Suri berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Jemarinya sesekali meremas tas selempang yang telah ia siapkan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum yang menusuk kesabaran Suri. Sejak tadi, Suri sudah bersiap. Ia berganti pakaian dengan blouse lengan panjang berwarna dusty pink, yang diselipkan ke dalam celana jeans biru muda. Rambutnya diikat ekor kuda, supaya lebih praktis untuk melakukan pergerakan cepat. Di sudut ruangan, Raysa duduk dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan Suri yang tidak bisa diam. "Suri, santai sedikit. Kita akan sampai di sana tepat waktu," ujar Raysa, mencoba menenangkan. Suri berhenti sejenak, menatap sahabatnya, lalu mendesah panjang. "Aku tahu, tapi aku tidak bisa tenang sebelum bertemu Romeo." Baru saja kata-kata itu terucap, suara deru mesin mobil dan decit ban terdengar dari luar rumah. Suri hampir melompat dari tempatnya berdiri. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju pintu depan dan membukanya lebar. Raysa dan Azka, men
Suri hanya mengangguk kecil, terlalu cemas untuk berkata apa-apa. Mobil terus melaju melewati jalan setapak yang menanjak, diapit pepohonan lebat yang membuat suasana terasa semakin sepi. Namun, di kejauhan, terlihat sebuah kawasan hijau yang luas. Di tengah kawasan itu, sebuah vila berdiri megah. Bangunannya bertingkat dua, terbuat dari kayu berkualitas tinggi yang dipoles mengilap, dipadu dengan beberapa jendela kaca dan balkon besar yang menghadap ke arah pegunungan. Kenzo menghentikan mobilnya di halaman vila. Ia turun lebih dulu, membuka pintu untuk Suri dan Raysa. "Ini vila Romeo," katanya singkat. Suri melangkah keluar, matanya langsung mencari tanda keberadaan mobil Romeo di sekitar vila. Namun, tidak ada satu pun mobil yang terlihat selain mobil mereka sendiri. Sontak, hatinya mulai tenggelam dalam kecemasan. Kenzo melangkah menuju pintu utama, diikuti Suri dan Raysa. Raysa memegang bahu Suri, mencoba memberinya semangat. "Tenang saja, Suri. Kamu pasti sempat bertemu
Suri masih berbaring di atas ranjang, tubuhnya terasa lemah. Pusing yang sebelumnya mengganggu mulai mereda. Namun, kini kepalanya justru terasa seringan kapas. Hati Suri masih diiliputi kecemasan, menunggu kabar dari Raysa dan Kenzo tentang Romeo. Tangannya pun terulur meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.Suri membuka layarnya, tetapi segera sadar bahwa Raysa dan Kenzo baru saja pergi. Mereka pasti belum sampai di bandara. Menelpon mereka saat ini hanya akan sia-sia.Dengan helaan napas panjang, Suri meletakkan kembali ponselnya tanpa beranjak dari tempat tidur. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak. Terpaksa, Suri memejamkan mata lagi, berharap waktu bisa berlalu lebih cepat. Tanpa disadari, kelelahan fisik dan jiwa yang begitu dalam menyeret Suri ke dalam tidur. Awalnya, ia bergerak gelisah, tetapi lambat laun ia menjadi lebih tenang.Di ambang batas antara mimpi dan kenyataan, ia merasakan pelukan hangat seseorang. Pelukan itu begitu lembut, penuh ke
Wajah Suri merona merah ketika mendengar ucapan Romeo yang menggoda. Dengan perlahan, ia melepaskan tangan Romeo yang memeluknya erat. "Aku... aku mau mandi dulu. Badanku lengket," ucapnya, suaranya nyaris berbisik.Romeo tersenyum lembut, matanya penuh perhatian. "Tentu, Sayang. Mandi saja, tapi di kamar utama kita di atas. Baju-bajumu ada di sana.”Suri mengangguk pelan, setuju dengan saran dari sang suami. Ketika ia mencoba bangkit dari tempat tidur, Romeo tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Mau kugendong saja ke atas? Kalau kamu masih lemas, aku tidak keberatan."Suri menggeleng cepat, matanya melebar karena terkejut. “Tidak usah. Aku masih bisa jalan sendiri. Lagi pula, tidak enak kalau nanti dilihat Pak Gading dan Bu Murni.”Romeo mengangguk, senyum di bibirnya tak kunjung surut. “Kalau begitu, aku akan menemanimu.”Tanpa menunggu lebih lama, Romeo melingkarkan tangannya ke pinggang sang istri dengan lembut. Bersama-sama mereka keluar dari kamar dan berjalan menuju tangga. Saat
Suri menatap Romeo dengan bulir bening yang masih membasahi pipinya. Ia tidak pernah merasa begitu dicintai seperti saat ini. Tanpa ragu, Suri mengangguk, matanya berkilauan dengan kebahagiaan yang sulit ia sembunyikan.“Iya,” jawabnya penuh keyakinan. “Aku adalah milikmu, selamanya.”Romeo tersenyum lega, senyum yang membuat hati Suri semakin jatuh cinta. Cincin di jari manisnya terasa hangat, seolah menjadi pengingat bahwa cinta mereka telah menemukan jalan untuk kembali.“Terima kasih, Sayang. Anggap saja hari ini adalah malam pengantin kita,” bisiknya di telinga Suri. “Kita nikmati malam ini, Suri. Hanya kamu dan aku. Tidak ada yang lain.”Keduanya saling beradu pandang dalam keheningan. Semakin lama, tatapan mereka semakin dalam, mengunci pergerakan satu sama lain. Suri bisa merasakan sinar mata Romeo yang penuh hasrat, seolah ingin memujanya tiada henti. Detik selanjutnya, hati Suri berde
Dalam keheningan malam, tubuh Suri dan Romeo masih saling melekat di bawah selimut. Nafas mereka perlahan stabil setelah badai asmara yang mereka lewati bersama. Romeo membelai rambut Suri dengan lembut, bibirnya mengecup puncak kepala istrinya. "Kalau kamu mengantuk, tidurlah," bisiknya dengan suara rendah dan hangat.Suri menggeleng pelan, menyandarkan wajahnya di dada bidang Romeo yang naik-turun dalam ritme menenangkan. "Aku belum mengantuk," jawabnya tersenyum kecil. Matanya memancarkan kehangatan yang hanya bisa ia tunjukkan pada Romeo.Romeo mengangguk, lalu mengusapkan ibu jarinya ke pipi Suri. "Kalau begitu, kita lakukan pillow talk. Mulai sekarang, setiap malam sebelum tidur, kita harus bicara dari hati ke hati. Tidak boleh ada yang dirahasiakan. Setuju?"Suri mengangguk pelan, lalu menaruh kepalanya lagi di dada Romeo. “Aku setuju," balas Suri. Dengan gerakan penuh kasih, Romeo lantas mengelus punggung Suri."Setelah ini, aku akan mengajakmu ke beberapa dokter terbaik di
Dengan wajah yang masih cemberut, Raysa akhirnya menyerah pada rasa lapar yang mulai menguasainya. Wanita itu menyesap jus strawberry yang dipesan Kenzo sebelum mengambil sepotong kepiting. Namun, saat dia mencoba membuka cangkangnya, perjuangannya dimulai.Cangkang kepiting itu keras, dan meskipun Raysa sudah mencoba berbagai cara, mulai dari menggunting hingga mengetuk-ngetuknya dengan alat pemecah, hasilnya tetap nihil. Raysa mendengus kesal. Cangkang itu seolah mengejeknya dengan tetap kokoh.Kenzo, yang sejak tadi menikmati makanannya dengan santai, memperhatikan usaha Raysa dengan senyum tipis di bibirnya. Ketika Raysa hampir menyerah, Kenzo tiba-tiba berdiri dari kursi.“Mau apa?” tanya Raysa curiga.Kenzo tidak menjawab. Detik berikutnya, Raysa terkejut karena Kenzo tiba-tiba memeluknya dari belakang. Kehangatan tubuh pria itu membuat Raysa terpaku, dan ia bahkan lupa bernapas sejenak.Kenzo menggerakkan tangannya dengan cekatan, mengambil kepiting yang tadi menjadi musuh bebu
Pagi di vila terasa begitu tenang, hingga suara ketukan di pintu memecah keheningan. Romeo dan Suri masih terlelap, saling berpelukan di balik selimut tebal. Mereka tidur sangat nyenyak usai terlarut dalam kehangatan cinta semalam. "Tuan Muda, Nyonya, sarapannya sudah siap," panggil Bu Murni sambil mengetuk pintu. Mendengar suara dari balik pintu, Suri menggeliat pelan dan membuka matanya lebih dulu. Dengan suara serak khas bangun tidur, ia menjawab, "Iya, Bu Murni." Matanya melirik jam di dinding. Pukul delapan lewat lima belas menit. Suri terkejut, menyadari mereka sudah tidur terlalu lama. Ia mengguncang pelan lengan Romeo untuk membangunkannya. "Romeo, bangunlah," ucapnya sedikit panik. Romeo hanya mengerjap malas, matanya separuh terbuka. "Kenapa? Ada apa?" tanyanya dengan suara serak dan berat, tanda ia masih setengah sadar. "Ini sudah siang, Sayang. Bu Murni dari tadi membangunkan kita," Suri menjelaskan. Alih-alih bangun, Romeo malah bergeser lalu menarik Suri kemb
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya