Hatiku tak setegar mulutku, hatiku hancur saat mengucapkan itu semua. Kami dulu bersama berlandaskan cinta, dan sekarang? Apakah kebersamaan lebih dari enam tahun ini sama sekali tak ada artinya. Hanya karena godaan syahwat, semua kebahagian yang tergenggam kini terbang dan hilang.Mas Andrian lebih memilih mengurus perempuan itu daripada mengejarku, atau kembali mencoba meluluhkan hatiku. Kini, apalagi yang aku harapkan? Hanya menunggu rasaku padanya benar - benar mati. Hanya menunggu waktu akan mengobati luka ini."Nanti, secepatnya saya kasih kabar." Suara Bu Yanti mengagetkanku. "I … iya Bu. Saya tunggu kabar baiknya." Aku menjawab kemudian. "Kami permisi dulu, Mbak Hana. Em … yang sabar ya. Semoga permasalahan Mbak Hana mendapatkan jalan keluar yang baik." Bu Yanti terdengar bijak, tidak ceplas ceplos seperti tadi. Aku mengangguk dan mencoba tersenyum meski cukup berat."Terima kasih, atas supportnya, Bu." Aku mengucapkan terima kasih atas perhatian yang Bu Yanti berikan. Paling
•▪•"Semoga ini menjadi awal yang baik." Yola mengusap punggungku pelan."Semoga," balasku. Kami baru saja membereskan rumah yang akan aku tinggali untuk beberapa waktu kedepan.Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikan Yola, tanpanya aku mungkin bisa benar - benar gila. Ini sebuah pukulan terberat yang pernah aku dapatkan. Yolalah yang selalu ada disampingku, dan menguatkanku."Anak - anak sudah terlalu lama libur. Sebaiknya segera kembali bersekolah, apalagi Abang Al." Yola mengingatkan aku tentang sekolah anak - anakku. Dan, dia benar. Mereka harus bisa hidup dengan normal seperti sedia kala. "Iya, kamu benar. Semua harus dijalani, bukan untuk dihindari. Mereka harus bisa hidup normal lagi. Entah sampai kapan, aku harus membohongi mereka tentang Papanya. Tak adil rasanya, memisahkan mereka. Tapi, untuk saat ini hanya itu satu - satunya pilihan yang bisa aku ambil." Sesak kembali mendera, dibalik semua hal yang terjadi. Sikap Mas Andrian ke anak - anak memang tidak berubah. Dia te
••••Penyesalan memang selalu datang belakangan. Demikian halnya dengan yang aku rasakan sekarang. Bagaimana bisa aku membuang berlian demi batu kali. Yah, mau tidak mau aku harus setuju dengan istilah itu. Bersama Hana aku memulai semuanya dari nol, dia rela menemaniku dalam semua kondisi. Dan semuanya tak terlihat dimataku, hatiku buta oleh syahwatku.Akulah manusia bodo* itu, yang tak bisa menghargai dan menjaga sebuah ikatan perkawinan. Dengan mudahnya aku membawa wanita lain hanya demi memuaskan nafsu. Dan, saat Hana dan anak - anak meninggalkanku, baru aku rasa betapa mereka sangat berarti bagiku."Bro …." Tepukan di pundak menarik kembali sadarku. Aku sedang ada janji dengan temanku sedari kuliah dulu Reza. "Suntuk amat."Aku meraup kasar wajah, melampiaskan rasa kesal dan kecewa. Bukan pada orang lain tapi pada diriku sendiri. Diriku yang tak bersyukur memiliki keluarga yang baik. Diriku yang begitu bodoh menyia - nyiakan permata demi pecahan kaca."Ada masalah besar kayaknya?!
Telunjuk Mas Bima mengarah padaku, aku sedikit kaget sebenarnya saat mengetahui kalau ternyata dia tinggal disini juga. Bersamaan kami berjalan saling mendekat dengan senyum terkembang. "Mas disini?" tanyaku kemudian terlebih dahulu menyapa pria itu."Kamu sendiri ngapain disini?" tanya Mas Bima sambil menggiring anak-anak yang tadi menyambut kepulangannya."Hana, barusan pindah ke rumah yang di depan." Aku menunjuk rumah saudara Yola yang sekarang aku tempati dengan daguku."Oh, yah." Mas Bima manggut-manggut dengan raut wajah yang terlihat senang."Anak-anak ayok semua salim dulu sama Om," titahku pada Al, Luna, dan Kezia yang tadi ikut mengerumuni Mas Bima. Al, Luna dan juga Kezia bergantian salim pada Mas Bima sesuai dengan titahku."Kalau El, sudah kenalan sama teman-temannya belum?" Mas Bima menoleh dan bertanya pada anak laki - laki itu. El yang ditanya menjawab dengan mengangguk cepat, "Sudah salim belum sama Tante?" tanya Mas Bima lagi, kali ini El menggeleng, kemudian berjal
"Aku, ikut bersedih," ucap Mas Bima kemudian terdengar penuh rasa iba. Aku hanya tersenyum miris, dan kembali menyeka air mata yang tak mau juga berhenti."Ada yang bisa mas bantu?" tanya Mas Bima kemudian. Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mas Bima. "Mas, jangan ceritakan hal ini pada siapapun. Keluarga Hana belum Hana beritahu." Sebuah permintaan aku sampaikan pada Mas Bima."Kamu memendamnya sendiri?" tanya Mas Bima kemudian. Aku menggeleng pelan."Hana punya sahabat baik, dia yang membantu Hana selama ini, tanpanya mungkin Hana nggak bisa melewati ini semua." Aku sedang menceritakan sosok Yola yang selalu ada untukku. Tanpa dia aku tidak akan pernah sekuat ini. Aku juga tidak tau bagaimana keadaanku seandainya tidak ada dukungan dan bantuan dari Yola."Kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan. Sebisa mungkin mas pasti akan bantu," ucap Mas Bima kemudian."Makasih, Mas. Pasti akan Hana reportin suatu saat nanti. Tunggu saja, ya." Aku mencoba tertawa kecil untuk sedikit meredakan
"Hey, jaga mulut kamu. Suami temen kamu yang ngejar - ngejar aku." Raya yang sepertinya terpancing langsung menimpali. Semua pegawai yang di belakang meja hampir bersamaan langsung melihat ke arah Raya."Mbak kenapa? Orang saya lagi baca. Oh, mbak pelakor juga? makanya jadi perasaan … jadi baper? Ye kan?" Sahabatku itu menjawab sinis, Yola pura-pura tak mengenal Raya. "Hey, nggak usah pura-pura. Aku tau kalian sengaja menyindirku kan?Dengar ya, harusnya intropeksi kenapa suaminya sampai lebih milih aku." Raya terlihat emosi, suaranya meninggi dan menunjuk ke arahku. Aku masih terdiam melihat situasi sekitar. Raya memang sepertinya memiliki karakter susah mengendalikan diri."Mbak ada masalah apa apa dengan saya? kok bawa-bawa saya. Main tunjuk aja." Aku ikut melanjutkan sandiwara Yola."Hahaha, sudah gila kalian, sampai nggak ngenalin aku," sambung Raya tertawa sumbang.Yola melihat ke arahku, aku mengangkat bahu masih pura pura tak paham. Semua pegawai masih memperhatikan kami, denga
"Pikirkan baik-baik," ucap Yola lagi.Pembicaraan kami terjeda saat pesanan kami diantarkan ke meja. Sambil menunggu Yola mulai memindahkan semangkuk bubur dihadapannya kedalam perut. Tepat dia selesai makan Kakak Yola, Bang Faiz datang bersama temannya."Lamanya, Abang." Yola menyambut Abangnya dengan bibir manyunnya."Macet," jawab Bang Faiz kemudian."Mana ada macet jam segini." Bang Faiz hanya tertawa mendengar bantahan adiknya."Kenalin teman Abang." Bang Faiz menepuk lengan pria disampingnya. "Pasti nggak ingat ya? Sama aku." Pria itu tersenyum padaku, aku memang merasa tak asing, tapi, aku juga tak mengingatnya."Seperti tidak asing, hanya saja aku benar-benar lupa," ucapku jujur. Pria itu tertawa memperlihatkan lesung pipi, benar saja aku ingat lesung pipi itu. Tapi, siapa ..."Dirga … mulai ingat?" Sepasang alis tebal itu terangkat. Dan, aku mulai mengingatnya. "Kak Awan Dirgantara … Ketua Hima Fakultas Hukum tahun dua ribu sepuluh!" Pria itu kembali tertawa. "Apa kabar?"Ak
Siang ini jadwal anak-anak les musik, aku tetap mempertahankan seperti sebelumnya. Segala hal menyangkut anak-anak selalu aku utamakan. Yola sedang ada tamu, Keiza dia titipkan padaku.Biasanya aku pulang untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya saja sekarang kondisinya sudah berbeda. Tak ada lagi yang harus aku siapkan keperluanya. Masak makan malam dan lain sebagainya. Sekarang hanya mengurus anak-anak dan segala keperluannya.Aku sengaja menunggu di mobil sambil mendengarkan lagu-lagu sendu yang sesuai dengan suasana hatiku. Menyandarkan tubuh lelahku, memejamkan mata menikmati alunan lagu yang mendayu. Syair yang terdengar sangat pas dengan keadaan yang sedang aku alami.Sebuah ketukan dikaca mobil mengagetkanku, memaksa mata lelahku terbuka. Dadaku berdebar seketika, Mas Andrian yang mengetuk pintu kaca jendela mobil. Sebuah pertemuan yang sungguh tak ingini dan tak kuharapkan.Mas Andrian kembali mengetuk kaca jendela disampingku. Kedua tangannya menangkup di depan dada. Sebuah i