Share

NaW: EMPAT

Taylor sudah membaik, karena inhaler dari Dokter Elsa, juga sarapan yang disuapi Dave. Padahal, tangan Taylor masih bisa bergerak, tetapi Dave keras kepala. Membuat Dokter Elsa tertawa melihat perilaku dua orang di depan.

Sekarang, Taylor sudah siap untuk pergi ke rumah teman kelas untuk mengerjakan tugas kelompok.

"Tay, sepertinya kamu pulang saja. Aku takut asmamu tiba-tiba kambuh." Fanny menggendong tas dengan wajah khawatir.

"Tugasnya dikumpul besok. Lagipula, aku sudah ada inhaler dari Dokter Elsa. Santai saja," kekeh Taylor yang ingin ikut. Demi mendapat nilai tambahan, kerjasama memang harus. Apalagi, guru yang mengajar telah mengatakan, yang hanya menumpang nama tidak akan mendapat nilai.

Rudy yang satu kelompok dengan Taylor, menyetujui ucapan Fanny. Namun, wajah Rudy terlihat tidak suka. "Fanny benar. Kamu pulang saja. Kalau ditengah tugas tiba-tiba kamu kambuh, tapi inhaler tidak berfungsi, percuma saja, 'kan?"

Entah kenapa, Taylor merasa ada yang aneh dari alasan tersebut. Bukan untuk menyuruh istirahat, tetapi ada maksud lain. "Kenapa? Kalian tidak ingin aku ikut buat tugas?"

Rudy dan Fanny saling menatap. Melihat peristiwa Taylor yang mendadak kambuh di kelas tadi, membuat mereka sedikit tidak suka.

"Kamu mau kami jujur? Baiklah, kami tidak ingin berdekatan dengan orang yang penyakitan. Itu membuat kami risih," jawab Rudy, mewakili Fanny yang tidak berani menyampaikan.

Seketika, hati Taylor merasa seperti terperosok, tetapi wajahnya tidak menunjukkan wajah kecewa. Taylor tidak suka menunjukkan wajah lemah di depan orang yang dianggap sebagai musuh. Harus berani!

"Tidak masuk akal. Pilih kasih sekali. Lebih baik aku yang kerjakan saja." Taylor meminta kemudahan. Matanya mulai bergerak ke arah lain, merasa tidak nyaman dengan keberadaan orang yang pilih kasih.

"Ya, sudah, kerjakan saja. Jangan lupa tulis nama kami." Rudy memerintah seakan ketua dalam kelompok, padahal tidak ada jabatan yang disetujui.

Rudy pun pergi, disusul Fanny dengan wajah kasihan pada Taylor.

Langsung saja Taylor memberi tatapan jijik pada orang berwajah dua. Dulu mereka baik, tetapi terlihat sekali aslinya. Tidak ingin berteman dengan orang yang berpenyakitan.

"Terserahlah. Aku tinggal pulang, lalu buat tugas. Paman Jo pasti belum pulang, jadi tidak ada yang mengganggu," gumam Taylor yang mulai bergerak meninggalkan tempat.

***

Sore menjelang malam. Dave baru saja menyelesaikan produk parfum dengan wangi baru. Belum 100% selesai, tetapi semuanya akan selesai dengan cepat, jika Donna tidak menggoda Dave tadi.

Sebelum keluar ruangan, Dave memutuskan untuk menghubungi rumah. Menanyakan apa Taylor sudah pulang atau belum pada pelayan.

"Sudah pulang, tuan. Sekarang ada di kamar. Biar saya berikan dulu telponnya." Pelayan pun mendatangi kamar Taylor.

"Masuk," suruh Taylor yang mendengar ketukan pintu.

"Nona Spark, Tuan Dave menelpon." Pelayan pun memberikan telpon rumah, lalu pergi meninggalkan Taylor sendiri.

"Ada apa, Pak tua?" Taylor menjepit telpon rumah antara bahu dan telinga. Kedua tangan bergerak untuk mengetik tugas di laptop.

"Kamu masih di rumah temanmu? Berikan alamat rumahnya, aku akan menjemputmu. Sekaligus, kita makan malam di luar."

Telpon yang dijepit, Taylor pegang, lalu punggung bersender di kursi belajar. "Tidak jadi kerja kelompok, aku kerja sendiri. Sudah makan malam. Belikan saja cemilan dan inhaler."

Dave yang sedari tadi duduk di kursi kebesaran menjadi bingung. "Aku hampir lupa dengan inhaler. Baguslah, tidak jadi ke rumah teman. Kamu bisa istirahat, jika tugasmu sudah selesai. Aku akan pulang."

"Pulang saja. Aku menunggu cemilan dan inhaler."

Mendengar balasan Taylor, Dave tertawa. Dave mengira, jika Taylor menunggu Dave. Taylor memang selalu bisa membuat Dave tersenyum.

"Orang itu yang ada menunggu kepulangan seseorang," protes Dave yang sengaja membuat Taylor kesal. "Aku tidak akan membelikanmu cemilan dan inhaler." Dave berpura-pura merajuk.

Taylor mendecakkan lidah. "Baiklah. Sepertinya, Paman ingin melihat asmaku kambuh, lalu kehabisan napas, dan-"

"Hey, aku bercanda," potong Dave sambil tertawa. "Aku pulang sekarang. Dah, gadis dinginku." Kecupan pun diberikan berkali-kali.

Jijik dengan perilaku sang paman, Taylor langsung mematikan panggilan, lalu telpon rumah dilempar ke ranjang. "Aku tidak mengerti, kenapa orang tuaku bisa bersahabat dengan pria seperti itu? Paman berperilaku seperti ini, pasti ke banyak wanita. Dan paman pernah bilang, kalau tidak ada wanita yang menyukainya, 'kan? Omong kosong."

Kedua tangan Taylor kembali bekerja dengan cepat.

Di tempat lain. Dave berjalan ke mobil sendiri. Tidak sengaja mendapati seorang wanita berpakaian minim. "Donna? Kamu belum pulang? Bukankah hari ini tidak ada jadwal iklan?"

"Memang tidak ada. Pagi tadi, aku sengaja ingin bertemu denganmu. Setelah itu, aku bosan." Kedua lengan Donna kembali dilingkarkan pada leher Dave. "Aku ingin pergi bersama calon suami."

Dave melepas kedua lengan Donna. Entah kenapa, kali ini Dave merasa risih. "Aku belum bilang ingin menikah denganmu."

"Lalu? Tidak ada salahnya, kalau aku memanggilmu calon suami, 'kan? Ingat, kamu tidak bisa kehilanganku." Donna membelai pipi pria yang dicintai. Perlahan, kepalanya mendekati kepala Dave.

Namun, Dave memilih untuk mundur selangkah. "Kamu ingin ikut denganku? Aku akan pergi ke supermarket, lalu apotek. Ada yang harus kubeli." Dave pun masuk ke mobil.

Diikuti Donna juga masuk ke mobil dengan heran. "Apotek? Siapa yang sakit? Kamu sakit?"

Sambil memakai sabuk pengaman, Dave menjawab, "Tidak. Ada sahabat yang menitipkan anak padaku selama seminggu. Anaknya punya penyakit asma. Sempat kambuh di sekolah tadi, jadi aku harus membelikannya inhaler."

Donna mengangguk tanda mengerti. Niat Donna ingin pergi bersama Dave pun diurung. Penasaran seperti apa anak dari sahabat Dave, Donna berniat ingin bertemu. "Aku ingin bertemu dengan anak sahabatmu."

"Kamu yakin?" Sesekali Dave menoleh. "Maksudku, kamu pasti tidak akan suka dengannya. Dia sangat dingin pada orang asing, dan juga cuek. Sedangkan kamu, kamu paling tidak suka dicueki."

"Tidak masalah, calon suami. Mungkin karena baru pertama kali bertemu, jadi ada rasa canggung. Santai saja," balas Donna sedikit memaksa.

***

Tugas yang masih belum selesai, harus terhenti karena suara Dave yang memanggil nama Taylor. Taylor pun keluar sambil membawa telpon rumah untuk dikembalikan ke tempat.

"Aku sudah membelikan pesananmu." Dave mengeluarkan isi dari plastik belanjaan.

"Lama sekali," ejek Taylor sengaja, sambil membawa memasukkan kembali pesanan yang dikeluarkan Dave. "Aku akan bawa semua ini ke kamar."

Sebelum Taylor pergi, Dave memperkenalkan Donna. "Jangan buru-buru. Tay, dia adalah Donna, model produk parfumku."

Seperti apa yang dikatakan Dave sebelumnya, Taylor tidak suka dengan orang asing. Taylor menatap Donna dari ujung rambut, hingga ujung kaki. "Salam kenal." Lalu, pergi begitu saja.

Donna melirik Taylor dengan tidak suka. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

"Namanya Taylor Spark. Jangan terlalu diambil hati. Dia memang dingin di awal, tapi dia sebenarnya menyenangkan. Kalian harus kenal dekat," ujar Dave sambil menatap punggung Taylor yang semakin jauh. "Aku mandi dulu. Nanti akan kuantar kamu pulang."

Menyenangkan? Ini suatu hal yang aneh dalam kehidupan Dave Jo. Pasal, Dave memang banyak disukai wanita, tetapi kenapa Dave hanya merasa senang pada anak sahabatnya? Inilah yang mengganggu pikiran Donna. Tentu saja Donna tidak tinggal diam.

"Tidak ada yang bisa membuat calon suamiku berpaling."

Sedang asik melanjutkan tugas dengan mulut penuh cemilan, Taylor dikejutkan dengan Donna yang asal masuk tanpa mengetuk. Pemilik rumah saja bisa mengetuk, kenapa Donna tidak?

"Maaf, kalau aku mengganggu. Aku ingin kenal lebih banyak denganmu. Sepertinya, kamu dan Dave begitu dekat." Donna berbasa-basi, ketika duduk di tepi ranjang.

Taylor tidak begitu tertarik dengan pembicaraan ini, tetapi Taylor tetap menghargai usaha orang yang mencoba mencari pembicaraan. "Paman Jo sahabat orang tuaku, dan aku kenal dengannya sudah sangat lama. Dia hanya menganggapku sebagai anak, tidak lebih."

Donna berpikir, jika Taylor sepertinya cepat mengerti, bahwa Donna menyukai Dave.

"Dave memang ... penyayang. Dia sangat menyukai anak-anak," balas Donna santai.

Sayangnya, Taylor terlihat biasa saja. Tidak ada reaksi apa pun. Membuat Donna mendengus kesal. Entah Taylor terlalu fokus atau tidak peduli, Donna memilih untuk keluar dengan perasaan kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status