Hari ini akan update 3 chapter ya, stay tune nanti malam. Jangan lupa dukung author Risca dengan memberikan gems, komen, dan like di setiap chapter. Lope you all
Menghela napas panjang, Suri mengalihkan perhatiannya kembali ke pekerjaan. Ia menenggelamkan diri dalam laporan dan blueprint hingga tidak sadar waktu berlalu begitu cepat. Ketika jarum jam menunjukkan pukul lima sore, telepon di mejanya berdering. "Halo?" "Suri!" suara ceria Raysa terdengar di ujung telepon. "Sudah jam lima. Pulang saja on time, ya. Aku mau ajak kamu makan di luar. Setelah itu, kita sekalian nonton dengan Azka.”Suri tertawa kecil. "Baiklah, aku akan membereskan meja sekarang. Tunggu aku di lobi." Setelah menutup telepon, Suri mematikan laptop. Ia menyusun dokumen dan merapikan barang-barang pribadinya sebelum mengambil tas. Hari itu, ia memang butuh hiburan untuk mengalihkan pikiran dari Romeo. Di lobi, Raysa sudah menunggu dengan senyumnya yang khas. Tanpa membuang waktu, ia menggandeng lengan Suri menuju mobil. Dalam perjalanan, Raysa terus bercerita tentang adik laki-lakinya yang tidak sabar untuk bertemu dengan Suri. Sesekali, Suri tersenyum dan menga
Suri menatap layar televisi yang kini sudah beralih menampilkan iklan, tetapi pikirannya masih terpaku pada konferensi pers yang baru saja ia saksikan. Bibirnya bergetar dan telapak tangannya berkeringat dingin. Semua kata-kata Romeo terus terngiang di telinganya, berputar seperti rekaman yang tak mau berhenti. Raysa, yang duduk di sebelahnya, segera menyodorkan tisu dengan wajah prihatin. "Suri, kamu tidak apa-apa?" tanyanya lembut, suaranya sarat kekhawatiran. Suri mengangguk kecil walaupun gerakannya nyaris tak terlihat. Tisu yang diberikan Raysa ia gunakan untuk menghapus air mata yang terus mengalir.Azka, yang biasanya melontarkan lelucon untuk mencairkan suasana, kini hanya diam. Eskpresinya berubah serius saat memandangi Suri. "Mau pulang sekarang?" Raysa bertanya dengan hati-hati. "Atau masih mau nonton?" Suri menarik napas panjang sebelum menjawab dengan suara lemah, "Aku mau pulang, Ray." Tanpa banyak bicara, Raysa menggenggam tangan Suri dan membantunya berdiri.
Ketegangan sedang melanda mansion keluarga Albantara. Nyonya Valerie, yang biasanya tampak anggun dan percaya diri, kini bersandar lemah di sofa ruang keluarga. Kepalanya terkulai, sementara tangannya memegang sapu tangan. Sesekali, ia mengangkat benda itu untuk menyeka keringat dingin di dahi. Pelayan pribadinya dengan lembut memijat pundak dan kepala Nyonya Valerie menggunakan minyak kelapa murni yang dihangatkan. Aroma lembut dari minyak itu memenuhi ruangan, meredakan ketegangan yang menggantung di udara. Sementara itu, pelayan lain berlari ke dapur, menyiapkan teh jahe hangat untuk sang nyonya. "Ini, Nyonya Besar," kata pelayan itu, sambil membawa nampan berisi cangkir teh jahe yang masih mengepul. Nyonya Valerie mengangkat tangannya dengan lemah, memberi isyarat agar minuman itu diletakkan di meja. "Biarkan di situ dulu. Aku ... masih pusing," katanya dengan suara nyaris berbisik. Di sudut ruangan, Aira tengah sibuk dengan ponselnya. Panggilan demi panggilan masuk tanpa
Suri hampir tidak memejamkan mata semalaman. Pikiran tentang Romeo, hubungannya, dan semua kekacauan yang melingkupi hidupnya melintas silih berganti. Ketika akhirnya ia tertidur, mungkin hanya tiga jam berlalu sebelum matahari pagi menembus tirai. Cahaya itu mengusik tidurnya yang tak nyenyak, memaksanya untuk bangun. Suri duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah jendela. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan jiwanya yang tertekan. Lalu, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian—melukis. Sebelum memulai kegiatan, Suri pergi ke dapur, menuangkan segelas susu hangat, lalu membawanya ke ruang tengah. Di sana, kanvas dan peralatan lukis yang ia beli bersama Romeo beberapa hari lalu masih tertata rapi di sudut ruangan. Ketika melihat benda-benda itu, kenangan tentang Romeo kembali menyeruak. Romeo ingin dilukis sebagai hukuman kecil atas kebohongannya. Permintaan itu sederhana, tetapi ia belum
Raysa menatap jam dinding di ruang tamu. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh. Dengan nada mendesak, ia berkata. “Suri, kita hanya punya beberapa jam lagi untuk mencegah Romeo pergi.” Kebimbangan tergambar jelas di wajah Suri. Hatinya berdebat sengit antara keinginan untuk bertahan dengan prinsipnya, atau mengikuti kerinduan yang terus menguat. “Mungkin kamu butuh sudut pandang lain,” ujar Raysa menggenggam tangan Suri dengan erat. "Bertanyalah pada Azka. Sebagai sesama lelaki, dia bisa menilai apakah Romeo tulus mencintai kamu.” Suri menghela napas panjang, tetapi akhirnya mengangguk pelan. Raysa pun menggandeng tangan Suri menuju ke ruang tamu, di mana Azka sedang asyik memainkan ponselnya. “Azka,” panggil Raysa, membuat adiknya menoleh. “Suri ingin bertanya padamu.” Azka meletakkan ponselnya, menatap Raysa dan Suri secara bergantian. “Tanya apa?” Raysa mendorong Suri untuk duduk di sofa, sementara ia sendiri berdiri di sampingnya.“Kemarin sore, kamu men
Suri berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan gelisah. Jemarinya sesekali meremas tas selempang yang telah ia siapkan. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum yang menusuk kesabaran Suri. Sejak tadi, Suri sudah bersiap. Ia berganti pakaian dengan blouse lengan panjang berwarna dusty pink, yang diselipkan ke dalam celana jeans biru muda. Rambutnya diikat ekor kuda, supaya lebih praktis untuk melakukan pergerakan cepat. Di sudut ruangan, Raysa duduk dengan tangan terlipat di dada, memperhatikan Suri yang tidak bisa diam. "Suri, santai sedikit. Kita akan sampai di sana tepat waktu," ujar Raysa, mencoba menenangkan. Suri berhenti sejenak, menatap sahabatnya, lalu mendesah panjang. "Aku tahu, tapi aku tidak bisa tenang sebelum bertemu Romeo." Baru saja kata-kata itu terucap, suara deru mesin mobil dan decit ban terdengar dari luar rumah. Suri hampir melompat dari tempatnya berdiri. Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju pintu depan dan membukanya lebar. Raysa dan Azka, men
Suri hanya mengangguk kecil, terlalu cemas untuk berkata apa-apa. Mobil terus melaju melewati jalan setapak yang menanjak, diapit pepohonan lebat yang membuat suasana terasa semakin sepi. Namun, di kejauhan, terlihat sebuah kawasan hijau yang luas. Di tengah kawasan itu, sebuah vila berdiri megah. Bangunannya bertingkat dua, terbuat dari kayu berkualitas tinggi yang dipoles mengilap, dipadu dengan beberapa jendela kaca dan balkon besar yang menghadap ke arah pegunungan. Kenzo menghentikan mobilnya di halaman vila. Ia turun lebih dulu, membuka pintu untuk Suri dan Raysa. "Ini vila Romeo," katanya singkat. Suri melangkah keluar, matanya langsung mencari tanda keberadaan mobil Romeo di sekitar vila. Namun, tidak ada satu pun mobil yang terlihat selain mobil mereka sendiri. Sontak, hatinya mulai tenggelam dalam kecemasan. Kenzo melangkah menuju pintu utama, diikuti Suri dan Raysa. Raysa memegang bahu Suri, mencoba memberinya semangat. "Tenang saja, Suri. Kamu pasti sempat bertemu
Suri masih berbaring di atas ranjang, tubuhnya terasa lemah. Pusing yang sebelumnya mengganggu mulai mereda. Namun, kini kepalanya justru terasa seringan kapas. Hati Suri masih diiliputi kecemasan, menunggu kabar dari Raysa dan Kenzo tentang Romeo. Tangannya pun terulur meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.Suri membuka layarnya, tetapi segera sadar bahwa Raysa dan Kenzo baru saja pergi. Mereka pasti belum sampai di bandara. Menelpon mereka saat ini hanya akan sia-sia.Dengan helaan napas panjang, Suri meletakkan kembali ponselnya tanpa beranjak dari tempat tidur. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk bergerak. Terpaksa, Suri memejamkan mata lagi, berharap waktu bisa berlalu lebih cepat. Tanpa disadari, kelelahan fisik dan jiwa yang begitu dalam menyeret Suri ke dalam tidur. Awalnya, ia bergerak gelisah, tetapi lambat laun ia menjadi lebih tenang.Di ambang batas antara mimpi dan kenyataan, ia merasakan pelukan hangat seseorang. Pelukan itu begitu lembut, penuh ke
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya
Dalam keheningan kamar VIP, perlahan-lahan kelopak mata Serin mulai bergetar, seakan berusaha menembus kabut kesadaran yang berat. Dengan napas yang masih lemah, ia membuka mata, beradu dengan cahaya menyilaukan yang menyambutnya.Dunia yang awalnya samar-samar menjadi kian jelas di hadapannya. Aroma antiseptik serta rasa berat pada tangan kirinya, segera memberi petunjuk pada Serin bahwa ia tidak lagi berada di kamar apartemen.Kesadarannya yang telah pulih, membawa Serin pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bagaimana tidak.Di sampingnya, dalam pelukan yang masih erat, seorang pria terlelap dengan napas teratur.Jevandro Albantara.Pria itu tampak berbeda dari sosok CEO dingin dan dominan yang biasa ia kenal di kantor. Kini wajahnya terlihat damai, tenang, bahkan hampir mengundang rasa kasihan, dengan jejak kelelahan yang membayang di garis rahangnya yang kokoh.Serin membeku beberapa detik, tubuhnya kaku antara rasa malu dan terkejut.Dengan gerakan seh
Di kamarnya yang sunyi, Jevandro masih menempelkan ponsel di telinga, memanggil-manggil nama Serin dengan suara cemas. Namun dari seberang, hanya hening yang ia dapatkan. Tak ada jawaban, tak ada suara, hanya desis samar napas yang akhirnya menghilang. Merasakan firasat buruk yang mencengkeram hatinya, Jevandro segera mengakhiri panggilan. Ia melirik sekilas ke jam di layar ponsel—pukul setengah sebelas malam. Tak ingin menunda sedetik pun, Jevandro menyambar jaket yang tergantung di sandaran kursi, lalu meraih kunci mobil. Dengan langkah lebar penuh kegelisahan, ia meninggalkan kamar.Suasana mansion telah sunyi, hanya sesekali terdengar derit angin malam menerpa pepohonan di taman. Semua penghuni telah terlelap dalam damai, kecuali Jevandro yang kini bergegas menuruni tangga. Ia membuka pintu depan, mengabaikan dinginnya udara yang menerpa kulit. Tanpa ragu, Jevandro menyalakan mesin mobil, suara raungannya memenuhi halaman mansion. Dalam sekejap, mobil itu melesat membelah malam
Jeandra menaiki tangga mansion yang sunyi, membiarkan waktu melambat di bawah langkahnya. Di depan pintu kamar Jevandro, ia mengetuk pelan. Hanya sekali, seolah memberitahu bahwa ia datang bukan untuk bertengkar, melainkan untuk berbicara dari hati ke hati.Tak berapa lama, pintu itu berderit terbuka, memperlihatkan wajah Jevandro yang diterpa cahaya lampu kamar. "Masuklah," ujar Jevandro datar.Jeandra mengangguk, lalu memilih duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Sementara Jevandro mengambil tempat di tepi ranjang, membiarkan kedua sikunya bertumpu pada lutut.Mata Jeandra tanpa sadar melirik ke arah nakas, di mana sebuah bingkai foto berhias ukiran halus menampilkan wajah manis Liora. Bahkan di dinding kamar, tergantung potret besar Liora yang menatap dunia dengan mata cerah penuh kehidupan.Hatinya tercubit perih — terlalu jelas, terlalu nyata, bahwa cinta Jevandro pada sang kekasih sangatlah besar."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Jevandro, suaranya sedikit serak.Jeandra