Share

OBSESI MANTAN SUAMI
OBSESI MANTAN SUAMI
Author: Fatmah Azzahra

1

PLAK!

Sebuah tamparan nyaring dilayangkan seorang laki-laki pada seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Wanita itu terperanjat kaget. Matanya terbelalak saat ia menatap balik wajah mengeras lelaki itu. "Kenapa kamu menamparku, Mas?!"

Lelaki itu bergeming. Napasnya terdengar berburu. Namun dari belakang, justru terdengar suara yang ia kenal betul itu siapa. "Kamu memang pantas di tampar, bahkan kalau perlu dibunuh sekalian! Karena kamu itu, tidak lebih dari wanita hina!" maki wanita tua dengan wajah merah padam menahan murka. Tangan kanannya menunjuk pada wanita yang lebih muda itu.

"Apa salahku, Ma?" tanyanya bingung.

"Apa salahmu, kau bilang?!" Wanita tua itu bergegas memangkas jarak mereka, meraih kedua bahunya lalu menariknya agar mengikuti langkah kaki si wanita tua. "lihat di sana! Apa yang kamu lakukan dengan Rian, hah?!" makinya lantang seraya menunjuk ke arah ranjang dimana terlihat seorang laki-laki muda sedang berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.

Mata si wanita muda terbelalak, tidak percaya. "I-ini tidak seperti yang kalian pikirkan! Aku ... aku tidak tahu, kenapa Rian bisa berada di dalam kamarku, Ma! Tolong percaya padaku, Ma ... Mas Adit!" ujarnya memelas. Kedua tangannya menyatu di depan dada, berharap lelaki yang ia panggil Adit percaya. Namun lelaki itu justru melengos. Wajahnya bahkan terlihat murka.

"Sudah tertangkap basah, masih berani mengelak kamu, Sarah! Dasar wanita hina! Pergi kamu dari sini! Bawa sekalian anakmu karena aku tidak yakin jika Satria adalah anak kandung putraku Aditya alias cucu kandungku. Bisa jadi kamu hamil anak laki-laki lain, lalu mengaku hamil anak Aditya agar bisa masuk ke keluarga besar kami!" tuduh wanita itu dengan angkuh. Kedua tangannya bersedekap di dada.

Sarah menggelengkan kepalanya, menolak tuduhan tersebut. Ia bahkan berusaha memasang wajah memelas agar Aditya percaya padanya. Namun lelaki itu justru enggan ia sentuh. Aditya menyentak kuat pegangan tangannya hingga terlepas. "Mas ...," panggilnya lirih saat Aditya justru memilih berbalik badan, meninggalkan dirinya yang kini jatuh terduduk. Bahkan tidak membelanya saat ibunya melemparkan semua pakaian milik Sarah ke atas kepalanya.

***

"Dengan ini saya selaku Ketua Hakim, menyatakan jika kalian berdua telah resmi bercerai," tukas Hakim Ketua sembari mengetukkan palu di atas meja yang ada di depannya.

"Syukurlah ...," ucap syukur seorang wanita paruh baya yang terlihat semringah saat mendengar putusan pengadilan agama dari pojok ruangan. Wanita itu mendekati sang putra yang nampak lesu akan putusan tersebut.

Sementara Sarah, segera bangkit, bergegas pergi ke arah pintu keluar tanpa menoleh sedikitpun.

"Jangan lupa serahkan hak asuh Satria ke tangan Adit!" titah wanita itu tegas, menghentikan langkah kaki Sarah.

Sarah membalikkan badan, menatap datar pada keduanya "Maaf, Nyonya Malika yang terhormat. Saya Sarah, ibu dari Satria Maulana. Tidak akan pernah menyerahkan putra saya ke tangan Nyonya, apalagi ke tangan ayahnya yang tidak bertanggungjawab seperti itu!"

"Dasar mantan menantu kurang ajar kamu, ya?! Pantas saja putraku menceraikan mu! Sudah selingkuh, sekarang bersikap kurang ajar pada orang tua!" maki Malika, menunjuk ke arah Sarah pergi. napasnya terdengar berburu.

Aditya bangkit, memegangi kedua lengan ibunya, sedikit meringis, malu dengan tingkah wanita itu. "Ma ... sudah, Ma! Malu ... kita lagi di pengadilan ini!" tegur Aditya lirih.

Malika tercekat, membalikkan badan dengan kaku. Ia sedikit meringis saat mendapatkan tatapan beragam dari semua petugas pengadilan yang tersisa. Ia lantas menyeret putranya agar keluar dari dalam sana.

Sementara itu, Sarah bergegas menaiki angkot yang kebetulan singgah di depan kantor pengadilan agama. Ia berusaha keras menahan seluruh perasaan yang kini menggumpal di dada.

"Stop di sini, Mang!" tegur Sarah pada kernet angkot saat dirinya telah sampai di halte terdekat.

"Siap, Neng!" sahut sang kernet yang duduk berseberangan dengannya. Menepuk pelan pundak sang sopir, memberikannya kode yang dimengerti lelaki itu.

Angkot pun berhenti di tujuan. Sarah pun memberikan sejumlah uang yang diminta, turun dari sana lalu berjalan tergesa-gesa karena stok ASI nya terasa penuh.

"Bu! Bu Marni ...!" panggilnya begitu sampai di depan pintu rumah sang pemilik kontrakan.

"Eh, Sarah. sudah selesai? ayo masuk...!" sahut Marni -pemilik kontrakan yang ia sewa- dari dalam kamar sembari menggendong Satria yang nampak sedang asyik berceloteh senang. Bahkan air liurnya nampak menetes membasahi baju lusuh yang ia kenakan, tepat di bagian dada hingga jatuh ke punggung tangan Marni.

"Satria anteng, Bu?" tanya Sarah dengan sopan sembari berjalan masuk ke dalam, mendekati keduanya, setelah sebelumnya melepaskan sandal jepit yang ia kenakan di depan pintu.

"Anteng kok! Anak pintar, kan?!" sahut Marni sembari mengulas senyum manis. Iapun menyerahkan Satria pada ibunya tatkala wanita itu mengulurkan kedua tangannya.

Sarah segera menyambutnya, dimana kini terlihat Satria nampak terlonjak senang, karena bisa bertemu dengan ibunya setelah hampir seharian tidak bertemu, akibat persidangan yang harus ibunya jalani.

"Bagaimana keputusan hakim? Kalian benar-benar bercerai?" tanya Marni sembari mengajak Sarah untuk duduk, karena wanita itu nampak hendak memberikan ASI pada sang putra, yang terlihat membuka mulutnya lebar-lebar.

"Iya, Bu. Kami sudah resmi bercerai," tukas Sarah dengan lirih, karena kini mata Satria mulai terpejam seiring kuatnya isapan yang ia lakukan.

Marni lantas menghela napas panjang, dirinya benar-bnar menyayangkan sikap Aditya yang mudah sekali menjatuhkan talak pada Sarah, meskipun hal yang mendasarinya sangatlah sepele.

"Lalu ... apa rencana mu selanjutnya?" tanya Marni pelan, saat dirinya melihat jika kini Satria telah tertidur pulas dalam buaian ibunya.

Sarah perlahan meletakkan Satria di atas kasur lantai yang ada di pojok ruang tamu, yang biasanya ia pergunakan setiap kali dititipkan pada sang pemilik kontrakan, tatkala ibunya harus bekerja di toko roti yang ada di kawasan jalan Ahmad Yani kilometer satu. Kemudian mengambil kelambu kecil, guna menghalau nyamuk yang mungkin akan menggigit tubuh bayi gembul itu.

Marni masih menunggu Sarah menjawab pertanyaannya. Sementara Sarah yang baru selesai memasang kelambu. Lantas menoleh pada wanita paruh baya nan baik hati itu. "Saya akan mencari pekerjaan tambahan, Bu," tukasnya sembari mengulas senyum tipis.

"Kamu yakin?" tanya Marni dengan mata terbelalak.

Sarah mengangguk singkat dan tegas sembari membalikkan badannya, menghadap ke arah Marni seutuhnya. "Saya yakin, Bu! Demi Satria dan juga, agar semua hutang saya segera lunas," ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. "tapi ...," sorotnya seketika menyendu karena yakin setelah ini waktunya bersama sang putra akan semakin berkurang.

"Jangan khawatir. Masih ada Ibu yang akan membantu!" tutur Marni menenangkan.

Namun, bukannya tenang, air mata yang sudah berkumpul di kedua sudut mata Sarah, justru mengucur deras bak air terjun. Ibu muda itu seketika tergugu, yang segera ia bungkam dengan menggigit punggung tangan kanannya, takut suara isakannya membangunkan sang putra.

Marni menarik bahu Sarah agar masuk ke dalam pelukannya. Wanita lima puluh tahun itu berusaha menenangkan. "Menangis lah, jika itu bisa membuatmu lega. Karena ada kalanya kita sebagai wanita berada diposisi rapuh. Namun yakinlah, setelah tangisan itu mereda, bahumu akan sekuat karang kembali," tukasnya sembari menepuk-nepuk punggung Sarah.

"Terimakasih, Bu!" ungkap Sarah setelah tangisannya mulai mereda. Ia lantas mengurai pelukan mereka, kemudian mengusap sisa air mata yang masih mengalir di kedua pipinya.

"Sama-sama," sahut Marni sembari mengulas senyum tipis.

Keduanya lantas sama-sama melemparkan senyum.

"Permisi!" ucap seseorang dari balik pintu yang terbuka lebar.

"Ya! Siapa, ya?" sahut Keduanya serentak sembari menoleh ke arah pintu dimana sesosok laki-laki berpakaian rapi dengan kemeja kotak-kotak dan celana bahan, sedang berdiri di depan pintu, menatap balik ke arah keduanya dengan seulas senyum tipis.

Sarah yang melihat siapa gerangan yang datang, seketika membelalakkan matanya. "Kamu!" pekiknya kuat.

Sosok yang Sarah hardik hanya tersenyum tipis. Dirinya mengabaikan fakta jika wanita itu akan turut membencinya.

"Mau apa kamu kemari, Raditya?!" tanya Sarah dengan sarkas, wajahnya mengeras.

"Hanya mau memberikan titipan ini ...!" tukas lelaki yang bernama Raditya itu sembari mengayunkan langkahnya menuju Sarah dan Marni, setelah sebelumnya melepaskan sepatu pantofel yang ia kenakan, tepat di samping sandal milik Sarah. "dari Kak Adit. Katanya maaf karena telah menceraikan Kak Sarah. Juga ini buat si ganteng Satria," ungkapnya sembari menyodorkan paper bag kertas yang entah berisi apa.

Sarah bersedekap di dada, wajahnya mengeras dengan mata nampak berkilat tajam setiap kali mendengar nama mantan suaminya terucap, entah dari mulut siapa. Apalagi saat kembaran lelaki itu yang datang dengan dalih ingin memberikan sesuatu pada putra mereka. "Bawa balik!" titahnya tegas sembari menatap lurus pada lelaki berusia dua puluh lima tahun itu.

"Kenapa? Ini buat Satria loh! Bukan buat Kak ...,"

"Aku bukan Kakakmu!" Sarah menukas dengan geram. Memotong ucapan Raditya yang kini hanya mampu mematung dengan mata terbelalak juga mulut sedikit terbuka. "bawa balik semua hadiah itu! Satria tidak butuh itu semua!" dalihnya sembari membuang muka ke samping kiri.

Raditya tersenyum tipis melihat wanita yang masih bertahta di hatinya itu memasang raut wajah mengeras seperti ini. Pertanda sang landak betina mulai menunjukkan perlindungannya pada seseorang yang ingin dia lindungi. "Iya ... maafin aku ya, Sar!" pintanya dengan tulus.

Sarah memejamkan matanya sebentar saat mendengar namanya disebut lelaki itu kembali. Karena mau bagaimanapun, kisah mereka dipaksa usai dua tahun yang lalu, tepat dua bulan sebelum dirinya terpaksa menikah dengan Aditya.

Dadanya kembali terasa berdenyut nyeri saat mendengar panggilan itu kembali terlontar dari mulut Raditya. "Pulanglah!" titahnya tanpa menatap pada lelaki itu.

"Aku akan pulang setelah kamu menerima ini!" tukas Raditya sembari meraih tangan kanan Sarah, kemudian meletakkan paksa paper bag kertas tersebut yang terpaksa wanita itu dekap di depan dada.

"Sudah, bukan! Sekarang pulanglah!" pinta Sarah mengalah, karena enggan berlama-lama berinteraksi dengan lelaki itu.

"Iya, aku pulang dulu, ya ... jaga dirimu dan Satria baik-baik!" ucap Raditya tahu diri.

"Hmm!" balas Sarah lirih. Kepalanya tertunduk dalam, lebih memilih menatap paper bag tertutup itu daripada melihat kepergian Raditya.

"Saya titip Sarah dan Satria, ya, Bu!" pinta Raditya, menoleh pada Marni sembari mengulas senyum manis.

"Tenang saja! Mereka berdua aman bersama saya," tukas Marni sembari tersenyum sopan.

Raditya mengangguk singkat. Iapun menatap sekali lagi sang mantan terindah yang masih enggan menatap balik wajahnya. Lelaki itu lantas mengulas senyum tipis, memaklumi bahwa ada kemungkinan jika Sarah kemungkinan besar turut membencinya, seperti wanita itu membenci Kakak kembarnya. Iapun membalikkan badannya, kemudian berjalan menuju pintu keluar, meninggalkan ketiganya.

Marni lantas menepuk pelan punggung Sarah, membuat wanita itu terlonjak kaget. "Ya, Bu?" tanyanya heran.

"Mau sampai kapan kamu membencinya? Bukankah kamu sendiri yang bilang, jika Raditya berbeda dengan Aditya," ungkapnya, mempertanyakan sikap defensif yang Sarah tampilkan.

"Aku tidak tahu, Bu," ungkap Sarah dengan mata menerawang jauh ke depan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status