Sarah menangis sesenggukan, memegangi pakaiannya yang koyak bekas perbuatan Aditya barusan dengan kedua kaki saling menekuk di atas kursi. Sementara lelaki itu, tengah membenahi ikat pinggangnya, mengusap keningnya yang berkeringat bersama senyum penuh kepuasan menghiasi.
"Ternyata rasanya masih seenak biasanya, Sayang," kekeh Aditya, kembali duduk bersender, meraih pundak Sarah yang justru menepis kuat tangannya. "uhhh ... kamu marah?""Biarkan aku pergi. Aku mohon!" pinta Sarah, mengusap air matanya dengan punggung tangan."Dengan pakaian seperti itu? Kamu, yakin?!" Aditya balas bertanya."Bukankah kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan! Jadi, biarkan aku pergi karena aku harus bekerja," tukas Sarah datar."Ohhh ... tidak bisa! Kamu tetap bersamaku karena aku masih belum puas, Sayang!" tolak Aditya, terkekeh puas."DASAR BAJINGAN!" maki Sarah, menampar pipi Aditya dengan keras hingga kepala lelaki itu tertoleh ke kiri. Napasnya terdengar berburu juga telapak tangan memerah."Bajingan adalah nama tengahku, Sayang. Apa kamu lupa alasan kenapa kita menikah? Sementara kamu adalah kekasih dari adik kembarku," ungkap Aditya sembari tersenyum mengejek."Tentu saja aku ingat! Karena itu aku tidak pernah bersedia melayani mu selama kita berumah tangga! Aku sangat bersyukur kamu ceraikan, karena dengan begitu aku bisa terbebas dari monster sepertimu!" pekik Sarah murka, melayangkan pukulan ke arah tubuh Aditya."Apa?!" pekik Aditya murka, memegang kuat kedua tangan Sarah hingga wanita itu tidak bisa melepaskan diri. "oh ... jadi kamu sengaja bersikap seperti gedebong pisang setiap kali aku meminta hak ku! Begitu?!""Ma-mas, lepasin aku, please," ucap Sarah lirih, dirinya kembali ketakutan saat melihat raut mengerikan yang lelaki itu perlihatkan, raut yang sama persis saat lelaki itu merenggut mahkotanya di kamar belakang saat lelaki itu secara tiba-tiba datang dalam keadaan mabuk.Keduanya ditemukan tanpa sehelai benangpun oleh Mak Odah, sang juru masak, bahkan terlihat jelas bekas kegiatan keduanya dari sprei merah muda yang menjadi alas mereka, dimana terlihat bercak cairan merah yang telah mengering di sana, juga sisa cairan yang berasal dari junior Aditya di pangkal paha Sarah, sebagai bukti perbuatan tidak baik telah keduanya perbuat."Kenapa kamu melakukannya, Sarah?!" tanyanya dengan wajah semakin merah padam. Bahkan urat-urat di wajahnya terlihat jelas akibat menahan murka."A-aku ...," Sarah justru tidak sanggup menjawab, karena dirinya benar-benar ketakutan, hingga tidak sanggup melakukan pembelaan diri."Aku, apa?!" hardik Aditya semakin murka, bahkan kedua tangannya ia arahkan pada leher Sarah yang kini memucat."A-aku ti-tidak bi-sa ber-na-pas," ungkap Sarah saat Aditya mencekiknya. Kedua tangannya ia arahkan ke atas, berharap cekikan itu terlepas saat dirinya memukul lengan lelaki itu sekuat tenaga. Namun Aditya bergeming, wajahnya bahkan semakin mengeras sehingga iapun mempererat cekikan nya.Tepat saat Sarah hampir kehilangan kesadarannya, Aditya melepaskan cekikan nya pada leher sang mantan istri. Wanita itu terbatuk-batuk, memegangi lehernya yang memerah. Namun mantan suaminya memilih tidak perduli. "Jalan, Mang! ke hotel!"Mata Sarah terbelalak mendengarnya. "Gak! Please, jangan lakukan itu, Mas! Aku harus pergi bekerja!" mohonnya, menghiba."Tenang saja. Kamu bakal aku bayar asal bisa muasin aku sama pelayanan kamu," tukas Aditya, duduk bersender."SINTING! KAMU PIKIR AKU WANITA MURAHAN?!" Sarah menatap nyalang."Tidak!" sahut Aditya tegas, menoleh dengan seringai licik tersungging. "tapi, kamu adalah simpanan ku mulai detik ini,""Kamu gila?!" maki Sarah, memiringkan tubuhnya, kembali meraih kenop pintu. Namun, Aditya kembali memeluknya erat dari belakang, menahan pergerakannya. "LEPAS! LEPASIN AKU!" Ia memberontak."Apa tidak sebaiknya kamu ikut denganku ke sana, agar kita tidak perlu berjauhan. Karena jujur saja, aku semakin menyukai rasamu, Sayang. Lagipula kita telah memiliki anak, bukan. Pasti anak kita akan senang jika melihat ayah dan ibunya bersatu kembali. Selain itu, di sana juga adalah negara bebas, sehingga biarpun kita tidak terikat dalam ikatan pernikahan, kita masih bisa tinggal bersama. Bagaimana menurutmu, Sayang? Ideku ini brilian, bukan?" tanya Aditya dengan gembira. "bahkan koperku sudah ada di bagasi, jadi kita bisa berangkat ke bandara dari sini."Sarah terdiam, dirinya ingin membantah bahkan memaki juga menghajar lelaki itu membabi buta. Namun dirinya berusaha mengukur kemampuannya sendiri yang tidak memiliki sedikitpun kekuatan untuk membalas perbuatan yang Aditya lakukan."Bagaimana menurutmu, Sayang?" tanya Aditya kembali, mendesak Sarah agar mau menurutinya."Aku ikut pergi denganmu ke London, lalu ibumu tahu jika aku ikut, kemudian kembali menyakiti diriku serta memfitnah diriku seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Begitukah maksudmu?" tanya Sarah dengan sarkas, ia menertawakan ucapan Aditya yang tidak bisa menggunakan otaknya dengan baik."Kapan mama memfitnah mu? Bukankah kamu memang selingkuh dengan sopir keluarga kita, karena kamu tidak puas denganku!" tuduh Aditya berang."Terserah kamu saja, jika kamu memang mempercayai mulut ibumu daripada aku yang pernah menjadi istrimu," tukas Sarah kesal, kembali berusaha berontak. "please, ijinkan aku pulang? Aku mohon dengan sangat!"Aditya mendengkus, "Mang, ke bandara sekarang juga!" titahnya."Mas, please ... aku gak mau ikut!" rengek Sarah, memohon saat Aditya menariknya paksa keluar mobil. Mereka sudah tiba di bandara, bahkan sebuah pesawat jet pribadi telah berdiri dengan gagahnya, siap melayang di udara."Harus! aku gak terima penolakan sedikitpun!" sahut Aditya tegas, menarik kencang lengan Sarah hingga wanita itu berhasil keluar dari mobil."Mas ... please, Mas Adit. aku gak mau! Nanti bagaimana dengan Satria, Mas? Kasian dia kalau aku pergi? Dia masih ASI, Mas ...," rengek Sarah sambil menangis, menarik-narik tangannya agar terlepas. Namun cekalan Aditya terasa meremukkan tulangnya.Aditya tiba-tiba menghentikan langkahnya, berbalik cepat hingga tubuh mereka bertabrakan. Lelaki itu menahan pinggang Sarah agar tidak terjatuh.Sarah tercekat. matanya yang memerah dengan gumpalan air mata yang berjatuhan satu persatu menatap wajah mengeras lelaki itu, bibirnya bergetar hebat. "M-mas.""Bisakah kamu berhenti merengek? Karena kamu tahu dengan baik jika aku bukan tipe pri
Aditya mendekat, menyentuh pundak Sarah sembari memanggil nama wanita itu. "Sar, kamu gak mati, kan?"Namun Sarah bergeming hingga membuat Aditya sedikit dilanda perasaan takut yang bercampur aduk.Aditya lantas menunduk, membalikkan tubuh Sarah hingga berbaring telentang. Desah lega lolos dari mulutnya saat melihat wanita itu masih bernapas. "Bikin takut aja kamu, Sayang," gerutunya pelan, duduk bersender di bawah ranjang. Tak lama setelahnya, lelaki itu terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala."CK, sepertinya kamu kecapekan banget, ya? Makanya gitu, tidur kek orang pingsan." Aditya bangkit berdiri, berjalan ke arah koper miliknya, mengambil pakaian yang ia butuhkan, lalu mengenakannya secepat mungkin.Lelaki itu lantas menyambar kotak rokok, mulai menyalakan salah satunya sembari berjalan ke arah balkon, berdiri di tepinya dengan tatapan lurus ke depan. Ia mengisap pelan dengan tatapan mulai menerawang ke belakang sembari mengingat posisi tidur Sarah.***"Saya mohon, Tuan ... ja
Marni perlahan berdiri. Kedua tangannya terlihat saling mengepal di kedua sisi tubuhnya. Gemuruh amarah bahkan menerpa sekujur tubuhnya hingga kulit sewarna zaitun itu memerah."Tuan Muda boleh menghina saya atau memukul saya. Tapi, saya tidak akan pernah memaafkan orang yang telah menyakiti putri saya," tuturnya geram sambil menatap nyalang pada lelaki arogan di hadapannya.Aditya terkekeh sarkas mendengar ucapan berani yang Marni lontarkan. Lelaki itu lantas memangkas jarak hingga Marni terpaksa mendongak. "Lo pikir, Lo siapa? Berani-beraninya Lo ngancem gue," tegur nya dingin."Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang ibu dari anak ga dis yang kegadisannya baru saja Tuan Muda renggut." Marni berucap penuh keberanian. Ia bahkan tak segan semakin menatap tajam pada Aditya.Aditya terpana beberapa detik, kagum dengan keberanian sang pelayan. Namun, detik berikutnya seringai lebar kembali terbit di wajahnya. "Ok, gue jabanin." Lelaki itu lantas mengayunkan langkah, kembali ke arah ka
PLAK!Sebuah tamparan nyaring dilayangkan seorang laki-laki pada seorang wanita yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Wanita itu terperanjat kaget. Matanya terbelalak saat ia menatap balik wajah mengeras lelaki itu. "Kenapa kamu menamparku, Mas?!"Lelaki itu bergeming. Napasnya terdengar berburu. Namun dari belakang, justru terdengar suara yang ia kenal betul itu siapa. "Kamu memang pantas di tampar, bahkan kalau perlu dibunuh sekalian! Karena kamu itu, tidak lebih dari wanita hina!" maki wanita tua dengan wajah merah padam menahan murka. Tangan kanannya menunjuk pada wanita yang lebih muda itu."Apa salahku, Ma?" tanyanya bingung."Apa salahmu, kau bilang?!" Wanita tua itu bergegas memangkas jarak mereka, meraih kedua bahunya lalu menariknya agar mengikuti langkah kaki si wanita tua. "lihat di sana! Apa yang kamu lakukan dengan Rian, hah?!" makinya lantang seraya menunjuk ke arah ranjang dimana terlihat seorang laki-laki muda sedang berusaha menutupi tubuh telanjangnya dengan
"Yang aku tahu, dirinya juga sama pengecutnya dengan Kakak kembarnya yang hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibu mereka!" paparnya dimana sorot benci itu terlihat jelas.Raditya yang bersembunyi di balik tembok, hanya mampu menghela napas pendek dengan kedua bahu terkulai lemah, saat mendengar penuturan jujur dari mulut sang mantan Kakak Ipar. Dirinya memang mengakui jika dirinya dan kembarannya adalah orang-orang yang pengecut, dimana hanya bisa bersembunyi dibalik ketiak ibunya, sesuai dengan apa yang Sarah ucapkan. Dengan langkah gontai, iapun berjalan meninggalkan tempat itu, menuju mobilnya yang ia parkir kan di seberang jalan."Jangan terlalu membenci, Nak! Karena mau bagaimanapun, di dalam tubuh Satria mengalir darah mereka! Dia garis keturunan mereka dan kamu tidak bisa memutuskan pertalian darah itu, meskipun kamu menggunakan cara ekstrim sekalipun untuk memutuskannya!" Marni menasehati dengan lembut juga senyum penuh keibuan.Sarah lantas menatap seutuhnya pada wanita bai
"Lepaskan aku brengsek!" makinya kesal, saat melihat siapa orang yang telah menariknya paksa."Sstt ...! Jangan berontak, Sayang!" pinta sesosok lelaki yang sedang memeluknya erat dari belakang. Menahan kedua tangannya yang hendak membuka paksa pintu mobil."Lepasin aku, Setan!" hardik Sarah semakin murka. Kedua kakinya menendang-nendang ke sembarang arah, begitupula dengan tubuhnya yang berontak, berusaha melepaskan pelukan lelaki itu, dimana ia kenali aromanya karena aroma itulah yang setiap malam menemani tidurnya saat mereka masih menjadi sepasang suami istri."Sstt ... kok mulutmu makin kasar sekarang, Sayang!" tegur Aditya kesal, karena Sarah terus saja berontak. "bukankah sudah aku bilang, kalau aku gak suka kalau kamu sudah ngomong kasar gitu! Karena bikin aku bergairah, tau gak!" omelnya dengan wajah merah padam menahan hasrat untuk menyerang mantan istrinya membabi buta."An jing! Se tan! Ib lis! Jangan sentuh aku, Setan! Aku gak sudi!" pekik Sarah dengan suara keras, yang s