Share

4

Sarah menangis sesenggukan, memegangi pakaiannya yang koyak bekas perbuatan Aditya barusan dengan kedua kaki saling menekuk di atas kursi. Sementara lelaki itu, tengah membenahi ikat pinggangnya, mengusap keningnya yang berkeringat bersama senyum penuh kepuasan menghiasi.

"Ternyata rasanya masih seenak biasanya, Sayang," kekeh Aditya, kembali duduk bersender, meraih pundak Sarah yang justru menepis kuat tangannya. "uhhh ... kamu marah?"

"Biarkan aku pergi. Aku mohon!" pinta Sarah, mengusap air matanya dengan punggung tangan.

"Dengan pakaian seperti itu? Kamu, yakin?!" Aditya balas bertanya.

"Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan! Jadi, biarkan aku pergi karena aku harus bekerja," tukas Sarah datar.

"Ohhh ... tidak bisa! Kamu tetap bersamaku karena aku masih belum puas, Sayang!" tolak Aditya, terkekeh puas.

"DASAR BAJINGAN!" maki Sarah, menampar pipi Aditya dengan keras hingga kepala lelaki itu tertoleh ke kiri. Napasnya terdengar berburu juga telapak tangan memerah.

"Bajingan adalah nama tengahku, Sayang. Apa kamu lupa alasan kenapa kita menikah? Sementara kamu adalah kekasih dari adik kembarku," ungkap Aditya sembari tersenyum mengejek.

"Tentu saja aku ingat! Karena itu aku tidak pernah bersedia melayani mu selama kita berumah tangga! Aku sangat bersyukur kamu ceraikan, karena dengan begitu aku bisa terbebas dari monster sepertimu!" pekik Sarah murka, melayangkan pukulan ke arah tubuh Aditya.

"Apa?!" pekik Aditya murka, memegang kuat kedua tangan Sarah hingga wanita itu tidak bisa melepaskan diri. "oh ... jadi kamu sengaja bersikap seperti gedebong pisang setiap kali aku meminta hak ku! Begitu?!"

"Ma-mas, lepasin aku, please," ucap Sarah lirih, dirinya kembali ketakutan saat melihat raut mengerikan yang lelaki itu perlihatkan, raut yang sama persis saat lelaki itu merenggut mahkotanya di kamar belakang saat lelaki itu secara tiba-tiba datang dalam keadaan mabuk.

Keduanya ditemukan tanpa sehelai benangpun oleh Mak Odah, sang juru masak, bahkan terlihat jelas bekas kegiatan keduanya dari sprei merah muda yang menjadi alas mereka, dimana terlihat bercak cairan merah yang telah mengering di sana, juga sisa cairan yang berasal dari junior Aditya di pangkal paha Sarah, sebagai bukti perbuatan tidak baik telah keduanya perbuat.

"Kenapa kamu melakukannya, Sarah?!" tanyanya dengan wajah semakin merah padam. Bahkan urat-urat di wajahnya terlihat jelas akibat menahan murka.

"A-aku ...," Sarah justru tidak sanggup menjawab, karena dirinya benar-benar ketakutan, hingga tidak sanggup melakukan pembelaan diri.

"Aku, apa?!" hardik Aditya semakin murka, bahkan kedua tangannya ia arahkan pada leher Sarah yang kini memucat.

"A-aku ti-tidak bi-sa ber-na-pas," ungkap Sarah saat Aditya mencekiknya. Kedua tangannya ia arahkan ke atas, berharap cekikan itu terlepas saat dirinya memukul lengan lelaki itu sekuat tenaga. Namun Aditya bergeming, wajahnya bahkan semakin mengeras sehingga iapun mempererat cekikan nya.

Tepat saat Sarah hampir kehilangan kesadarannya, Aditya melepaskan cekikan nya pada leher sang mantan istri. Wanita itu terbatuk-batuk, memegangi lehernya yang memerah. Namun mantan suaminya memilih tidak perduli. "Jalan, Mang! ke hotel!"

Mata Sarah terbelalak mendengarnya. "Gak! Please, jangan lakukan itu, Mas! Aku harus pergi bekerja!" mohonnya, menghiba.

"Tenang saja. Kamu bakal aku bayar asal bisa muasin aku sama pelayanan kamu," tukas Aditya, duduk bersender.

"SINTING! KAMU PIKIR AKU WANITA MURAHAN?!" Sarah menatap nyalang.

"Tidak!" sahut Aditya tegas, menoleh dengan seringai licik tersungging. "tapi, kamu adalah simpanan ku mulai detik ini,"

"Kamu gila?!" maki Sarah, memiringkan tubuhnya, kembali meraih kenop pintu. Namun, Aditya kembali memeluknya erat dari belakang, menahan pergerakannya. "LEPAS! LEPASIN AKU!" Ia memberontak.

"Apa tidak sebaiknya kamu ikut denganku ke sana, agar kita tidak perlu berjauhan. Karena jujur saja, aku semakin menyukai rasamu, Sayang. Lagipula kita telah memiliki anak, bukan. Pasti anak kita akan senang jika melihat ayah dan ibunya bersatu kembali. Selain itu, di sana juga adalah negara bebas, sehingga biarpun kita tidak terikat dalam ikatan pernikahan, kita masih bisa tinggal bersama. Bagaimana menurutmu, Sayang? Ideku ini brilian, bukan?" tanya Aditya dengan gembira. "bahkan koperku sudah ada di bagasi, jadi kita bisa berangkat ke bandara dari sini."

Sarah terdiam, dirinya ingin membantah bahkan memaki juga menghajar lelaki itu membabi buta. Namun dirinya berusaha mengukur kemampuannya sendiri yang tidak memiliki sedikitpun kekuatan untuk membalas perbuatan yang Aditya lakukan.

"Bagaimana menurutmu, Sayang?" tanya Aditya kembali, mendesak Sarah agar mau menurutinya.

"Aku ikut pergi denganmu ke London, lalu ibumu tahu jika aku ikut, kemudian kembali menyakiti diriku serta memfitnah diriku seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Begitukah maksudmu?" tanya Sarah dengan sarkas, ia menertawakan ucapan Aditya yang tidak bisa menggunakan otaknya dengan baik.

"Kapan mama memfitnah mu? Bukankah kamu memang selingkuh dengan sopir keluarga kita, karena kamu tidak puas denganku!" tuduh Aditya berang.

"Terserah kamu saja, jika kamu memang mempercayai mulut ibumu daripada aku yang pernah menjadi istrimu," tukas Sarah kesal, kembali berusaha berontak. "please, ijinkan aku pulang? Aku mohon dengan sangat!"

Aditya mendengkus, "Mang, ke bandara sekarang juga!" titahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status