Setelah menyelesaikan makan siang di kafe, Raysa menatap Suri dengan penuh perhatian. “Sekarang kamu tinggal di mana? Apa kamu akan kembali ke rumah papamu?”“Rumah Papa sudah dijual oleh Tante Yasmin,” jawab Suri sedih. “Aku berencana menyewa rumah di pinggiran kota. Aku butuh tempat yang aman dan jauh dari jangkauan Romeo,” ujar Suri sembari mengenakan syal di lehernya.Raysa mengangguk mengerti. “Sebelum kamu mendapatkan rumah yang aman, tinggallah di apartemenku, Suri. Kita bisa mengobrol, bercanda, dan bernostalgia seperti dulu.”Mendengar tawaran yang tulus dari Raysa, Suri mengangguk setuju. “Terima kasih. Aku akan pikirkan itu. Sementara, aku akan menginap di hotel.”“Ck, tidak perlu. Malam ini dan malam berikutnya, kamu tidur di apartemenku. Aku jamin kamu akan betah,” ucap Raysa setengah memaksa. Tanpa menunggu jawaban dari Suri, Raysa langsung menarik tangan sahabatnya itu. Mereka pun meninggalkan kafe dan meluncur menuju apartemen Raysa. Begitu sampai, Raysa menunjukkan
Setelah puas mengumpati kakaknya dan Suri, Aira menarik napas panjang lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia meraih ponselnya, menekan tombol panggil untuk menghubungi salah satu temannya, Miska. Dalam hitungan detik, suara Miska terdengar di ujung sana. “Halo, Aira. Kamu sudah dalam perjalanan ke sini, kan? Pesta sebentar lagi dimulai!” Aira menggigit bibirnya, menahan rasa kecewa yang makin mendalam. “Aku tidak bisa datang, Mis. Mama melarangku keluar.” Sejenak, Miska terdiam, mungkin bingung bagaimana merespons. “Oh… ya sudah, tidak apa-apa,” jawabnya. Namun, nada suara gadis itu terdengar canggung, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. “Kamu kenapa, Mis? Apa terjadi sesuatu di sana?” tanya Aira curiga. Miska menghela napas sejenak sebelum memberikan jawaban. “Aku bingung harus bagaimana mengatakannya padamu. Baru saja aku melihat Ivan ada di klub ini.”Aira langsung duduk tegak, rasa penasaran dan was-was menguasai dirinya. “Lalu? Memangnya kenapa kalau dia di s
Aroma semerbak telur dadar dan roti panggang memenuhi dapur kecil di apartemen. Suri dengan cekatan mengoleskan mentega di atas roti sambil sesekali melirik panci di atas kompor. Di meja, secangkir teh melati yang hangat sudah menunggu. Raysa, yang masih berada di kamar, bersiap untuk hari pertamanya bekerja di kantor Pradipta Grup. “Pagi, Suri,” sapa Raysa saat keluar dari kamar dengan blazer hitam yang membuatnya tampak profesional. Rambutnya diikat rapi, dan ada senyum antusias di wajahnya. “Pagi, Raysa. Sarapannya sudah siap,” jawab Suri sambil memindahkan telur dadar ke piring. Raysa duduk dan mulai menyantap makanannya. “Kamu memang andalan kalau urusan dapur. Oh ya, aku tadi sudah menghubungi pemilik ‘Belle Boutique’, namanya Nyonya Silvia. Dia teman mamaku. Aku memberitahunya kalau sahabatku akan ke butik untuk mencari gaun pesta.”“Terima kasih, Raysa,” ucap Suri sembari mencubit pelan pipi sahabatnya itu. “Tapi, aku akan melihat rumah dulu. Baru saja Paman Josua membe
Dengan cepat, Suri membayar gaun yang ia pilih di kasir sambil menunduk. Kemudian, ia mengenakan kacamata hitam yang ia bawa di tas untuk menyamarkan penampilan. Ia mencoba menghindari perhatian mereka dan segera menuju ke arah pintu keluar.Ketika melewati pintu, Suri masih mendengar Diva berbicara akrab dengan Nyonya Valerie. “Aku akan memilih gaun yang berwarna biru, Tante. Biru adalah warna kesukaan Kak Romeo.”Suri melangkah terburu-buru, menghindari sudut pandang Diva dan ibu mertuanya. Langkahnya terasa ringan di kaki, tetapi tidak di hati. Pedih, itulah yang ia rasakan. Pedih karena nama Romeo ternyata masih punya tempat di hatinya, meski ia tahu itu hanya akan menyakitinya lebih dalam.Setelah berhasil keluar dari butik, Suri memanggil taksi yang kebetulan lewat. Tanpa membuang waktu, Suri masuk ke taksi dan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia memandangi paperbag yang kini ada di pangkuannya.Gaun yang ia
Ketika Suri sudah duduk di meja kafe, pandangan mata dari orang-orang di sekitarnya masih mengikuti. Sungguh, situasi ini membuatnya seperti ikan di dalam akuarium. Untuk mengusir rasa tak nyaman, Suri menggenggam ponsel sambil menundukkan kepala. Ia berusaha fokus pada layar, tetapi tatapan para pengunjung tetap tertuju padanya. Mungkin mereka merasa heran sekaligus penasaran, karena ia berhasil mendapatkan meja yang nyaman di tengah antrean yang begitu panjang.Beberapa kali, Suri menoleh ke arah pintu, berharap Raysa segera datang untuk menyelamatkannya. Hingga tak lama berselang, sosok Raysa muncul, matanya menyapu ruangan dengan sedikit kebingungan. Melihat kedatangan Raysa, Suri melambaikan tangan ke arah sahabatnya itu. Raysa segera menghampiri, langkahnya dipercepat. “Suri, kamu hebat sekali bisa mendapatkan meja di sini,” puji Raysa begitu ia duduk. Wajahnya tampak cerah, senang bercampur heran. “Apa kamu kenal dengan pegawai atau supervisor kafe ini?”Suri tersenyum tipis
Mata Suri berbinar penuh semangat. Dengan tekad baru, ia mengarahkan sopir taksi untuk membawanya ke sebuah toko peralatan melukis yang dulu sering ia kunjungi. Tempat itu telah lama menjadi pelabuhan kreativitasnya sebelum ia terjebak dalam sangkar emas. Toko kecil di sudut jalan itu masih seperti yang ia ingat. Papan nama kayu dengan tulisan "Rumah Warna" terlihat usang tetapi tetap hangat, seolah menyambut siapa pun yang datang dengan harapan. Ketika bel di pintu berbunyi, seorang pria paruh baya keluar dari balik meja kasir. "Suri!" serunya dengan nada tak percaya. "Benarkah ini kamu?" Suri tertawa kecil, sedikit tersipu. "Benar, Pak Harun. Saya kembali." Pak Harun, pemilik toko itu, tersenyum lebar. "Sudah lama sekali! Saya pikir kamu sudah berhenti melukis." "Memang sempat berhenti," Suri mengakui, sambil menyusuri rak-rak penuh kuas, cat minyak, cat air, dan berbagai perlengkapan lainnya. "Tapi, sekarang saya merasa ingin mulai lagi." Pak Harun mengangguk paham. "Me
Selesai makan, Suri dan Raysa bekerja sama membereskan meja makan dan mencuci piring. Kemudian, mereka ke kamar untuk memilih aksesoris yang akan dipakai ke pesta. Raysa mengeluarkan sebuah kotak besar yang penuh dengan berbagai model kalung, anting, dan gelang. “Kita lihat mana yang cocok dengan gaunmu,” ujar Raysa sambil mengangkat sebuah kalung mutiara, . Suri tak bisa menahan tawa melihat aksi Raysa yang sibuk memamerkan koleksinya.“Kamu mengeluarkan semua ini hanya untuk aku?” tanya Suri sambil tertawa kecil.“Iya, Suri. Aku adalah orang pertama yang mendukungmu untuk membalas perbuatan Romeo. Kamu harus tampil sempurna di pesta itu,” balas Raysa sambil mengedarkan pandangannya ke tumpukan aksesoris di dalam kotak.Namun, seiring waktu, raut wajah Raysa berubah menjadi bingung. “Hmm... tunggu sebentar. Mana yang warnanya ungu?” gumamnya sambil memilah-milah aksesoris.Setelah beberapa saat mencari, Raysa berdecak kesal. “Tidak ada. Aku harus mencari lagi,” ujar Raysa sambil m
Keluar dari bar, Romeo memutuskan pulang ke mansion. Ia berjalan cepat membuka pintu utama, berharap bisa segera naik ke kamar dan melupakan hari yang melelahkan. Kepalanya juga terasa berat, entah karena efek alkohol atau karena ia kurang tidur akhir-akhir ini. Namun, pemandangan di ruang tamu membuat Romeo menghentikan langkah. Ia melihat Diva duduk di sofa dengan piyama satin berwarna pastel. Nyonya Valerie, ibunya, duduk di sebelah Diva sambil tersenyum lebar. Romeo langsung mengerutkan dahi, matanya menyipit tajam. “Diva? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?” tanyanya tajam.Diva menoleh dengan santai. “Mulai sekarang, aku akan tinggal di sini, Kak Romeo,” jawabnya seraya memilin ujung rambut dengan jari telunjuk.“Tinggal di sini? Kenapa?”“Karena Mama yang meminta,” jawab Nyonya Valerie. Perempuan paruh baya itu memasang ekspresi penuh keprihatinan. “Diva sedang diteror oleh salah satu penggemarnya, dia merasa dibuntuti setiap hari. Lebih aman jika Diva tinggal bersama
Meski sedikit kesulitan, Serin akhirnya berhasil membuka sendiri gaun pengantinnya yang rumit. Jemarinya sempat gemetar ketika menyentuh lapisan renda yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan. Ia melipatnya hati-hati dan meletakkannya di dekat rak, seakan enggan menjatuhkannya ke lantai karena rasa hormat terhadap keindahan gaun itu.Dengan gerakan cepat, Serin mengenakan gaun tidur merah muda yang tadi diserahkan oleh Jevandro. Bahannya lembut dan dingin di kulit, tetapi tidak mampu menyelimuti hatinya yang gamang.Sebelum keluar dari kamar mandi, Serin mencuci wajahnya dulu, membiarkan air membasuh sisa-sisa riasan yang tadi dipoles cermat oleh Jeandra. Pandangannya di cermin, kini memperlihatkan Serin yang lebih jujur dalam kesederhanaan tanpa lapisan kosmetik.Ketika ia keluar dari kamar mandi, pandangan Serin segera menemukan sosok Jevandro yang masih berdiri di balkon. Tubuh pria itu bersandar ringan pada pembatas logam hitam yang menghadap langit
Janji suci itu akhirnya terucap dari bibir Jevandro dengan nada datar. Ia bersikap seolah tengah membaca naskah kewajiban yang harus dituntaskan, bukan ikrar tulus yang lahir dari kedalaman hati. Kalimat-kalimat yang biasanya penuh makna bagi sepasang pengantin, kini hanyalah deretan kata yang kosong tanpa getaran. Meski wajah Jevandro tetap tenang, Serin bisa melihat mata itu menyimpan rasa kecewa yang tak bisa dipadamkan. Ia berdiri di sana, seperti aktor dalam pertunjukan yang tidak ingin ia mainkan. Jevandro menuntaskan tugasnya tanpa benar-benar merasai setiap ikrar yang ia lafalkan.Serin pun menyusul, mengucapkan sumpahnya dengan suara yang sempat tersendat di tengah. Ia buru-buru menyelesaikan kalimat terakhir, seakan takut suaranya akan pecah bila ia diam terlalu lama. Hatinya bergetar saat pendeta menyuruh mereka bertukar cincin. Di tangannya, cincin berlian itu terasa berat. Ia tahu persis, itu adalah cincin yang pernah dibeli Jevandro untuk dikenakan Liora. Cincin yang
Dengan langkah perlahan namun pasti, Serin menaiki mobil pengantin yang menunggu di pelataran salon. Suri dan Raysa mendampinginya dengan penuh kesabaran dan ketenangan, memastikan gaun pengantin rancangan Jeandra itu tidak tersangkut. Sementara itu, veil halus yang masih menutupi wajah Serin berkibar tipis karena hembusan angin pagi. Di dalam mobil, atmosfer terasa sunyi dan penuh harap. Serin duduk di kursi tengah, menggenggam buket bunga pernikahannya dengan kedua tangan. Gadis itu mencoba mengalihkan perhatian dari rasa gelisah yang terasa kian menekannya.Suri duduk di samping kiri, sedangkan Raysa di sisi kanan, keduanya menjaga Serin dalam keheningan yang menyelimuti. Membiarkan momen sekali seumur hidup ini meresap perlahan ke dalam batin mereka.Tak berselang lama, pintu mobil terbuka lagi dan Jeandra masuk dengan langkah cepat. Napasnya masih terdengar sedikit memburu.Kali ini, Jeandra telah berganti penampilan sepenuhnya. Gaun panjang berwarna emerald green membalut tubuh
Langit tampak begitu jernih, seolah turut mendukung momen penting yang akan segera terjadi. Bias cahaya pagi menembus tirai tipis di jendela salon milik Jeandra, menyinari ruangan yang telah dipenuhi aroma bunga lili dan wangi kosmetik mahal. Hari yang dinanti telah tiba. Hari ketika langkah seorang wanita akan berubah untuk selamanya.Serin duduk diam di kursi rias, menanti sentuhan terakhir sebelum ia diantar menuju altar kehidupan barunya. Wajahnya tampak tenang, tetapi mata beningnya menyimpan gelombang kegugupan. Di belakang cermin, Clara dan seorang pegawai salon tengah bersiap untuk merias Serin. Namun belum sempat mereka menyentuhkan kuas pada wajah gadis itu, pintu ruangan rias terbuka.Suara langkah ringan terdengar, dan muncullah Jeandra—mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan kemeja berwarna jingga. Rambutnya diikat tinggi dengan gaya sederhana, menandakan bahwa ia akan melakukan sebuah pekerjaan profesional.“Aku sendiri yang akan meriasmu, Serin,” pungkas Jeandra
Di tengah kesunyian apartemen, Serin duduk sendirian di ruang tamu. Tak ada yang bisa mengalihkan pikirannya dari Jevandro selain musik. Karena itu, Serin memutuskan untuk membuka koper yang sudah lama ia abaikan. Dengan penuh perasaan, gadis itu mengeluarkan celo miliknya yang sedikit berdebu, seolah membebaskan alat musik itu dari penjara panjang yang mengurungnya.Serin meletakkan celo di pangkuannya dengan hati-hati, merasakan beratnya yang familiar. Kemudian, ia memetik busur dengan gerakan lembut.Seiring dengan gesekan pertama pada senar, melodi klasik mulai mengalun di ruang sunyi itu. Nadanya mengalir begitu natural, seolah membawa Serin ke dunia lain—dunia yang hanya ada dalam melodi musik.Ia memainkan bagian pertama dari sebuah lagu yang sudah lama ia kuasai. Membiarkan jari-jarinya menari di atas senar dengan ketelitian yang hanya bisa dicapai oleh pengalaman.Seiring berjalannya waktu, Serin tak bisa menahan konsentrasi yang mulai teralihkan. Tanpa sengaja, wajah Jevand
Wangi dari uap teh yang baru diseduh memenuhi dapur apartemen, menyatu dengan harumnya mentega yang mulai meleleh di atas wajan panas. Serin, yang sudah terbangun sejak pukul enam pagi, sedang berdiri di dapur bersama Bi Janti.Meski sudah berulang kali dilarang untuk membantu, gadis itu tetap bersikeras ingin membuat roti panggang. Berdalih agar Bi Janti bisa lebih cepat menyiapkan keperluan Tristan, sebelum berangkat ke sekolah.“Kalau hanya begini, saya masih sanggup, Bi… daripada saya diam saja,” ujar Serin pelan, sambil mengoleskan selai hazelnut ke selembar roti. Gerakannya begitu teratur dan cekatan, menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa melakukan pekerjaan dapur. Bi Janti menghela napas, mengalah, walau pandangannya masih khawatir menatap Serin. Perempuan paruh baya itu lantas menuju ke kamar tamu untuk memandikan Tristan.Di tengah kesibukannya, Serin mendengar langkah kaki berat yang mendekat dari arah koridor. Detik berikutnya, sosok Jevandro muncul, masih dalam balutan kaus
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a