"Sarah! Jangan keterlaluan kamu," ucap Nesya tak terima ibunya diperlakukan seperti itu.Sedangkan ibunya Nesya mengangkat sedikit kepalanya, tak percaya Sarah benar-benar menanggapinya omongannya."Aku hanya ingin melihat sebesar apa pengorbanan seorang ibu.""Sarah! Kamu benar-benar sudah tidak punya hati," ucap Maya melihat Sarah yang tampak serius dengan ucapannya."Sarah, jangan lakukan itu. Kakak tidak suka dengan caramu yang seperti ini. Semuanya telah terjadi, kamu harus bisa menerimanya," ucap Siska, kakak iparnya. sedari tadi diam sambil mengelus-elus perutnya yang mulai membuncit.Sarah terkekeh. Semua orang memojokkannya seakan-akan dialah yang paling bersalah."Jika memang Fandi tidak mau bertanggung jawab, maka aku akan melaporkannya ke polisi," ucap ibu Nesya seraya bangkit dari tempatnya.Wajah Maya mendadak pucat, "Jangan Jeng, kita harus selesaikan masalah ini dengan baik-baik. Saya sendiri yang akan pastikan Fandi dan Nesya akan segera menikah," ucap Maya mencoba mey
Sinar matahari pagi menerpa wajah Sarah yang masih terbalut selimut. Merasa silau, Sarah mengucek matanya lalu menggeliat.Mengingat kejadian malam tadi senyuman diwajahnya mengembang, "Apa kabar suamiku? Sudah mengerangkah kau di sana?" Setelah bersih-bersih badannya terasa lebih segar, sudah terlihat rapi dengan setelannya, Sarah pun keluar menuju meja makan. Tak lupa sedikit menoleh ke ruang keluarga."Kemana jasadnya? Menghilangkah? Ah, lupakan saja. Lebih cepat menghilang itu lebih baik."Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini Sarah merasa sedikit lebih enteng. Sarapannya sudah tersedia di atas meja, rumah sudah terlihat rapi dan bersih tanpa ia kerjakan.Seorang wanita paruh baya menghampirinya dengan wajah kaku. Sarah mengembangkan senyum dan menyapanya."Selamat pagi, Oh. Ya, kita belum berkenalan. Namaku Sarah." Sarah mengulurkan tangannya. Melihat hal demikian, wanita itu langsung mengelap tangannya masih basah dengan celemek lalu menyambut tangan Sarah."Saya Jumiatu
*Sementara di tempat lain Dian baru membuka ponselnya dan membaca pesan dari Sarah."Penderitaanmu berakhir cukup sampai disini. Karena Sarah sudah memintaku untuk mengembalikanmu kepada orangtuamu," ucap Dian memandang ke arah Karin yang terikat di atas kursi.Kondisinya sangat mengenaskan, tubuhnya semakin mengurus, tidak dapat bergerak, air mata tak lagi mau mengalir. Tapi tadi pagi Karin mengalami sedikit perubahan mulutnya sudah bisa digerakkan dan berbicara walaupun setiap kalimatnya belum bisa dimengerti.Dian mengemaskan semua barang-barang milik Karin, sampai dirinya menemukan satu foto yang membuat dadanya menjadi sesak, detak jantungnya tak beraturan. Bayangan masalalu kembali menghiasi pikirannya.'Bagaimana bisa foto perempuan laknat ini bisa berada di dalam dompet Karin? Apa wanita ini adalah ibunya?" Dian menatap wajah Karin dengan sinis. Perlahan dia melangkah mendekati Karin."Jelaskan padaku, siapa perempuan ini?" Dian mencengkeram pipi Karin, "Cepat jawab!""Iii ..
Seperti yang sudah mereka janjikan, hari ini Dian dan Sarah pergi ke sebuah cafe untuk menemui seseorang."Mbak Dian, aku membutuhkan orang yang benar-benar bisa di percaya," ucap Sarah saat mereka sudah dekat."Kamu tenang saja Sarah, teman mbak yang namanya Dewi, dia sangat mengagungkan uang. Dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rupiah.""Apa mbak sudah bilang sama dia, kalau aku akan membayar upah dengan jumlah besar.""Sudah, dia sangat tertarik sekali," jawab Dian memberhentikan mobilnya di area parkiran.Mereka melangkah masuk ke dalam cafe, terlihat seorang wanita melambaikan tangan ke arah mereka."Nah, itu dia orangnya," ucap Dian sembari mengajak Sarah menghampirinya."Hai ... Dewi, apa kabar," sapa Dian sambil cipika-cipiki."Kabar baik," jawabnya lembut."Eh, kenalin ini Sarah, yang aku ceritakan kemarin." Keduanya saling memperkenalkan diri.Senyuman sarah mengembang setelah memerhatikan Dewi dengan teliti, bisa dikatakan wanita itu nyaris sempurna. Penampilannya
Fandi terdiam sejenak, dia akui Sarah memang wanita yang tangguh. Karena ketangguhannya Fandi merasa insecure sebagai suaminya. Egonya tersinggung sebagai laki-laki.Sarah sulit untuk ditaklukkan, dan lebih mendominasi dalam rumah tangga mereka. Dia selalu memimpin segala hal, dan Fandi nyaris selalu menjadi pecundang dalam segalanya.Hanya jabatannya lah yang bisa ia banggakan selama ini. Dan itu pun sudah dirampas oleh Sarah."Apa setelah uangmu kembali, kamu mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku?" tanya Fandi penuh harap."Kita lihat nanti saja," jawab Sarah memalingkan wajahnya. Dirinya enggan berlama-lama menatap orang yang tidak punya rasa malu itu."Oke! Aku akan bayar secepatnya." Usai berkata begitu, Fandi langsung keluar dari ruangannya Sarah.Terdengar gumam tawa bercampur cemoohan, saat ia melewati karyawan lain yang menyaksikan bagaimana dirinya dipermalukan barusan."Diam! Akan ku catat wajah-wajah kalian yang telah berani menertawai ku. Ingat! Aku akan balas setelah j
"Masalah?""Ya, perusahaan ini awalnya milik ayah dan ibu kandung saya. Setelah ibu meninggal, ayak menikah lagi dengan janda anak satu. Dan tak lama kemudian ayah sakit sehingga ibu dan kakak tiri saya yang meneruskannya. Saya disuruh bersekolah diluar negeri untuk mengejar cita-cita yang diinginkan ibu ." Dokter Zain menjeda ucapannya."Sebelum meninggal ayah menuliskan surat wasiat, perusahaan ini belum bisa jadi milikku kalau aku belum menikah. Dan melihat kondisimu kemarin, aku baru mengerti kalau dulu ayah juga di berikan obat oleh ibu tiri saya."Terlihat jelas dari raut wajah dokter Zain, ada kebencian yang mendalam dimatanya saat menceritakan kisah ini."Lalu apa hubungannya dengan kerjasama perusahaan kita?" tanya Sarah setelah cukup lama terdiam.Dokter Zain terlihat gugup, kemudian menarik napas sebelum berbicara."Sarah, mohon maaf sebelumnya, apakah benar yang dikatakan pak Anwar kalau kamu sudah menggugat cerai suamimu?" Sarah cukup terkejut mendengar pertanyaan dokter
Maya mengambil foto yang terjatuh, matanya membulat seketika. Berkali-kali mengucek matanya tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Kurang ajar! Dasar tak tahu diri," pekik Maya dengan kemarahan yang sangat membara.melihat Siska terdiam dengan tangan yang masih bergetar, Maya mengusap punggung anak sulungnya itu."Ada apa ini?" tanya Fandi baru datang bersama Nesya, mendapati kakaknya bercucuran air mata.Fandi menatap ibu dan kakaknya bergantian, sorot matanya meminta penjelasan. Namun keduanya masih membungkam.Nesya pun ikut duduk dan memeluk Siska, meski wajahnya menunjukkan ekspresi kebingungan.Pandangannya tertuju pada foto yang berserak dilantai. Matanya menyipit memastikan penglihatannya."Nes, telpon bajingan itu! Suruh dia pulang sekarang juga," perintah Siska dengan isak tangis yang menyayat hati."I—iya kak," ucap mengotak-atik ponsel Siska lalu menempelkan ponsel ke telinganya.Fandi tertegun memandang Siska, sesakit itukah dikhianati? Matanya ikut memanas melihat hal i
"Hentikan!" Teriak Andi menghentakkan tangan Siska."Kurang ajar kamu Andi, berani-beraninya kamu menyakiti hati anak saya!" teriak Maya yang baru saja datang dari belakang."Sudah Ma, kita selesaikan ini dengan baik-baik." Fandi menahan Maya yang hendak ikut menyerang Andi.Semuanya kini telah duduk diatas sofa, Andi duduk hadapan dengan Siska yang masih nangis sesenggukan."Apa semua ini, Mas? Apa kurangnya aku sehingga kamu tega sama aku?" tanya Siska sembari menunjukkan foto-foto kemarin."Kebetulan semuanya sudah tahu, tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Agar tidak menjadi dosa, aku akan segera menikahi Dewi.""Tidak! Aku tidak mau berbagi, lebih baik kita bercerai saja," sengit Siska."Setan alas! Tidak tahu diuntung kamu Andi, selama ini kurang baik apa kami sama kamu," sergah Maya."Kenapa? Bukankah selama ini mama selalu bilang, agama tidak pernah melarang poligami. Bukan begitu Fandi?" Andi melontarkan pertanyaannya sambil menatap lekat pada Fandi.Fandi yang sedari tadi