Masuk“Nah, ini dia putri kami, Ariana, calon istrimu!” seru ayah.
Apa?! Jadi … aku akan dijodohkan? Aku menatap ayahku penuh tanda tanya. “Benar, Sayang. Kau akan dilamar, sebentar lagi kau akan dipersunting oleh calon suamimu,” ujar ayah, seakan mengerti dengan arti tatapanku. Apakah pemuda itu yang akan menjadi calon suamiku? Tampak di samping pemuda tampan itu seorang pria paruh baya dan seorang kakek. Kemungkinan mereka adalah ayah dan kakeknya pemuda tersebut. “Tapi kenapa aku baru dikasih tahu, Yah? Aku ….” “Ehem … Sayang, sebaiknya kita duduk dulu. Tidak baik berdiri terus seperti ini,” ujar Susan. Aku bergeming, masa iya aku akan dinikahkan secara mendadak begini? Tidak ada masa perkenalan secara pribadi antara aku dan pemuda itu, dan tidak ada masa penjajakan. Kacau, aku harus bagaimana? “Perkenalkan, saya Hendro, ini ayahku Pak Harmani, dan ini anakku satu-satunya, Hengki. Senang bertemu denganmu, Ariana!” ucap pak Hendro. Aku hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman kecil. “Jadi, bagaimana? Putri kami cantik, bukan?” tanya Susan kepada tamu. “Ya … ya … ya, dia sangat cantik dan menarik!” sahut pak Harmani. Susan dan ayah tampak tersenyum sumringah. Begitu pun dengan Maurin, senyuman tak lepas dari wajahnya. Sangat kontras dengan sikap mereka sehari-hari terhadapku. Penuh problematik yang tak berkesudahan. “Johan, Susan, sesuai janjiku pada kalian, aku akan memberikan 5 hektar tanah untuk kalian, beserta hasil bumi di dalamnya. Kalian telah menepati janji kalian. Setelah pernikahan, aku akan membawa Ariana ke rumahku,” ucap pak Harmani. Tunggu-tunggu, perasaanku mendadak menjadi tidak enak. Perkataan lelaki tua itu terdengar ambigu. Aku melirik ke arah ayah dan Susan. Mereka tersenyum lebar mendengar apa yang akan diberikan pak Harmani terhadapnya. Namun, entah kenapa, ada yang mengganjal dalam diriku. Aku harus memastikan semuanya sebelum aku menyesal mengambil langkah terburu-buru. “Maaf, Pak Harmani mau membawaku ke rumah Anda setelah pernikahan? Maaf, ini terlalu cepat. Aku dan cucumu belum mengenal lebih dekat. Aku … butuh waktu untuk berpikir,” ujarku. Mereka semua kompak terdiam. Saling melirik satu sama lain. “Kau pikir yang akan menikahimu itu aku? Yang benar saja!” celetuk Hengki. Nada bicaranya cukup merendahkanku. Aku membeliak, jika bukan Hengki yang akan dijodohkan denganku, lalu …. “Em … bu-bukan kamu? Jadi … siapa yang akan menikahiku?” tanyaku, perasaanku semakin tidak enak. “Tentu saja bukan aku, tapi kakekku!” jawab Hengki. Deg! Jika ada cermin, mungkin saja aku bisa melihat wajahku yang tiba-tiba pucat. Apa? Jadi … ayahku dan Susan akan menjodohkan aku dengan kakek-kakek? Tampak pak Harmani mengangguk-angguk kecil, memainkan dagunya dengan senyuman mengerikan di wajah tuanya. Aku meringis, membayangkannya saja … aku tidak sanggup. “Kenapa aku dijodohkan dengan kakek-kakek?” tanyaku. “Ariana, jaga bicaramu!” sergah Susan. “Tidak apa-apa, Susan. Jadi begini, biar aku jelaskan. Ariana, kedatangan kami ke sini memang ingin mencarikan jodoh untuk ayahku. Sudah puluhan tahun sejak ibuku meninggal, Ayah belum pernah menikah lagi. Hidupnya kesepian, hari-harinya selalu dilingkupi rasa sedih. Aku tidak tega melihatnya seperti ini. Kebetulan Susan memberitahuku jika dia memiliki anak yang sudah matang untuk menikah, yaitu kamu. Lihatlah, Ayahku sangat tertarik padamu. Aku jamin, kau akan bahagia jika menikah dengannya,” jelas Hendro. Apa? Ini gila, memang sangat gila. Bisa-bisanya Susan dan ayahku sendiri, ayah kandungku, menjodohkanku dengan kakek-kakek? Di mana hati ayahku. Kenapa dia tega sekali padaku. Aku menggelengkan kepala, berdiri dengan gerakan dada naik turun. Cukup, aku tidak mau lagi ditindas oleh keluarga toxic ini. “Aku tidak mau, maaf!” ucapku menolak secara terang-terangan. “Ariana!” Ayah menahanku untuk pergi, terpaksa aku duduk lagi. “Tidak apa-apa, Johan. Pelan-pelan saja membujuknya. Aku akan ke sini lagi nanti di hari pernikahan. Kabari aku kalau Ariana sudah siap. Ayok, Hendro, Hengki, kita pulang sekarang!” pamit pak Harmani. Setelah mereka tidak terlihat lagi dari pandangan, aku menangis sejadi-jadinya di depan ayahku. Berharap ada sedikit saja belas kasih darinya. Bagaimana pun, aku adalah anak kandungnya. Apakah ayah akan tega, melihatku menangis seperti ini? Tampak ayah menerima sebuah pesan dari seseorang. Sebuah senyuman tersungging dari bibirnya. “Ayah, aku tidak mau. Aku masih ingin bekerja,” ucapku. “Dengar, Ariana. Ini kesempatan bagus buat kamu. Kalau kamu menerima lamaran pak Harmani, dia akan menambah hadiah yang dijanjikan pada kita. Sebuah mobil mewah dan salah satu rumahnya akan menjadi milik kita. Kurang apa dia, sudah kaya, dia juga royal. Kau jangan bersikap bodoh. Gunakan kesempatan ini sebaik-baiknya,” sahut ayah. Tidak menyangka, ayah lebih memilih menjualku pada seorang aki-aki, demi harta yang ia inginkan. Cih, andai dulu aku ikut ibu saja. Mungkin hidupku tidak akan sengsara seperti ini. “Kita? Kita atau ayah dan wanita perebut itu?!” Plak! Sebuah tamparan melayang bebas dan mendarat di pipiku. Seperti biasa, tidak sakit, cenderung seperti gelitikan kecil. Susan dan Maurin tampak tersenyum puas melihatku. Seperti dua iblis berwujud manusia. Hanya saja aku tidak habis pikir di mana hati ayah. Dia lebih mementingkan harta, wanita perebut itu dan Maurin, yang jelas-jelas bukan anak kandungnya. Sementara aku … entahlah, aku dianggap apa di rumah ini. Aku terkekeh, mengusap sudut bibirku yang berdarah. “Ayah senang? Lakukanlah apa yang kau inginkan. Bila perlu, jangan biarkan aku hidup. Mati mungkin lebih baik!” Aku pergi dari hadapan mereka semua. Mengunci diri di dalam kamar. Menangis sejadi-jadinya meratapi nasibku yang selalu menjadi orang teraniaya di rumah ini. Keesokan harinya, aku bersiap untuk pergi bekerja. “Apa-apaan ini?” Setelah aku membuka kunci. Namun, pintu kamarku sama sekali tidak bisa dibuka. “Ayah, buka pintunya. Aku terkurung!” Susah payah aku membukanya. Namun, sama sekali tak berhasil. Hingga beberapa hari aku tidak bisa ke mana-mana. Ternyata Susan pelakunya. Beberapa kali Susan memberiku makan lewat jendela kecil kamarku. Aku seperti seorang tahanan. Sekitar satu minggu, akhirnya pintu dibuka. Seseorang yang asing masuk ke dalam kamarku, lalu memaksaku dirias sedemikian rupa. Ya, aku baru tahu jika hari ini adalah hari pernikahanku dengan pak Harmani. Rumah telah dihias sedemikian rupa, saat aku selesai dirias. Banyak tamu undangan yang berdatangan. Damn! Aku bingung harus menghentikan semua ini bagaimana. “Selamat menempuh hidup baru, Nyonya Harmani. Selamat, ya … kau sebentar lagi akan menjadi seorang nenek,” celetuk Maurin. Ingin rasanya aku melempar asbak ke arah wajahnya. Apalagi sekarang, di samping Maurin berdiri sosok Andra. Ya, menambah sakit hatiku saja. “Ayok, Ariana. Calon suamimu sudah datang!” seru ayah. Ayah menuntunku untuk mendekat ke arah aki-aki itu. Namun, tiba-tiba perutku melilit. “Ayah, kamar mandiku mampet. Aku sedang diare!”Tubuhku terasa melayang, kakiku seakan tidak mampu lagi menopang tubuh ini.Ayah, dia memang bukan ayah yang baik untukku. Namun, dia tetap ayahku walau seburuk apa pun. Aku tidak mungkin tega membiarkan ayahku menggantikan posisi wanita yang ada di dalam foto itu.Aku memang benci ayah. Namun, aku bukan pembunuh seperti Galang.“Bagaimana, Ariana? Kau … masih ingin putus dariku? Semua keputusan ada di tangan kamu. Tinggal pilih saja salah satu, kita menikah atau nyawa ayahmu yang menjadi taruhan,” bisik Galang.Aku bergeming, rasa takut semakin menjadi. Aku menangis sesenggukan, tidak menyangka impian indahku bersama Galang, akan berujung sebuah ancaman yang begitu menakutkan.Entah apa yang akan terjadi jika aku menikah dengannya. Aku tidak bisa memastikan, nyawaku akan bertahan untuk berapa lama lagi.Aku merasa gelisah, napas pun rasanya seakan seperti bom waktu yang akan meledak kapan pun.“Jahat, kamu jahat, Galang!” rutukku.“Sssst! Jangan katakan itu, Ariana, aku tidak suka. K
Aku terkesiap, suara itu begitu dekat. Perlahan aku menolehkan kepalaku, dan … benar saja, Galang, lelaki itu berdiri tepat di sampingku. Bahkan aku tidak tahu sejak kapan dia ada di sini.Spontan aku menjaga jarak dari lelaki itu. Jantungku nyaris melompat dari tempatnya, saat tak sengaja aku melihat sebuah pisau di sebelah tangannya.“A-aku … aku–”“Mau ke mana, Ariana? Apakah kau mau keluar tanpa aku? Hem?” potong Galang. Dia memainkan mata pisau itu. Membuatku semakin ketakutan dibuatnya.Galang melangkah lebih dekat ke arahku. Sementara aku mundur beberapa langkah hingga tubuhku tersudut di daun pintu. Tidak ada jalan lain untuk aku kembali menghindar.“Kenapa, Ariana? Kau … sudah tahu semuanya?” Galang tersenyum kecil.Senyuman itu sebelumnya selalu membuatku berbunga-bunga, merasakan kenyamanan, merasakan arti dicintai. Namun, setelah aku mengetahui sisi buruk Galang, senyuman itu seketika berubah menakutkan. Seakan senyuman tersebut bisa menjadi bom waktu, yang kapan saja dapa
Aku membekap mulutku sendiri. Susah payah aku menelan saliva. Perasaanku seketika menjadi tidak tenang.“Da-daging siapa ini?” gumamku.Pikiran buruk seketika berkumpul di dalam kepala. Sontak aku teringat akan ucapan Alea kemarin. Apa mungkin Alea mengetahui sesuatu?Aku menoleh ke arah kotak kecil di atas nakas. Aku meraihnya, mengamati benda tersebut.Aku memantapkan diri untuk membuka kotak tersebut. Entah apa yang Alea masukkan ke dalam kotak tersebut, sehingga dia mendatangiku dan mengirimkannya padaku.Tanganku mulai sibuk membuka kotak itu. Namun, gerakanku terhenti ketika terdengar suara notifikasi di ponsel Galang.Aku melirik ke arah ponsel tersebut. Di atas layar aku melihat seseorang mengirimkan sebuah foto. Aku tidak berani menyentuh ponsel itu apalagi membukanya. Namun, pesan kedua datang. Aku membaca pesan itu di atas layar tanpa membukanya.“Target memberontak sampai barang-barang di sini hancur. Tapi sudah kami bereskan, lalu apa yang harus kami lakukan?”Aku merasa
“Ariana, ini aku!” bisiknya.Mataku membulat sempurna saat melihat wajah di balik masker itu. Spontan aku berdiri, hendak menjauh darinya.“Mau apa kamu ke sini? Jangan pernah menemuiku lagi, Alea. Hubungan pertemanan kita sudah selesai.”Aku berjalan cepat ke arah tangga. Alea membuntuti, menarik tanganku hingga aku membalikkan badan menghadap ke arahnya.“Apa lagi, Alea?” tanyaku, emosi dibuatnya.“Sssst!” Alea memberikan isyarat untukku diam. Dia menoleh ke sana kemari, seperti takut terlihat oleh orang-orang di rumah ini.Alea telah kembali menutup wajahnya menggunakan masker.“Dengar, Ariana. Waktu kamu tidak banyak, jangan terlena dengan apa yang kamu dapatkan. Kemewahan, perhatian, bahkan cinta yang kamu dapat hanyalah bualan. Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa berbicara seperti ini? Aku akan jelaskan semua, tapi tidak di sini. Ayo kita pergi dari sini!”Aku menggelengkan kepala pelan.“Aku tahu maksud kamu bicara seperti itu karena apa, Alea. Aku tahu, kamu pasti cembur
Aku mengernyitkan dahiku, lantas menoleh ke belakang.Aku terhenyak, di sana … aku melihat mobil Maurin tengah membuntuti kami.“Bagaimana kau bisa tahu kalau itu mobilnya Maurin?” Tatapanku seketika penuh selidik.Galang mengangkat sebelah alisnya.“Kau … mencurigaiku?” Galang malah balik bertanya.Aku menghembuskan napas kasar.“Segitu detailnya kau mengamati apa yang dimiliki Maurin,” ucapku. lalu aku melipat kedua tanganku di depan dada.Galang terkekeh, selalu begitu di saat aku tengah merasa kesal terhadapnya.“Kenapa kau tidak bisa berpikir jernih tentang diriku, Ariana? Aku calon suamimu, dan kau … masih saja mencurigaiku. Kau takut aku tergoda sama Maurin? Benarkah begitu?” tanya Galang.Aku terdiam, masih melipat kedua tanganku. Jujur, aku memang merasakan hal itu. Aku tidak ingin lagi dan lagi merasa kecewa dalam percintaan.Galang mengusap rambutnya ke belakang.“Lihatlah, apakah ayah atau ibu tirimu suka dengan warna mobil itu? Warna pink, dengan stiker karakter hello Kit
“Kenapa Ayah berubah pikiran? Bukankah tadi … Ayah tidak merestui pernikahan mereka?” tanya Maurin, seperti tidak terima dengan keputusan ayah.Seketika senyumanku mengembang. Ya, Galang tidak menipuku, dia berkata jujur. Aku terlalu takut, saat ayah berbicara, pikiranku sudah terlalu buruk. Namun, nyatanya ….“Iya, Mas. Kenapa kau berubah pikiran? Kenapa sikapmu menjadi plin-plan seperti ini? Ada apa sebenarnya?” timpal Susan.Tanganku dan tangan Galang saling bertaut. Kini semakin erat genggaman kami. Rasa bahagia kini menyelimuti.“Memangnya apa yang salah, jika Ayah mengizinkan mereka berdua menikah?” tanya ayah.“Em … nggak ada yang salah, sih. Cuman … kok aneh sekali, Ayah ini, nggak persisten dengan ucapan Ayah sendiri. Tiba-tiba merestui mereka, padahal tadi saja Ayah menentang keras hubungan mereka,” jawab Maurin.Aku menautkan kedua alisku.“Tidak perlu marah, Maurin. Kami bahagia dengan keputusan ayah,” timpalku.Maurin hanya melirik sekilas, tanpa menyahut ucapanku sama se







