Share

Bab 5 Sikap Aneh Raya

"Hana mau siapin, Abang Al dulu," ucap Hana kemudian. Aku hanya mengangguk dan membiarkannya berlalu. Anakku yang paling besar sudah TK kecil dan Luna juga sudah ikut Play Group.

Aku bergegas ke kamar Raya, dia pasti marah padaku, karena aku membela Hana barusan. Tapi, tidak mungkin juga aku bisa membela Raya di depan Hana. Yang ada hanya akan menambah masalah saja.

"Raya," panggilku sesampainya kembali di kamar istri keduaku itu.

"Mas jahat," tangisnya di sela tangannya yang terus menggaruk tubuhnya.

"Sayang, jangan membuat Hana curiga." Alasanku. "Kita ke dokter," ucapku kemudian.

"Nggak mau." Raya bersikukuh menolak.

"Lihat dirimu, itu terlihat parah." Bekas garukannya semakin memerah, bahkan karena terlalu kencangnya dia menggaruk terlihat lecet.

"Mas belikan saja, obat alergi di apotik," pinta Raya, lalu menyebutkan sebuah merk obat.

Raya mengaku alergi dingin, badannya akan bentol - bentol kalau udara dingin. Karena itu mungkin reaksi obat sakit perut dari Hana, membuat Raya seperti ini.

"Mas, mau mandi dulu. Nanti mas belikan obat," ucapku kemudian.

"Sekarang, sudah nggak tahan, Mas." Raya merengek. Aku mengangguk mengiyakan, tak tega melihatnya seperti itu.

Aku segera beranjak keluar dari kamar Raya, dan kembali ke kamarku sendiri. Di depan perumahan ada apotik 24 jam yang buka. Segera aku ambil dompet dan mencari kunci motor.

"Hana, kunci motor dimana ya?" tanyaku saat aku tak berhasil menemukan kunci motor yang biasa Hana pakai itu.

"Mas, mau kemana?" tanya Hana sambil berjalan ke arah kulkas.

"Beli obat untuk Raya," jawabku. Langkah Hana terhenti, kemudian membalikkan badan melihat ke arahku dengan kening berkerut.

"Mas, perhatian sekali?" Hana menatapku curiga . Aku menahan napas, memikirkan jawaban yang membuatnya tak semqkin curiga.

"Ya, mau gimana lagi, mas kasihan saja. Lagian dia tamu kita, adik temanku, nggak enak kalau sampai ada apa - apa." Aku beralasan.

"Hanya sebatas itu?" Hana masih menatapku. Aku mendekat ke arahnya.

"Iya, Sayang. Sebatas kasihan, dan tanggung jawab sama temanku saja," bohongku pada Hana, kuraih pinggangnya, dan melingkarkan tanganku di sana.

"Raya kan cantik, muda, seksi itunya gede. Setiap laki - laki pasti berhasrat." Hana memainkan bibirnya. Dia benar, apa yang dia katakan benar. Merasa bersalah juga, tapi … aku hanya mengikuti takdirku. Dan sekarang aku ditakdirkan memiliki keduanya dalam hidupku.

"Jangan cemburu, mas hanya menganggap dia tamu." Aku kembali beralasan.

"Benar?" Hana melingkarkan tangannya di leherku. Lama sekali sudah aku tak mendapati sikapnya seperti ini. "Hana takut," ucapnya lirih.

Kening kami beradu, aku membekap bibir setengah terbuka milik Hana, dan dia membalasnya. Badanku langsung menegang seketika.

"Mas …."

Aku dan Hana menoleh seketika saat melihat Raya sudah berada di ruang makan, entah sejak kapan dia berdiri disana.

"Perlu apa?" tanya Hana seketika. Bukannya menjawab Raya malah balik badan dan berlari kembali ke kamarnya. Aku sudah hendak mengejarnya.

"Kok gitu?" Hana bertanya padaku dengan wajah bingung. Aku urungkan niatku mengejar Raya. Bahuku terangkat sebagai jawaban dari pertanyaan Hana.

"Mas, apa dia punya masalah?" tanya Hana tanpa melepas rangkulan tangannya di leherku.

"Maksudnya?" tanyaku pada Hana, bingung.

"Seperti orang depresi, ditanya marah - marah, sekarang lihat kita gini, kayak orang cemburu gitu." Hana menyipitkan matanya, dahinya berkerut, memikirkan sesuatu.

Gawat kalau sampai Hana tau, Raya memang tak bisa mengendalikan sikapnya. Wajar kalau Hana curiga. Tapi, aku tau Hana hanya menduga - duga saja.

"Sudahlah, perasaan Hana saja. Kunci motor di samping kulkas. Hana menyiapkan bekal Abang dulu." Hana melepaskan tangannya dariku. Dan, ucapannya membuatku lega.

▪•

Konsentrasiku benar - benar berantakan, pesan dan panggilan dari Raya tak berhenti menerorku. Aku sedang banyak pekerjaan sengaja aku mensenyapkan panggilan. Ada meeting dengan bawahanku juga.

"Papa …." Aku baru selesai meeting dan akan beristirahat makan siang. Baru juga akan menghubungi Raya ketika Luna dan Hana datang ke kantor.

"Tadi lewat pas mau beli kado, minta mampir ke Papa katanya," jelas Hana sambil meletakkan sebuah bungkusan di meja kerjaku.

"Papa, Liana ulang tahun. Tadi Luna belikan boneka buat Liana," cerita Luna yang sekarang duduk di pangkuanku.

"Abang, belum pulang?" tanyaku pada Hana.

"Abang ada tambahan sampai setengah dua." Hana menjawab.

"Mas belum makan kan? Hana dibawain paket gudeg sama Mila, tester katanya. Tapi, banyak banget. Mas kan paling suka sama gudeg." Dengan senyum lebar, Hana membuka sedikit bungkusan yang tadi diletakkannya di meja. Kemudian memperlihatkan padaku.

"Aku siapin di ruangan sebelah ya?!" Hana beranjak membawa kembali bungkusan gudeg itu keluar. Memang ada ruangan khusus untuk makan, yang terletak disamping pantry. Aku berdiri menggendong Luna dan beranjak keluar.

"Wah, Luna sudah besar sekarang. Cantiknya …."

Aku membawa Luna kedepan, semua karyawan, terutama perempuan memuji Luna. Kedua anakku memang memiliki paras yang rupawan.

"Pak, dipanggil Ibu. Makannya sudah siap." Roni, OB di kantor ini menghampiriku, membawa pesan dari Hana. Aku segera menuntun Luna menuju ke ruang belakang. Hana sudah menyiapkan peralatan makan dan juga minuman.

Gudeg memang makanan favoritku, dan makanan yang Hana bawa sekarang rasanya sangat enak.

Sepanjang waktu istirahat, aku bersama Hana dan Luna. Jam satu lebih, baru Hana meninggalkan kantor karena Abang Al sudah waktunya dijemput. Aku terlalu asyik dengan Ibu dan anak itu sampai melupakan sesuatu.

Raya ….

Entah berapa pesan dan panggilan di ponsel yang sengaja aku masukkan ke dalam laci. Aku memang memiliki dua ponsel, untuk pribadi dan pekerjaan.

Aku baru akan menghubunginya saat ponselku satunya berdering. Panggilan dari manajer area. Kembali aku urungkan niatku menelpon Raya.

Pak Bima, manager area yang baru, meminta beberapa laporan cabang. Kepalaku langsung berdenyut, aku belum menyelesaikannya. Dia juga meminta hasil meeting dengan perusahaan pembiayaan beberapa waktu yang lalu. Aku terlalu sibuk dengan Raya, sewaktu meeting kala itu. Mana aku sempat membuat laporan.

Aku meminta padanya waktu satu minggu ini untuk menyelesaikannya. Kepalaku semakin pusing saat ponsel pribadiku kembali berpedar. Aku abaikan panggilan Raya, dari pada aku emosi saat mengangkatnya.

▪•▪

Hana tak ada dirumah saat aku datang, dia menemani Luna, menghadiri acara ulang tahun Liana teman Luna. Ini kesempatanku bisa bicara dengan Raya.

Langkah aku percepat menuju kamar tamu, yang sekarang Raya tempati. Aku mendorong pintu kamar yang tidak terkunci itu. Tak ada Raya di atas ranjang. Tapi, terdengar suara air di kamar mandi.

Tak berapa lama Raya keluar, kondisinya masih sama seperti sewaktu aku tinggal tadi pagi. Dia menatapku kesal, tak mengindahkan kehadiranku.

"Ngapain Mas disini?"

Benar, dia marah.

"Maafkan mas, mas sibuk seharian." Aku memberi penjelasan.

"Sibuk dengan Hana, makan - makan, mesra - mesraan." Raya berteriak.

"Dari mana tau, Hana ke kantor?" tanyaku heran.

"Nggak penting, darimana aku tau. Sakit hati Raya mas, aku kelaparan di sini, kalian enak - enakan makan." Raya menangis.

"Kenapa nggak makan? kan bisa ambil sendiri di dapur."

"Mau makan apa? Istri mas nggak kasih makan apa - apa. Aku kelaparan, hanya minum air doang. Lihat aja sendiri." Tangis Raya semakin kencang sambil masih menggaruk beberapa bagian tubuhnya.

Tidak mungkin kalau Hana tak menyiapkan makanan. Raya sendiri yang tadi menolak sarapan.

"Aduh …." Raya terlihat memegangi perutnya.

"Kenapa?" tanyaku. Dia tak menjawab dan langsung berlari ke arah kamar mandi. Apa dia sakit perut lagi?

Aku beranjak keluar dari kamar Raya, menuju meja makan. Ada satu set wadah berwarna hijau tersusun di meja lengkap dengan tutupnya. Satu persatu aku membukanya. Ada Ayam masak kecap dan beberapa masakan lainnya.

Ada apa dengan Raya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rahmawati
spooky....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status