MasukKarin keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang dan kembali ke tengah pesta. Musik klasik masih mengalun, lampu kristal menggantung anggun, para tamu bercengkerama dengan senyum palsu mereka masing-masing.
"Sungguh dunia orang kaya emnag beda" gumamnya pelan. Dan ketika ia ingin kembali ke sudut ruangan, seorang pelayan yang terburu-buru lewat membawa nampan berisi beberapa gelas jus. Tanpa sengaja, salah satu gelas jus itu miring dan...... Brakk! Cairan kuning dari jus itu tumpah tepat di bagian depan gaun hitamnya yang elegan. Beludru hitam yang semula tampak sempurna kini ternodai, lembap, dan lengket. Karin terpaku sejenak. Rasa dingin dari cairan itu membuatnya refleks menarik napas dalam-dalam. bahkan seluruh perhatian tamu di sekitar pun mulai tertuju padanya. Pelayan itu langsung pucat pasi. Tanpa sadar, ia segera berlutut di hadapan Karin, kedua tangannya gemetar memegangi nampan. “Nona, ampun... saya benar-benar tidak sengaja! Saya mohon maaf... saya akan segera membersihkannya!” Karin hanya menghela napas pelan, matanya sekilas menatap noda kekuningan yang mengotori gaun hitamnya. Bukannya marah, ia justru menepuk ringan lengan pelayan yang panik berlutut di hadapannya. “Sudah, berdirilah. Aku baik-baik saja. Pergilah,” ucapnya tenang, suaranya tanpa nada menghardik sedikit pun. Beberapa tamu yang berdiri tak jauh dari sana saling pandang, bisik-bisik mulai terdengar. Mereka mengenal sosok Karin Domanic yang dulu tak akan segan melayangkan tamparan hanya karena insiden kecil seperti itu. Kini, gadis itu hanya tersenyum tipis, seolah hal itu tak layak dijadikan masalah. Siren yang sedari tadi memperhatikan, tersenyum simpul sambil mengangkat alis. “Sungguh keajaiban seorang Karin Domanic… membiarkan pelayan itu pergi begitu saja,” ujarnya pelan, nyaris seperti gumaman yang penuh arti. Di tengah riuh pesta, seseorang di balik kerumunan berdecak kesal, jari-jarinya menggenggam gelas terlalu erat hingga terdengar bunyi retakan halus. “Sial… kenapa dia tidak marah? Kenapa dia tidak berbuat kasar seperti biasanya?” desisnya pelan, matanya tak lepas dari sosok Karin yang tampak semakin sulit ditebak. Karin menatap seselilingnya sebentar. Ia merasa cukup dengan semua mata yang terus mengikutinya malam ini. Dengan gaun basah di sisi kanan tubuhnya, ia memutuskan untuk pulang. Di area parkiran, udara malam menyambutnya. Karin berjalan cepat, namun langkahnya kembali terhenti ketika melihat seseorang bersandar pada mobil hitam di sudut area parkir. Sosok yang sama. Laki-laki dingin yang sempat membuatnya terjatuh di depan kamar mandi. “Hebat… ternyata dunia ini memang kecil banget ya?” gumam Karin dengan nada sarkas sambil menghembuskan napas kasar. Laki-laki itu mengangkat kepalanya perlahan, tatapan matanya sama seperti sebelumnya....tenang, dingin, dan sulit ditebak. Tidak ada senyum kali ini, hanya sorot mata yang seperti menguliti tiap gerak-gerik Karin. Karin menyilangkan tangan di depan dada, menatapnya tanpa takut. “Apa? Mau bales dendam” sindirnya, nada suaranya tajam tapi tidak meninggi. Laki-laki itu masih tidak menjawab. Hanya mengamati, seolah tengah menimbang sesuatu yang tidak bisa dibaca siapa pun. Angin malam berembus, membawa aroma parfum dari gaun Karin yang setengah lembap karena jus yang mengering. “Diam terus? Cocok banget sama sikapmu yang nggak tahu sopan santun itu,” lanjut Karin, lalu mengibaskan rambutnya, melangkah melewatinya begitu saja. Namun ketika ia hampir melewati bagian depan mobil itu, suara bariton rendah terdengar pelan, berat namun jelas menusuk udara malam. “Menarik… kamu benar-benar berbeda dari yang mereka ceritakan.” Langkah Karin terhenti sepersekian detik. Ia menoleh, menatapnya dengan tatapan setengah tak sabar, setengah penasaran. “Oh ya? Mereka cerita apa?” Laki-laki itu hanya menatap balik, tidak memberi jawaban yang diinginkan. Senyum samar terbit di ujung bibirnya, samar...tapi lebih seperti tantangan daripada keramahan. Karin mendengus pelan. “Lupakan. Aku nggak tertarik buat jadi bahan gosipmu.” Ia berjalan menuju mobilnya sendiri, heelsnya mengetuk lantai parkir yang sunyi. Namun di belakangnya, sosok laki-laki itu tetap berdiri tak bergeming, matanya mengikuti setiap langkah Karin hingga lenyap di balik deretan mobil. Laki-laki itu kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menekan satu nomor singkat. “Cari tahu semua hal tentang Karin Domanic.” Tanpa menunggu balasan, ia langsung memutus sambungan, lalu masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. . Mobil hitam itu melaju mulus membelah jalanan malam, meninggalkan pesta penuh lampu dan senyum palsu di belakangnya. Di kursi belakang, Karin bersandar dengan tangan menopang dagu, pandangannya kosong menatap kelamnya kota yang basah oleh hujan gerimis. Gaun hitam yang masih sedikit lembap akibat jus tadi mulai terasa dingin di kulitnya, namun ia sama sekali tak peduli. "Sungguh malam yang melelahkan… pesta, orang-orang sok ramah, tatapan penuh prasangka… dan satu orang misterius yang bahkan terlalu malas minta maaf," gumamnya dalam hati. Bibirnya melengkung miring. "Tapi anehnya, aku nggak merasa marah. Lebih tepatnya… bosan." Sekitar empat puluh menit kemudian, gerbang tinggi berlapis besi terbuka perlahan. Mobil memasuki halaman luas dengan lampu taman yang berjajar rapi di sepanjang jalan masuk. Aroma bunga mawar samar tercium saat angin malam menerobos jendela. Begitu mobil berhenti di depan pintu utama, seorang kepala pelayan telah menunggu dengan raut tertib. Pintu mobil dibuka, dan di sepanjang sisi kanan hingga ke tangga marmer, para pelayan berbaris rapi dan serentak menunduk hormat “Selamat malam, Nona Karin. Selamat datang kembali,” ujar kepala pelayan dengan suara sopan. Karin sempat tertegun sesaat. Meski ia sudah mulai terbiasa dengan status barunya sebagai pewaris keluarga kaya, setiap kali pemandangan seperti ini terjadi, selalu ada rasa janggal yang menggelitik di dadanya. "Hanya karena aku sekarang jadi Karin, semua orang ini bersikap seperti budak. Dulu aku cuma Clara, yang bahkan untuk disapa pun jarang." Namun wajahnya tetap datar. Ia melangkah menaiki tangga dengan anggun, gaun hitamnya bergeser mengikuti langkahnya. “Kalian tidak perlu repot-repot seperti ini setiap kali aku pulang. Aku cuma pergi ke pesta, bukan perang,” ucapnya santai, namun matanya tajam menyapu mereka satu per satu. Para pelayan saling pandang cepat, sebagian tampak heran. Karin Domanic yang mereka kenal dulu… akan menyukai penyambutan seperti ini, bahkan mungkin akan marah jika tak dilakukan. Tapi malam ini, nada suaranya lebih ringan, bukan kemarahan… lebih seperti seseorang yang sedang memberi peringatan agar tidak berlebihan. “Segera siapkan teh hangat di ruang baca. Dan...segera bersihkan gaun yang ku pakai saat ini.” tambahnya sambil melirik noda kekuningan di sisi bajunya. “Baik, Nona Karin,” sahut kepala pelayan, langsung memberi aba-aba pada dua pelayan muda untuk mengurus permintaan itu. Karin berjalan masuk ke dalam mansion. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal menyambutnya, lantai marmer yang berkilau memantulkan bayangannya. Dulu ia hanya bisa melihat kemewahan seperti ini di layar drama atau halaman majalah. Sekarang? Semua ini… miliknya. Ia melepas napas panjang. “Hari yang panjang… dan ini baru permulaan,” gumamnya, lalu melangkah menuju ruang baca, membiarkan para pelayan bergegas di belakangnya. Namun di lantai atas, dari balik bayangan koridor gelap yang tak tersentuh cahaya lampu, sepasang mata memperhatikannya dengan seksama. Tatapan dingin itu mengikuti setiap gerak langkah Karin, tak berkedip, seolah sedang menilai… atau menunggu saat yang tepat. Karin sama sekali tidak menyadari bahwa pesta malam ini hanyalah awal. Bahwa mulai detik ini, hidupnya tidak lagi hanya milik dirinya sendiri. Bersambung…Karin sudah memutuskan satu hal: mulai sekarang, menghindari Brayen Alexander adalah prioritas hidupnya.Setelah tahu siapa sebenarnya laki-laki itu — pewaris keluarga Alexander dan tokoh antagonis utama dalam cerita ini — ia tidak ingin berurusan lagi walau cuma satu detik.Sejak keluar dari ruang baca pagi itu, langkahnya berubah seperti agen rahasia yang tengah menyelinap di markas musuh. Ia menunduk sepanjang jalan, sesekali mengintip ke ujung koridor untuk memastikan tak ada siluet tinggi berambut hitam di sekitar.Siren yang berjalan di sebelahnya hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar berlebihan.”“Berlebihan?” Karin berbisik panik, suaranya hampir tak terdengar. “Aku baru aja nyerang musuh utama, Siren. MUSUH. UTAMA. Kau pikir aku masih punya nyawa kalau dia dendam?”Siren menatapnya datar. “Dia cuma laki-laki, bukan iblis.”“Belum tentu,” balas Karin cepat. “Tatapannya waktu tadi aja udah cukup bikin aku mimpi buruk seminggu.”Begitu sampai di depan kelas berikutnya, K
Brayn tidak langsung pergi setelah kalimat terakhirnya. Ia malah menarik kursi di depan Karin dengan gerakan tenang, nyaris tanpa suara, lalu duduk.Siren menatap adegan itu dengan mata yang langsung berbinar geli. Karin, di sisi lain, hanya bisa menegang seperti patung yang baru saja dilumuri lem.“Eh—tunggu, kenapa kau duduk di sini?” tanya Karin cepat, nada suaranya melengking setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya.Brayn menautkan jari-jarinya di atas meja, menatapnya datar tapi dengan sorot yang berbahaya tenang. “Karena ini tempat kosong,” jawabnya kalem, seperti hal sepele. “Atau kau keberatan, Nona Domanic?”Nada “Nona Domanic”-nya terdengar seperti sindiran yang dibungkus sopan santun.Karin menelan ludah, bahunya menegang. “B..bukan masalah, sih… cuma biasanya meja ini udah ada yang duduk...”“Bagus,” potong Brayn pelan. “Berarti aku bisa duduk di sini.”Siren menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah. Matanya berpindah antara Brayn dan
Karin.Nama itu meluncur di kepalanya seperti pukulan keras.“Sialan…” gumamnya dalam hati, wajahnya langsung memucat. “Dari semua manusia di dunia ini… kenapa harus dia orangnya?!”Seketika, potongan-potongan ingatan menyerbu tanpa ampun, mulai dari pesta pertama kali mereka bertemu, tatapan dingin di kelas kemarin, dan semua umpatan, cubitan, bahkan dorongan kecil yang pernah ia layangkan pada laki-laki itu tanpa tahu siapa dia sebenarnya.Karin menunduk cepat, jemarinya refleks menutupi sebagian wajah sambil pura-pura merapikan poni. Tapi gerakannya kaku, seperti robot yang salah program. Napasnya terasa berat, dan dalam kepalanya, segalanya berputar kacau."Astaga… gue udah nyerang tokoh antagonis utama! Tokoh antagonis!""Bukan figuran, bukan pemeran pendukung… tapi ANTAGONIS!"Tubuhnya langsung kehilangan tenaga. Ia bersandar ke kursi, bahunya merosot lemas sementara matanya menatap kosong ke depan.“Bisakah aku mengulang waktu saja?” bisiknya sangat pelan, nyaris tidak terdeng
Suasana kantin masih terasa tenang ketika Karin dan Siren larut dalam percakapan mereka yang setengah serius, setengah sarkastik. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.Pintu kantin terbuka dengan suara denting halus, dan seketika, suasana berubah.Beberapa mahasiswa perempuan yang tadinya sibuk sarapan mendadak saling berbisik, lalu menoleh ke arah pintu. Suara kursi berderit, bisik-bisik kecil mulai mengisi udara.Siren mengangkat pandangan, hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat dua sosok yang baru masuk.Dua laki-laki tampan memasuki ruangan, langkah mereka tenang tapi penuh wibawa.Yang pertama, berambut hitam legam dengan postur tegap. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tatapan matanya lurus ke depan, seolah tak peduli pada keramaian di sekelilingnya. Dan justru ketidakpedulian itu membuat auranya semakin menekan, seakan siapa pun yang melihatnya otomatis menahan napas.Di sampingnya, berjalan laki-laki berambut cokelat keemasan. Sorot matanya tajam tapi santai, bibirnya memben
Karin berjalan meninggalkan taman dengan langkah tenang, meski pipinya masih terasa perih. Begitu jarak antara dirinya dan kerumunan cukup jauh, ia berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan kampus. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan helai rambutnya yang terurai, tapi rasa panas di wajahnya belum juga hilang. Ia menyentuh pipinya perlahan, mengusapnya dengan ujung jari yang dingin. “Sial…” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi jelas mengandung kejengkelan. “Haruskah aku terlibat dengan gadis gila itu?” Sudut bibir Karin terangkat samar, bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir penuh lelah. Ia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi. Lucia Efrains, si gadis sempurna yang dikagumi semua orang, sejak awal selalu mencari masalah dengannya tanpa alasan jelas. Sejujurnya, Karin tidak pernah berniat ikut campur dalam hidup Lucia. Ia bahkan berusaha menghindar sejak pertama kali mereka berpapasan di kampus. Namun dunia rupanya tak semudah itu. Karena kali
Di ruangan klub sosial kampus yang megah, tirai krem bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Aroma teh melati memenuhi udara, namun suasana di dalam jauh dari kata tenang. Lucia menatap layar ponselnya dengan mata membulat, jemarinya yang biasanya halus kini menggenggam perangkat itu begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di layar, potongan video berputar jelas, menampilkan dirinya kemarin sore di pelataran kampus. Ia tampak menahan Karin yang hendak pulang, suaranya tinggi, nadanya menuntut. Sementara itu, Karin hanya berdiri diam, ekspresi tenang dengan tatapan dingin yang tidak bisa ditafsirkan. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh, video itu berbicara sendiri. Komentar demi komentar memenuhi layar, bergulir tanpa henti: “Ternyata bukan Karin yang mulai, ya?” “Tunggu, kok kayaknya Lucia sengaja jatuh?” “Lihat deh ekspresinya, terlalu dibuat-buat.” “Karin nggak nyentuh dia, tapi kenapa Lucia bisa teriak kayak gitu?” “Dulu aku percaya Lu







