." Ketika melepas selimut dari tubuh Taylor, Sally terkejut. "Astaga! Kamu tidur tanpa pakaian? Hey, Tay! Bangun!"Berkali-kali Sally mengguncang tubuh Taylor, akhirnya terbangun juga. "Kepalaku pusing ...," keluhnya sambil mengerang."Tay! Kamu tidur telanjang? Apa yang terjadi kemarin malam? Apa ada yang memerkosamu? Katakanlah!" Sally sudah dijadikan orang terpercaya oleh Dave. Jika Dave tahu ada orang yang melukai Taylor, pasti Sally akan dimarahi.Orang pertama yang Taylor lihat dengan jelas adalah Sally. Setelah berkedip beberapa kali, kesadaran Taylor sudah kembali."Dingin sekali." Taylor masih belum sadar dengan tubuh polosnya."Tentu saja. Lihat tubuhmu! Bajumu saja berserakan di lantai. Aku tid
Donna terkejut dengan apa yang dilihat. Banyak foto yang tersimpan di ponsel yang dipegang. Foto yang membuat Donna ingin mengamuk."Anak itu!" Ingin menghampiri Taylor yang sedang berdiskusi dengan Sally, tetapi Sidney menahan."Kita harus bermain halus. Jika kamu selalu menyerangnya, Dave bisa saja menjauhimu. Ingat tujuan." Sidney berbisik pada Donna.Tatapan Donna berubah tajam. Sebagai istri, Donna tidak terima dengan suami yang berselingkuh. "T-tapi, dia mencium Dave! Aku tidak bisa diam saja! Dia ... dia sudah menjadi pelakor!""Jangan merusak rencana yang sudah kubuat, Kak! Kamu hanya mengincar harta, 'kan? Untuk apa merebut Paman Jo?" Kali ini Sidney membuat Donna terdiam. "Untung aku menerima paksaan Sally untuk menemaninya beli buku. Ini bisa jadi senjatamu nanti.""Sekarang, katakan! Bagaimana kamu bertemu dengan dokter kenalan Paman Jo? Uang?" tanya Sidney, yang langsung mengganti topik.Sambil menenangkan diri, Donna menjawab,
Di mulai dari bahan-bahan yang masih cukup digunakan, tim tata boga pun mulai berlatih, sembari memikirkan makanan selanjutnya."Hey, Tay. Bukannya ingin mengungkit masa lalu." Daphne mengajak Taylor bicara. "Semenjak kamu putus dengan Brian, kamu tidak ingin menjalin kasih lagi? Kamu terlihat sedang butuh seseorang yang bisa mengerti."Gerakan mengaduk adonan kue berhenti. Sebenarnya, menanggapi hal seperti ini sangat membosankan. Pura-pura saja tidak dengar."Iya, Daphne benar." Bianca setuju. "Daripada cari yang belum pasti, lebih baik sama Sidney saja. Kamu dan Sidney selalu bersama, dan dia perhatian sekali denganmu. Aku iri," lanjutnya, membuat Taylor semakin malas meladeni."Bodoh! Mereka sekarang jadi sepupu!" Daphne tidak terima."Aku lebih suka mereka berdua." Bianca tetap pada pendirian.Pundak Taylor disentuh oleh Abigail, tetapi wajah Abigail menghadap ke Daphne. "Aku lebih suka Taylor dengan pamannya. Siapa namanya? Paman ... J
Makan malam yang biasanya diadakan oleh dua orang, sekarang menjadi lima. Posisi duduk pun sekarang berubah. Dave duduk di antara Donna dan Taylor, lalu di sebelah kiri Taylor ada Sidney, lalu Sally.Rasanya sangat tidak menyenangkan. Satu meja dengan musuh."Ceritakan, bagaimana sekolah kalian tadi? Apa ada yang menarik?" Dave mencairkan suasana."Beberapa hari lagi, sekolah akan mengadakan acara ulang tahun." Sally bercerita. "Aku tetap menjadi ketua penyelenggara, Sidney bergabung dalam drama, dan Taylor bergabung dalam tata boga."Kedua alis Dave menaik. Sedikit terkejut dengan Taylor yang bergabung dalam tata boga. "Oh, ya? Kamu akan memasak di sekolah? Aku belum pernah melihatmu memasak."Sidney mengerti candaan Dave. "Pasti masakannya tidak enak, lalu dikeluarkan dari tim."Sebenarnya, Taylor juga mengerti candaan Sidney, tetapi malas menanggapi. "Setidaknya, aku bisa belajar sedikit, daripada menjadi kaku di tengah panggung."
Seperti hari-hari biasa. Sudah waktunya Taylor, Sally, dan Sidney kembali sekolah. Dave merasa tidak keberatan untuk mengantar mereka, karena sudah terbiasa mengantar Taylor."Karena kami bertiga sekarang, Paman Jo tidak perlu repot menjemput kami. Kami bisa pulang bersama dengan berjalan kaki atau naik kendaraan lain. Santai saja." Sally membuat Dave percaya.Dari dulu Dave sudah percaya pada Sally. Jadi, apa pun yang terjadi, Sally harus bertanggungjawab. Terutama pada Taylor."Aku percaya padamu. Dan untukmu Sidney, kamu laki-laki, jadi harus bisa menjaga mereka," suruh Dave pada Sidney yang tersenyum."Sudah menjadi tanggungjawabku, Kakak Ipar. Apalagi ada adik sepupu di sini," balas Sidney dengan merangkul pundak Taylor. Hal itu pun mampu membuat Dave harus menahan cemburu.Terdengar bel masuk berbunyi, Sally mengajak Taylor serta Sidney untuk memasuki kelas. "Hey, cepat! Kali ini gurunya galak!" Sikap ketua kelas Sally kembali muncul.