Gadis expired! Entah sampai kapan julukan itu melekat pada diriku. Umurku telah menginjak kepala 3. Di saat semua temanku telah menikah di usia matang tersebut, sementara diriku masih setia menyandang gelar jomblo cap karat. Memiliki wajah yang tidak cantik, tentu tidak sedikit lelaki yang menjauhiku. Apakah wanita tidak cantik seperti diriku tidak pantas dicintai? Hingga suatu hari, kejadian yang tidak pernah aku inginkan terjadi. Ayah memaksaku menikah dengan seorang kakek berusia sekitar 80 tahun. Aku kabur, dan tidak pernah menyangka jika takdir akan membawaku pada seseorang di masa lalu, yang membuat hidupku merasa dicintai dan merasa diratukan. Namun, ternyata cinta yang aku dapat menjadi sebuah obsesi. Akankah aku mampu bertahan dengan jerat obsesinya?
View More“Perontok bulu ketek, krim bisul, em … apa lagi, ya?”
Aku melangkah menyusuri jalan. Membawa uang senilai 100 ribu. “Eh-eh, Dek! Awas!” Aku tidak sengaja melihat seorang anak remaja laki-laki, perkiraanku anak itu masih duduk di bangku SMP. Dia berjalan sambil melamun menyeberangi jalan yang sedang ramai kendaraan. Raut wajah yang ditunjukkan tampak kacau. Aku yakin, anak itu sedang mengalami masalah. Aku berlari sekuat tenaga, demi menyelamatkan anak itu. Hingga akhirnya, sedetik kemudian sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi, setelah aku berhasil menarik tangan anak itu ke pinggir jalan. Bruk! Tubuh anak itu menimpa tubuhku. Hingga aku terbaring di trotoar. Susah payah aku bangun, badanku rasanya sakit. “Kau tidak apa-apa?” tanyaku. Anak itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak apa-apa, terima kasih sudah menolongku,” ucapnya. “Sama-sama, lain kali kamu hati-hati, ya. Kalau jalan jangan sambil melamun. Untung saja kamu tidak sampai tertabrak,” sahutku. “Aku melamun karena sedang mengalami masalah. Aku membutuhkan uang, ibuku sakit, ayahku tidak peduli. Sungguh, aku sangat membutuhkan uang,” jawabnya lesu. Aku melirik uang yang aku pegang. Aku dilema, jika aku memberikan uang ini, bagaimana dengan obat yang dipesan Maurin? Pasti dia akan sangat marah. Namun, melihat keadaan anak ini, sepertinya dia lebih membutuhkan. “Ini ada sedikit uang buat kamu. Semoga bermanfaat, ya. Maaf cuma segini,” ucapku, akhirnya memberikan uang itu setelah melewati segala pertimbangan. “Terima kasih … siapa namamu?” tanyanya. “Aku Ariana!” Anak itu mendekatiku lalu menggapai wajahku. Mengusap wajahku begitu lama, aku heran kenapa dia melakukan hal itu padaku. Tanpa permisi anak itu tiba-tiba lari menjauh. Bahkan dia sama sekali tidak menyebutkan namanya. Yang membuatku heran, kenapa anak itu berlari ke arah tukang duplikat kunci? Aku memutuskan pulang dengan berjalan kaki. Terik panas matahari begitu menyengat. Kulitku yang tidak begitu putih ini, terasa terbakar di bawah paparan. Namun, itu bukan hal yang menakutkan, dibanding melihat tatapan tajam dari ayah dan adik tiriku. Ya, kini mereka menyambutku dengan mata membesar. Entah terbuat dari apa bola mata mereka, sehingga mereka selalu betah menatapku tajam. “Kenapa tanganmu kosong?” tanya Johan, ayahku. Aku berdiam menunduk, bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi. “Ta-tadi … uangnya hilang,” jawabku berdusta. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bisa-bisa mereka akan mengurungku lagi seperti waktu itu, setelah aku menolong seorang tunawisma yang tengah kelaparan. “Jadi obatku nggak jadi kamu beli?” tanya Maurin. Aku hanya mengangguk pasrah. Dengusan kasar terdengar dari keduanya. Ya … ya … ya … ayah dan anak tiri yang kompak. Sementara aku … seperti orang lain di rumah ini. Plak! Sebuah tamparan melayang di pipiku. Sudah terbiasa, tidak sakit cenderung seperti gelitikan kecil. “Kau anak yang ceroboh. Selalu saja membuat masalah. Lihat adikmu, dia kesakitan,” cetus ayah. Dari dalam rumah, wanita perebut ayahku muncul. Susan, nama yang tidak aku sukai sejak kecil. “Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut? Apa Ariana bikin masalah lagi?” tanya Susan. Yeah … aku memanggilnya Susan, tanpa embel-embel mama, ibu, atau pun mami, bagiku dia hanya wanita perebut ayahku. Ibuku meninggal waktu aku masih kecil, karena syok dan terkena serangan jantung, melihat perselingkuhan mereka di dalam kamarnya sendiri. Sakit, aku hanya bisa menjerit dalam hati. Andai ibuku masih hidup, aku ingin dia membawaku pergi jauh dari neraka ini. “Ariana, Bu. Dia menghilangkan uang untuk obatku. Kakiku sakit, Bu. Bisa-bisa bisulku semakin membesar. Aku bisa malu sama teman-temanku kalau mereka tahu,” jawab Maurin. Aku menahan tawa. Ingin sekali aku mengejeknya. Cantik kok bisulan, apa … karena dia selalu menghabiskan jatah telurku? Menyadari aku menahan tawa, dengan teganya Susan menyeretku ke gudang. Ya, gudang adalah tempat tidur keduaku dari kecil. “Kau menertawakan penderitaan putriku? Itu artinya kau tidur di gudang lagi!” Ayah? Jangan ditanya … di saat pria lain berlomba-lomba menunjukkan cintanya kepada anak. Ironis, ayahku justru mendukung tindakan wanita perebut itu. Susan … Susan, sungguh hebat, kan? Wanita itu berhasil mencuci otak ayahku, untuk membenciku, anak kandungnya. Beberapa tahun kemudian, hari ini aku genap berusia 30 tahun. Tak ada perayaan atau apa pun. Sementara Maurin berusia 25 tahun. Kami bekerja di perusahaan yang sama. “Gadis expired!” seru Maurin. Wanita menyebalkan itu selalu mengejekku dengan menyebutku gadis expired. Em … bisa dibilang perawan tua. Menyedihkan, bukan? Aku yang sedang berjalan, menoleh. “Tolong beliin aku ayam geprek, dong!” titah Maurin. Aku menyilangkan kedua tanganku. “Apa … tangan dan kakimu buntung?” tanyaku. Pertanyaan yang nyeleneh, justru membuat Maurin merasa kesal. Sampai setua ini, aku dan adik tiriku tidak pernah akur. “Kau … beraninya!” Tangan Maurin telah berada di udara. “Well … well … well! Mau menamparku? Silahkan! Lihat di pojok atas!” tunjukku ke arah CCTV. Maurin terlihat kesal, begitu pun dengan temannya. “Gadis expired, pantas saja tidak ada yang mau denganmu. Sudah tua, menyebalkan, dan … ehem, jelek pula. Aku rasa … semua laki-laki akan berpikir ribuan kali untuk mau sama kamu,” cetus Siska, teman laknat Maurin. Masa bodoh, Siska mau bilang apa. Yang jelas, aku tidak pernah meminta makan padanya. “Sudah menghinanya? Sudah, ya! Aku mau makan siang dulu. Pacar aku sedang nunggu di kantin. Bye!” Aku meninggalkan mereka yang berdiri menganga. Kenapa? Ada yang aneh? Apakah salah jika aku memiliki seorang pacar? Di kantin, Andra, kekasihku tengah menungguku sambil melambaikan tangan. Tidak tampan. Namun, jabatannya sebagai manajer, sudah cukup bagiku. Aku segera menghampirinya. “Lama nunggu?” tanyaku. “Lumayan! Em … Ariana, nanti malam aku ke rumah kamu sama orang tuaku. Aku mau–” “Melamarku? Kau serius?” Aku menyela. Tidak menyangka, aku akan melepas gelar gadis expired. “Em … aku–” “Iya, aku ngerti kok. Aku tunggu nanti malam. Ya sudah kita makan dulu. Nanti keburu jam masuk!” potongku. Aku bahagia, bahkan beberapa kali aku salah tingkah di depan Andra. Lelaki itu hanya diam. Sepertinya dia grogi. “Mana Andra? Kenapa jam segini belum datang?” tanya Maurin. Aku yang akan dilamar. Namun, Maurin yang seperti cacing kepanasan. Malam ini, aku dan keluargaku, em … lebih tepatnya keluarga Maurin, tengah menunggu kedatangan Andra. Rencananya kami akan mengajaknya untuk makan malam bersama, setelah Andra melamarku. “Kau serius, pacar kamu seorang manajer?” tanya Susan. Aku bergeming, sungguh, aku sangat malas menjawab pertanyaannya. Tak berselang lama, Andra dan keluarganya datang. Aku sangat bahagia. Ayah pun mempersilahkan mereka masuk. “Jadi … apakah benar, Andra akan melamar Ariana?” tanya ayah. Kedua orang tua Andra saling melempar pandang. Dahinya saling mengernyit. “Ehem … jadi begini, Om … sepertinya ada kesalahpahaman. Kedatangan kami ke sini, aku bermaksud ingin melamar Maurin!”Ayah memalingkan wajahnya ke arahku. Menatapku penuh selidik.“Kau mau mencoba menipuku?” tanyanya.Aku menggelengkan kepala kuat. Membantah anggapan ayah yang tampak curiga padaku. Padahal memang iya, aku memang ingin mengulur waktu, memikirkan bagaimana caranya supaya pernikahan ini tidak sampai terjadi. Aku aku tidak mau.Tatapan ayah membuatku menciut. Aku seperti diintimidasi oleh tatapannya. Oh God, aku harus bagaimana untuk mengatasi semua ini?“Ayah, aku sudah ada di ujung. Kalau sampai keluar di sini bagaimana?” Aku memegangi perut, aku harap ayah akan percaya, dan mengizinkanku untuk ke kamar mandi.“Oke, baiklah … kau boleh menggunakan kamar mandiku!” ujar ayah akhirnya.Ayah menarikku menuju kamarnya. Aku berusaha melepaskan tanganku. Membuatnya emosi dengan apa yang aku lakukan.“Kenapa Ayah ikut? Aku bisa ke kamar mandi sendiri,” ujarku.Tanpa diduga, ayah mencengkram rahangku. Harus beginikah cara seorang ayah menunjukkan kasih sayangnya kepada putrinya? “Kau pikir ak
“Nah, ini dia putri kami, Ariana, calon istrimu!” seru ayah.Apa?! Jadi … aku akan dijodohkan? Aku menatap ayahku penuh tanda tanya.“Benar, Sayang. Kau akan dilamar, sebentar lagi kau akan dipersunting oleh calon suamimu,” ujar ayah, seakan mengerti dengan arti tatapanku.Apakah pemuda itu yang akan menjadi calon suamiku? Tampak di samping pemuda tampan itu seorang pria paruh baya dan seorang kakek. Kemungkinan mereka adalah ayah dan kakeknya pemuda tersebut.“Tapi kenapa aku baru dikasih tahu, Yah? Aku ….”“Ehem … Sayang, sebaiknya kita duduk dulu. Tidak baik berdiri terus seperti ini,” ujar Susan.Aku bergeming, masa iya aku akan dinikahkan secara mendadak begini? Tidak ada masa perkenalan secara pribadi antara aku dan pemuda itu, dan tidak ada masa penjajakan. Kacau, aku harus bagaimana?“Perkenalkan, saya Hendro, ini ayahku Pak Harmani, dan ini anakku satu-satunya, Hengki. Senang bertemu denganmu, Ariana!” ucap pak Hendro.Aku hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman keci
Aku membalikkan badan. Wanita perebut ayahku, dan juga Maurin, mereka sangat keterlaluan.“Apa-apaan ini? Kenapa kalian menyiramku?” tanyaku, emosi dibuatnya.Susan melempar ember kosong ke arahku.“Kenapa? Mau marah? Dengar baik-baik, Ariana. Andra itu sudah memutuskan memilih Maurin. Jadi, kamu terima saja nasib kamu. Jangan sok-sokan mau menjatuhkan Maurin di hadapan keluarganya, karena bagaimana pun, Maurin jauh lebih sempurna daripada kamu yang buluk ini,” cetus Susan. Menghina fisikku yang tidak sempurna ini.Memang, ibu tiri yang jahat itu ternyata bukan sekedar hanya ada di negeri dongeng saja. Di dunia nyata pun ada. Aku pun merasakannya. Hingga aku sempat berpikir jika aku mati mungkin lebih baik.“Aku cuma nanya resep tempe goreng. Katanya pintar masak, masa resep tempe goreng saja tidak tahu. Payah,” ujarku.“Aw!” Aku memekik kesakitan, saat rambutku dijambak oleh Maurin.“Dengar, ya! Kau terima saja kekalahanmu. Kau bukan tandinganku,” bisik Maurin.Aku memberontak, sehin
Apa? Apakah aku salah dengar? Andra melamar Maurin? Aku menggelengkan kepala pelan. Apakah aku sedang bermimpi? “Kau serius, Andra?” tanya Maurin. “Iya, kedatangan kami ke sini … aku ingin melamar kamu. Sejak pertama melihat kamu, aku sudah tertarik dan merasa cocok sama kamu. Maaf, aku baru bisa memberanikan diri sekarang,” jawab Andra. “Tidak, apakah aku salah dengar? Apakah kau bercanda, Andra?” tanyaku. Andra dan yang lain menoleh ke arahku. Sakit sekali, apakah aku sedang di prank oleh lelaki itu? “Tidak, Ariana. Kamu tidak salah dengar. Aku memang mau melamar Maurin,” jawab Andra. “Tapi yang pacaran sama kamu itu aku, bukan Maurin. Kenapa yang dilamar bukan aku?” tanyaku. Tidak habis pikir, di mana hati Andra. Aku yang selama ini menjadi kekasihnya. Namun, ujung-ujungnya malah … aaargh! Rasanya ingin menghilang saja dari bumi ini. “Maaf, Ariana. Jujur, kamu salah paham selama ini. Kedekatan kita aku anggap sebagai sahabat. Aku tidak tega berkata jujur, karena kamu terlih
“Perontok bulu ketek, krim bisul, em … apa lagi, ya?”Aku melangkah menyusuri jalan. Membawa uang senilai 100 ribu. “Eh-eh, Dek! Awas!”Aku tidak sengaja melihat seorang anak remaja laki-laki, perkiraanku anak itu masih duduk di bangku SMP. Dia berjalan sambil melamun menyeberangi jalan yang sedang ramai kendaraan.Raut wajah yang ditunjukkan tampak kacau. Aku yakin, anak itu sedang mengalami masalah.Aku berlari sekuat tenaga, demi menyelamatkan anak itu. Hingga akhirnya, sedetik kemudian sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi, setelah aku berhasil menarik tangan anak itu ke pinggir jalan.Bruk!Tubuh anak itu menimpa tubuhku. Hingga aku terbaring di trotoar. Susah payah aku bangun, badanku rasanya sakit.“Kau tidak apa-apa?” tanyaku.Anak itu menggelengkan kepalanya.“Aku tidak apa-apa, terima kasih sudah menolongku,” ucapnya.“Sama-sama, lain kali kamu hati-hati, ya. Kalau jalan jangan sambil melamun. Untung saja kamu tidak sampai tertabrak,” sahutku.“Aku melamun karena se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments