Share

Bab 7

Author: Susan Satya
Rangga melirik adiknya sekilas.

"Beberapa hari lalu aku masih dengar dia mencari masalah denganmu, sekarang malah akrab seperti saudara perempuan. Ada apa sebenarnya dengan kalian berdua?"

Laksmi menjawab, "Itu semua hanya salah paham. Kak Rangga, bagaimana kalau kamu mengajakku ke Kediaman Panglima, biar aku jelaskan pada Tuan Panglima kalau itu bukan kesalahan Kamari."

Rangga menolak dengan tegas.

"Urusan suami istri mereka, jangan kamu campuri. Nyonya Kamari bukan orang yang bisa diremehkan, sebaiknya kamu menjauh darinya."

Di lantai paling atas rumah makan.

Seorang pria berbaju hitam berdiri dengan tangan di belakang, penuh minat menyaksikan seluruh peristiwa.

Di sisinya, seorang pria paruh baya menunjuk ke arah Laksmi.

"Rendra, itu putri sah dari Adipati Rakai, calon istri yang dipilihkan Ibunda untukmu."

Namun, tatapan Rendra Kertawijaya justru mengikuti sosok di luar rumah makan, yang sedang bersitegang dengan Dhaksa.

"Menurutku, istri Panglima Perang itu agak menarik."

Pria paruh baya itu langsung berkerut, suaranya bernada peringatan. "Jangan lupa, dia itu bibimu."

Rendra menarik kembali pandangannya lalu tersenyum tipis.

"Kenapa harus berpikir sejauh itu, Paman? Aku hanya merasa dia tidak sama dengan kabar yang beredar."

Rayan Baskara, sang Paman Negara, menghela napas lega.

"Adipati Rakai berwibawa tinggi di istana, tiga cucunya pun berbakat dan berakhlak, masa depan mereka cerah. Lalu ada Keluarga Wasya, kaya raya dengan bisnis di seluruh negeri. Ibunda memilihkan dua calon istri seperti ini, jelas penuh pertimbangan."

Rendra terkekeh sinis.

"Yang tadi dicabut gelarnya itu, bukankah satu-satunya putra pewaris Keluarga Wasya?"

Rayan menjawab, "Putranya memang rusak karena dimanja, tapi putri keduanya terkenal sebagai gadis paling berbakat di ibu kota, aku yakin kamu akan menyukainya."

Rendra tidak memberi jawaban pasti.

"Aku dengar, putri sulungnya sangat ingin menikah masuk ke Kediaman Panglima Perang?"

Rayan mengangguk.

"Kalau bukan karena Keluarga Pradikta punya jasa perang, posisi istri Panglima Perang sudah menjadi miliknya. Keluarga Pradikta tidak punya pewaris laki-laki, cepat atau lambat mereka akan meredup. Saat istri Panglima Perang berpindah tangan, dengan adanya hubungan Keluarga Wasya, Panglima Perang pasti setia padamu."

Tentang kesetiaan Dhaksa, Rendra sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran.

Dia bertanya, "Bagaimana dengan beberapa adik laki-lakiku belakangan ini, ada gerakan?"

Rayan menjawab, "Pangeran Keempat dan Pangeran Keenam, Ibunda mereka rendah kedudukannya, meski ingin pun tak punya kemampuan. Pangeran Ketujuh sakit-sakitan, sudah sebulan ini berdiam di rumah. Pangeran Ketiga Belas sejak menyinggung perasaan Kaisar dua tahun lalu, sampai sekarang masih di makam kekaisaran menjaga makam Ibu Suri. Pangeran Kelima Belas baru berusia delapan tahun, meski ada dukungan dari keluarga jenderal, dalam waktu singkat tidak akan bisa jadi ancaman. Kamu hanya perlu tampil baik di hadapan Kaisar dan segera ditetapkan sebagai putra mahkota, selebihnya biar Paman yang awasi."

Rendra menunduk, mendengarkan tanpa bersuara, entah sedang memikirkan apa.

Sementara itu, Kamari dibawa Dhaksa dengan kedua tangan terikat ke belakang, digiring pulang ke Kediaman Panglima Perang.

Tak bisa melepaskan diri, dia benar-benar kesal.

"Dhaksa, sudah kubilang dia yang mulai lebih dulu. Aku hanya membela diri. Kenapa kamu tidak mau pakai akal sehat sedikit saja?"

Dhaksa bahkan tidak menoleh, hanya menyeretnya masuk ke gerbang kediaman.

"Menurutmu, aku ini terlihat seperti orang yang mau diajak bicara dengan baik?"

Kamari menarik napas panjang.

"Jadi apa maksudmu sekarang? Gara-gara aku memukul adik perempuan yang kamu sayangi, kamu mau menghukumku?"

Dhaksa tidak menjawab sepatah kata pun, hanya melemparkannya masuk ke Taman Anggrek, lalu berbalik.

"Sebarkan perintah, Nyonya Kamari membuat onar di luar. Hukumannya dikurung tiga hari! Tanpa perintahku, dilarang keluar rumah."

Kamari sampai menghantam dinding karena marah.

"Dasar laki-laki kejam! Aku sudah bilang aku korban, kenapa malah aku yang dikurung?"

Suara Dhaksa terdengar dari jauh.

"Berani menghina aku? Tambah jadi tujuh hari!"

Pintu besar menutup keras, dari luar terdengar suara kunci dipasang.

Kamari hampir tersedak oleh amarahnya sendiri.

Sari, yang bersembunyi di balik pilar, akhirnya memberanikan diri mengintip.

"Nyonya Kamari, jangan marah. Anggap saja kita sedang istirahat. Kita juga tidak dipukul atau dimaki."

Gadis kecil itu memang terlalu polos.

Kamari masih tak terima. "Sari, coba pikir. Kenapa dia marah? Istrinya hampir dilecehkan orang, bukannya menghukum pelaku, malah pamer kuasa di rumah?"

Sari membela, "Tuan Panglima sudah menghukumnya. Satu tendangan saja langsung buat mulutnya berlumuran darah, sangat gagah."

Kamari merenung, memang begitu juga. "Tapi kenapa harus mengurungku? Aku tidak mengganggunya sama sekali!"

Sari berusaha mencari alasan. "Menurut hamba, orang itu terluka cukup parah. Pihak keluarganya pasti tidak akan tinggal diam. Kalau kita tetap di rumah, bukankah lebih aman?"

Kamari berpikir lagi, dan rasanya memang masuk akal.

Setelah menggerutu sebentar pada Sari, akhirnya dia menerima kenyataan dikurung.

Untungnya, Dhaksa tidak pernah menelantarkannya soal makanan. Segala yang dia inginkan tetap tersedia.

Sari pun mengerahkan seluruh kemampuan memasaknya. Dia khawatir Nyonya bosan, jadi selalu berusaha membuat hidangan berbeda setiap hari.

Malam itu, Sari menyajikan ayam panggang daun teratai.

Mengingat kejadian tadi siang, dia tak tahan untuk bertanya dengan suara pelan.

"Nyonya Kamari, kalau keluarga itu datang mencari masalah, Tuan Panglima akan melindungi kita, 'kan?"

Kamari sedang sibuk membongkar ayam, lalu tersenyum dan balik bertanya.

"Kamu takut?"

Sari gelagapan. "Ti… tidak takut…"

Kamari menyodorkan satu paha ayam untuknya.

"Entahlah apakah Dhaksa akan melindungi kita atau tidak. Tapi kalau Dyah yang datang meminta, mungkin dia akan menuruti. Tapi tenang saja, ada aku di sini."

Sambil mengunyah paha ayam, Sari tetap tak bisa menahan rasa penasaran.

"Padahal Anda adalah istri sah, kenapa Tuan Panglima malah baik pada wanita lain?"

Kamari teringat pada kehidupan sebelumnya, wajahnya sempat melamun.

"Dulu ada sekali Dhaksa berperang, tapi perbekalan dari istana terlambat datang. Kebetulan Dyah pulang kampung, lalu membuka gudang Keluarga Wasya untuk membantu. Jadi ini semacam balas budi."

"Oh, ternyata karena itu…"

Sari menghela napas. "Tapi Dyah jelas punya maksud lain. Masa Tuan Panglima rela membuat Anda menderita hanya demi membayar budi?"

Menderita?

Kamari merasa, penderitaan terbesar di kehidupan sebelumnya adalah ketika melihat pria yang paling dicintainya mengorbankan keluarganya demi karier, lalu berselingkuh dengan sahabat terdekatnya.

Namun, akar masalahnya karena dirinya sudah tidak berharga.

Keluarga Pradikta runtuh, dia kehilangan sandaran, dan karena tidak punya kemampuan, akhirnya ditendang begitu saja. Menyimpan dendam pun tak ada gunanya.

Dia teringat masa abad ke-21, di mana sering ada yang menuduh wanita mata duitan.

Padahal, kenyataannya, pria jauh lebih realistis.

Pacaran, mereka mencari yang muda, cantik, dan berpenampilan menarik, agar bisa dibanggakan.

Menikah, mereka memilih yang kaya dan berpengaruh, supaya bisa mengurangi perjuangan hidup.

Bercerai, mereka menghitung bagaimana caranya membebankan anak pada istri, sekaligus mendapatkan bagian harta lebih banyak.

Cinta yang terikat duniawi, memang tak pernah lepas dari kenyataan pahit.

Bahkan kalau memelihara kekasih muda, orang itu juga akan melihat apakah kamu punya uang atau tidak.

Dengan sudut pandang abad ke-21 itu, Kamari kini menatap realita.

Bukannya merasa tertekan, justru semangatnya makin berkobar.

"Ayo cepat makan. Setelah makan, ke paviliun barat, keluarkan semua harta sesanku."

Sari makin bingung. "Nyonya Kamari, untuk apa Anda mencari harta sesan?"

Kamari segera menelan sesuap nasi sebelum menjawab.

"Aku mau rapikan. Nanti kalau sudah bisa keluar rumah, semua yang bisa dijual, tukarkan jadi uang. Aku akan melakukan hal besar."

Sari masih bingung, tetapi melihat tekad Kamari, entah mengapa dia pun ikut merasa bersemangat.

Dulu saat menikah, selain dari Keluarga Pradikta, Kaisar juga menambahkan banyak harta sesan demi menunjukkan kemurahan hati.

Mereka berdua pun sibuk berhari-hari, memilah barang-barang yang bisa dijual.

Dalam kesibukan itu, mereka sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 100

    "Kamu sanggup menghabiskannya?"Kamari mencari meja kosong dan duduk."Masih ada kamu. Melihat perjuanganmu kemarin, jadi ini hadiah dariku."Dhaksa terdiam.Setelah bertahun-tahun menikah, ini pertama kalinya mereka keluar bersama, juga pertama kalinya makan di tempat seperti ini.Dhaksa tidak mengeluarkan uang, hanya menunggu untuk makan.Melihat Kamari begitu akrab memberi instruksi ke pemilik kedai, lebih banyak sup, kurang garam, satu mangkuk jangan diberi daun bawang.Dhaksa yang tidak makan daun bawang merasa diperhatikan, muncul rasa seperti dipelihara dari sikap Kamari.Setelah instruksi selesai, begitu mereka duduk berhadapan, Kamari mulai menyuruhnya lagi."Waktu lewat tadi, di persimpangan ada yang jual roti, belikan satu untukku."Dhaksa duduk diam."Dua mangkuk untukmu, aku cukup satu mangkuk."Kamari menggeleng. "Awalnya memang tidak berniat memberi dua mangkuk. Aku sendiri belum cukup kenyang."Dhaksa kembali menatap tubuh kecilnya, mengangkat alis."Kamu sudah capek be

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 99

    Seseorang segera mengenali mereka.Ini adalah istri Panglima Perang yang tadi malam di depan umum menghamburkan lima ratus tahil untuk memanggil pria penghibur.Bersama Panglima Perang yang kabarnya tidak bisa.Kini melihat keduanya turun dari kapal bersama-sama, bahkan masih berpegangan tangan.Panglima Perang jelas bukan datang untuk menangkap perselingkuhan.Orang-orang yang berdiri dekat memperhatikan lebih teliti.Astaga, di leher keduanya ada bekas merah memalukan yang sama.Ini pria penghibur yang dipanggil istri Panglima Perang? Jangan-jangan… itu Panglima Perang sendiri?Di belakang kapal, sebuah jendela kamar terbuka sedikit.Laksmi menatap punggung keduanya turun dari kapal, mendapat kabar pertama secara langsung."Kak Rangga… Kak Rangga, Panglima Perang sebenarnya bisa atau tidak?"Rangga menundukkan kepala, sibuk memainkan benda baru yang baru saja dikirim Dhaksa.Sebuah belati besi misterius yang bisa menembus besi seperti tanah liat.Bahan pembuatnya sangat langka. Di du

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 98

    Kamari menopang dagu, menatap siluet di sudut ruangan, matanya tersenyum penuh arti."Tapi, aku suka. Siapa suruh kamu tampan. Orang tampan bisa dimaafkan segalanya. Malam panjang ini, bagaimana kalau kamu mainkan sebuah pertunjukan untuk membuatku senang?"Uang sebanyak itu sayang kalau terbuang, menampilkan dua pertunjukan juga tidak masalah.Setelah Kamari berbicara, dia merasakan aura dari arah lawan menjadi lebih dingin.Orang di seberang tetap tidak berkata apa-apa.Dia menghela napas tipis, aroma familier ambergris perlahan menyebar di udara.Hati Kamari langsung terasa sesak. Bahkan orang yang lambat sekalipun pasti bisa merasakan ada yang tak beres."Siapa kamu?"Udara tiba-tiba hening, suasana seolah membeku."Nyonya Kamari ingin melihat pertunjukan apa, biar aku menampilkannya untukmu,"Suara yang familier tiba-tiba terdengar, membuat hati Kamari serasa naik ke tenggorokan.Tiba-tiba, cahaya melintas di depan mata, sebuah wajah hitam yang familier muncul di pandangan.Dia ti

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 97

    Kamari menjawab dengan samar, sementara wajah Laksmi penuh dengan semangat seperti baru saja mendapatkan gosip paling segar."Berarti kamu terlalu bernafsu, dong."Ucapan Laksmi selalu mengejutkan dan tak pernah biasa.Kamari tidak menduganya sama sekali, sampai rahangnya hampir jatuh.Seorang gadis yang bahkan belum menikah, kenapa bisa tahu sejauh ini?Laksmi mengira dirinya benar, lalu mulai dengan wajah serius memberi nasihat."Kakak iparku yang kedua pernah bilang, wanita tidak boleh mengorbankan diri demi pria. Coba lihat yang nomor 37, pendek dan hitam, lebih baik yang nomor 38, tinggi dan gagah. Bagaimana kalau kita tukar saja, dijamin kamu tidak akan sia-sia datang hari ini."Kamari…Dia menduga, seluruh Keluarga Mandalapati pasti berasal dari dunia lain.Kalau tidak, kenapa pemikiran mereka begitu maju?Laksmi benar-benar total dalam menjalankan rencananya. Jauh-jauh hari dia sudah menyewa sebuah kapal pesiar mewah di parit kota.Kapal itu panjangnya belasan meter, dua lantai

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 96

    Dia ternyata juga ikut serta, jangan-jangan Panglima Perang tidak bisa!Kamari sedang berpuas diri dengan kepintaran kecilnya, tiba-tiba merasa punggungnya dingin, seolah ada seseorang yang sedang menatapnya.Namun, di tempat yang penuh sesak ini, dia tidak menaruh perhatian, hanya mengira itu hembusan angin dingin.Tidak jauh dari sana, di lantai atas sebuah paviliun restoran yang tertutup tirai.Orang-orang yang menonton ramai berdiskusi."Panglima Perang terlihat gagah perkasa, tidak seperti orang yang tidak bisa.""Ah, itu karena kamu tidak mengerti. Urusan pria tidak ada hubungannya dengan penampilan, itu bisa jadi penyakit dalam, mungkin juga akibat luka di medan perang.""Pantas saja temperamen Nyonya Kamari kurang bagus, pasti karena urusan ranjang tidak terpenuhi. Itu salah Panglima Perang.""Benar sekali, wanita yang puas biasanya lembut bagai air. Kalau terus menahan diri siapa yang bisa tetap bahagia?""Kalau memang akibat luka di medan perang, kita tidak boleh mendiskrimin

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 95

    Tak heran orang-orang senang mengambil jalan pintas, karena godaan jalan pintas tak ada yang bisa menandingi.Sedang mengagumi itu, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak."Laksmi, putri sah Kediaman Adipati Rakai, taruhan nomor 38, seratus emas."Kamari terkejut, pupil matanya seakan bergetar, lalu dengan cepat menoleh ke arah suara.Di lantai dua restoran di samping, Laksmi dengan anggun bersandar pada pagar, menatap ke bawah.Dia mengenakan pakaian merah yang sengaja menonjolkan pesonanya, berkilau di bawah cahaya yang bergoyang dari lampu Fendra, sangat memikat mata.Tiba-tiba, ketegangan bukan hanya mencapai titik mendidih, tetapi seluruh situasi seolah siap meledak.Sebagian besar orang di tempat itu hanyalah penonton. Ada beberapa pemuda bangsawan dengan selera aneh, ada juga wanita kaya dari keluarga terpandang.Meskipun masyarakat Kerajaan Paramarta cukup terbuka, seorang gadis dari keluarga terhormat tetap harus memikirkan reputasinya saat menikah.Paling-paling mereka datan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status