Aku membalikkan badan. Wanita perebut ayahku, dan juga Maurin, mereka sangat keterlaluan.
“Apa-apaan ini? Kenapa kalian menyiramku?” tanyaku, emosi dibuatnya. Susan melempar ember kosong ke arahku. “Kenapa? Mau marah? Dengar baik-baik, Ariana. Andra itu sudah memutuskan memilih Maurin. Jadi, kamu terima saja nasib kamu. Jangan sok-sokan mau menjatuhkan Maurin di hadapan keluarganya, karena bagaimana pun, Maurin jauh lebih sempurna daripada kamu yang buluk ini,” cetus Susan. Menghina fisikku yang tidak sempurna ini. Memang, ibu tiri yang jahat itu ternyata bukan sekedar hanya ada di negeri dongeng saja. Di dunia nyata pun ada. Aku pun merasakannya. Hingga aku sempat berpikir jika aku mati mungkin lebih baik. “Aku cuma nanya resep tempe goreng. Katanya pintar masak, masa resep tempe goreng saja tidak tahu. Payah,” ujarku. “Aw!” Aku memekik kesakitan, saat rambutku dijambak oleh Maurin. “Dengar, ya! Kau terima saja kekalahanmu. Kau bukan tandinganku,” bisik Maurin. Aku memberontak, sehingga Maurin melepaskan jambakannya pada rambutku. Kedua wanita perebut itu keluar dari kamarku. Rasa dingin menyergap seluruh tubuh. Aku terpaksa harus membersihkan kamarku malam-malam begini. Damn! Mereka sangat keterlaluan. Aku pun tertidur setelah membersihkan kamarku. Membawa luka hati akibat harapan yang tak tercapai. Memang benar, jangan berharap pada manusia, jika kau tidak ingin kecewa. Keesokan paginya, aku telah berada di kantor. Tak seperti biasanya, rasa malas kini menyergapku. Tidak ada semangat sama sekali. Beberapa kali aku harus melihat kebersamaan Maurin dan Andra di depan mata. Jelas itu sangat menyakitkan buatku. Aaargh! Ingin rasanya aku pergi dari kehidupan ini, dan bereinkarnasi ke tubuh seorang putri raja yang sangat cantik. Memiliki wajah yang tidak cantik, ini merupakan musibah buatku. “Mau kopi?” tawar seseorang, saat jariku tengah sibuk menari-nari di atas keyboard. Aku mengangkat kepalaku, melihat siapa yang menawariku kopi. Oh my God, Jeje si lelaki tampan temannya Andra. Dia tersenyum manis ke arahku? Dia berdiri di luar penyekat tempatku bekerja. “Oh thanks,” ucapku, seraya mengambil secangkir kopi dari tangannya. Aku meneguk sedikit kopi itu. Cukup segar, lumayan membuat semangatku bangkit lagi untuk bekerja, walau pun tipis. Jeje masih berdiri di hadapanku. Tersenyum dengan tatapan tak beralih sedikit pun dari wajahku. Ada apa dengan wajahku? Oh God, jangan bikin aku salah tingkah, Je. Cintaku hanya untuk Andra, walau pun harus kandas. “Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?” tanyaku. Jeje mengedikan kepalanya, lantas mendekat ke arahku. “Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu. Apa kamu ada waktu?” tanya Jeje. Aku mengangkat kedua alisku. “Bicaralah, pekerjaanku tidak terlalu banyak.” Jeje semakin mendekat, aroma parfumnya menguar memasuki indra penciumanku. “Apakah Maurin sudah memiliki pacar?” tanya Jeje. Oh shit! Aku kira dia mau membicarakan apa. Maurin, Maurin, Maurin! Di belahan dunia ini masih banyak wanita yang lebih cantik daripada Maurin. Kenapa harus wanita itu yang Jeje tanyakan? “Sudah, dia sudah dilamar,” jawabku, malas untuk berpanjang lebar dengannya. “Oh, sama siapa? Baru dilamar, kan, belum dinikahi?” tanyanya. Oh Tuhan … aku benar-benar ingin menghilang saja dari bumi ini. Mendengar nama Maurin, rasanya aku mual, ingin muntah. “Kau tidak tahu siapa yang melamar Maurin semalam? Payah!” celetukku. Jeje mengernyitkan dahinya. Apakah dia tersinggung dengan ucapanku? Masa bodoh. “Tidak, memangnya siapa?” tanya Jeje. Aku mengangkat kepalaku, menatap lekat ke arah Jeje. “Andra!” “Apa?!” Suara Jeje terdengar lantang. Membuat perhatian orang-orang teralih padanya. “Oh, sorry!” ucap Jeje pada semua orang. “Masa, sih? Andra kan pacar kamu, kenapa bisa dia melamar Maurin?” tanya Jeje, suaranya berubah rendah. “Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini. Sudah-sudah, aku malas membahasnya. Aku mau lanjut kerja!” usirku. Jengah rasanya, ingin menghirup udara segar tanpa mendengar nama Maurin yang selalu disebut. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Jeje pun pergi dari hadapanku. Cukup bisa bernapas, aku meraup oksigen cukup panjang. Sore hari aku bersiap untuk pulang. Pemandangan yang menyebalkan. Di parkiran, aku melihat Andra membukakan pintu mobil untuk Maurin? Biasanya aku yang selalu diperlakukan seperti itu. Hari ini aku terpaksa membawa motor sendiri. Menjadi jomblo … rasanya sangat nano-nano. “Mun panas … kapanasan. Mun hujan … kahujanan!” Untuk mengusir rasa bosanku, aku bernyanyi sambil mengemudikan motorku. Sedih, apakah menjadi jomblo karatan sengenes ini? Setibanya aku di depan rumah, aku langsung memarkirkan motorku. Ada yang aneh. Namun, aku bingung dengan situasi ini. Melihat kedatanganku, Susan berhambur mendekat. Tersenyum lebar seperti habis mendapatkan lotre. Apakah dia sedang kesurupan? “Ariana, kamu sudah pulang, Sayang?” sapanya. Aku mengernyitkan dahiku, ada apa ini? Tidak ada angin, tidak ada hujan, Susan berubah manis padaku? Oh my God, apakah aku sedang bermimpi? “Ada apa?” tanyaku. “Tidak apa-apa, sebaiknya kita masuk dulu, yuk! Aku sudah membuatkan makanan lezat buat kamu. Kamu pasti lelah dan lapar, kan?” Susan menarik tanganku ke dalam rumah. “Kau sehat?” tanyaku. “Maksud kamu?” tanya Susan. “Kau … aaaaargh, nggak jadi. Tapi … tunggu-tunggu, kau menaruh racun, ya, ke makanan ini? Kau menginginkanku mati?” Aku berasumsi liar. Aku rasa … jika orang lain berada di posisiku, akan mengira hal yang sama. “Kau menuduhku? Lihat aku!” Susan mencomot sedikit makanan dari piringku lalu memakannya. “Lihat, aku tidak mati. Aku baik-baik saja!” serunya. Setelah memastikan keadaan Susan aman. Barulah aku berani menyantapnya. Namun, rasa aneh ini masih menghantui. Kenapa dengan Susan? Apakah dia jatuh dari pohon kencur dan … dia amnesia? Terdengar pintu dibuka, muncul ayah sambil menenteng sebuah paper bag. “Ariana, syukurlah kau sudah pulang. Ayah baru saja membeli gaun untuk kamu. Ayah harap kamu suka! Nanti malam kamu pakai, ya! Ibu kamu akan merias kamu secantik mungkin,” imbuh ayah. Tunggu-tunggu, ada apa ini sebenarnya? Kedua sejoli ini berubah manis padaku? Aku rasa mereka berdua amnesia. “Tumben, ada acara apa?” tanyaku. “Kau pakai saja dulu, nanti kami beritahu kamu,” jawab ayah. Oh, ya … ya … ya! Mereka mau main rahasia-rahasiaan? Oke aku ikuti keinginan mereka. “Oke!” Menjelang malam, aku telah mengenakan gaun. Sangat indah, bahkan ini gaun terindah yang aku miliki. Kini Susan tengah merias wajahku. “Sudah beres, Bu? Tamu kita sudah datang,” ujar Maurin. What? Tamu? “Ada apa ini?” tanyaku tidak mengerti. Tak ada jawaban sama sekali. Yang ada kedua wanita perebut itu hanya saling melempar senyum. “Nah, sudah selesai. Kau sangat cantik. Sebaiknya kita keluar, mereka sedang menunggumu!” ajak Susan. Aku tidak paham, mereka benar-benar main rahasia di belakangku. Aku dituntun keluar dari kamar. Di ruang tamu, aku melihat sekitar 3 orang tamu laki-laki sedang duduk. Salah satunya ada lelaki muda berparas tampan. “Nah, ini dia putri kami, Ariana, calon istrimu!”Apa? Dia menyebut namaku? Apakah aku tidak salah dengar? Siapa dia? Kenapa dia bisa tahu namaku? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak.Dia tiba-tiba tersenyum padaku, seperti telah lama mengenalku. Namun, aku tidak mengenal siapa dirinya. Bahkan aku baru pertama kali melihatnya.Senyuman yang begitu menawan. Oh my God … aku hampir saja meleleh dibuatnya. Namun, aku segera tersadar. Tak sepantasnya aku mengagumi orang asing. Bisa jadi pemuda itu adalah orang yang tidak baik. Overthinking terhadap orang asing, mungkin akan lebih baik. Apalagi aku berada di tempat yang baru aku pijak.“Maaf, aku tidak tahu kalau di dalam ada orang. Aku permisi!”Aku menepis tangan pemuda itu dari wajahku. Tidak mengerti kenapa dia lancang menyentuh wajahku. Apa tujuannya? Apakah sebelumnya aku pernah bertemu dengannya? Sungguh, aku tidak kenal siapa dia.Aku menjauh dari mobil itu. Berjalan tanpa arah tujuan. Entah, aku harus ke mana sekarang? Aku tidak tahu dan … aku bingung.Bersungut-sungut di sepanj
Ayah memalingkan wajahnya ke arahku. Menatapku penuh selidik.“Kau mau mencoba menipuku?” tanyanya.Aku menggelengkan kepala kuat. Membantah anggapan ayah yang tampak curiga padaku. Padahal memang iya, aku memang ingin mengulur waktu, memikirkan bagaimana caranya supaya pernikahan ini tidak sampai terjadi. Aku aku tidak mau.Tatapan ayah membuatku menciut. Aku seperti diintimidasi oleh tatapannya. Oh God, aku harus bagaimana untuk mengatasi semua ini?“Ayah, aku sudah ada di ujung. Kalau sampai keluar di sini bagaimana?” Aku memegangi perut, aku harap ayah akan percaya, dan mengizinkanku untuk ke kamar mandi.“Oke, baiklah … kau boleh menggunakan kamar mandiku!” ujar ayah akhirnya.Ayah menarikku menuju kamarnya. Aku berusaha melepaskan tanganku. Membuatnya emosi dengan apa yang aku lakukan.“Kenapa Ayah ikut? Aku bisa ke kamar mandi sendiri,” ujarku.Tanpa diduga, ayah mencengkram rahangku. Harus beginikah cara seorang ayah menunjukkan kasih sayangnya kepada putrinya? “Kau pikir ak
“Nah, ini dia putri kami, Ariana, calon istrimu!” seru ayah.Apa?! Jadi … aku akan dijodohkan? Aku menatap ayahku penuh tanda tanya.“Benar, Sayang. Kau akan dilamar, sebentar lagi kau akan dipersunting oleh calon suamimu,” ujar ayah, seakan mengerti dengan arti tatapanku.Apakah pemuda itu yang akan menjadi calon suamiku? Tampak di samping pemuda tampan itu seorang pria paruh baya dan seorang kakek. Kemungkinan mereka adalah ayah dan kakeknya pemuda tersebut.“Tapi kenapa aku baru dikasih tahu, Yah? Aku ….”“Ehem … Sayang, sebaiknya kita duduk dulu. Tidak baik berdiri terus seperti ini,” ujar Susan.Aku bergeming, masa iya aku akan dinikahkan secara mendadak begini? Tidak ada masa perkenalan secara pribadi antara aku dan pemuda itu, dan tidak ada masa penjajakan. Kacau, aku harus bagaimana?“Perkenalkan, saya Hendro, ini ayahku Pak Harmani, dan ini anakku satu-satunya, Hengki. Senang bertemu denganmu, Ariana!” ucap pak Hendro.Aku hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman keci
Aku membalikkan badan. Wanita perebut ayahku, dan juga Maurin, mereka sangat keterlaluan.“Apa-apaan ini? Kenapa kalian menyiramku?” tanyaku, emosi dibuatnya.Susan melempar ember kosong ke arahku.“Kenapa? Mau marah? Dengar baik-baik, Ariana. Andra itu sudah memutuskan memilih Maurin. Jadi, kamu terima saja nasib kamu. Jangan sok-sokan mau menjatuhkan Maurin di hadapan keluarganya, karena bagaimana pun, Maurin jauh lebih sempurna daripada kamu yang buluk ini,” cetus Susan. Menghina fisikku yang tidak sempurna ini.Memang, ibu tiri yang jahat itu ternyata bukan sekedar hanya ada di negeri dongeng saja. Di dunia nyata pun ada. Aku pun merasakannya. Hingga aku sempat berpikir jika aku mati mungkin lebih baik.“Aku cuma nanya resep tempe goreng. Katanya pintar masak, masa resep tempe goreng saja tidak tahu. Payah,” ujarku.“Aw!” Aku memekik kesakitan, saat rambutku dijambak oleh Maurin.“Dengar, ya! Kau terima saja kekalahanmu. Kau bukan tandinganku,” bisik Maurin.Aku memberontak, sehin
Apa? Apakah aku salah dengar? Andra melamar Maurin? Aku menggelengkan kepala pelan. Apakah aku sedang bermimpi? “Kau serius, Andra?” tanya Maurin. “Iya, kedatangan kami ke sini … aku ingin melamar kamu. Sejak pertama melihat kamu, aku sudah tertarik dan merasa cocok sama kamu. Maaf, aku baru bisa memberanikan diri sekarang,” jawab Andra. “Tidak, apakah aku salah dengar? Apakah kau bercanda, Andra?” tanyaku. Andra dan yang lain menoleh ke arahku. Sakit sekali, apakah aku sedang di prank oleh lelaki itu? “Tidak, Ariana. Kamu tidak salah dengar. Aku memang mau melamar Maurin,” jawab Andra. “Tapi yang pacaran sama kamu itu aku, bukan Maurin. Kenapa yang dilamar bukan aku?” tanyaku. Tidak habis pikir, di mana hati Andra. Aku yang selama ini menjadi kekasihnya. Namun, ujung-ujungnya malah … aaargh! Rasanya ingin menghilang saja dari bumi ini. “Maaf, Ariana. Jujur, kamu salah paham selama ini. Kedekatan kita aku anggap sebagai sahabat. Aku tidak tega berkata jujur, karena kamu terlih
“Perontok bulu ketek, krim bisul, em … apa lagi, ya?”Aku melangkah menyusuri jalan. Membawa uang senilai 100 ribu. “Eh-eh, Dek! Awas!”Aku tidak sengaja melihat seorang anak remaja laki-laki, perkiraanku anak itu masih duduk di bangku SMP. Dia berjalan sambil melamun menyeberangi jalan yang sedang ramai kendaraan.Raut wajah yang ditunjukkan tampak kacau. Aku yakin, anak itu sedang mengalami masalah.Aku berlari sekuat tenaga, demi menyelamatkan anak itu. Hingga akhirnya, sedetik kemudian sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi, setelah aku berhasil menarik tangan anak itu ke pinggir jalan.Bruk!Tubuh anak itu menimpa tubuhku. Hingga aku terbaring di trotoar. Susah payah aku bangun, badanku rasanya sakit.“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.Anak itu menggelengkan kepalanya.“Aku tidak apa-apa, terima kasih sudah menolongku,” ucapnya.“Sama-sama, lain kali kamu hati-hati, ya. Kalau jalan jangan sambil melamun. Untung saja kamu tidak sampai tertabrak,” sahutku.“Aku melamun karena se