เข้าสู่ระบบAroma tubuh wanita itu kini bercampur dengan wangi AC yang dingin, menusuk indra penciuman Rusdi. Vivian kemudian kembali duduk di tepi ranjang, lalu menepuk bagian lantai yang dilapisi karpet bulu di dekat kakinya.
"Duduklah di bawah sini," titah Vivian sambil menunjuk lantai di depannya. "Ingat, kamu di sini untuk memijat kaki saya, kan?" Rusdi mengangguk pelan, merasa sedikit lega namun juga kecewa di saat yang bersamaan. Ia pun menekuk lututnya, duduk bersimpuh di atas karpet tebal tepat di hadapan kaki jenjang majikannya. Posisi ini membuatnya harus mendongak untuk melihat wajah Vivian, sebuah posisi yang kian menegaskan siapa yang memegang kendali saat ini. Vivian lantas menyodorkan kaki kanannya ke pangkuan Rusdi. Telapak kaki itu terasa halus dan dingin saat bersentuhan dengan paha Rusdi yang terbalut celana jeans kasar. "Mulailah dari betis, Rus," perintah Vivian sambil memejamkan mata, seolah sedang menikmati antisipasi sentuhan itu. "Otot kaki saya tegang sekali seharian ini." Dengan hati-hati, Rusdi meletakkan kedua telapak tangannya yang besar dan hangat di atas betis Vivian yang mulus. Kontras antara kulit tangan Rusdi yang kasar dan kulit Vivian yang selembut sutra terasa begitu nyata. Saat Rusdi mulai memberikan tekanan pelan dan memijat, ia bisa merasakan tubuh Vivian sedikit tersentak kaget, sebelum akhirnya wanita itu mendesah pelan. "Mmm... ya, di situ," desah Vivian pelan, suaranya menggema di ruangan yang sunyi itu. "Tekanannya pas sekali. Tangan kamu memang kuat ya, Rus." Pujian itu membuat darah Rusdi berdesir panas. Rasa ragunya perlahan mulai pudar, digantikan oleh keberanian yang tumbuh seiring dengan setiap pijatan yang ia berikan. Ia mulai menikmati peran ini, menikmati bagaimana ia bisa menyentuh kulit majikannya yang selama ini hanya bisa ia pandang dari kejauhan. Tanpa sadar, gerakan tangan Rusdi mulai naik perlahan, merambat dari betis menuju ke arah lutut, sementara matanya tak lepas memandang wajah Vivian yang tampak hanyut dalam kenikmatan pijatannya. Gerakan tangan Rusdi terhenti sejenak tepat di tempurung lutut Vivian. Ada keraguan yang tiba-tiba menyergapnya, sebab area di atas lutut itu adalah wilayah terlarang yang selama ini tak pernah berani ia bayangkan untuk disentuh. Namun, desahan napas Vivian yang terdengar semakin berat seolah menjadi bahan bakar yang membakar habis sisa-sisa akal sehatnya. "Kenapa berhenti, Rus?" tanya Vivian dengan suara serak, matanya masih terpejam menikmati sisa sensasi pijatan tadi. "Pegal di kaki saya bukan cuma di betis saja. Bagian atasnya... jauh lebih butuh perhatianmu." Mendengar izin tersirat itu, Rusdi memberanikan diri. Dengan jantung yang berdegup kencang hingga telinganya berdenging, ia kembali menggerakkan tangannya. Perlahan namun pasti, jemari kasarnya mulai merambat naik, melewati lutut, dan mendarat di atas kulit paha Vivian yang hangat dan lunak. Sensasi menyentuh bagian tubuh itu begitu luar biasa bagi Rusdi. Kulit paha Vivian terasa jauh lebih halus dibandingkan betisnya, seolah-olah tidak memiliki pori-pori. Rusdi mulai memijat dengan gerakan memutar ibu jarinya, memberikan tekanan yang tegas namun tetap berhati-hati agar tidak menyakiti. Vivian sontak mendongakkan kepalanya ke belakang, leher jenjangnya terekspos jelas di bawah sorotan lampu redup. Bibirnya sedikit terbuka, melepaskan erangan tertahan saat tangan kasar tukang kebunnya itu menekan titik-titik sensitif di pahanya. "Ah... iya, di situ..." desis Vivian. Tangannya mencengkeram sprei sutra di belakang tubuhnya, meremas kain itu kuat-kuat untuk melampiaskan kenikmatan yang menjalar. "Jangan ragu-ragu, Rus. Tekan lebih kuat lagi." Permintaan itu terdengar seperti perintah mutlak di telinga Rusdi. Ia pun menuruti nalurinya. Kedua tangannya kini bekerja lebih aktif, meremas dan memijat paha Vivian dengan tempo yang semakin intens. Keringat di dahi Rusdi menetes jatuh, namun ia tidak peduli. Seluruh fokusnya kini hanya tertuju pada aroma tubuh Vivian yang semakin menguar dan tekstur kulit yang ada di genggamannya. Tanpa sadar, gerakan tangan Rusdi membuat gaun tidur sutra merah itu tersingkap semakin tinggi, hingga menumpuk di pangkal paha. Pemandangan itu begitu memabukkan, membuat napas Rusdi tersengal-sengal menahan gejolak gairah yang kian memuncak. Tiba-tiba, Vivian membuka matanya. Tatapannya sayu, berkabut oleh gairah, namun terkunci rapat pada wajah Rusdi yang tegang. Ia menegakkan punggungnya sedikit, lalu mengulurkan tangan kanannya untuk menyentuh wajah Rusdi yang basah oleh keringat. "Kamu berkeringat banyak sekali," bisik Vivian lembut. Ibu jarinya mengusap butiran keringat di pelipis Rusdi, lalu turun menyusuri rahang tegas laki-laki itu. "Apa kamu kepanasan di sini? Atau... kamu gugup karena memegang paha saya?" Pertanyaan itu diucapkan dengan nada menggoda yang kental. Jarak wajah mereka kini begitu dekat karena Vivian sedikit membungkuk ke arahnya. Rusdi bisa merasakan hembusan napas hangat majikannya menerpa wajahnya. "S-saya..." Rusdi tergagap, suaranya tercekat. Ia ingin menjawab, tapi sentuhan lembut jari Vivian di bibirnya membungkam kata-katanya. "Ssst... tidak perlu dijawab," potong Vivian sambil tersenyum miring. Tangannya beralih dari wajah Rusdi, turun ke bahu yang lebar, lalu meremas kaos basah itu seolah ingin merobeknya. "Saya suka melihat kamu gugup seperti ini. Itu artinya... kamu laki-laki normal." Vivian kemudian melebarkan sedikit kedua kakinya, memberi akses lebih leluasa bagi tangan Rusdi untuk masuk lebih dalam ke sela paha bagian dalam. "Lanjutkan pijatanmu, Rus," perintah Vivian, kali ini dengan nada yang lebih menuntut. "Dan jangan berhenti sampai saya bilang cukup." Perintah tegas dari Vivian seolah meruntuhkan pertahanan terakhir yang dimiliki Rusdi. Akal sehatnya perlahan menghilang, digantikan oleh keinginan kuat yang selama ini hanya berani ia pendam dalam hati. Ia tidak lagi sekadar memijat otot paha bagian atas, sebab dorongan di dalam dirinya menuntut untuk menyentuh lebih jauh lagi. Dengan gerakan yang awalnya ragu namun didorong rasa penasaran yang besar, tangan kasar Rusdi mulai merayap turun dari atas paha. Jari-jemarinya perlahan menyusup masuk, menyentuh kulit bagian dalam paha Vivian yang sangat lembut dan sensitif. Merasakan sentuhan berani itu, Vivian tersentak pelan. Namun, bukannya menolak atau memarahi, ia justru mengubah posisi duduknya. Perlahan namun pasti, Vivian membuka jarak antara kedua lututnya, melebarkan kedua pahanya semakin lebar di hadapan Rusdi. Gerakan itu adalah undangan yang sangat jelas, memberi ruang yang leluasa bagi tangan Rusdi untuk menjelajahi area terlarang itu tanpa hambatan. Rusdi menelan ludah melihat pemandangan itu. Tangannya yang besar kini mengusap dan meraba kulit bagian dalam paha majikannya dengan lembut. Tekstur kulit di sana terasa jauh lebih hangat dan sehalus sutra, sangat kontras dengan telapak tangannya yang kapalan. Ia membelai area itu dengan gerakan memutar yang pelan, membuat napas Vivian terdengar semakin berat dan tidak teratur. Setelah puas merasakan kelembutan kulit itu dengan tangannya, wajah Rusdi perlahan menunduk. Ia mendekatkan wajahnya ke area yang baru saja ia belai. Dengan penuh perasaan, Rusdi mengecup kulit halus di paha bagian dalam itu. Bibirnya yang hangat menempel lembut di sana, menciptakan sensasi menggelitik yang membuat tubuh Vivian menegang nikmat. "Rusdi..." panggil Vivian dengan suara bergetar dan serak. Tangannya kini bergerak cepat meremas rambut pendek Rusdi, separuh menjambak pelan, separuh lagi menahan kepala laki-laki itu agar tetap di sana dan tidak menjauh. "Ya Tuhan... sentuhan kamu benar-benar membuat saya gila."Vivian sudah tidak sanggup berpikir jernih lagi. Kenikmatan yang diberikan Rusdi terlalu menguasai dirinya."Punya kamu, Rus... ahhh! Punya kamu!" erang Vivian tanpa malu-malu, mengakui dosa terbesarnya. "Punya kamu lebih besar... lebih terasa... tolong, Rus, jangan berhenti! Rusakkan saya!"Mendengar pengakuan liar itu, ego laki-laki Rusdi serasa meledak. Ia menggeram panjang seperti binatang buas. Tangannya mencengkeram pinggang Vivian semakin erat untuk menahan tubuh wanita itu agar tidak lari dari serangannya."Anjing betina yang nakal," umpat Rusdi kasar namun penuh gairah. "Kalau begitu terima ini. Terima semuanya sampai kamu tidak bisa jalan besok pagi."Rusdi tidak lagi menahan diri. Ia memacu gerakannya secepat mungkin, menghantam Vivian tanpa ampun, mengejar puncak kenikmatan yang sudah menanti di depan mata.Hantaman pinggul Rusdi semakin cepat dan tidak beraturan. Ia bisa merasakan gelombang panas yang menggumpal di pusat selangkangannya, siap untuk meledak kapan saja. Sen
Mendengar izin mutlak itu, Rusdi tidak lagi menunggu. Ia menundukkan wajahnya, mulai menciumi leher jenjang Vivian dengan penuh nafsu, sementara tangannya yang besar mulai menjelajahi setiap inci tubuh halus yang kini pasrah sepenuhnya di bawah kendalinya.Bibir Rusdi segera bergerilya. Ia mulai menciumi leher jenjang Vivian, memberikan hisapan-hisapan kecil yang meninggalkan jejak kemerahan di kulit putih itu. Vivian mendongak, mendesah panjang saat merasakan kumis tipis Rusdi bergesekan dengan kulit lehernya yang sensitif.Tangan Rusdi yang besar dan kasar kini beralih meremas gundukan dada Vivian yang sintal. Ia memperlakukan bagian tubuh itu dengan antusias, seolah seorang musafir yang kehausan menemukan sumber mata air. Jemarinya memainkan ujung dada Vivian yang sudah mengeras, memilinnya pelan namun tegas, membuat wanita di bawahnya itu menggeliat liar.Puas memanjakan bagian atas, tangan Rusdi kembali turun. Jari-jemarinya mengait pinggiran celana dalam renda tipis yang menjadi
Mendengar pujian itu, keberanian Rusdi semakin membara. Ia mengangkat wajahnya sejenak, menatap wajah Vivian yang kini memerah padam karena gairah, lalu kembali membenamkan wajahnya di paha wanita itu. Ia menghirup aroma tubuh Vivian yang wangi dan memabukkan dalam-dalam, seolah aroma itu adalah udara yang paling ia butuhkan untuk bernapas.Akan tetapi, di tengah suasana yang semakin memanas itu, Vivian tiba-tiba menarik bahu Rusdi agar ia kembali tegak. Napas wanita itu terdengar putus-putus, matanya menatap tajam ke arah kaos putih Rusdi yang basah kuyup oleh keringat dan menempel di badan."Kaos basah ini mengganggu sekali," keluh Vivian dengan nada tidak sabar, tangannya menyentuh dada Rusdi yang terhalang kain.Tanpa menunggu jawaban, tangan lentik Vivian bergerak cepat meraih ujung bawah kaos Rusdi. "Lepaskan saja. Saya ingin melihat badan kamu yang kuat itu tanpa terhalang kain basah dan kotor ini."Rusdi menurut tanpa membantah sedikit pun. Ia segera mengangkat kedua tangannya
Aroma tubuh wanita itu kini bercampur dengan wangi AC yang dingin, menusuk indra penciuman Rusdi. Vivian kemudian kembali duduk di tepi ranjang, lalu menepuk bagian lantai yang dilapisi karpet bulu di dekat kakinya."Duduklah di bawah sini," titah Vivian sambil menunjuk lantai di depannya. "Ingat, kamu di sini untuk memijat kaki saya, kan?"Rusdi mengangguk pelan, merasa sedikit lega namun juga kecewa di saat yang bersamaan. Ia pun menekuk lututnya, duduk bersimpuh di atas karpet tebal tepat di hadapan kaki jenjang majikannya. Posisi ini membuatnya harus mendongak untuk melihat wajah Vivian, sebuah posisi yang kian menegaskan siapa yang memegang kendali saat ini.Vivian lantas menyodorkan kaki kanannya ke pangkuan Rusdi. Telapak kaki itu terasa halus dan dingin saat bersentuhan dengan paha Rusdi yang terbalut celana jeans kasar."Mulailah dari betis, Rus," perintah Vivian sambil memejamkan mata, seolah sedang menikmati antisipasi sentuhan itu. "Otot kaki saya tegang sekali seharian in
"Kamu sepertinya menikmati sekali mandi keringat begitu, Rus."Suara itu terdengar lembut, namun dampaknya seketika membuat tubuh Rusdi membeku. Gunting rumput di tangannya berhenti di udara. Lantas, saat ia berbalik badan, napasnya langsung tercekat karena melihat siapa yang berdiri di sana.Ternyata itu Nyonya Vivian.Akan tetapi, penampilannya hari ini sungguh berbeda. Tidak ada pakaian kantor yang kaku atau gaun pesta mewah seperti biasanya. Kali ini, hanya sehelai lingerie sutra merah menyala yang membungkus tubuhnya. Kain itu begitu tipis dan licin, jatuh pas mengikuti lekuk pinggang serta pinggulnya.Apalagi ketika angin siang menyingkap sedikit ujung gaun itu, paha putih mulusnya terpampang nyata. Pemandangan itu sangat kontras dengan tangan Rusdi yang kotor dan kasar akibat tanah kebun."Nyo—Nyonya?" Rusdi tergagap sambil buru-buru menunduk. Meskipun begitu, bayangan lekuk tubuh itu sudah terlanjur membakar matanya."Kenapa menunduk?" Vivian terkekeh pelan seraya melangkah ma







