"Mas, please ... aku gak mau ikut!" rengek Sarah, memohon saat Aditya menariknya paksa keluar mobil. Mereka sudah tiba di bandara, bahkan sebuah pesawat jet pribadi telah berdiri dengan gagahnya, siap melayang di udara.
"Harus! aku gak terima penolakan sedikitpun!" sahut Aditya tegas, menarik kencang lengan Sarah hingga wanita itu berhasil keluar dari mobil. "Mas ... please, Mas Adit. aku gak mau! Nanti bagaimana dengan Satria, Mas? Kasian dia kalau aku pergi? Dia masih ASI, Mas ...," rengek Sarah sambil menangis, menarik-narik tangannya agar terlepas. Namun cekalan Aditya terasa meremukkan tulangnya. Aditya tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik cepat hingga tubuh mereka bertabrakan. Lelaki itu menahan pinggang Sarah agar tidak terjatuh. Sarah tercekat. matanya yang memerah dengan gumpalan air mata yang berjatuhan satu persatu menatap wajah mengeras lelaki itu, bibirnya bergetar hebat. "M-mas." "Bisakah kamu berhenti merengek? Karena kamu tahu dengan baik jika aku bukan tipe pria yang penyabar," tegur Aditya dingin. "oh ya, soal Satria? Kamu tenang saja, Sayang. Dia sudah aman bersama dengan pengasuhnya yang baru di dalam pesawat jet yang kini tengah menunggu kedatangan kita berdua," ungkapnya, membelai wajah sang mantan istri yang kini semakin tergugu. "Ba-bagaimana bisa?" tanya Sarah tidak percaya, memberanikan diri. "Apa pertanyaan mu itu bertujuan menghina cara kerjaku selama ini?" Aditya bertanya sarkas. Sarah dengan cepat menggeleng. Wajahnya memucat bersama jantung yang berdegup kencang. "Pintar. Tidak salah kamu aku pilih menjadi Nyonya Maulana dari sekian banyak kandidat gadis yang dipilih kakek Edric," ungkap Aditya, kembali menyeret Sarah yang terpaksa mengikuti, bersama kebingungan yang wanita itu rasakan. 'Kandidat calon istri terbaik? Maksudnya apa?' batin Sarah. "Selamat datang, Tuan dan Nyonya," sapa seorang wanita berpakaian serba hitam ramah, menganggukkan kepalanya hormat. "Giselle, dimana Satria?" tanya Sarah saat mengenali siapa wanita yang tengah menyambut kedatangan mereka. "Sedang tidur di dalam kabin, Nyonya. Apakah anda ingin melihat Tuan Muda?" tanya Giselle santun. "Tentu saj—," "Biarkan Satria tidur. Jaga putraku dengan baik, Gis!" titah Aditya, menarik Sarah ke arah yang berlawanan. "T-tapi," "Baik, Tuan," sahut Giselle, mengangguk hormat. "Mas, kita mau kemana?" tanya Sarah dengan suara gemetar. "Melanjutkan kesenangan barusan, dan aku harap kamu ikut berpartisipasi," sahut Aditya santai. Namun berbanding terbalik dengan wajah Sarah yang kini semakin pucat layaknya kertas putih. Tatkala dirinya tersadar, wanita itu telah didorong kuat ke arah ranjang, membuatnya memekik keras, berusaha mendorong tubuh Aditya yang berada di atasnya. "Mas ... jangan ...! Aku mohon ...!" Aditya tidak perduli. Lelaki itu justru menyatukan kedua tangannya di atas kepala. Sementara tangan satunya lagi berusaha melucuti pakaian Sarah, merobeknya paksa hingga terbelah, diiringi jerit kencang wanita itu saat sang mantan suami kembali menyatukan diri mereka dengan kasar. *** Sarah menangis sesenggukan, memegangi ujung selimut agar menutupi tubuh polosnya yang penuh jejak merah keunguan dari leher hingga dada. Bahkan perut dan paha wanita itu tidak luput juga. Rambutnya bahkan kusut masai. Aditya sendiri tersenyum puas, duduk di sofa tunggal yang ada di seberang tempat tidur tanpa perduli tubuh polosnya terpampang nyata. Napasnya tersengal, tubuhnya penuh dengan keringat, bahkan sisa cairan bekas pertempuran panas mereka belum ia bersihkan. "Sudahlah, Sayang. Jangan menangis terus. Berharap saja jika kamu segera mengandung adik Satria agar aku tidak menggaulimu setiap hari," tukas Aditya, mengusap sudut bibirnya yang sedikit perih bekas tamparan yang Sarah berikan saat melakukan perlawanan sengit. "DASAR GILA! ADITYA BAJINGAN! SEMOGA KAMU SEGERA MATI DAN MEMBUSUK DI NERAKA!" maki Sarah kencang hingga wajahnya memerah. Napasnya naik turun, tidak beraturan. "Kalau aku mati? Lalu siapa yang akan memberikan nafkah untukmu dan juga kedua anak kita?" tanya Aditya mengejek, memilih abai pada sumpah serapah Sarah. "Aku masih sanggup menghidupi anak-anakku, meskipun tanpa campur tanganmu, Bajingan!" "Berarti kamu juga mengharapkan apa yang kita lakukan hari ini membuahkan hasil?" Aditya mengangguk-anggukkan kepalanya, mengerti. "bagus! Menarik!" "Apa maksudmu?!" desak Sarah bersama ketakutan yang tiba-tiba muncul. "Kamu berharap percobaan kita saat ini berhasil, bukan? Karena itu —," Aditya bangkit berdiri, berjalan mendekati Sarah yang beringsut mundur bersama ketakutan yang merajai sepenuhnya. "Jangan!" teriak Sarah saat kaki kanannya ditarik Aditya, membuatnya jatuh berbaring dengan mata terbelalak lebar saat lelaki itu kembali mengungkungnya, membungkam mulut wanita itu dengan bibirnya, menyesap kuat. Sarah memukul pundak Aditya, berharap lelaki itu melepaskan ciumannya yang terasa menuntut saat dirinya kekurangan oksigen. Dengan kasar, Aditya melepaskan ciumannya, mengusap sudut bibirnya yang basah. Sedangkan Sarah terengah-engah. "Manis. Selalu manis jika itu bibirmu, Sayang," puji Aditya, membelai pipi Sarah, membuat wanita itu memalingkan wajahnya yang mengeras, enggan disentuh. "Uhhh ... kucing kecil ku yang cantik sedang marah rupanya," ejek Aditya, terkekeh kecil, mencengkram rahang Sarah hingga wanita itu tertoleh kepadanya. "Lawan aku, Sayang. Karena perlawanan mu itu membuatku sangat bergairah," ucap Aditya dengan napas berburu, kembali menyatukan bibir mereka, menyingkirkan selimut dengan tangan dan kedua kakinya, kembali menyatukan tubuh mereka dengan sekali hentak. Sarah ingin menjerit. Namun jeritannya tertahan di dalam mulut saat Aditya mengobrak-abrik mulut dan area pribadinya tanpa jeda. Baru ketika ia melemas, lelaki itu membiarkannya mengisi udara ke dalam paru-paru. Dan sebagai gantinya, terus menggempur tubuh Sarah tanpa jeda hingga luluh lantak tak bersisa. Ia bahkan terus menggeram selama pesawat terbang, tidak perduli berapa banyak benih yang ia tumpahkan di dalam rahim sang mantan istri. Tujuan Aditya hanya satu, membuat Sarah kembali mengandung darah dagingnya agar wanita itu tidak bisa lari dari sisinya, jika perlu untuk selamanya. Sementara itu, Sarah hanya bisa mematung bak patung tak bernyawa setiap kali Aditya mengganti posisi tubuh mereka juga mengganti tempat, tidak perduli kamar itu sudah berubah bak kapal pecah terkena sapuan gelombang tsunami. Bahkan kamar mandi tidak luput dari kegiatan panas keduanya. Aditya baru berhenti saat dirinya merasa kelelahan, jatuh menumpu pada tubuh Sarah yang berbaring tengkurap. "Nikmat. Benar-benar nikmat, Sayang! Terima kasih karena telah membuatku puas setelah dua tahun merasakan hambar setiap bercinta denganmu," ungkapnya senang, melepaskan kungkungannya, berjalan sedikit lemas ke arah kamar mandi guna membersihkan diri. Sarah sendiri hanya bisa menangis tanpa suara, 'kenapa nasibku harus seburuk ini, Tuhan?' batinnya benar-benar lelah, dan tak menunggu lama wanita itu jatuh terlelap akibat kelelahan. Aditya keluar dengan tubuh yang lebih segar. Rambutnya yang basah bahkan menetes melewati dada bidangnya yang berotot. Lelaki itu berdecak kesal saat melihat posisi tidur Sarah yang tidak berubah. "Dia ... tidak mati, bukan?"Raditya melajukan motornya dengan kencang. Sebuah pistol bahkan ia selipkan di pinggang. Wajahnya terlihat menahan murka yang teramat sangat. Suara mesin motornya meraung-raung membelah jalanan, menuju bandara. Ia lantas menghentikan laju motor begitu tiba dan beberapa petugas dengan sigap menyapanya. "Tuan!" "Siapkan penerbangan untukku sekarang juga!" "Baik, Tuan." Orang-orang itu segera melaksanakan perintah dan tak menunggu lama, Raditya telah berada di dalam kabin pesawat, tengah berusaha merilekskan tubuh sambil memejamkan mata. Kilasan kejadian beberapa saat yang lalu terlintas di benaknya, dimulai dari Chelsea yang, merecoki hingga Ia terpaksa melepaskan sebuah tembakan ke arah kepala gadis itu dan membiarkan mayatnya berada di sana. Namun, Ia menyempatkan diri menghubungi orang-orangnya agar membereskan kekacauan itu. Tanpa terasa perjalanan yang memakan waktu 12 jam pun berakhir. R
Aditya kembali berdecak kesal karena sosok si penelepon nampak tidak menyerah juga. Terbukti dengan banyaknya panggilan tidak terjawab di ponsel miliknya. Lelaki itupun meraih ponselnya, lalu menggeser layarnya ke ke kiri, baru setelahnya meletakkan di depan telinga kirinya. "Mo ngapain Lo nelpon gue?!" sapanya sarkas. Aditya lantas mengayunkan langkahnya menuju pintu keluar."Lo nyulik Sarah kan!" tuding sosok di seberangnya. Suaranya terdengar berburu.Aditya sedikit tersentak, namun tidak menghentikan langkahnya. "Cih! Dapat info darimana Lo?!""Lo gak perlu tau gue dapat info darimana. Yang jelas info ini pasti valid. Jadi Lo gak bisa bohongin gue, Mas. Sekarang jawab dengan jujur, Sarah sama Lo kan?!" desak sosok tersebut kembali. "Lo gak jawab. Gue kirim virus baru ciptaan gue ke jaringan punya Lo, biar sekalian Lo gak bisa kerja selama sebulan."Aditya kembali berdecak kesal, sadar jika sosok yang tak lain adalah adik kembarnya itu mulai me
"Sudah selesai, belum?" tanya Aditya untuk yang ke sekian kalinya. Lelaki itu terlihat semakin gusar karena dirinya menilai jika Sarah sengaja berlama-lama memerah ASI nya."Belum, Mas. Sabar ken— argh!" Sarah memekik keras saat Aditya yang tiba-tiba berdiri, menarik kedua kakinya agar turun ke tepi ranjang, lalu membukanya lebar-lebar hingga Sarah terpaksa menumpukan kedua siku nya dengan posisi setengah berbaring, membuat alat pumping tidak bisa bekerja sempurna."Aku gak bisa menunggu lagi!" maki Aditya dengan wajah mengeras, dirinya lantas menyatukan diri dengan satu kali hentak."MAS! ARGH!" Sarah memekik kuat seiring hujaman demi hujaman yang Aditya lakukan terasa kembali meluluhlantakan tubuhnya.***Di tempat lain.Pintu kamar terbuka dari luar, lalu disusul seorang laki-laki paruh baya bertubuh atletis yang dibalut kemeja pas badan berwarna hitam masuk ke dalam kamar. Tak lupa lelaki itu menutup pintu perlahan, dimana ta
"Gak mikirin apa-apa, kok," elak Sarah. Wanita itu beringsut duduk saat Aditya berguling ke kiri hingga batang kejantanannya yang terkulai, terlihat jelas. "aku mau mandi dulu, ya, Mas," pinta nya sembari berdiri. Lalu berjalan ke arah kamar mandi saat melihat anggukan yang Aditya berikan.Aditya gegas ikut bangkit lalu menyusul langkah kaki Sarah dari belakang. "Aku mau ikut, jika kamu bertanya," ungkapnya menjelaskan saat dirinya melihat Sarah menatapnya dengan raut heran."Terserah," sahut Sarah pasrah. "bakal ada ronde kedua ini namanya kalau dia ikut," gumamnya di dalam hati sembari mengesah lelah. Namun tetap melangkah menuju kamar mandi.Sarah gegas masuk ke dalam, begitupula dengan Aditya yang menyusul di belakangnya, tak lupa lelaki itu menutup pintu dan mengunci nya. Sementara Sarah gegas duduk di atas toilet duduk, kemudian menuntaskan hasrat alaminya di sana.Dirinya segera bangkit berdiri, lalu hendak berjalan melewati Aditya yang men
"Mulai hari ini kita bertiga akan tinggal di sini," tukas Aditya, menyilakan Sarah masuk ke dalam apartemen yang telah ia buka pintunya lebar-lebar."Iya, Mas." Sarah pun bergegas masuk ke dalam, disusul Aditya baru setelahnya Gissele yang menggendong Satria, boc@h itu terlihat tertidur pulas dengan mulut dijejalkan botol dot berisi susu formula yang kini tersisa seperempat saja. "Hmmm ... Satria dan Gissele tidur dimana?" tanyanya sembari berbalik, saat dirinya telah berada di tengah-tengah ruang tamu."Satria di kamar sebelah bersama Gissele untuk sementara waktu sampai kita mendapatkan b@by sitter yang sesuai untuknya. Setelah itu, Gissele akan tinggal di unit sebelah. Jadi dia bisa jagain kalian berdua," terang Aditya, kedua tangannya ia daratkan pada kedua pundak Sarah."La-lalu aku tidur dimana?" tanya Sarah kembali dengan gugup.Aditya terkekeh kecil mendengarnya, lelaki itu gegas mengangkat tangan kanannya ke atas lalu menjentikkan jarinya
"Apa yang aku dapatkan jika bersedia memenuhi permintaan, Mas Adit?" tanya Sarah, menawar. Meskipun dirinya kini berada dalam pelukan Aditya."Apa yang kamu mau?" tanya Aditya balik."Bebaskan aku dan Satria," sahut Sarah lugas. Tidak perduli jika Aditya murka sekalipun."Kecuali yang satu itu, Sayang. Kamu bisa bebas meminta yang lainnya, karena sampai matipun aku gak bakal ngelepasin kamu dan Satria lagi. Cukup satu kali kebodohanku yang membuatku kehilangan dirimu dan anak kita. Aku tidak mau mengulang kebodohan yang sama untuk yang kedua kalinya," tolak Aditya sembari mengeratkan pelukannya."Maksud, Mas, apa?" tanya Sarah penasaran."Aku pengen kita rujuk lagi. Gak mungkin kan, kita terus-terusan berbuat dosa seperti ini. Yah ... meskipun ini adalah dosa ternikmat yang pernah aku rasakan. Karena bercinta denganmu adalah candu bagiku," ungkap Aditya, mengaku.Sarah tercekat. "Apa yang barusan itu, benar-benar hanya sebuah mim