“Ampun Raden,” tubuh Ki Gambang semakin gemetar, keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhnya. Misah yang sedari tadi berdiri di balik pintu kaget bukan kepalang, ditangkupkannya telapak tangan ke mulutnya, ia takut menjerit mengetahui yang dia lihat saat ini, badannya kaku, tak tau harus berbuat apa.
“Cepat katakan Ki, atau pedang ini menebas lehermu, banyak orang yang mengatakan para bandit itu sering muncul di tempat ini, kemana lagi kalau bukan untuk menemuimu,” lelaki itu tampak geram.
“Benar Raden, hamba benar-benar sudah lama tidak pernah melihat mereka, ampuni hamba,” Ki Gambang memohon ampun. Keributan di pagi buta itu memancing warga dusun keluar dari biliknya masing-masing. Mereka bingung menerka-nerka apa yang sebenarnya sedang terjadi.
“Kau benar-benar tetap mau bungkam Ki? Prajurit! Seret laki-laki ini! Bawa dia ke penjara, akan kubuat dia buka mulut!” dengan suara yang keras dan tegas, lelaki yang adalah pemimpin pasukan itu memberi perintah. Dengan sigap dua orang prajurit yang berada di barisan depan segera meringkus Ki Gambang. Ki Gambang yang merasa sangat takut mulai meronta mencoba melepaskan diri dari prajurit yang mulai menyeretnya.
Misah masih kaku, bingung, takut dan khawatir akan nasib ayahnya. Dua prajurit itu dengan kasar menyeret tubuh Ki Gambang yang terlihat kian melemah. Melihat Ki Gambang sudah ditangkap, lelaki garang yang merupakan Senopati Kerajaan Singapatih itu dengan gesit melompat ke punggung kudanya kemudian menghentak tali kekang dan pergi meninggalkan tempat itu dengan pedang di sarungnya. Kuda pilihan berwarna putih itu melaju pelan di barisan paling depan, sedangkan Ki Gambang pasrah dengan nasibnya diapit dua prajurit di barisan paling belakang. Sebelum pergi, mata tajam Senopati itu sempat tertuju pada Misah yang sudah tergolek kaku di balik pintu kayu rumahnya. Pintu kayu lapuk itu tak dapat menyembunyikan seluruh raga Misah, tampak dengan jelas uraian rambut hitam tebal itu tertangkap oleh si Senopati, tapi ia membiarkannya, entah apa arti tatapan itu, hanya dia yang tahu. Beberapa waktu rombongan itu sudah tidak tampak lagi, jalan dusun yang masih rimbun dipenuhi pepohonan dengan rumah-rumah yang masih jarang menelan rombongan itu dari pandangan Misah.
“Nduk cah ayu, kamu ndak apa-apa?” Nyi Sambi, janda tua yang tinggal tepat di samping rumah Misah tergopoh–gopoh berlari mendekati gadis itu.
“Bapak Mbok, bapak!” tiba–tiba Misah seperti tersadar. Nyi Sambi yang sudah berada di depannya itu mulai khawatir. Entah kesambet setan apa, Misah histeris sambil menggoncang tubuh janda tua itu.
“Iya Nduk, sabar!” Nyi Sambi coba menenangkan Misah.
“Bapak pie Mbok?” Misah mulai tersedu.
“Iya Nduk,” Nyi Sambi bingung harus bagaimana. Para penduduk yang mulai berdatangan ke rumah Misah juga ikut menenangkan gadis itu. Keadaan mulai riuh dan heboh, kehadiran prajurit kerajaan yang tiba–tiba menyulut tanda tanya besar. Apalagi para prajurit itu menyebut para saudara Ki Gambang adalah begal. Orang–orang mulai berbisik, jika memang benar saudara Ki Gambang menjadi begal dan Ki Gambang terlibat, maka ia sedang dalam bahaya besar. Karena istana sedang melakukan perburuan besar–besaran untuk menangkap para gerombolan bandit dan begal yang semakin merajalela. Hampir setiap pekan, upeti rakyat yang akan dikirim ke istana selalu menjadi sasaran pembegalan. Prajurit kerajaan sangat kesulitan untuk menangkap para begal itu karena mereka memiliki tempat persembunyian yang sulit dijangkau. Para begal itu menghuni hutan lereng Gunung Agung yang lebat dan terkenal dengan keangkerannya.
“Ayo Nduk kita ke rumah Raden Wikrama, mungkin kita bisa minta bantuan darinya,” dalam keadaan bingung Nyi Sambi teringat kepada seseorang yang mungkin bisa dimintai pertolongan. Raden Wikrama Manggalayuda, Raden Tumenggung yang menjadi pemimpin di dusun Manis Jambe ini. Wanita tua itu mencoba menegakkan tubuh Misah yang lemas sembari menuntunnya menuju rumah Raden Wikrama. Masih dengan tubuh yang gemetar, Misah pasrah mengikuti langkah Nyi Sambi.
…
Matahari mulai merangkak naik ketika Misah dan Nyi Sambi sampai di kediaman Raden Wikrama yang berada di ujung pedukuhan. Meskipun masih berjarak cukup jauh, Misah sudah bisa melihat dengan jelas tempat yang menjadi tujuannya itu, rumah berbentuk bangunan joglo dengan gapura indah dan memiliki halaman yang sangat luas adalah satu–satunya bangunan yang paling megah di Dusun Manis Jambe ini.
“Kula nuwun Nyai Sri, nyuwun sewu pagi–pagi begini sudah mengganggu Den Ayu,” ucap Nyi Sambi kepada Nyai Sri Gandawangi sesampainya di kediaman Raden Wikrama. Nyai Sri Gandawangi yang merupakan Nyai Tumenggung sekaligus istri dari Raden Wikrama terlihat sedang duduk santai di kursi ukiran kayu yang berada di teras rumah joglo itu. Ia ditemani seorang emban yang dengan lembut menyisir rambut panjangnya yang indah terurai. Wajahnya yang bersih dan ayu, dengan sorot mata lembut tapi tajam melihat Misah dan Nyi Sambi yang sudah berada di depannya. Nyai Sri terlihat sedikit kaget mendapati dua wanita yang menemuinya itu berwajah kuyu dan panik.
“Ada apa Nyi, Nyi Sambi dan Misah pagi–pagi sudah datang kesini,” tanpa mengerakkan tubuhnya, Nyai Sri berkata.
“Den Ayu, kami ingin minta tolong kepada Raden Tumenggung, ini terkait dengan Ki Gambang, bapaknya Misah. Ia ditangkap oleh prajurit kerajaan,” dengan tergagap Nyi Sambi menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Nyai Sri tampak tenang, ia mendengarkan Nyi Sambi sambil sesekali merapikan rambutnya.
“Begitu Den Ayu, kami minta tolong bagaimana supaya Ki Gambang bisa diselamatkan, kasihan Misah,” Nyi Sambi berkata. Misah hanya bisa menunduk tanpa bicara, gadis itu terdiam sambil sesekali mengusap air matanya. Sorot mata Nyai Sri lekat menatap Misah, dari kepala hingga ujung kaki tak luput dari pandangannya.
“Masuk sini Nyi, Misah, duduklah dulu,” Nyai Sri mempersilahkan mereka berdua duduk di bangku kosong sebelah tempat duduknya.
“Nyi Darsan, tolong panggil Raden, mungkin dia ada di belakang,” Nyai Sri berkata kepada emban setianya. Emban itu dengan sigap melakukan perintah majikannya. Ia masuk menuju ke rumah bagian belakang seperti yang dikatakan Nyai Sri. Dan tepat sekali, Raden Wikrama memang berada di sana sedang memberi makan ayam jago kesayangannya. Tak menunggu waktu lama Raden Wikrama keluar menemui Misah dan Nyi Sambi. Nyi Sambi kemudian mengulangi cerita yang tadi ia ceritakan kepada Nyai Sri.
“Ini tentang gerombolan begal yang sering merampas harta milik Prabu. Beberapa purnama ini memang mereka sering beraksi di sekitaran hutan dusun ini. Aku baru tahu kalau paman Misah dituduh ikut menjadi anggota kawanan mereka,” Raden Wikrama berkata.
“Bapak saya tidak tahu menahu soal paman-paman saya Raden, bapak sering bercerita kalau mereka pergi sejak masih muda, tapi mereka tetap memaksa untuk membawa bapak ke penjara Raden,” Misah ikut bercerita. Gadis itu berkata dengan suara bergetar. Air mata menggenang di sudut matanya.
“Tenang Misah, aku akan coba menyusul bapakmu, dan menjelaskan kepada senopati. Mungkin karena Prabu mulai gelisah dengan para begal itu hingga bapakmu ikut jadi sasaran,” Raden Wikrama berkata.
“Matur nuwun Raden atas bantuannya,” ucap Nyi Sambi. Lelaki gagah tiga puluhan tahun itu segera bersiap-siap. Ia memanggil salah satu abdi untuk segera menyiapkan kuda tunggangannya. Tak lupa sebuah keris dengan sarung yang berukir indah terselip di belakang punggungnya.
“Aku pergi dulu Dek Sri,” Raden Wikrama berpamitan pada istrinya setelah selesai bersiap. Nyai Sri mengangguk pelan. Ditemani dua orang kepercayaannya, Raden Wikrama bergegas mengejar rombongan senopati itu.
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan