Share

Bab 4 Ada Apa dengan Raya

Bahkan, aku lihat Hana makan, makanan yang sama persis dengan Raya. Dan, Hana terlihat baik - baik saja. Tuduhan Raya tak memiliki dasar. Bisa saja dia salah makan tadi siang sebelum berangkat kesini.

"Gimana?" tanya Hana yang baru datang dengan segelas air putih dan sebuah bungkusan kecil

"Masih di kamar mandi." Aku menjawab.

"Ini obatnya?" tanyaku pada Hana sambil menunjuk bungkusan di tangannya.

"Iya, tapi …." Hana tak meneruskan kalimatnya.

"Tapi, kenapa?" Aku mengernyitkan dahi.

"Ada efek sampingnya. Untuk sebagian orang bisa bikin gatel - gatel. Bentol seluruh badan. Tapi, nggak semua orang." Hana menjelaskan.

Hana baru selesai menjelaskan, ketika Raya keluar. Wajahnya terlihat pucat.

"Ini obatnya?" Raya langsung mengambil gelas dan bungkusan kecil ditangan Hana.

"Tapi, Mbak itu ada efek sampi …." Hana belum selesai bicara Raya sudah menegaknya.

Hana hanya terdiam melihat Raya, bahunya sedikit terangkat. Dia kemudian mengambil kembali gelas kosong yang Raya sodorkan padanya.

"Ya … sudah. Mbak Raya istirahat saja," ucap Hana kemudian, "Ayok, Mas!"

Hana mengapit tanganku, terlihat tatapan tidak suka dari Raya. Untung Hana tak melihatnya. Aku dan Hana beranjak keluar dari kamar Raya.

Aku melirik Hana yang tiba - tiba terlihat gusar. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Ada apa?" Tanyaku.

"Hana kepikiran, kalau sampai Mbak Raya alergi gimana? Tapi, Hana ga ada obat lain. Kalau ke Hana sih, nggak ngefek apa - apa."

Aku mengaruk kepala yang tak gatal. Tak bisa menimpali apa - apa. Semoga saja tidak berefek apa - apa pada Raya. Kalaupun ada efeknya, mungkin lebih baik daripada dia bolak balik ke kamar mandi.

"Hana taruk gelas dulu," ucap Hana melepas pegangannya padaku. Hana beranjak berjalan ke arah dapur, aku langsung menuju ke kamar.

Sepertinya malam ini rencanaku dan Raya bakal gagal. Aku menarik napas dalam, bayangan Raya dengan lingerie barunya bergerak liar diotakku. Sial … pake acara sakit perut segala. Ada hasrat yang harus disalurkan atau sakit kepala menderaku besok.

Terdengar pintu berderit, Hana masuk dan kembali menutup pintu. Cukup lama aku tak menyentuhnya, dia juga tak pernah meminta. Aku mengamati langkahnya, Hana lebih tinggi dibanding Raya. Bentuk tubuh Hana lebih bagus. Hanya saja Raya memiliki aset yang lebih besar. Raya juga lebih agresif dan panas.

Hana berjalan ke kamar mandi, setelah beberapa saat dia keluar. Rambut sebahu yang biasa diikat, tampak Hana gerai. Hana tak memakai baju tidur panjang seperti biasanya. Mini daster dengan potongan di atas lutut dan kerutan di dada dia kenakan. Dada atasnya nampak terbuka begitu juga punggung atasnya.

"Sayang," panggiku pada Hana, dia nampak terkejut. Ya, cukup lama aku tak memanggilnya dengan panggilan itu.

Perasaanku saja, atau memang Hana tampil berbeda malam ini. Dia terlihat begitu menggoda dengan baju yang dikenakannya. Atau, karena aku sudah ON duluan akibat ulah Raya tadi. Entahlah, yang jelas aku syahwat ini harus tersalurkan.

Hana sedang di depan cermin, setelah mengoleskan tipis sebuah krim di wajahnya. Tanganku menyusup merengkuh pinggangnya. Terlihat ekspresi kagetnya di cermin saat aku memeluknya dari belakang. Begitu juga saat aku menyapu pelan leher putihnya, Hana memejamkan mata.

Akun membalikkan tubuh Hana hingga kami berhadapan, segera aku bekap bibirnya yang setengah terbuka dengan bagian yang sama.

Malam ini aku merasa Hana berbeda, dia membalasku, bahkan terlihat menuntut meski tanpa kata. Apa karena cukup lama dia tak merasakannya.

"Mas, mau …." Tak aku teruskan kalimatku, Hana sudah paham. Senyum tipis menghias bibit istriku. Aku benar malam ini dia berbeda, dan aku suka.

"Mas, ke kamar mandi dulu," pamitku sambil mengecup sekilas lengkung sabitnya.

Aku bergegas ke kamar mandi, membersihkan muka dan gosok gigi. Dengan cepat aku kembali, Tapi ….

"Jangan diminum!" seruku pada Hana, dia tampak terkejut dan bingung melihatku.

"Kenapa?" tanya Hana bingung. Aku terdiam, mana mungkin aku bilang kalau aku memasukkan obat tidur kedalam minumannya.

Aku berjalan pelan ke arah Hana, minuman di wadah berwarna biru itu telah tandas. Yang tersisa hanya potongan jeruk di dalamnya.

"Kenapa?" Kembali Hana bertanya, aku hanya menggeleng.

Bener saja, mata Hana berkejab beberapa kali, dan juga menguap. Sepertinya obat tidur itu telah bereaksi padanya. Hana sedikit terhuyung berjalan ke arah ranjang. Sesampainya di ranjang, Hana menghempaskan boboh tubuhnya ke atas kasur. Hana tertidur …

Aku meremas rambutku kasar, malam ini kenapa aku begitu sial …

▪•▪

"Mas … bangun … Mas." Aku membuka sedikit mata, wajah Hana tepat di atasku. Aku kembali menutup mata karena kantuk. Hana menggoyang lenganku, malas aku membuka mata sebenarnya.

"Apa?" tanyaku kemudian.

"Mbak Raya, nangis," jawab Hana kemudian. Aku paksakan untuk mengumpulkan kesadaran dan bangun dari tidurku.

"Nangis gimana?"

Hana tak menjawab, hanya menarikku turun dari atas ranjang. Dari sini sudah terdengar suara orang menangis. Aku menajamkan telinga. Benar suara tangisan dari arah kamar Raya. Aku mengerjap untuk membuka lebar mata.

"Hu u u u … hiks hiks …." Mataku kembali mengerjap berulang, memastikan apa yang aku lihat.

Raya hanya menatapku dalam tangisnya. Kulit putih mulusnya terlihat memerah, dan bentol - bentol. Wajah mulusnya bengkak dan memerah, bibir sensualnya dower seperti habis digigit lebah. Apa yang terjadi dengannya.

"Mbak, rasanya gimana?" Hana bertanya pelan.

"Panas … gatal." Raya menggaruk kencang tubuhnya hingga semakin merah.

"Mas, gimana ini?" Wajah Hana terlihat panik.

"Mas juga bingung, apa dibawa kerumah sakit saja?" Aku melihat ke arah Hana.

"Nggak … nggak …" Raya menolah usulan.

Dia terus menggaruk tubuhnya sambil menangis.

"Mbak Raya, punya alergi?" tanya Hana lagi.

"Haduhh, kenapa tanya melulu, sih." Raya berteriak ke arah Hana. Wajah Hana terlihat terkejut, mata beningnya tampak berkaca - kaca.

"Cuma tanya." Hana berucap lirih.

"Ini sakit, malah ditanya - tanya." Raya terlihat tak bisa menahan emosi. Hana terdiam, melihat itu kenapa aku merasa tak rela.

"Raya, tak seharusnya bicara kasar seperti itu." Aku memperingatkan Raya, Hana beranjak keluar dengan langkah cepat. Aku mengejarnya.

"Hana …." Aku memanggil namanya, Hana berhenti. Dia menangis, ada apa dengan Raya? bod*h sekali. Seharusnya dia bisa menahan diri. Dengan bersikap seperti itu yang aku takutkan malah membuat Hana curiga.

"Hana, cuma mau bantu," ucap Hana kemudian. Wajah Hana terlihat sedih dan ini bukan hal yang baik.

"Iya, mas ngerti," ucapku mencoba menenangkannya. Hana hanya terdiam tak menimpali lagi ucapanku.

Aku memang menginginkan Raya, tapi, bukan berarti dia bisa memperlakukan Hana seperti ini. Aku menginginkan mereka berdua, untuk melengkapi hidupku.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status