Share

Bab 6

Author: Susan Satya
Dia mabuk sampai kedua kakinya lemas, berjalan menyamping seperti kepiting hingga berhenti di depan Kamari.

"Kalau malam ini kamu bisa melayani aku ini dengan baik, aku tidak akan mempermasalahkan yang sudah-sudah. Nanti kalau Panglima Perang tidak menginginkanmu lagi, aku bisa dengan terpaksa menerima kamu jadi pelayan pemanas ranjang. Bagaimana?"

Ucapan sebegitu lancang membuat para penonton di sekeliling menghirup napas dingin.

Kamari menatapnya dengan sorot dingin.

"Aku sarankan kamu segera enyah!"

Aroma alkohol membuat Arsen makin tersulut amarah.

"Aku sarankan kamu jangan terlalu angkuh di hadapanku. Cepat atau lambat Panglima Perang akan menceraikanmu. Saat itu kamu mau merayuku lagi pun sudah terlambat!"

Tatapan cabulnya beralih dari tubuh Kamari ke orang-orang di belakangnya.

Sebuah tangan hendak meraih dengan niat kotor.

"Kalian semua ikut denganku, malam ini kita bersenang–senang… Ah!"

Belum sempat kalimatnya selesai, teriakan tragis mengguncang seluruh rumah makan.

Kamari dengan kekuatan penuh memelintir pergelangan tangan Arsen hingga patah, lalu melemparkannya ke lantai.

Sebelum menyeberang ke dunia ini, dia memang sudah berniat untuk tidak menikah, tetapi latihan bela dirinya tidak pernah kendor.

Di dunia hukum dia tidak pernah bisa menggunakannya, tetapi di sini akhirnya terpakai.

Arsen memegangi pergelangan tangannya di lantai, berteriak kesakitan.

"Aduh… aduh… berani-beraninya kamu memukulku, perempuan busuk! Tunggu saja, suatu hari aku akan membuatmu lebih baik mati daripada hidup di bawahku!"

Sudah begitu parah keadaannya, pikirannya masih kotor.

Di atas meja, pelayan baru saja mengantar seguci air panas yang masih mendidih.

Kamari mengangkatnya dengan satu tangan, lalu tanpa ragu menyiram ke bagian tengah tubuh Arsen.

"Kamu mau apa… kamu berani… ahhh!"

Jeritan memilukan kembali menggema.

Aksi itu membuat semua pemabuk yang ikut masuk langsung sadar.

Arsen berguling–guling di lantai, menahan perih, tetapi tidak ada satu orang pun yang berani menolong.

Bagaimanapun, melecehkan istri Panglima Perang adalah dosa besar.

Mereka hanya ingin menonton keributan, tidak mau ikut terseret masalah.

Setelah air habis, Kamari meletakkan guci kosong, menepuk-nepuk tangannya.

"Dengar-dengar beberapa hari lalu kamu merampas seorang gadis desa, membuat kedua orang tuanya mati mengenaskan di jalan. Hari ini aku memutus akar nafsumu, demi rakyat, juga demi menambah pahala untuk Keluarga Wasya. Tidak perlu berterima kasih."

Arsen meringkuk, tubuhnya basah kuyup, keringat bercucuran karena sakit.

Jari telunjuknya gemetar menunjuk Kamari, makian keluar terbata-bata.

"Kamu… kamu perempuan kejam. Tunggu saja… tunggu sampai kamu jatuh ke tanganku, aku akan membuatmu hidup tidak bisa, mati pun tidak bisa… awhh!"

Tiba-tiba teriakan baru terdengar, bahkan Kamari ikut terkejut.

Saat dilihat lebih jelas, ternyata Sari yang dengan geram menginjak jari Arsen.

Dengan mulut mengerucut penuh tenaga, dia menggilas lebih keras.

"Phuih! Dasar bajingan. Berani-beraninya tangan kotormu menunjuk Nyonya Kamari, apa kamu pantas!"

Kamari dalam hati berteriak puas. 'Bagus sekali injakannya!'

Keributan di lantai atas membuat para pelayan Keluarga Wasya di bawah naik.

Tujuh sampai delapan orang berbadan kekar langsung masuk. Melihat tuannya dipermalukan, mereka pun dengan ganas mengepung.

"Berani-beraninya sampah hina menyentuh Tuan Muda kami, sudah bosan hidup?!"

Sari gemetar, tetapi kakinya tidak ditarik.

"A… aku… aku yang melakukannya…"

Kamari langsung paham, Sari hendak menanggung kesalahan demi dirinya.

Melihat yang kuat menindas yang lemah, hatinya sempat tersentuh.

Para pengawal yang melihat hanya seorang gadis lemah, langsung hendak menyerang.

Kamari melangkah maju, menarik Sari ke belakang, lalu dalam sekejap melayangkan tendangan.

Orang pertama yang maju terlalu meremehkan, tidak sempat berjaga.

Ketika sadar, dirinya sudah terkapar sambil memegangi selangkangan.

Melihat itu, yang lain serentak ikut menyerbu.

Situasi makin genting, tiba-tiba Laksmi yang sejak tadi diam melihat sebuah sosok, lalu berteriak.

"Kak Rangga, tolong aku!"

Sesaat setelah suara itu terdengar, seorang pria berjubah hitam dengan postur gagah menerobos kerumunan dan melangkah masuk.

"Laksmi?"

Rangga sudah mendengar keributan, awalnya tidak ingin ikut campur.

Namun, melihat adiknya yang jadi korban, wajahnya langsung mengeras.

Benar-benar menunjukkan gaya orang kejam tetapi sedikit bicara.

Tanpa banyak tanya, Rangga langsung bergerak, satu tendangannya menjatuhkan satu orang.

Sebagai tangan kanan Panglima Perang, membereskan beberapa pengawal kecil adalah hal mudah.

Dalam sekejap, rumah makan hanya dipenuhi suara pukulan dan erangan kesakitan.

Arsen tidak menyangka keadaan bisa runyam begini.

Dia merangkak keluar dari bawah meja, giginya yang kuning hampir patah semua karena digertakkan.

"Perempuan busuk, tunggu saja, tunggu… awhh!"

Sari melihatnya hendak kabur, segera mengambil teko teh dan menyiramkannya ke kepala Arsen.

Airnya sudah dingin, tetapi Arsen yang basah kuyup jadi makin memalukan. Seumur hidupnya belum pernah sekacau ini.

"Kamu yang busuk! Satu keluargamu juga busuk! Cuma karena minum beberapa gelas arak kotor, berani-beraninya menindas perempuan baik-baik di sini. Orang macam kamu seharusnya masuk ke neraka! Jangan coba-coba kabur, kalau lari lagi, akan kusimpan air panas sampai mati!"

Dari kejauhan, Kamari terbahak. Senyum lebar tak henti-hentinya terukir di wajahnya.

Laksmi menarik bajunya, menggerutu.

"Masih bisa tertawa! Nanti bagaimana kamu menjelaskan hal ini?"

Kamari baru hendak bertanya maksudnya, lalu melihat sosok yang sangat dikenalnya berjalan mendekat dengan wajah datar, melewati tubuh-tubuh yang merintih.

Laksmi cemas Kamari dimarahi, buru-buru berbisik sambil memelototi Rangga.

"Kenapa Panglima Perang ada di sini?"

Rangga mengusap hidungnya. "Aku janjian dengannya untuk minum teh di sini."

Dhaksa berdiri tegak di depan Kamari, wajahnya sulit ditebak.

"Berbuat onar lagi?"

Kamari mengaku tanpa ragu. "Kalau menurut Tuan Panglima, membela diri dan menegakkan keadilan dianggap onar, maka memang aku berbuat onar."

Laksmi sudah lama mendengar gosip hubungan mereka. Kini merasa ada yang salah dengan nada bicara keduanya, buru-buru menambahkan.

"Barusan ada yang mencoba melecehkan istri Panglima Perang, jadi dia terpaksa melawan."

Mendengar kata melecehkan, sorot mata Dhaksa langsung menajam.

"Siapa?"

Kamari mengangguk ke arah bawah meja.

"Itu dia. Dia menyuruhku melayani sampai puas, katanya nanti setelah Tuan Panglima membuangku, dia akan menjadikanku pelayan ranjang."

Hal yang biasanya membuat gadis malu untuk diucapkan, Kamari menyampaikannya tanpa terbata.

Tatapan Dhaksa makin tajam.

"Tuan Panglima, aku ini Arsen. Aku Arsen! Kakakku Dyah, kamu harus menolongku, kalau tidak aku akan dibunuh oleh perempuan ini… ahhh!"

Belum selesai bicara, Dhaksa mengangkat kakinya.

Pecahan cangkir teh yang ada di lantai langsung menancap ke mulut Arsen.

Sekejap darah mengalir deras.

"Fendra, bawa pemabuk ini ke pengadilan, suruh dia dicambuk seratus kali. Katakan pada Keluarga Wasya, kalau tidak bisa mendidik anak, biar aku yang mendidik."

"Siap."

Fendra mengangkat Arsen yang setengah hidup setengah mati, menyeretnya keluar.

Sisa para pengawal pun ikut digiring pergi.

Dhaksa menggenggam tangan Kamari, membawanya keluar.

"Rangga, aku ada urusan keluarga, lain kali baru kita bertemu."

Rangga segera memberi hormat. "Menghaturkan hormat untuk Tuan Panglima."

Laksmi menatap cemas.

"Kak Rangga, apakah Tuan Panglima tidak akan menghukum Kamari?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 100

    "Kamu sanggup menghabiskannya?"Kamari mencari meja kosong dan duduk."Masih ada kamu. Melihat perjuanganmu kemarin, jadi ini hadiah dariku."Dhaksa terdiam.Setelah bertahun-tahun menikah, ini pertama kalinya mereka keluar bersama, juga pertama kalinya makan di tempat seperti ini.Dhaksa tidak mengeluarkan uang, hanya menunggu untuk makan.Melihat Kamari begitu akrab memberi instruksi ke pemilik kedai, lebih banyak sup, kurang garam, satu mangkuk jangan diberi daun bawang.Dhaksa yang tidak makan daun bawang merasa diperhatikan, muncul rasa seperti dipelihara dari sikap Kamari.Setelah instruksi selesai, begitu mereka duduk berhadapan, Kamari mulai menyuruhnya lagi."Waktu lewat tadi, di persimpangan ada yang jual roti, belikan satu untukku."Dhaksa duduk diam."Dua mangkuk untukmu, aku cukup satu mangkuk."Kamari menggeleng. "Awalnya memang tidak berniat memberi dua mangkuk. Aku sendiri belum cukup kenyang."Dhaksa kembali menatap tubuh kecilnya, mengangkat alis."Kamu sudah capek be

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 99

    Seseorang segera mengenali mereka.Ini adalah istri Panglima Perang yang tadi malam di depan umum menghamburkan lima ratus tahil untuk memanggil pria penghibur.Bersama Panglima Perang yang kabarnya tidak bisa.Kini melihat keduanya turun dari kapal bersama-sama, bahkan masih berpegangan tangan.Panglima Perang jelas bukan datang untuk menangkap perselingkuhan.Orang-orang yang berdiri dekat memperhatikan lebih teliti.Astaga, di leher keduanya ada bekas merah memalukan yang sama.Ini pria penghibur yang dipanggil istri Panglima Perang? Jangan-jangan… itu Panglima Perang sendiri?Di belakang kapal, sebuah jendela kamar terbuka sedikit.Laksmi menatap punggung keduanya turun dari kapal, mendapat kabar pertama secara langsung."Kak Rangga… Kak Rangga, Panglima Perang sebenarnya bisa atau tidak?"Rangga menundukkan kepala, sibuk memainkan benda baru yang baru saja dikirim Dhaksa.Sebuah belati besi misterius yang bisa menembus besi seperti tanah liat.Bahan pembuatnya sangat langka. Di du

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 98

    Kamari menopang dagu, menatap siluet di sudut ruangan, matanya tersenyum penuh arti."Tapi, aku suka. Siapa suruh kamu tampan. Orang tampan bisa dimaafkan segalanya. Malam panjang ini, bagaimana kalau kamu mainkan sebuah pertunjukan untuk membuatku senang?"Uang sebanyak itu sayang kalau terbuang, menampilkan dua pertunjukan juga tidak masalah.Setelah Kamari berbicara, dia merasakan aura dari arah lawan menjadi lebih dingin.Orang di seberang tetap tidak berkata apa-apa.Dia menghela napas tipis, aroma familier ambergris perlahan menyebar di udara.Hati Kamari langsung terasa sesak. Bahkan orang yang lambat sekalipun pasti bisa merasakan ada yang tak beres."Siapa kamu?"Udara tiba-tiba hening, suasana seolah membeku."Nyonya Kamari ingin melihat pertunjukan apa, biar aku menampilkannya untukmu,"Suara yang familier tiba-tiba terdengar, membuat hati Kamari serasa naik ke tenggorokan.Tiba-tiba, cahaya melintas di depan mata, sebuah wajah hitam yang familier muncul di pandangan.Dia ti

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 97

    Kamari menjawab dengan samar, sementara wajah Laksmi penuh dengan semangat seperti baru saja mendapatkan gosip paling segar."Berarti kamu terlalu bernafsu, dong."Ucapan Laksmi selalu mengejutkan dan tak pernah biasa.Kamari tidak menduganya sama sekali, sampai rahangnya hampir jatuh.Seorang gadis yang bahkan belum menikah, kenapa bisa tahu sejauh ini?Laksmi mengira dirinya benar, lalu mulai dengan wajah serius memberi nasihat."Kakak iparku yang kedua pernah bilang, wanita tidak boleh mengorbankan diri demi pria. Coba lihat yang nomor 37, pendek dan hitam, lebih baik yang nomor 38, tinggi dan gagah. Bagaimana kalau kita tukar saja, dijamin kamu tidak akan sia-sia datang hari ini."Kamari…Dia menduga, seluruh Keluarga Mandalapati pasti berasal dari dunia lain.Kalau tidak, kenapa pemikiran mereka begitu maju?Laksmi benar-benar total dalam menjalankan rencananya. Jauh-jauh hari dia sudah menyewa sebuah kapal pesiar mewah di parit kota.Kapal itu panjangnya belasan meter, dua lantai

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 96

    Dia ternyata juga ikut serta, jangan-jangan Panglima Perang tidak bisa!Kamari sedang berpuas diri dengan kepintaran kecilnya, tiba-tiba merasa punggungnya dingin, seolah ada seseorang yang sedang menatapnya.Namun, di tempat yang penuh sesak ini, dia tidak menaruh perhatian, hanya mengira itu hembusan angin dingin.Tidak jauh dari sana, di lantai atas sebuah paviliun restoran yang tertutup tirai.Orang-orang yang menonton ramai berdiskusi."Panglima Perang terlihat gagah perkasa, tidak seperti orang yang tidak bisa.""Ah, itu karena kamu tidak mengerti. Urusan pria tidak ada hubungannya dengan penampilan, itu bisa jadi penyakit dalam, mungkin juga akibat luka di medan perang.""Pantas saja temperamen Nyonya Kamari kurang bagus, pasti karena urusan ranjang tidak terpenuhi. Itu salah Panglima Perang.""Benar sekali, wanita yang puas biasanya lembut bagai air. Kalau terus menahan diri siapa yang bisa tetap bahagia?""Kalau memang akibat luka di medan perang, kita tidak boleh mendiskrimin

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 95

    Tak heran orang-orang senang mengambil jalan pintas, karena godaan jalan pintas tak ada yang bisa menandingi.Sedang mengagumi itu, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak."Laksmi, putri sah Kediaman Adipati Rakai, taruhan nomor 38, seratus emas."Kamari terkejut, pupil matanya seakan bergetar, lalu dengan cepat menoleh ke arah suara.Di lantai dua restoran di samping, Laksmi dengan anggun bersandar pada pagar, menatap ke bawah.Dia mengenakan pakaian merah yang sengaja menonjolkan pesonanya, berkilau di bawah cahaya yang bergoyang dari lampu Fendra, sangat memikat mata.Tiba-tiba, ketegangan bukan hanya mencapai titik mendidih, tetapi seluruh situasi seolah siap meledak.Sebagian besar orang di tempat itu hanyalah penonton. Ada beberapa pemuda bangsawan dengan selera aneh, ada juga wanita kaya dari keluarga terpandang.Meskipun masyarakat Kerajaan Paramarta cukup terbuka, seorang gadis dari keluarga terhormat tetap harus memikirkan reputasinya saat menikah.Paling-paling mereka datan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status