Pagi menjelang siang. Taylor masih belum keluar dari kamar. Kali ini, Dave sungguh menyesal dengan kecerobohan yang telah diperbuat.
Kemari malam, setelah Dave diusir, Taylor sungguh tidak keluar dari kamar. Bahkan saat Dave mengajak bicara, Taylor malah diam dengan berpura-pura tidur.
Menyesal sudah membuat Taylor marah dua kali. Kali ini, Dave akan meminta maaf. Sekaligus meminta penjelasan atas apa yang Brian lakukan pada Taylor. Semoga saja akan berjalan dengan lancar.
Dave sudah mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. Pintu tidak dikunci, sesuai dengan peraturan rumah. Takut peristiwa kemarin terulang, Dave membuka pintu kamar dengan perlahan.
Ternyata si gadis dingin masih tertidur pulas, dengan posisi yang sama, miring ke arah kanan. Terlihat sangat tenang sekali, hingga Dave tidak berani membangunkan.
Salah satu tangan Dave terurai untuk mengusap kepala Taylor. Lagi, lagi, dan lagi, wangi dari tubuh Taylor masih saja tercium.
Tidak, Dave. Jangan ceroboh lagi. Jangan buat Taylor tambah marah.
"Taylor, bangun. Sudah mulai siang. Kamu terlambat sarapan." Dave membangunkan dengan menepuk bahu Taylor berkali-kali.
Taylor meregangkan tubuh sambil menguap, lalu menatap malas pada Dave. "Pergi saja sana." Taylor kembali menutup mata, dan mengubah posisi menjadi miring ke kanan lagi.
"Hey, maafkan aku. Kemarin aku mendengar kamu kesakitan. Kupikir Brian melakukan hal buruk padamu." Dave tanpa aba-aba langsung mengatakan inti pembicaraan.
"Apa yang kalian lakukan? Apa kamu lupa peraturan kedua rumah ini?" sambung Dave meminta penjelasan.
"Kakiku tidak sengaja terkilir saat menaiki tangga teras, lalu Brian membawaku ke ruang tamu, dan memijat kaki. Ketika menerima panggilanmu, dia tidak sengaja menekan kakiku. Kalau begitu, aku minta maaf telah melanggar peraturan keduamu itu." Taylor menjawab panjang lebar tanpa mengubah posisi.
Sadar dengan kata terkilir, jiwa ke-papa-an Dave bangkit. "Di mana? Biar kulihat."
Taylor membuka selimut hingga menampilkan jenjang kaki yang indah, lalu menunjuk pergelangan kaki kiri. "Di bagian sini. Kemarin, Brian sudah memijat kakiku, tetapi masih sakit."
Sudah wangi tubuh Taylor, ditambah lagi Taylor yang mengenakan celana pendek. Jangan lupakan pakaian dalam Taylor. Anggap saja sebagai asupan.
"Akan kupijatkan lagi." Dengan senang hati, Dave menawari diri.
Karena Dave tidak sengaja memijat terlalu keras, Taylor merintih kesakitan. Namun, rintihan Taylor berbeda dari yang kemarin.
"Ahhh. Paman, pelan-pelan," pinta Taylor yang menatap kakinya yang masih dipijat.
"M-maaf. Aku tidak biasa memijat orang. Ini pertama kali, jadi jangan marah," balas Dave yang sesekali menatap Taylor, lalu kembali menatap kaki Taylor.
Entah ada rasa aneh apa, Taylor menggigit bibir bawah. Apa mungkin pijatan Dave yang semakin lama semakin membaik? Baru kali ini, tangan besar Dave menyentuh kulit bagian kaki Taylor.
Padahal, saat Brian memijat kaki Taylor, tidak ada sensasi seperti ini.
Mata Taylor kembali tertutup, karena menikmati pijatan Dave. Namun, napas Taylor menjadi tidak teratur, membuat Dave ketakutan.
"Taylor, buka matamu. Kenapa deru napasmu seperti itu?"
Dengan cepat, Taylor langsung tersadar. "A-aku menahan sakit." Seperti biasa, mata Taylor menatap ke arah lain.
Menyadari hal itu, Dave menghentikan pijatan. "Jujur, apa yang terjadi? Apa asmamu kambuh?" Taylor lebih memilih beranjak dari ranjang. "Mau ke mana?"
"Ke kamar mandi," jawab Taylor sambil berjalan tertatih-tatih.
Gemas karena melihat Taylor selalu keras kepala, Dave langsung menggendong Taylor ala pengantin. "Jangan bicara. Jalanmu lambat. Makanya, jangan bilang aku lambat," ejeknya, membuat Taylor menunjukkan wajah kesal.
Dave pun menuruni Taylor di dalam kamar mandi. "Mau apa kamu di sini?"
"Mau buang air kecil." Taylor memberi tatapan dengan arti cepat-keluar-dari-sini.
"Biar kubantu."
"Heh! Keluar!"
Dave berlari sambil tertawa, ketika Taylor hendak memukul lengan Dave. Sambil menunggu Taylor selesai, Dave berinisiatif membantu merapikan ranjang. Untung-untung membuat hati Taylor senang.
Dengan melakukan hal yang sama, Dave menggendong Taylor ke ruang makan.
"Astaga. Kakiku hanya terkilir, bukan lumpuh," tukas Taylor yang malu dilihat oleh beberapa pelayan.
***
Ini hari keenam Taylor tinggal di rumah Dave. Belum ada kabar dari sang mama. Taylor pun memutuskan untuk menghubungi mama melalui panggilan video. Namun, ponsel Taylor berada di kamar.
Melihat Dave sedang mengetik laptop di sebelah Taylor, Taylor pun menarik lengan baju Dave dengan malas. "Paman, mau menolongku, 'kan?"
"Kenapa?" tanya balik Dave, sambil membenarkan kacamata yang dipakai.
"Tolong ambilkan ponsel di kamar, ya?" Berusaha menunjukkan wajah imut, tetapi wajah Taylor tetap saja terlihat datar. Membuat Dave tertawa sambil mencubit pipi Taylor, lalu beranjak pergi ke kamar Taylor.
Ponsel Taylor berada di nakas. Saat belum tersentuh, notifikasi pesan muncul. Wajah Dave berubah masam, ketika pesan masuk tersebut dari Brian.
Bagaimana keadaan kakimu?
Apa sudah bisa berjalan dengan lancar?Jangan dipaksakan.Kamu belum memberi kabar, jadi aku khawatir.Suatu ide terlintas diotak Dave. Dengan sengaja, Dave membalas pesan tersebut dengan niat menjauhkan Brian dari Taylor. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekati gadis dinginku."
"Kakiku semakin buruk karenamu!
Lebih baik, kita sudahi saja hubungan ini!Aku sudah punya kekasih baru.Carilah perempuan yang pantas untukmu!" Telah terkirim, dan Dave langsung menghapus pesan serta nomor ponsel Brian."Paman, ponselku!" panggil Taylor yang sudah bosan.
Dave pun turun tergesa-gesa, memberikan ponsel dengan senyum lebar, lalu kembali mengetik di laptop.
Taylor tidak memperhatikan wajah Dave yang mencurigakan. Tujuan memakai ponsel hanya untuk menghubungi mama.
"Mama! Bagaimana kabar Mama di sana?" Begitu terhubung, Taylor tampak terlihat ceria.
"Sangat baik. Besok Mama akan pulang. Bagaimana denganmu? Apa pria tua itu membuatmu marah dan sedih?" Begitu pertanyaan tersebut keluar, Taylor menoleh pada Dave yang juga sedang menoleh pada Taylor.
Taylor menunjukkan senyum termanis untuk sang mama. "Tidak ada, Ma. Semua berjalan lancar." Sengaja menutupi masalah saat di perusahaan.
"Di mana dia?"
"Aku di sini. Kenapa?" Tiba-tiba Dave bersender pada bahu Taylor, membuat Taylor mendecakkan lidah karena risih.
"Besok aku pulang. Jemput aku agak siangan. Ajak Taylor sekalian, ya?"
"Siap." Seketika, Dave sengaja bertanya pada Tina, yang membuat Taylor memberi tatapan tajam pada Dave. "Menurutmu, Taylor cocok jadi model iklan, tidak?"
Tina terdiam, membayangkan bagaimana anak tunggalnya menjadi model. "Kenapa tidak? Itu bagus. Akan menjadi pengalaman baru untuknya."
"Ma, jangan mudah setuju dengannya," protes Taylor. "Tidak mudah merubah ekspresi." Dave tertawa dengan protesan Taylor.
Seseorang memasuki ruang kerja Tina, terpaksa Tina harus menyudahi panggilan. "Tay, sudah dulu, ya? Mama masih ada pekerjaan. Sampai bertemu besok, sayang."
"Ya, sampai bertemu besok," balas Taylor telat. Mamanya dengan cepat mematikan panggilan. Helaan napas pasrah keluar dari mulut Taylor.
Karena Taylor malas bergerak, kepala Taylor tidak sengaja jatuh ke paha Dave, ketika kepala Dave sudah tidak lagi di bahu Taylor. Paha Dave dijadikan bantal.
Ketika kepala Taylor jatuh ke paha Dave, salah satu anggota tubuh Dave terkejut, membuat Dave sedikit panik. Untung saja Taylor memilih untuk memiringkan tubuh ke arah laptop.
"Besok aku mau ikut jemput Mama," imbuh Taylor sambil memejamkan mata.
"Ya ... tidak masalah. Kamu minta sahabatmu ijinkan saja," balas Dave sedikit gugup, tetapi mencoba kembali konsentrasi.
Taylor setuju, tetapi Taylor tidak akan mengabari Riley, melainkan Brian. "Oh ya, Brian pasti sedang pergi bersama ayahnya." Akhirnya, Taylor mengabari Riley.
***
Sudah ke berapa kali Dave menelan ludah? Dave memperhatikan Taylor yang sedang berenang. Walaupun Taylor memakai kaus dan legging, tetapi saat terkena air, lekuk tubuh Taylor masih terlihat.
Hanya dua orang yang bisa membuat Dave tergoda. Donna dan Taylor. Namun, perbedaan kedua perempuan itu sangatlah besar.
Dave akan tergoda pada Donna, jika Donna menyentuh tubuh Dave. Berbanding terbalik dengan Dona. Taylor yang tidak punya niat menggoda, mampu membuat Dave tergoda.
Alasan lain adalah Dave seorang pria. Akan tetapi, pelayan di rumah Dave juga ada beberapa perempuan. Kenapa Dave tidak tergoda?
Mencoba untuk menenangkan diri, walaupun salah satu anggota tubuh Dave semakin tidak bisa diajak kerjasama. Dave dikejutkan oleh tangan Taylor yang memegang salah satu kaki Dave secara tiba-tiba.
"Jangan bilang Mama, ya, Paman? Aku sudah lama tidak berenang. Sekali saja tidak masalah," ujar Taylor, yang menatap Dave dari bawah.
Dave dengan refleks merapikan kaus hitam ke bawah, menutupi anggota yang memberontak dari celana. "Ya, ini rahasia. Tenang saja," jawabnya sambil duduk di tepi kolam renang.
Melihat wajah Taylor yang menjadi sendu, Dave bertanya sambil menarik pelan Taylor untuk memunggungi perut Dave. "Kenapa? Kamu sedih, karena akan meninggalkan rumahku?"
"Sedih? Aku justru bahagia. Tidak akan ada yang mengganggu." Taylor menyenderkan kepala di perut Dave. Hampir saja mengenai anggota sensitif Dave.
Napas Dave rasanya tertahan. Gerakan kepala Taylor yang mengenai perut semakin membuat anggota spesial Dave memberontak.
"B-begitu, ya? Kalau begitu, aku bisa datang ke rumah Mamamu kapan saja. Seperti dulu, saat kamu masih anak-anak," balas Dave, yang berusaha tenang.
"Mama akan menyediakan perangkap beruang."
"Maksudmu, aku beruang?"
"Ya. Beruang tua."
Dave memilih untuk memejamkan mata sementara, ketika terjadi keheningan. Tiba-tiba saja, tangan Taylor menjalar ke tubuh Dave, sehingga Dave merasa kenikmatan, dan juga takut.
"Ahh ... Jangan ... Taylor ...," desah Dave dengan memelankan suara.
"Paman ...," panggil Taylor, yang sudah memegang kepala Dave. Jarak wajah Taylor semakin dekat pada wajah Dave. "Paman mesum!"
Kedua mata Dave seketika terbuka dengan cepat. "Apa? Kamu bicara apa?"
"Apa yang Paman bayangkan? Menyebut namaku sambil bilang jangan. Apa yang kulakukan padamu diotak mesum Paman?" Ternyata, Taylor mendengar desahan pelan Dave.
"Jangan asal bicara mesum. Aku ... " Dave mencari alasan lain. " ... Teringat dengan masa lalu kita. Ketika aku datang ke rumah orang tuamu, lalu kamu bersembunyi dengan ketakutan. Sangat menggemaskan. Ingin kubawa kabur kamu dari orang tuamu."
Melihat Taylor yang tiba-tiba pergi dari kolam renang, Dave bertanya, "Hey, mau ke mana?"
"Aku tidak ingin dekat-dekat dengan pedofil."
Dave menghela napas, lalu terkekeh. Memang Dave menyukai anak-anak, tetapi hanya Taylor yang sangat Dave sukai. Ketika datang ke rumah Keluarga Spark, yang pertama dicari adalah Taylor.
Waktu yang bagus untuk menenangkan diri. Taylor pasti sedang membilas tubuh di kamar mandi. Dave juga akan melakukan hal yang sama, tetapi dengan waktu yang sedikit lama.
Ada hal penting yang harus Dave lakukan di kamar mandi.
Sambil membayangkan tubuh Taylor yang basah, Dave terus menggerakkan salah satu tangan. Desahan terus keluar dari mulut. Berawal dari desahan kecil, berubah menjadi desahan keras. Dave menyenderkan tubuh sambil mengatur napas, ketika tugas negara sudah selesai.
"Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Bermain sendiri dengan membayangkan tubuh gadis yang kuanggap sebagai anak." Dave memberi jeda, karena masih mengatur napas. "Tidak mungkin sekali, kalau aku mengajak Taylor bersetubuh."
Taylor termenung di depan pintu kamar Dave, ragu ingin meminta pertolongan. Selagi kaki Taylor belum sembuh, Taylor tidak bisa pergi ke mana-mana, kecuali harus ke sekolah."Sedang apa di sini?" tanya Dave sedikit terkejut. Tiba-tiba, rasa takut muncul. Apa Taylor mendengar Dave mendesahkan nama Taylor?"Paman, kakiku belum sembuh total. Jadi, bolehkah aku meminjam ponselmu untuk belanja?" Kedua tangan Taylor menarik ujung baju sendiri. Takut ditolak oleh Dave.Dave mengelus dada, ketika mendengar jawaban Taylor yang berbeda. Ponsel pun diambil dari meja, bersiap membuka aplikasi belanja. "Ingin belanja apa?"Ponsel Dave langsung direbut oleh Taylor. "Ini perlengkapan perempuan, dan laki-laki tidak boleh tahu." Setelah diijinkan, Taylor menjauh dari kamar Dave.Sedang asik memilih, notifikasi pesan muncul dari Madonna. Salah satu model yang pernah menuduh Taylor.Kesopanan nomor satu, tetapi rasa penasaran lebih besar. Tanpa sepengetahuan Dave, Ta
Dave berniat ingin membangunkan Taylor di pagi hari, tetapi pintu kamarnya sudah terbuka lebar. Tidak biasanya Taylor bangun pagi, mungkin alarm dinyalakan.Melihat Taylor sedang menulis sesuatu, Dave mendekat untuk memperhatikan. "Tulis apa kamu?" tanyanya dengan seksama.Ada lima inhaler yang Dave beli saat itu. Taylor berniat menandai inhaler dengan stiker yang telah diberi nama. "Kalau inhaler-ku hilang, orang yang menemukan ini bisa langsung mencariku.""Orang di mana? Bagaimana mereka tahu wajahmu?" tanya Dave sambil memakai sticker nama di dahi."Maksudku, orang yang di sekolah- Apa yang Paman Jo lakukan?" Taylor heran dengan perilaku Dave yang terlihat seperti anak-anak. Sticker namanya tertempel di dahi Dave. Apa Dave berubah haluan menjadi sebuah barang?Sambil menunjuk ke arah sticker di dahi dan tersenyum, Dave meminta hal aneh, "Tulis namamu. Supaya semua orang tahu, kalau aku milikmu."Taylor terkekeh sambil menggelengkan kepal
"Sudah ditemukan? Baiklah, saya akan segera ke sana. Di rumah sakit dekat bandara? Ya, saya tahu tempat itu. Terima kasih."Dave baru saja mendapat kabar dari bandara, bahwa jasad Tina telah dibawa ke rumah sakit dekat bandara. Ini saatnya untuk menguatkan hati lagi. Terutama Taylor."Taylor. Apa dia sudah bangun?" tanya Dave pada diri sendiri, sambil menuju ke kamar Taylor.Pintu kamar dengan nama Taylor Spark yang tergantung di pintu sudah terbuka lebar. Dave melihat Taylor sedang menutup koper. Taylor juga sudah terlihat rapi."Kamu sudah bawa semua barang yang diperlukan? Kita akan ke rumahku dulu, baru ke rumah sakit. Pegawai bandara sudah mengabari." Dave mendekat pada Taylor, yang baru duduk di tepi ranjang."Sudah. Kalau memang ada yang kurang, aku bisa kembali ke sini," jawab Taylor dengan lesu."Ayo, aku tidak ingin membuang waktu." Taylor langsung pergi meninggalkan kamar dengan membawa koper dan ransel, membiarkan Dave berdiri di sana.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Taylor yang sudah bersiap keluar mobil, ditahan sementara oleh Dave."Hubungi aku, kalau sudah selesai, dan fokus pada pelajaran. Kalau asmamu kambuh, lebih baik pulang cepat saja.""Iya, aku mengerti. Tepat setelah bel pulang sekolah, akan langsung kukabari. Aku duluan." Taylor langsung keluar, dan berlari kecil, karena bel masuk telah berbunyi.Ketika Dave ingin memanggil, Taylor lebih dulu menoleh. "Berhenti memberi wajah genitmu. Itu menggelikan." Setelah itu, pergi begitu saja ke sekolah.Dave tertawa, karena Taylor mengerti apa yang dimaksud. Melihat Taylor tidak sampai mengurung diri berhari-hari, membuat Dave merasa tenang. Akan tetapi, dengan masuknya kembali ke sekolah, Dave merasa ada yang akan terjadi pada Taylor.Ketika Taylor sudah menghilang dari pandangan, Dave mulai menjalankan mobil ke perusahaan.Taylor memasuki kelas dengan santai, karena guru belum datang. "Selamat
"Beruntung sekali, Nona Spark akan pulang siang ini. Perhatikan kembali kesehatanmu. Terlalu banyak berpikir dan emosi berlebihan, juga menyebabkan asmamu kambuh," lekas dokter pada Dave dan Taylor. "Ingat, pelajari cara-cara menangani diri tanpa inhaler." "Baik, dok. Akan saya ajarkan dia," balas Dave sopan, setelah menaruh gelas kosong yang baru diminum Taylor. Taylor merasa lega, tidak tinggal di rumah sakit berhari-hari. Dulu, saat masih anak-anak, Taylor sempat dirawat hampir satu bulan. Itu karena tubuh Taylor belum kuat menahan asma, dan itu cukup membuat Taylor bosan. Lebih baik dirawat di rumah, daripada rumah sakit. "Aku bawakan jaket untukmu. Aku juga menemukan inhaler di meja belajarmu. Kemarin, kamu bilang inhaler hilang." Dave menatap Taylor dengan intens. "Hilang atau ketinggalan?" "Sepertinya, ketinggalan. Kemarin aku terburu-buru, tapi aku merasa sempat memasukkan inhaler ke tas," jawab Taylor, dengan ingatan yang sedikit lupa.
Mobil hitam Fortune kembali berhenti di halaman sekolah. Dave tidak pernah bosan mengantar Taylor sekolah. Melihat wajah semangat Taylor, membuat Dave juga ikut bersemangat."Gadis dingin," panggil Dave, ketika Taylor baru saja keluar dari mobil. "Dengar, jangan dekati lagi Brian dan Riley. Mereka sudah membuatmu kambuh parah."Ada sedikit ketidaksetujuan Taylor. Mengapa hanya menyalahkan Brian dan Riley, jika pelaku utama adalah Dave?"Aku tahu, aku yang memulai segalanya. Tapi, mereka bahkan melakukan hal buruk yang lebih besar," lanjut Dave, yang mengerti dengan tatapan tidak setuju Taylor."Paman Jo fokus saja dengan pekerjaan. Masalah sekolah, aku bisa menanganinya. Aku duluan." balas Taylor, langsung pergi meninggalkan Dave.Ada sesuatu yang kurang. Taylor menoleh pada Dave, berharap diberikan sesuatu seperti dulu. Namun, Dave terlihat bingung, ketika Taylor memberi tatapan."Sudahlah. Dia tidak peka," gumam Taylor, lalu melanjutkan ja
Sudah seperti bodyguard, Sally menemani Taylor pulang hingga Dave datang menjemput. Padahal, Taylor sudah menolak, tetapi Sally memaksa."Terima kasih, sudah menjaganya." Dave berbicara pada Sally melalui jendela mobil yang terbuka."Sama-sama, Paman. Aku sebagai ketua kelas harus bertanggungjawab juga akan kesehatan murid kelas," balas Sally dengan sopan.Melihat perilaku Sally yang begitu baik dan peduli, Dave memilih mempercayai Sally untuk menjaga Taylor di sekolah. Tidak ada lagi bersahabat dengan murid laki-laki. Boleh saja, tetapi jangan terlalu dekat."Terima kasih ....""Sally, namaku Sally.""Terima kasih, Sally. Saya harap, kamu mau menjaga Taylor selalu."Sally dengan senang hati akan melakukannya. "Tenang saja, Paman. Ingat, saya ketua kelas, dan itu sudah jadi tanggungjawab. Aku tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Taylor. Jaga kesehatanmu, ya, Tay." Sally pun memberi lambaian tangan.Balasan Taylor hanya lamba
Sudah terbiasa bangun pagi, Dave dengan sengaja tidak turun dari ranjang. Melihat Taylor yang tidur dengan nyenyak, mampu membuat Dave betah menatap dan tersenyum.Hampir memakan banyak waktu, Dave tersadar karena suara alarm Taylor yang berbunyi."Gadis dingin, bangun. Kamu harus sekolah." Suara Dave yang serak di pagi hari, mampu membius para wanita di sebelahnya, tetapi tidak pada Taylor. Tidak ada pergerakkan dari Taylor, sepertinya Taylor mengantuk berat.Dave teringat cara untuk membangunkan Taylor yang sulit bangun. Saat Taylor berumur 10 tahun, Dave selalu menggunakan cara ini.Kedua pipi Taylor dikecup bergantian. Tidak hanya pipi, tetapi dahi dan hidung juga. Kenapa dikecup? Itu akan membuat Taylor risih dan terbangun. Cara itu selalu berhasil."Lima menit lagi." Taylor mulai tersadar. Sempat berpindah posisi untuk membelakangi Dave."Tidak bisa, nanti kamu telat, lalu menyalahkanku," tolak Dave, yang kembali ingin mengecup pipi Ta