Share

Bab 4

Author: Niya a
last update Last Updated: 2025-09-17 10:52:07

Minggu depan akan menjadi awal baru bagi Karin. Awal yang selama ini ia tahu akan datang, namun tak pernah benar-benar ia rasakan sedekat ini. Meski sempat dilanda keraguan, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, seperti yang tertulis dalam novel.

Keputusan itu bukan lahir dari ambisi besar ataupun keinginan untuk dikenal banyak orang, melainkan karena kedua orang tuanya ingin ia tetap menempuh jalur pendidikan. Terlebih lagi, ia adalah anak satu-satunya dari keluarga Domanic...putri semata wayang Lucas dan Alina Domanic.

"Ini nih nasib anak semata wayang," gumamnya pasrah, ia lalu sedikit mengernyitkan dahi saat melihat jadwal pendaftarannya.

Ia sebenarnya sudah tahu kalau Lucia dan para tokoh utama lain tetap memilih kampus yang sama dengan jalur cerita aslinya. Namun, kali ini ia dengan sengaja mengambil jalur berbeda yaitu jurusan manajemen bisnis, bukan desain seperti di cerita aslinya. Pilihan itu bukan sekadar soal jurusan, melainkan strategi.

"Dengan begini aku bisa atur ritme hidupku sendiri," pikirnya, menatap map pendaftaran di meja.

"Tanpa harus terus-terusan terseret ke dalam drama dan intrik yang selalu berputar di lingkaran seni."

Lagipula, dunia desain di kampus itu terlalu dekat dengan para tokoh utama. Di sana, Lucia sibuk dengan proyek-proyek seninya, sementara teman-temannya hampir selalu berkumpul di fakultas itu, membuat setiap sudutnya terasa penuh persaingan, komentar pedas, dan gosip yang tak ada habisnya.

"Sungguh ironis," ucapnya pelan, seperti tertawa pada dirinya sendiri sambil menutup map berisi dokumen pendaftaran kuliah dengan gerakan cepat.

Namun, di balik tawa itu, ada rasa samar yang belum juga hilang, perasaan diawasi yang muncul sejak pesta malam itu.

Karin menggeleng pelan, mencoba menepis bayangan itu. “Ah, jangan bodoh. Fokus saja ke awal barumu, Karin.”

.

.

Sementara itu, di tempat lain...lebih tepatnya di dalam sebuah ruangan mewah yang diterangi cahaya temaram, seorang laki-laki duduk di kursi kebesarannya. Jemarinya mengetuk pelan sampul sebuah map tebal yang terbuka di pangkuannya, berisi lembaran-lembaran informasi yang jelas disusun dengan teliti.

"Jadi, dia akan kuliah di kampus milik keluarga bangsawan Alexander…" gumamnya pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum miring yang sulit diartikan.

Ia berdiri perlahan, menghampiri kaca besar yang menghadap langsung ke gemerlap kota malam. Dari sakunya, ia mengeluarkan sebatang rokok, menyalakannya dengan gerakan santai. Asap tipis mengepul, berbaur dengan cahaya redup yang menyoroti wajahnya.

"Sepertinya… kita akan segera bertemu lagi," bisiknya rendah, suaranya nyaris tak terdengar namun sarat akan janji tersembunyi. Tatapannya menembus kerlip lampu kota, seolah di balik sana sudah tergambar rencana yang akan segera digerakkan.

.

Hari-hari terakhir sebelum perkuliahan dimulai, Karin habiskan di mansion keluarga Domanic. Suasana mansion besar itu terasa lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan mondar-mandir di lorong, membawa kotak, pakaian, dan berbagai perlengkapan yang akan ia butuhkan.

Semuanya diatur sedemikian rupa demi memastikan minggu pertamanya di kampus berjalan lancar, mulai dari pakaian kasual yang sudah disusun per hari, perlengkapan kuliah bahkan kendaraan khusus pun sudah dipersiapkan agar ia tidak perlu repot memikirkan transportasi.

Di ruang baca yang luas, Karin duduk di kursi empuk dengan punggung tegak, tatapannya mengarah ke luar jendela besar yang menampilkan halaman depan mansion. Angin sore menyibakkan tirai tipis, membiarkan sinar matahari yang hampir tenggelam memantul di permukaan marmer, memantulkan kilau keemasan yang membuat suasana sore itu terasa megah sekaligus sendu.

Pintu terbuka pelan. Kepala pelayan masuk dengan langkah teratur, membawa setumpuk baju dan beberapa tas tangan mahal.

“Nona Karin, ini semua persiapan untuk minggu pertama di kampus,” ucapnya sopan, lalu meletakkan barang-barang itu di atas meja kayu panjang.

Karin menoleh, matanya menyapu satu per satu detail di hadapannya. “Cukup rapi,” katanya ringan, lalu mengangkat pandangan pada sang pelayan.

“Tapi pastikan sepatu yang nyaman juga siap. Aku tidak ingin kelihatan kikuk hanya karena sepatu yang tak mendukung di antara mahasiswa lainnya.”

“Baik, Nona,” sahut kepala pelayan sambil menunduk hormat.

“Kami juga sudah menyiapkan kendaraan khusus untuk Nona, agar perjalanan ke kampus lebih cepat dan tetap aman.”

Karin mengetuk permukaan meja sekali dengan jarinya, bibirnya membentuk senyum tipis yang samar. “Bagus. Aku ingin semuanya berjalan lancar. Tidak ada drama yang tidak perlu.”

Namun, di balik ketenangan yang ia tunjukkan itu, pikirannya tetap waspada. Ia tak bisa menutup mata terhadap segala kemungkinan yang menunggunya di sana...bertemu Lucia, melihat Rafael lagi, mungkin juga berpapasan dengan Siren. Dan ada satu sosok lain… seseorang yang hingga kini belum menunjukkan diri, bahkan di pesta malam itu. Karin mengembuskan napas perlahan.

"Tak masalah," pikirnya.

"Siapa pun yang muncul, aku akan hadapi dengan tenang."

Malam itu, setelah para pelayan beranjak, ia memilih duduk di balkon lantai atas mansion. Angin malam berembus lembut, membawa aroma samar kebun mawar yang sedang mekar. Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul pelan, mengisi udara dengan aroma ysng menenangkan.

“Awal baru, ya… semoga aku bisa menjaga ketenangan ini,” gumamnya, lebih seperti bicara kepada dirinya sendiri daripada siapa pun.

Belum sempat ia larut dalam ketenangan malam, suara ponselnya bergetar di meja kecil di sampingnya. Alisnya terangkat, ekspresi wajahnya berubah menjadi sedikit heran. “Siapa sih malam-malam begini?” gumamnya seraya meraih ponsel.

Layar menyala, namun tak menunjukkan nama siapa pun yang familiar....Sebuah nomor asing, tak ada identitas yang jelas. Karin menghela napas, ragu sejenak, jarinya menggantung di atas layar. Pada akhirnya, ia hanya menggeleng pelan. “Ck pasti orang iseng.”

Ia meletakkan kembali ponsel itu di meja, lalu kembali menatap langit malam yang mulai dipenuhi bintang.

.

Pagi pertama yang ditandai sebagai langkah awal Karin di dunia perkuliahan akhirnya tiba. Matahari baru saja menanjak, memantulkan sinar keemasan di dinding kaca mansion Domanic.

Karin melangkah keluar dengan tenang, mengenakan gaun kasual yang berpadu dengan sepatu putih sederhana, pilihan yang ia pikirkan agar tak terlalu mencolok, meskipun ia tahu, nama belakangnya sendiri sudah cukup menjadi magnet perhatian.

Di tangannya, map hitam berisi dokumen dan kartu identitas mahasiswa.

Sopir membukakan pintu. “Selamat pagi, Nona Karin. Perjalanan akan memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Apakah kita langsung menuju gerbang utama kampus?”

“Iya,” jawab Karin singkat sambil masuk ke dalam mobil.

“Tak perlu singgah ke mana pun.”

Setibanya di kampus, mobil itu berhenti tepat di depan gerbang utama yang menjulang megah. Simbol keluarga bangsawan Alexander terpampang di atasnya.

“Baiklah, Karin… minggu pertama dimulai. Jangan sampai ada yang mengganggu kedamaian barumu,” bisiknya pelan sebelum melangkah melewati gerbang kampus.

Namun tanpa ia sadari… tak jauh dari sana, di bawah rindang pohon dekat gerbang, seorang laki-laki berdiri diam. Tatapannya mengikuti setiap gerak Karin sejak ia turun dari mobil, tatapan itu penuh dengan sorot yang sulit ditebak, antara penasaran dan sesuatu yang lebih dalam.

“Ini akan menyenangkan,” gumamnya pelan, nyaris seperti angin, namun mengandung makna tersembunyi yang belum siap ia tunjukkan.

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 17

    Karin sudah memutuskan satu hal: mulai sekarang, menghindari Brayen Alexander adalah prioritas hidupnya.Setelah tahu siapa sebenarnya laki-laki itu — pewaris keluarga Alexander dan tokoh antagonis utama dalam cerita ini — ia tidak ingin berurusan lagi walau cuma satu detik.Sejak keluar dari ruang baca pagi itu, langkahnya berubah seperti agen rahasia yang tengah menyelinap di markas musuh. Ia menunduk sepanjang jalan, sesekali mengintip ke ujung koridor untuk memastikan tak ada siluet tinggi berambut hitam di sekitar.Siren yang berjalan di sebelahnya hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar berlebihan.”“Berlebihan?” Karin berbisik panik, suaranya hampir tak terdengar. “Aku baru aja nyerang musuh utama, Siren. MUSUH. UTAMA. Kau pikir aku masih punya nyawa kalau dia dendam?”Siren menatapnya datar. “Dia cuma laki-laki, bukan iblis.”“Belum tentu,” balas Karin cepat. “Tatapannya waktu tadi aja udah cukup bikin aku mimpi buruk seminggu.”Begitu sampai di depan kelas berikutnya, K

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 16

    Brayn tidak langsung pergi setelah kalimat terakhirnya. Ia malah menarik kursi di depan Karin dengan gerakan tenang, nyaris tanpa suara, lalu duduk.Siren menatap adegan itu dengan mata yang langsung berbinar geli. Karin, di sisi lain, hanya bisa menegang seperti patung yang baru saja dilumuri lem.“Eh—tunggu, kenapa kau duduk di sini?” tanya Karin cepat, nada suaranya melengking setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya.Brayn menautkan jari-jarinya di atas meja, menatapnya datar tapi dengan sorot yang berbahaya tenang. “Karena ini tempat kosong,” jawabnya kalem, seperti hal sepele. “Atau kau keberatan, Nona Domanic?”Nada “Nona Domanic”-nya terdengar seperti sindiran yang dibungkus sopan santun.Karin menelan ludah, bahunya menegang. “B..bukan masalah, sih… cuma biasanya meja ini udah ada yang duduk...”“Bagus,” potong Brayn pelan. “Berarti aku bisa duduk di sini.”Siren menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah. Matanya berpindah antara Brayn dan

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 15

    Karin.Nama itu meluncur di kepalanya seperti pukulan keras.“Sialan…” gumamnya dalam hati, wajahnya langsung memucat. “Dari semua manusia di dunia ini… kenapa harus dia orangnya?!”Seketika, potongan-potongan ingatan menyerbu tanpa ampun, mulai dari pesta pertama kali mereka bertemu, tatapan dingin di kelas kemarin, dan semua umpatan, cubitan, bahkan dorongan kecil yang pernah ia layangkan pada laki-laki itu tanpa tahu siapa dia sebenarnya.Karin menunduk cepat, jemarinya refleks menutupi sebagian wajah sambil pura-pura merapikan poni. Tapi gerakannya kaku, seperti robot yang salah program. Napasnya terasa berat, dan dalam kepalanya, segalanya berputar kacau."Astaga… gue udah nyerang tokoh antagonis utama! Tokoh antagonis!""Bukan figuran, bukan pemeran pendukung… tapi ANTAGONIS!"Tubuhnya langsung kehilangan tenaga. Ia bersandar ke kursi, bahunya merosot lemas sementara matanya menatap kosong ke depan.“Bisakah aku mengulang waktu saja?” bisiknya sangat pelan, nyaris tidak terdeng

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 14

    Suasana kantin masih terasa tenang ketika Karin dan Siren larut dalam percakapan mereka yang setengah serius, setengah sarkastik. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.Pintu kantin terbuka dengan suara denting halus, dan seketika, suasana berubah.Beberapa mahasiswa perempuan yang tadinya sibuk sarapan mendadak saling berbisik, lalu menoleh ke arah pintu. Suara kursi berderit, bisik-bisik kecil mulai mengisi udara.Siren mengangkat pandangan, hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat dua sosok yang baru masuk.Dua laki-laki tampan memasuki ruangan, langkah mereka tenang tapi penuh wibawa.Yang pertama, berambut hitam legam dengan postur tegap. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tatapan matanya lurus ke depan, seolah tak peduli pada keramaian di sekelilingnya. Dan justru ketidakpedulian itu membuat auranya semakin menekan, seakan siapa pun yang melihatnya otomatis menahan napas.Di sampingnya, berjalan laki-laki berambut cokelat keemasan. Sorot matanya tajam tapi santai, bibirnya memben

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 13

    Karin berjalan meninggalkan taman dengan langkah tenang, meski pipinya masih terasa perih. Begitu jarak antara dirinya dan kerumunan cukup jauh, ia berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan kampus. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan helai rambutnya yang terurai, tapi rasa panas di wajahnya belum juga hilang. Ia menyentuh pipinya perlahan, mengusapnya dengan ujung jari yang dingin. “Sial…” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi jelas mengandung kejengkelan. “Haruskah aku terlibat dengan gadis gila itu?” Sudut bibir Karin terangkat samar, bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir penuh lelah. Ia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi. Lucia Efrains, si gadis sempurna yang dikagumi semua orang, sejak awal selalu mencari masalah dengannya tanpa alasan jelas. Sejujurnya, Karin tidak pernah berniat ikut campur dalam hidup Lucia. Ia bahkan berusaha menghindar sejak pertama kali mereka berpapasan di kampus. Namun dunia rupanya tak semudah itu. Karena kali

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 12

    Di ruangan klub sosial kampus yang megah, tirai krem bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Aroma teh melati memenuhi udara, namun suasana di dalam jauh dari kata tenang. Lucia menatap layar ponselnya dengan mata membulat, jemarinya yang biasanya halus kini menggenggam perangkat itu begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di layar, potongan video berputar jelas, menampilkan dirinya kemarin sore di pelataran kampus. Ia tampak menahan Karin yang hendak pulang, suaranya tinggi, nadanya menuntut. Sementara itu, Karin hanya berdiri diam, ekspresi tenang dengan tatapan dingin yang tidak bisa ditafsirkan. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh, video itu berbicara sendiri. Komentar demi komentar memenuhi layar, bergulir tanpa henti: “Ternyata bukan Karin yang mulai, ya?” “Tunggu, kok kayaknya Lucia sengaja jatuh?” “Lihat deh ekspresinya, terlalu dibuat-buat.” “Karin nggak nyentuh dia, tapi kenapa Lucia bisa teriak kayak gitu?” “Dulu aku percaya Lu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status