LOGINSore itu, Clara yang kini menempati tubuh Karin Domanic...duduk manis di taman mansion dengan segelas teh hangat di tangan dan sepiring kue tersaji didepannya.
Angin sore berhembus lembut, membawa aroma bunga yang menenangkan, sesuatu yang jarang ia rasakan di hidupnya yang sebelumnya penuh kekacauan. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh langkah ringan di jalan setapak. Kepala pelayan muncul, membungkuk hormat. “Nona Karin, maaf mengganggu. Saya hanya ingin memberitahukan… ada acara penting malam ini. Pesta keluarga dari Edison. Semua tamu penting akan hadir,” ucapnya pelayan itu, nada suaranya sopan, namun ada sedikit getar ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Saat pelayan menyebut nama Edison, tubuh Karin seketika menegang. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti sesaat. "Edison… itu nama keluarga tokoh utama wanita dalam novel ini, Lucia Edison!" pikir Clara panik. Dan detik itu juga, semua potongan ingatan halaman pertama novel itu berputar cepat di kepalanya, dimana Karin Domanic membuat masalah dengan Lucia karena kedekatannya dengan Rafael, sang tokoh utama pria yang juga menjadi pusat perhatian Karin. Dari momen itu pula, sang tokoh antagonis pria muncul dan langsung jatuh hati pada Lucia saat gadis itu tanpa sengaja tersandung dan terjatuh ke pelukannya. Sehingga menjadi titik awal interaksi yang memicu konflik, persaingan, dan kisah cinta segitiga yang rumit antara Lucia, Rafael dan tokoh antagonis pria itu. "Tidak mungkin… aku benar-benar masuk ke dunia novel ini, tepat di awal cerita?" batinnya berdesir. “Aku tidak akan ikut,” ujar Karin akhirnya, suaranya lebih dingin dari yang ia sadari sendiri. “Jangan kira aku bisa dipaksa begitu saja.” Pelayan menunduk, suaranya tetap sopan tapi kini lebih tegas. “Maaf, Nona. Tapi Nona Karin harus hadir sebagai perwakilan orangtua Anda, yang saat ini sedang berada di luar negeri. Mereka meminta Nona hadir demi menjaga nama baik keluarga.” Karin menatapnya sejenak, napasnya mulai memburu karena kesal. “Perwakilan keluarga hah?” Pelayan menunduk lebih dalam, jelas takut dengan reaksi Karin tapi tetap menahan diri. “Nona, saya mohon. Ini penting bagi keluarga Domanic.” . Dan di sinilah Karin saat ini berada… berdiri di sudut pojok ruangan dengan sepiring kue di tangannya. “Sial… seharusnya tidak begini,” umpatnya pelan, lalu buru-buru memasukkan potongan kue ke mulutnya. Ia mengunyah cepat, seakan bisa menelan rasa canggung sekaligus bersama manisnya kue. "Seharusnya aku ada di kamar, tidur nyaman dengan bantal, bukan terjebak di pesta ramai seperti ini." Namun kenyataan berkata lain. Ia terjebak di pesta megah, berdiri dengan gaun hitam tanpa lengan yang begitu elegan, membuatnya tampak sempurna di mata semua tamu. Rasanya absurd. Setiap pandangan yang melintas membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Keinginannya sangat sederhana yaitu menyelinap masuk tanpa diperhatikan, menghindari interaksi yang bisa memancing masalah sejak awal. Namun, gaun elegan dan perhatian yang tertuju padanya membuat misi itu terasa mustahil. Dan dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tidak asing. Lucia Edison. Tokoh utama wanita yang sedang berdiri anggun dan dikelilingi oleh orang-orang yang memujanya. Senyumnya manis, auranya cerah, seolah seluruh cahaya ruangan itu hanya ditujukan padanya. Karin mendengus pelan. “Tentu saja… bintang panggung selalu punya spotlightnya sendiri.” Lalu tatapannya beralih. Rafael. Sang tokoh utama pria, lelaki itu bahkan tampak mencondongkan tubuhnya ke arah Lucia, dan tangannya dengan lembut merapikan helai rambut gadis itu. Karin spontan memutar bola matanya. "Serius? Adegan manis di depan umum begitu?" ia baru menyadari siapa mereka secara resmi ketika sesi perkenalan dimulai. Keluarga Edison naik ke panggung dengan penuh wibawa, nama-nama mereka diumumkan, dan semua mata tertuju pada mereka. Lucia tersenyum cerah, menarik Rafael berdiri di sisinya, memperkenalkannya dengan bangga. “Kalau aku benar-benar Karin yang asli, pasti sekarang sudah meledak, ngamuk, bikin keributan, atau minimal melempar tatapan sinis ke Lucia,” gumam Karin. Ia menghela napas berat, jemarinya memijat kening yang tiba-tiba terasa nyeri, mungkin akibat terlalu banyak memikirkan kelakuan buruk Karin versi asli. Ia menatap lagi pemandangan itu, tapi tak ada gejolak apa-apa dalam dadanya. Hanya datar. Bahkan membosankan. “Benar-benar terlalu dramatis untukku,” desisnya, meneguk teh yang ia ambil dari meja samping. “Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi pusat perhatian… dan mereka tampak begitu… polos. Ugh. Tidak ada yang layak aku pedulikan sekarang.” Ia menggigit lagi kuenya, bibirnya membentuk senyum tipis penuh sarkasme. “Kalau semua ini bagian dari naskah novel, aku tentu saja akan memilih menjadi penonton. Duduk manis, makan kue, sambil menyaksikan mereka yang terjebak dalam drama mereka sendiri.” Beberapa saat kemudian ia meletakkan piring kue itu di meja samping, lalu memegang perutnya. “Kayaknya kebanyakan makan deh…” keluhnya pelan. Ia baru saja hendak melangkah menjauh, mencari kamar mandi, ketika suara seseorang terdengar di belakangnya. “Nona Karin Domanic. Tidak kusangka kamu datang juga malam ini.” Langkahnya terhenti. Karin menoleh perlahan dan mendapati seorang gadis cantik bergaun merah tua berdiri di belakangnya. “Tentu saja aku akan datang… emm…” ucap Karin, mencoba terdengar santai, padahal wajahnya jelas menunjukkan kebingungan. Melihat itu, gadis tersebut tersenyum tipis. “Siren Efrains.” Karin sempat membulatkan mata. "Siren? Bukannya dia ini sahabat dekat pemeran utama wanita? Kenapa dia malah nyapa aku? batinnya, heran." “Oh… Nona muda Efrains. Senang bertemu denganmu. Kalau begitu aku duluan ya,” jawab Karin singkat sambil melangkah cepat, lebih karena dorongan mendesak ke kamar mandi daripada alasan lain. Siren hanya bisa mematung, tidak menyangka dengan sikap Karin yang benar-benar di luar dugaan. Sorot matanya menyipit, seolah berusaha menyingkap sesuatu yang tersembunyi di balik perubahan aneh nona muda Domanic itu. Karin melangkah tergesa, gaunnya berayun mengikuti setiap hentakan langkahnya. Baru saja tangannya menyentuh gagang pintu kamar mandi, seseorang tiba-tiba menabraknya cukup keras. Tubuhnya oleng dan jatuh terduduk di lantai marmer yang dingin. “Ya ampun!” serunya kesal, tangannya refleks mengusap sikunya yang terasa perih. kepalanya mendongak dan menatap sosok di depannya. "Gantengnya nggak masuk akal… bahkan kayaknya lebih unggul dari pemeran utama deh," batinnya spontan. Tapi keterpakuan itu hanya bertahan sepersekian detik dan langsung lenyap ketika ia sadar, laki-laki itu sama sekali tidak bergerak untuk menolongnya. Tidak ada tangan yang terulur, tidak ada permintaan maaf. Hanya tatapan datar dan dingin....seolah apa yang terjadi barusan tidaklah penting untuknya. "Cih. Percuma ganteng kalau kelakuannya begini. Berengsek," gumamnya dalam hati. “Kalau nabrak orang, minimal minta maaf atau bantuin kek! Jangan cuma berdiri kayak patung!” semprot Karin dengan nada suara tajam. Laki-laki itu hanya sedikit menundukkan kepala, sorot matanya sulit dibaca… seperti sedang menilai atau menghafal tiap gerak-gerik Karin. Bahkan tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Karin mendengus, berdiri dengan sikap anggun yang justru menambah tekanannya. Tatapannya menusuk dingin, sebelum tiba-tiba ia menggeser tumitnya dan menghentakkan heels runcingnya tepat ke punggung kaki laki-laki itu. “Itu ganti rugi untuk permintaan maaf yang nggak kunjung keluar,” ujarnya datar, bibirnya sedikit melengkung sinis. Tanpa memberi kesempatan balasan, ia berbalik dan masuk ke kamar mandi begitu saja. Laki-laki itu masih berdiri mematung di tempatnya. Satu tangannya refleks meremas bagian kakinya yang nyeri, namun bukannya marah, sudut bibirnya malah terangkat membentuk sebuah senyum samar, dingin, tetapi penuh dengan serat rasa ingin tahu yang sulit disembunyikan. Tatapannya tidak lepas dari pintu kamar mandi yang baru saja ditutup. Seolah ia baru saja menemukan sesuatu… atau seseorang… yang tak boleh ia lewatkan begitu saja. “...Karin Domanic, ya?” bisiknya pelan, seakan mencicipi nama itu di lidahnya. “Menarik.” Bersambung....Karin sudah memutuskan satu hal: mulai sekarang, menghindari Brayen Alexander adalah prioritas hidupnya.Setelah tahu siapa sebenarnya laki-laki itu — pewaris keluarga Alexander dan tokoh antagonis utama dalam cerita ini — ia tidak ingin berurusan lagi walau cuma satu detik.Sejak keluar dari ruang baca pagi itu, langkahnya berubah seperti agen rahasia yang tengah menyelinap di markas musuh. Ia menunduk sepanjang jalan, sesekali mengintip ke ujung koridor untuk memastikan tak ada siluet tinggi berambut hitam di sekitar.Siren yang berjalan di sebelahnya hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar berlebihan.”“Berlebihan?” Karin berbisik panik, suaranya hampir tak terdengar. “Aku baru aja nyerang musuh utama, Siren. MUSUH. UTAMA. Kau pikir aku masih punya nyawa kalau dia dendam?”Siren menatapnya datar. “Dia cuma laki-laki, bukan iblis.”“Belum tentu,” balas Karin cepat. “Tatapannya waktu tadi aja udah cukup bikin aku mimpi buruk seminggu.”Begitu sampai di depan kelas berikutnya, K
Brayn tidak langsung pergi setelah kalimat terakhirnya. Ia malah menarik kursi di depan Karin dengan gerakan tenang, nyaris tanpa suara, lalu duduk.Siren menatap adegan itu dengan mata yang langsung berbinar geli. Karin, di sisi lain, hanya bisa menegang seperti patung yang baru saja dilumuri lem.“Eh—tunggu, kenapa kau duduk di sini?” tanya Karin cepat, nada suaranya melengking setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya.Brayn menautkan jari-jarinya di atas meja, menatapnya datar tapi dengan sorot yang berbahaya tenang. “Karena ini tempat kosong,” jawabnya kalem, seperti hal sepele. “Atau kau keberatan, Nona Domanic?”Nada “Nona Domanic”-nya terdengar seperti sindiran yang dibungkus sopan santun.Karin menelan ludah, bahunya menegang. “B..bukan masalah, sih… cuma biasanya meja ini udah ada yang duduk...”“Bagus,” potong Brayn pelan. “Berarti aku bisa duduk di sini.”Siren menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah. Matanya berpindah antara Brayn dan
Karin.Nama itu meluncur di kepalanya seperti pukulan keras.“Sialan…” gumamnya dalam hati, wajahnya langsung memucat. “Dari semua manusia di dunia ini… kenapa harus dia orangnya?!”Seketika, potongan-potongan ingatan menyerbu tanpa ampun, mulai dari pesta pertama kali mereka bertemu, tatapan dingin di kelas kemarin, dan semua umpatan, cubitan, bahkan dorongan kecil yang pernah ia layangkan pada laki-laki itu tanpa tahu siapa dia sebenarnya.Karin menunduk cepat, jemarinya refleks menutupi sebagian wajah sambil pura-pura merapikan poni. Tapi gerakannya kaku, seperti robot yang salah program. Napasnya terasa berat, dan dalam kepalanya, segalanya berputar kacau."Astaga… gue udah nyerang tokoh antagonis utama! Tokoh antagonis!""Bukan figuran, bukan pemeran pendukung… tapi ANTAGONIS!"Tubuhnya langsung kehilangan tenaga. Ia bersandar ke kursi, bahunya merosot lemas sementara matanya menatap kosong ke depan.“Bisakah aku mengulang waktu saja?” bisiknya sangat pelan, nyaris tidak terdeng
Suasana kantin masih terasa tenang ketika Karin dan Siren larut dalam percakapan mereka yang setengah serius, setengah sarkastik. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.Pintu kantin terbuka dengan suara denting halus, dan seketika, suasana berubah.Beberapa mahasiswa perempuan yang tadinya sibuk sarapan mendadak saling berbisik, lalu menoleh ke arah pintu. Suara kursi berderit, bisik-bisik kecil mulai mengisi udara.Siren mengangkat pandangan, hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat dua sosok yang baru masuk.Dua laki-laki tampan memasuki ruangan, langkah mereka tenang tapi penuh wibawa.Yang pertama, berambut hitam legam dengan postur tegap. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tatapan matanya lurus ke depan, seolah tak peduli pada keramaian di sekelilingnya. Dan justru ketidakpedulian itu membuat auranya semakin menekan, seakan siapa pun yang melihatnya otomatis menahan napas.Di sampingnya, berjalan laki-laki berambut cokelat keemasan. Sorot matanya tajam tapi santai, bibirnya memben
Karin berjalan meninggalkan taman dengan langkah tenang, meski pipinya masih terasa perih. Begitu jarak antara dirinya dan kerumunan cukup jauh, ia berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan kampus. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan helai rambutnya yang terurai, tapi rasa panas di wajahnya belum juga hilang. Ia menyentuh pipinya perlahan, mengusapnya dengan ujung jari yang dingin. “Sial…” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi jelas mengandung kejengkelan. “Haruskah aku terlibat dengan gadis gila itu?” Sudut bibir Karin terangkat samar, bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir penuh lelah. Ia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi. Lucia Efrains, si gadis sempurna yang dikagumi semua orang, sejak awal selalu mencari masalah dengannya tanpa alasan jelas. Sejujurnya, Karin tidak pernah berniat ikut campur dalam hidup Lucia. Ia bahkan berusaha menghindar sejak pertama kali mereka berpapasan di kampus. Namun dunia rupanya tak semudah itu. Karena kali
Di ruangan klub sosial kampus yang megah, tirai krem bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Aroma teh melati memenuhi udara, namun suasana di dalam jauh dari kata tenang. Lucia menatap layar ponselnya dengan mata membulat, jemarinya yang biasanya halus kini menggenggam perangkat itu begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di layar, potongan video berputar jelas, menampilkan dirinya kemarin sore di pelataran kampus. Ia tampak menahan Karin yang hendak pulang, suaranya tinggi, nadanya menuntut. Sementara itu, Karin hanya berdiri diam, ekspresi tenang dengan tatapan dingin yang tidak bisa ditafsirkan. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh, video itu berbicara sendiri. Komentar demi komentar memenuhi layar, bergulir tanpa henti: “Ternyata bukan Karin yang mulai, ya?” “Tunggu, kok kayaknya Lucia sengaja jatuh?” “Lihat deh ekspresinya, terlalu dibuat-buat.” “Karin nggak nyentuh dia, tapi kenapa Lucia bisa teriak kayak gitu?” “Dulu aku percaya Lu







