“Nyi, ambilkan minum dan makanan di dapur untuk Nyi Sambi dan Misah,” Nyai Sri kembali berkata pada embannya yang telah selesai menggelung rambut panjangnya.
“Nggeh Ndoro Putri,” jawab sang emban.
“Misah, Nduk cah ayu, sudah dewasa kamu Nduk, berapa umurmu sekarang?” tanya Nyai Sri kepada Misah.
“Enam belas tahun Nyai,” jawab Misah sambil tertunduk malu. Tak berapa lama sang emban kembali dengan nampan kayu yang berisi air putih dalam kendi dan singkong rebus yang baru matang.
“Dimakan dulu Nyi, Misah, kalian pasti belum sarapan,” Nyai Sri mempersilahkan kedua tamunya untuk menyantap hidangan yang sudah tersaji.
“Matur nuwun Den Ayu,” ucap Nyi Sambi. Ia dan Misah malu-malu meneguk air putih dan menyantap singkong rebus yang masih panas itu. Nyai Sri tersenyum melihat tingkah mereka. Sesekali ia menatap Misah yang terlihat acak–acakan. Rambutnya yang hitam dan panjang terurai di punggung dan kedua pundaknya. Meskipun tampak kuyu dan kusut kecantikan alaminya masih sangat terlihat.
Setelah selesai mengisi perut dengan singkong rebus dan air putih, Misah dan Nyi Sambi berpamitan pulang. Misah bersikeras ingin menunggu ayahnya di rumah meskipun Nyai Sri menyarankan agar mereka tetap di sini. Sebenarnya Nyi Sambi dan Misah merasa tidak nyaman berlama–lama bersama Nyai Sri. Walaupun terlihat ramah, sebenarnya Nyai Sri adalah sosok yang terkenal sangat dingin di dusun ini.
...
Raden Wikrama berhasil menyusul rombongan prajurit yang membawa Ki Gambang. Dengan segera ia menghadang rombongan itu kemudian menghadap Senopati yang sedang bertengger tenang di atas kuda putihnya.
“Senopati Gunung Agung,” Wikrama berdiri sembari menelungkupkan kedua tangannya di dada memberi hormat.
“Wikrama Manggalayuda, ada urusan apa kau menghadang perjalananku. Sudah sejak lama aku tak bertemu denganmu. Ayahmu Mahamentri Dwipanca mengatakan sekarang kau lebih memilih menjadi kepala dusun daripada menerima jabatan penting di istana,” Senopati berkata.
“Senopati, maaf atas kelancangan ini, hamba berharap Senopati bersedia melepaskan Ki Gambang Pangalihan, dia tidak ada sangkut pautnya dengan para begal yang sedang Senopati cari,” tanpa basa basi Raden Wikrama langsung mengungkapkan maksud dan tujuannya.
“Darimana kau tahu dia tidak berhubungan dengan para begundal itu, sedangkan mereka adalah saudara-saudaranya,” dengan tetap bertengger di punggung kudanya yang gagah Senopati berkata.
“Sebagai kepala dusun, tak ada hal yang bisa lepas dari pengawasan hamba tuanku. Hamba tahu sehari-hari Ki Gambang hanya mengurus ladangnya dan tidak pernah pergi kemanapun. Memang hamba mendengar desas–desus bahwa para begal sering tampak berkeliaran di sekitar dusun hamba. Saat ini pun hamba tengah menyelidikinya, dan selangkah lagi hamba yakin pasti akan mendapatkan hasilnya,” Raden Wikrama berkata dengan penuh wibawa dan percaya diri.
“Apakah kamu serius menyelidiki masalah ini? Prabu Sentanu sudah mulai jengah dengan hilangnya upeti kerajaan karena dirampas oleh para setan itu. Urusan ini tidak main-main, mereka dengan terang-terangan sudah menantang wibawa kerajaan. Aku tidak akan membiarkan mereka bertingkah lebih jauh lagi. Mereka semua harus segera ditumpas.”
“Hamba mengerti apa yang tuanku maksud, hamba akan segera mengetahui persembunyian para begal itu, anak buah hamba sudah lama menyusuri hutan untuk mencari keberadaan mereka,” terang Wikrama.
“Baiklah, untuk saat ini aku mempercayaimu. Tapi ingat, dua hari lagi kau harus datang ke istana dan memberitahuku tempat persembunyian para begundal itu!”
“Baik Tuanku,”
“Lepaskan dia!” dengan tegas senopati memberikan perintah. Dua orang prajurit yang mengapit Ki Gambang segera melepaskannya. Tubuh Ki Gambang yang lemah dengan paripurna tersungkur ke tanah berumput.
Dengan tatapan tajam mendarat di wajah Raden Wikrama, Senopati Gunung Agung menganggukan kepalanya. Raden Wikrama membalas tatapan itu dengan menangkupkan kedua tangannya serta sedikit menundukkan tubuhnya sebagai tanda memberi hormat. Tanpa basa-basi lagi Senopati itu kembali menghentak tali kekang kudanya dan berjalan pelan diiringi prajuritnya yang setia mengekor di belakangnya.
...
Misah duduk termangu pada dingklik kayu yang dibuat oleh ayahnya, ia ditemani Nyi Sambi yang tak tega meninggalkannya sendirian.
“Mandilah dulu Nduk, sebentar lagi pasti bapakmu pulang,” ujar Nyi Sambi. Tangan keriputnya tak berhenti mengupas kacang tanah hasil panen kemarin.
“Emoh Mbok, aku mau nunggu bapak. Kemarin penyakit bapak kumat lagi Mbok, aku takut bapak tambah parah!” Misah berkata. Kesedihan kembali menyelimuti wajah gadis itu.
“Jangan mikir yang jelek–jelek Nduk, berdoa saja semoga Raden Tumenggung bisa bawa bapak kamu pulang dengan selamat, yo!” Nyi Sambi mencoba menenangkan Misah. Gadis itu tidak menjawab, matanya kosong, pikirannya menerawang. Nyi Sambi mulai khawatir, didekatinya Misah yang sudah seperti anaknya sendiri itu.
“Tenang yo Nduk, di sini ada simbok! Kamu ndak sendirian,” dibelainya rambut Misah dengan lembut. Misah yang tersadar dari lamunan menjatuhkan kepalanya di pelukan Nyi Sambi. Sejak kecil Nyi Sambi sangat dekat dengan Misah. Gadis yang sejak bayi sudah ditinggalkan ibunya itu seakan menemukan sosok ibu pada diri wanita tua itu. Begitupun sebaliknya, sejak ditinggal pergi oleh suaminya Nyi Sambi hidup sebatang kara. Suaminya pergi dan lebih memilih untuk menikahi wanita lain karena setelah bertahun–tahun membina rumah tangga mereka belum juga dikaruniai anak.
Percakapan antara Misah dan Nyi Sambi terhenti saat dari kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda yang dipacu kencang. Tak pelak suara itu membuat Misah terhenyak dari tempat duduknya. Tiga ekor kuda berderap beriringan mendekati rumah Ki Gambang, terlihat semakin jelas sosok lelaki gagah yang adalah Raden Wikrama dengan tenang melaju di atas kudanya bersama dua pengawal yang salah satunya membawa Ki Gambang.
“Bapak! Bapak Mbok!” Misah berlari kecil menyambut Ki Gambang dan Raden Wikrama. Gadis itu seketika kehilangan perasaan sedihnya. Ia berteriak kegirangan melihat ayahnya bisa kembali dengan selamat. Apa yang terpancar di raut wajah Ki Gambang tak beda jauh dengan Misah, lelaki itu tampak sumringah bisa bertemu kembali dengan anak gadisnya. Padahal tadinya ia sudah sangat putus asa dengan nasibnya. Air mata mungkin akan menetes jika saja tak ada Raden Wikrama dan para pengawalnya. Kelegaan Misah terpancar jelas ketika dengan erat ia memeluk ayahnya. Ki Gambang membalas pelukan Misah dengan lebih erat, Misah tersedu di pelukan ayahnya.
“Uwes Nduk, ora po po, sudah, sudah!” Ki Gambang menenangkan anak gadisnya. Dibelainya rambut Misah dengan lembut.
“Sudah Nduk, bapakmu sudah bebas, aku pastikan kalau Senopati tidak akan lagi mengganggu kalian terkait masalah kelompok bandit yang menyeret nama paman-pamanmu itu,” Raden Wikrama berkata.
“Matur nuwun Raden,” ucap Misah kepada Raden Wikrama. Lelaki itu mengangguk kepada Misah dan Ki Gambang. Tak lama kemudian ia dan kedua ajudannya berpamitan pulang.
“Misah! Tenanglah!” Raden Wikrama menahan tangan Misah yang tidak berhenti memukul dadanya. Ia bisa merasakan tangan kurus istrinya begitu dingin dan lemah. Digenggamnya tangan itu kuat-kuat. Misah mencoba meronta melepaskan diri, tapi tenaganya hanya sekuat ranting pohon kering yang dengan mudah dipatahkan. Raden Wikrama mencoba menenangkan Misah dan berusaha mendekapnya. Entah mengapa gadis itu tidak bisa menahan diri lagi dihadapan suaminya, ia terus meronta seperti orang kesetanan. Misah ingin sekali melubangi dada Raden Wikrama dan merobek tabir sandiwara yang sedang menyelubunginya. Tangis Misah semakin menjadi, ia menumpahkan segala kesedihannya di dada Raden Wikrama.“Hentikan sandiwaramu Raden! Hentikan! Sampai kapan kau akan terus berbohong!” ucap Misah disela amukannya.“Misah!” teriak Raden Wikrama. “Bicaralah baik-baik agar aku paham!” ujarnya gemas. Raden Wikrama kembali mencengkeram pundak Misah dan mengarahkan wajah gadis itu agar menatapnya. Misah tak sanggup melawan
“Misah akan diasingkan ke hutan Kang, dan kalianlah yang akan mengawalnya!” Rangga dan Galuh kembali saling pandang.“Bukankah gadis itu baru saja melahirkan? Bagaimana dengan bayinya?” cetus Galuh.“Anak haram itu akan ikut bersama ibunya!” jawab Nyai Sri dingin.“Apakah perselingkuhan ini sudah terbukti? Bagaimana dengan lelaki selingkuhannya? Apa dia juga akan mendapat hukuman? Tolong ceritakan lebih rinci Nyai! Kami butuh kejelasan agar tidak terjadi kesalahan di kemudian hari!” ujar Galuh meminta kepastian. Sejujurnya kedua prajurit itu belum sepenuhnya tahu kejadian yang sebenarnya. Mereka hanya mendengar sedikit dari abdi yang memanggilnya dan dari ucapan para warga yang sedang membicarakannya.“Ceritanya sederhana Kakang. Misah hamil dan melahirkan anaknya di saat Raden Wikrama menunaikan tugas dari istana. Saat itu suamiku tidak pulang selama lebih dari satu tahun. Ketika Raden Wikrama pulang, dia merasa kaget karena istri mudanya memiliki seorang anak padahal dia merasa belu
Nyi Sambi duduk di antara kerumunan warga yang sedang menunggu kejelasan berita yang tersebar. Berita tentang pengkhiatan istri kedua Raden Tumenggung membuat gempar seluruh warga Dusun Manis Jambe. Jika berita itu terbukti benar maka mereka bisa menyaksikan secara langsung hukuman yang akan dijatuhkan nantinya. Ini adalah kali ketiga seorang wanita dihukum karena melakukan pengkhianatan. Sebelumnya ada seorang wanita menjalani hukuman diasingkan ke hutan karena berselingkuh meskipun tuduhan itu belum terbukti benar. Tak lama setelah kejadian pertama warga dusun dibuat geger dengan kejadian kedua ketika seorang lelaki memergoki secara langsung istrinya tengah melakukan tindakan tidak senonoh dengan pria lain. Saat itu si suami yang tidak terima langsung membabat leher lelaki selingkuhan istrinya itu hingga tewas di tempat. Hati yang sedang panas dan pikiran yang kacau membuat lelaki itu melakukan hal gila. Tanpa belas kasihan ia mengarak istrinya berkeliling dalam keadaan telanjang bu
“Sudahlah Nduk! Jangan keras kepala! Saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan hidupmu dan anakmu ini. Tidak peduli bagaimana caranya, turutilah usul Jalu Nduk!” sahut Nyi Darsan.“Mbok, bagaimana aku akan hidup nantinya jika di dahiku tertulis kata pengkhianat. Aku tidak sanggup menanggung omongan buruk orang lain Mbok!” jawab Misah. Hatinya sudah benar-benar beku. Kebencian dan rasa kecewa membuatnya tak kenal takut. Lagi pula dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidup terasing di hutan atau hidup di sini sama saja baginya. Dia akan merasa kesepian.“Hidup di mana pun sama saja Mbok!” ucap Misah sendu. Matanya kembali mengembun.Jalu merasa sangat kesal dengan sikap Misah yang terlalu pasrah. Tapi dalam hati ia memahami semua pemikirannya. Memang benar bahwa ucapan buruk manusia lebih kejam dari serangan binatang buas mana pun.“Baiklah jika itu keputusanmu! Jangan menyesalinya Misah! Dasar kepala batu!” Jalu mengakhiri ucapannya dan bergegas angkat kaki dari kamar Misah. Tat
“Nduk cah ayuuuuuuu Misah!” dengan hati yang hancur Nyi Darsan berjalan cepat mendekati Misah kemudian memeluknya. Gadis itu tampak termangu, matanya membelalak gelap memandang lurus ke depan. Ia sedang berusaha menahan tangis yang tadi sempat mereda. Dengan lembut Nyi Darsan membelai punggung Misah. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu dingin dan gemetar. Santi yang tadi sempat terbangun kini sudah tidur kembali. Nyi Darsan menggapai bayi itu saat akhirnya Misah tidak sanggup lagi menahan air matanya. Gadis itu menangis dengan suara tertahan. Perasaannya begitu terluka dan kecewa hingga kata apa pun tidak sanggup untuk menggambarkannya. “Misah! Kenapa kamu tidak mau berkata jujur! Kenapa kamu selalu memendam sendiri apa yang kamu rasakan Nduk! Seharusnya sejak awal kau ceritakan semua yang terjadi pada Simbok. Meskipun Simbok tidak bisa meringankan bebanmu, tapi setidaknya Simbok bisa membelamu di saat seperti tadi Nduk!” ujar Nyi Darsan panjang lebar. Wanita tua itu memandang Misah d
Suasana petang ini begitu mencekam, suara binatang malam mengiringi tangisan lirih Misah yang sedang mendekap Santi dalam pelukannya. Bayi mungil itu terbangun mendengar ribut-ribut di kamarnya yang sejak tadi belum juga selesai. Tampak Nyai Sri duduk di kursi kayu sedang Raden Wikrama masih membeku di pembaringan berhadapan dengan Misah.Para emban dan abdi yang sejak awal asyik menjadi penonton belum ingin beranjak dari tempatnya. Mereka saling berbisik mencoba menerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Nyi Darsan yang merasa sangat cemas terus memanjatkan doa kepada Dewata demi keselamatan gadis lugu itu. Sedangkan Jalu yang sejak tadi duduk berjongkok tak henti mengobrak abrik rambut panjangnya karena merasa gelisah. Ia merasa cemas memikirkan nasib sahabatnya itu. Tuduhan yang dilontarkan oleh Raden Wikrama kepada Misah bukanlah tuduhan yang main-main. Misah bisa mendapatkan hukuman berat jika semua tuduhan itu terbukti benar. Dalam budayanya, secara tidak tertulis ada peraturan