Langit malam di kota Belvantis tampak bertabur cahaya, seolah menyambut kedatangan Suri, Axel, dan Nyonya Yasmin. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di apartemen yang telah disewa oleh Axel.Sepanjang malam, hati Suri dilanda kegelisahan. Ia berbaring sendiri di ranjang sementara pikirannya masih melayang pada Romeo. Ia berharap, dalam beberapa hari ke depan kondisi kesehatannya akan membaik, sehingga ia bisa kembali ke kota Velmora. Pagi harinya, Suri terbangun karena suara getar ponsel di atas meja nakas. Dengan mata masih mengantuk, ia melihat nama yang tertera di layar : Sagara."Halo, Pak Sagara, selamat pagi," sapanya dengan suara serak."Suri, di mana kamu sekarang?" suara Sagara terdengar tegas, tetapi ada nada khawatir di dalamnya. "Aku mendengar tentang kecelakaan Romeo. Bagaimana keadaannya?"Suri menarik napas panjang. "Saya minta maaf, Pak Sagara, saya berada di luar negeri. Untuk sementara, saya tidak bisa melanjutkan proyek kota mandiri. S
Suri duduk di sudut kafetaria rumah sakit, menatap kosong ke cangkir teh hangat di hadapannya. Tangannya yang gemetar menggenggam gelas itu, tetapi pikirannya melayang jauh. Rasa rindu dan cemas terhadap Romeo membuat hatinya bergejolak. Suri menghela napas berat. Haruskah ia menghubungi Raysa atau Tuan Joshua untuk mencari tahu kabar tentang Romeo? Namun, Raysa dan Kenzo sedang berbahagia mempersiapkan pertunangan. Ia tak ingin merepotkan mereka dengan bebannya. Namun, seolah alam semesta berpihak padanya, ponsel Suri bergetar di atas meja. Begitu melihat nama Raysa tertera di layar, Suri bergegas menjawab panggilan itu."Halo, Suri, kamu di mana sekarang? Aku dan Kenzo baru saja tiba, dan mendapat kabar bahwa Romeo mengalami kecelakaan," suara Raysa terdengar panik di ujung telepon. "Apa yang sebenarnya terjadi?"Dengan suara bergetar, Suri menceritakan semuanya—bagaimana Romeo sekarang mengalami koma, dan ia yang terpaksa pergi demi keselamatan bayi dalam kandungannya. Mendengar
Nyonya Valerie tersentak. Suara lirih itu, nama yang disebut oleh putranya yang tengah terbaring koma, menggema di telinganya. Suri.Romeo memanggil nama Suri. Jari-jarinya yang sebelumnya hanya bergerak pelan kini tampak semakin aktif. Dengan panik, Nyonya Valerie segera menekan tombol pemanggil perawat di samping ranjang putranya. Sementara Diva yang berdiri di sampingnya tampak menggigit kuku dengan gelisah.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang perawat bersama dokter masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi siaga. “Mohon keluar sebentar. Kami akan melakukan pemeriksaan,” kata dokter dengan tegas.Nyonya Valerie mengangguk, meski raut wajahnya menunjukkan ketidaksabaran. Dengan berat hati, ia melangkah mundur, lalu meraih tangan Diva agar ikut keluar bersamanya. Di dalam ruangan, dokter dan perawat segera mendekati Romeo. Alat pemantau tanda vital diperiksa, grafik detak jantung yang sebelumnya stabil kini menunjukkan peningkatan. Perawat dengan sigap
Nyonya Valerie meraih tangan Romeo dengan lembut, mengusap punggung tangannya dengan penuh kasih sayang. "Romeo, tenang dulu. Jangan panik. Mama akan memanggil dokter untuk memeriksamu," ucapnya, berusaha menenangkan putranya yang tampak gelisah. Namun, napas Romeo justru terdengar semakin berat dan tersengal."Di mana Suri? Aku butuh dia dalam kegelapan ini," lirih Romeo, suaranya sarat dengan kesedihan dan kegelisahan.Nyonya Valerie menahan napas sejenak, menatap Diva yang berdiri tak jauh dari tempat tidur Romeo. "Suri tidak ada, Sayang. Tapi, Diva ada di sini untuk menemanimu," ujarnya dengan suara lembut.Tanpa disuruh, Diva segera mendekat, wajahnya penuh harapan. "Iya, Kak Romeo. Kakak bisa mengandalkan aku."Romeo menggeleng dengan lemah. "Tidak. Aku ingin istriku. Aku ingin Suri..."Nyonya Valerie menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian sebelum mengucapkan kata-kata yang telah ia rancang di kepalanya. "Romeo, dengarkan Mama. Suri benar-benar tidak ada. Sejak kamu d
Usai memastikan bahwa ibunya telah tertidur dengan tenang, Axel menoleh ke arah Suri yang masih duduk di kursi samping brankar. "Suri, aku akan mengantarmu pulang ke apartemen," ujar Axel dengan lembut.Suri menggeleng pelan, lalu tersenyum menenangkan. "Tidak usah, Xel. Aku bisa pulang sendiri dengan taksi. Kamu tetap di sini saja untuk menjaga Tante Yasmin. Aku tidak ingin merepotkanmu."Axel menghela napas, tampak ragu. "Aku bisa kembali lagi setelah mengantarmu. Aku tidak ingin kamu pulang sendirian di malam seperti ini."Suri tersenyum kecil dan menepuk lengan Axel dengan lembut. "Aku baik-baik saja, sungguh. Lagi pula, aku sudah terbiasa naik taksi sendiri, kamu tidak perlu khawatir."Tatapan Axel penuh dengan ketidakrelaan, tetapi akhirnya ia mengangguk. "Baiklah. Kabari aku saat kamu sudah sampai di apartemen.""Tentu," jawab Suri seraya berdiri dan mengambil tasnya.Axel menatap Suri sekali lagi sebelum mengantar wanita itu hingga ke lobi rumah sakit.Di lobi yang luas dan t
Romeo masih menggenggam foto yang diberikan Bi Ranti. Meski tidak bisa melihat, jemarinya meraba setiap sudut kertas itu, seolah berharap bisa menemukan kebenaran hanya dengan sentuhan. Napas Romeo memburu, dadanya naik turun dalam gelombang emosi yang tak terkendali. Ia menggeleng pelan, menolak semua yang dikatakan ibunya tentang Suri."Panggil Yonas," suara Romeo terdengar serak, hampir berbisik. “Biarkan dia yang melihat foto ini untukku. Aku ingin Yonas yang memberitahu aku kebenarannya."Nyonya Valerie memandang putranya dengan tatapan rumit. Ia tahu, Romeo tidak akan begitu saja mempercayainya tanpa bukti yang lebih kuat. Namun, ia juga tidak akan membiarkan putranya bersatu lagi dengan Suri."Yonas tidak ada di sini, Sayang," ucapnya lembut, berusaha menenangkan Romeo.Romeo mengerutkan kening. "Apa maksud Mama?""Kita tidak lagi di Velmora. Yonas tidak ikut bersama kita," jawab Nyonya Valerie dengan nada penuh kehati-hatian.Romeo terdiam sesaat, seolah berusaha memahami kat
Suri sedang memasak sup ayam sambil menunggu Axel pulang dari rumah sakit. Pria itu biasanya makan siang di apartemen, sebelum kembali ke rumah sakit untuk menjaga sang ibu. Hari ini, Suri berencana akan bicara mengenai keinginannya pulang ke kota Velmora.Begitu Axel masuk, ia segera berdiri dan menyambut sepupunya itu. Suri mengajak Axel ke ruang makan dan menunjukkan hidangan yang sudah ia siapkan.“Wah, kalau kamu memasak setiap hari, aku jadi merasa punya istri,” canda Axel sambil mencicipi masakan Suri yang menurutnya sangat lezat.Suri menunggu hingga Axel selesai makan, lalu mulai membuka percakapan."Xel, aku ingin kembali ke Velmora sendiri," kata Suri dengan suara mantap. "Aku ingin mencari informasi tentang Romeo, sekaligus menghadiri resepsi pernikahan sahabatku, Raysa. Aku sudah merasa lebih sehat sekarang."Axel menatapnya tajam, matanya menyiratkan ketidaksetujuan. "Jangan, Suri. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian. Kamu tahu bahwa situasinya tidak aman. Selain
Diva tengah bersiap menuju rumah sakit. Jemarinya dengan cekatan menyapukan bedak halus ke wajahnya, memastikan setiap detail sempurna.Perlahan, ia meraih sepasang anting kecil bermata berlian dan memasangnya di telinga. Hari ini, ia harus terlihat luar biasa di hadapan Romeo.Namun, tepat ketika ia hendak mengambil tas, ponselnya bergetar. Sejenak, dadanya berdebar. Ia merasakan firasat buruk, tetapi tetap menekan tombol hijau untuk menerima panggilan."Halo, Randy," sapanya sedikit malas."Diva, kita punya masalah besar." Suara Randy terdengar tegang di seberang sana.Alis Diva mengernyit. "Masalah apa lagi?""Anak buah Toni sudah ada yang tertangkap polisi."Diva membeku sejenak. Ia menatap bayangannya sendiri di cermin, seakan mencoba mencari jawaban dari ketakutan yang menyergapnya."Berapa orang? Apa mereka sudah bicara?" tanya Diva cepat, berusaha menekan rasa panik."Aku belum tahu pasti, tapi menurut informasi yang kudapat, polisi sedang menginterogasi mereka. Mungkin, hanya
Meski sedikit kesulitan, Serin akhirnya berhasil membuka sendiri gaun pengantinnya yang rumit. Jemarinya sempat gemetar ketika menyentuh lapisan renda yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan. Ia melipatnya hati-hati dan meletakkannya di dekat rak, seakan enggan menjatuhkannya ke lantai karena rasa hormat terhadap keindahan gaun itu.Dengan gerakan cepat, Serin mengenakan gaun tidur merah muda yang tadi diserahkan oleh Jevandro. Bahannya lembut dan dingin di kulit, tetapi tidak mampu menyelimuti hatinya yang gamang.Sebelum keluar dari kamar mandi, Serin mencuci wajahnya dulu, membiarkan air membasuh sisa-sisa riasan yang tadi dipoles cermat oleh Jeandra. Pandangannya di cermin, kini memperlihatkan Serin yang lebih jujur dalam kesederhanaan tanpa lapisan kosmetik.Ketika ia keluar dari kamar mandi, pandangan Serin segera menemukan sosok Jevandro yang masih berdiri di balkon. Tubuh pria itu bersandar ringan pada pembatas logam hitam yang menghadap langit
Janji suci itu akhirnya terucap dari bibir Jevandro dengan nada datar. Ia bersikap seolah tengah membaca naskah kewajiban yang harus dituntaskan, bukan ikrar tulus yang lahir dari kedalaman hati. Kalimat-kalimat yang biasanya penuh makna bagi sepasang pengantin, kini hanyalah deretan kata yang kosong tanpa getaran. Meski wajah Jevandro tetap tenang, Serin bisa melihat mata itu menyimpan rasa kecewa yang tak bisa dipadamkan. Ia berdiri di sana, seperti aktor dalam pertunjukan yang tidak ingin ia mainkan. Jevandro menuntaskan tugasnya tanpa benar-benar merasai setiap ikrar yang ia lafalkan.Serin pun menyusul, mengucapkan sumpahnya dengan suara yang sempat tersendat di tengah. Ia buru-buru menyelesaikan kalimat terakhir, seakan takut suaranya akan pecah bila ia diam terlalu lama. Hatinya bergetar saat pendeta menyuruh mereka bertukar cincin. Di tangannya, cincin berlian itu terasa berat. Ia tahu persis, itu adalah cincin yang pernah dibeli Jevandro untuk dikenakan Liora. Cincin yang
Dengan langkah perlahan namun pasti, Serin menaiki mobil pengantin yang menunggu di pelataran salon. Suri dan Raysa mendampinginya dengan penuh kesabaran dan ketenangan, memastikan gaun pengantin rancangan Jeandra itu tidak tersangkut. Sementara itu, veil halus yang masih menutupi wajah Serin berkibar tipis karena hembusan angin pagi. Di dalam mobil, atmosfer terasa sunyi dan penuh harap. Serin duduk di kursi tengah, menggenggam buket bunga pernikahannya dengan kedua tangan. Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian dari rasa gelisah yang terasa kian menekannya.Suri duduk di samping kiri, sedangkan Raysa di sisi kanan, keduanya menjaga Serin dalam keheningan yang menyelimuti. Membiarkan momen sekali seumur hidup ini meresap perlahan ke dalam batin mereka.Tak berselang lama, pintu mobil terbuka lagi dan Jeandra masuk dengan langkah cepat. Napasnya masih terdengar sedikit memburu.Kali ini, Jeandra telah berganti penampilan sepenuhnya. Gaun panjang berwarna emerald green membalut tubuh
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a