Share

Bab 2

Author: Niya a
last update Last Updated: 2025-09-17 10:50:42

Sore itu, Clara yang kini menempati tubuh Karin Domanic...duduk manis di taman mansion dengan segelas teh hangat di tangan dan sepiring kue tersaji didepannya.

Angin sore berhembus lembut, membawa aroma bunga yang menenangkan, sesuatu yang jarang ia rasakan di hidupnya yang sebelumnya penuh kekacauan.

Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh langkah ringan di jalan setapak. Kepala pelayan muncul, membungkuk hormat.

“Nona Karin, maaf mengganggu. Saya hanya ingin memberitahukan… ada acara penting malam ini. Pesta keluarga dari Edison. Semua tamu penting akan hadir,” ucapnya pelayan itu, nada suaranya sopan, namun ada sedikit getar ketakutan yang tidak bisa disembunyikan.

Saat pelayan menyebut nama Edison, tubuh Karin seketika menegang. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti sesaat. "Edison… itu nama keluarga tokoh utama wanita dalam novel ini, Lucia Edison!" pikir Clara panik.

Dan detik itu juga, semua potongan ingatan halaman pertama novel itu berputar cepat di kepalanya, dimana Karin Domanic membuat masalah dengan Lucia karena kedekatannya dengan Rafael, sang tokoh utama pria yang juga menjadi pusat perhatian Karin.

Dari momen itu pula, sang tokoh antagonis pria muncul dan langsung jatuh hati pada Lucia saat gadis itu tanpa sengaja tersandung dan terjatuh ke pelukannya. Sehingga menjadi titik awal interaksi yang memicu konflik, persaingan, dan kisah cinta segitiga yang rumit antara Lucia, Rafael dan tokoh antagonis pria itu.

"Tidak mungkin… aku benar-benar masuk ke dunia novel ini, tepat di awal cerita?" batinnya berdesir.

“Aku tidak akan ikut,” ujar Karin akhirnya, suaranya lebih dingin dari yang ia sadari sendiri.

“Jangan kira aku bisa dipaksa begitu saja.”

Pelayan menunduk, suaranya tetap sopan tapi kini lebih tegas. “Maaf, Nona. Tapi Nona Karin harus hadir sebagai perwakilan orangtua Anda, yang saat ini sedang berada di luar negeri. Mereka meminta Nona hadir demi menjaga nama baik keluarga.”

Karin menatapnya sejenak, napasnya mulai memburu karena kesal. “Perwakilan keluarga hah?”

Pelayan menunduk lebih dalam, jelas takut dengan reaksi Karin tapi tetap menahan diri. “Nona, saya mohon. Ini penting bagi keluarga Domanic.”

.

Dan di sinilah Karin saat ini berada… berdiri di sudut pojok ruangan dengan sepiring kue di tangannya.

“Sial… seharusnya tidak begini,” umpatnya pelan, lalu buru-buru memasukkan potongan kue ke mulutnya. Ia mengunyah cepat, seakan bisa menelan rasa canggung sekaligus bersama manisnya kue.

"Seharusnya aku ada di kamar, tidur nyaman dengan bantal, bukan terjebak di pesta ramai seperti ini."

Namun kenyataan berkata lain. Ia terjebak di pesta megah, berdiri dengan gaun hitam tanpa lengan yang begitu elegan, membuatnya tampak sempurna di mata semua tamu.

Rasanya absurd. Setiap pandangan yang melintas membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Keinginannya sangat sederhana yaitu menyelinap masuk tanpa diperhatikan, menghindari interaksi yang bisa memancing masalah sejak awal. Namun, gaun elegan dan perhatian yang tertuju padanya membuat misi itu terasa mustahil.

Dan dari kejauhan, matanya menangkap sosok yang tidak asing. Lucia Edison. Tokoh utama wanita yang sedang berdiri anggun dan dikelilingi oleh orang-orang yang memujanya. Senyumnya manis, auranya cerah, seolah seluruh cahaya ruangan itu hanya ditujukan padanya.

Karin mendengus pelan. “Tentu saja… bintang panggung selalu punya spotlightnya sendiri.”

Lalu tatapannya beralih. Rafael. Sang tokoh utama pria, lelaki itu bahkan tampak mencondongkan tubuhnya ke arah Lucia, dan tangannya dengan lembut merapikan helai rambut gadis itu.

Karin spontan memutar bola matanya. "Serius? Adegan manis di depan umum begitu?"

ia baru menyadari siapa mereka secara resmi ketika sesi perkenalan dimulai. Keluarga Edison naik ke panggung dengan penuh wibawa, nama-nama mereka diumumkan, dan semua mata tertuju pada mereka. Lucia tersenyum cerah, menarik Rafael berdiri di sisinya, memperkenalkannya dengan bangga.

“Kalau aku benar-benar Karin yang asli, pasti sekarang sudah meledak, ngamuk, bikin keributan, atau minimal melempar tatapan sinis ke Lucia,” gumam Karin. Ia menghela napas berat, jemarinya memijat kening yang tiba-tiba terasa nyeri, mungkin akibat terlalu banyak memikirkan kelakuan buruk Karin versi asli.

Ia menatap lagi pemandangan itu, tapi tak ada gejolak apa-apa dalam dadanya. Hanya datar. Bahkan membosankan.

“Benar-benar terlalu dramatis untukku,” desisnya, meneguk teh yang ia ambil dari meja samping.

“Semua orang berlomba-lomba untuk menjadi pusat perhatian… dan mereka tampak begitu… polos. Ugh. Tidak ada yang layak aku pedulikan sekarang.”

Ia menggigit lagi kuenya, bibirnya membentuk senyum tipis penuh sarkasme. “Kalau semua ini bagian dari naskah novel, aku tentu saja akan memilih menjadi penonton. Duduk manis, makan kue, sambil menyaksikan mereka yang terjebak dalam drama mereka sendiri.”

Beberapa saat kemudian ia meletakkan piring kue itu di meja samping, lalu memegang perutnya. “Kayaknya kebanyakan makan deh…” keluhnya pelan. Ia baru saja hendak melangkah menjauh, mencari kamar mandi, ketika suara seseorang terdengar di belakangnya.

“Nona Karin Domanic. Tidak kusangka kamu datang juga malam ini.”

Langkahnya terhenti. Karin menoleh perlahan dan mendapati seorang gadis cantik bergaun merah tua berdiri di belakangnya.

“Tentu saja aku akan datang… emm…” ucap Karin, mencoba terdengar santai, padahal wajahnya jelas menunjukkan kebingungan.

Melihat itu, gadis tersebut tersenyum tipis. “Siren Efrains.”

Karin sempat membulatkan mata. "Siren? Bukannya dia ini sahabat dekat pemeran utama wanita? Kenapa dia malah nyapa aku? batinnya, heran."

“Oh… Nona muda Efrains. Senang bertemu denganmu. Kalau begitu aku duluan ya,” jawab Karin singkat sambil melangkah cepat, lebih karena dorongan mendesak ke kamar mandi daripada alasan lain.

Siren hanya bisa mematung, tidak menyangka dengan sikap Karin yang benar-benar di luar dugaan. Sorot matanya menyipit, seolah berusaha menyingkap sesuatu yang tersembunyi di balik perubahan aneh nona muda Domanic itu.

Karin melangkah tergesa, gaunnya berayun mengikuti setiap hentakan langkahnya. Baru saja tangannya menyentuh gagang pintu kamar mandi, seseorang tiba-tiba menabraknya cukup keras. Tubuhnya oleng dan jatuh terduduk di lantai marmer yang dingin.

“Ya ampun!” serunya kesal, tangannya refleks mengusap sikunya yang terasa perih.

kepalanya mendongak dan menatap sosok di depannya. "Gantengnya nggak masuk akal… bahkan kayaknya lebih unggul dari pemeran utama deh," batinnya spontan.

Tapi keterpakuan itu hanya bertahan sepersekian detik dan langsung lenyap ketika ia sadar, laki-laki itu sama sekali tidak bergerak untuk menolongnya. Tidak ada tangan yang terulur, tidak ada permintaan maaf. Hanya tatapan datar dan dingin....seolah apa yang terjadi barusan tidaklah penting untuknya.

"Cih. Percuma ganteng kalau kelakuannya begini. Berengsek," gumamnya dalam hati.

“Kalau nabrak orang, minimal minta maaf atau bantuin kek! Jangan cuma berdiri kayak patung!” semprot Karin dengan nada suara tajam.

Laki-laki itu hanya sedikit menundukkan kepala, sorot matanya sulit dibaca… seperti sedang menilai atau menghafal tiap gerak-gerik Karin. Bahkan tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Karin mendengus, berdiri dengan sikap anggun yang justru menambah tekanannya. Tatapannya menusuk dingin, sebelum tiba-tiba ia menggeser tumitnya dan menghentakkan heels runcingnya tepat ke punggung kaki laki-laki itu.

“Itu ganti rugi untuk permintaan maaf yang nggak kunjung keluar,” ujarnya datar, bibirnya sedikit melengkung sinis. Tanpa memberi kesempatan balasan, ia berbalik dan masuk ke kamar mandi begitu saja.

Laki-laki itu masih berdiri mematung di tempatnya. Satu tangannya refleks meremas bagian kakinya yang nyeri, namun bukannya marah, sudut bibirnya malah terangkat membentuk sebuah senyum samar, dingin, tetapi penuh dengan serat rasa ingin tahu yang sulit disembunyikan.

Tatapannya tidak lepas dari pintu kamar mandi yang baru saja ditutup. Seolah ia baru saja menemukan sesuatu… atau seseorang… yang tak boleh ia lewatkan begitu saja.

“...Karin Domanic, ya?” bisiknya pelan, seakan mencicipi nama itu di lidahnya.

“Menarik.”

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 5

    Karin melangkah masuk ke kawasan kampus dengan langkah yang tenang namun mantap. Udara pagi yang masih basah oleh embun menyentuh kulitnya, membawa aroma dedaunan yang baru saja tersapu angin. Di sekitarnya, halaman kampus sudah ramai oleh mahasiswa baru yang sibuk dengan pendaftaran, obrolan riuh, dan suara sepatu yang beradu dengan paving basah. Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan debar yang muncul entah dari mana. Tapi sebelum rasa itu benar-benar hilang, sebuah gelombang ingatan menyergapnya… bayangan tentang masa lalu si Karin asli, tentang tatapan sombong, komentar sinis, dan cara berjalan yang selalu ingin dilihat orang. Semua itu kini menjadi beban yang harus ia pikul, meski bukan bagian dari dirinya sepenuhnya. Langkahnya terhenti sejenak ketika bisik-bisik itu mulai terdengar di sekeliling area pendaftaran. "Itu Karin Domanic, kan? Aku dengar dia sempat..." "Shh! Jangan keras-keras, nanti dia dengar." "Katanya sih sekarang berubah. Masa iya?" Karin pur

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 4

    Minggu depan akan menjadi awal baru bagi Karin. Awal yang selama ini ia tahu akan datang, namun tak pernah benar-benar ia rasakan sedekat ini. Meski sempat dilanda keraguan, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, seperti yang tertulis dalam novel. Keputusan itu bukan lahir dari ambisi besar ataupun keinginan untuk dikenal banyak orang, melainkan karena kedua orang tuanya ingin ia tetap menempuh jalur pendidikan. Terlebih lagi, ia adalah anak satu-satunya dari keluarga Domanic...putri semata wayang Lucas dan Alina Domanic. "Ini nih nasib anak semata wayang," gumamnya pasrah, ia lalu sedikit mengernyitkan dahi saat melihat jadwal pendaftarannya. Ia sebenarnya sudah tahu kalau Lucia dan para tokoh utama lain tetap memilih kampus yang sama dengan jalur cerita aslinya. Namun, kali ini ia dengan sengaja mengambil jalur berbeda yaitu jurusan manajemen bisnis, bukan desain seperti di cerita aslinya. Pilihan itu bukan sekadar soal jurusan, melainkan strate

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 3

    Karin keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang dan kembali ke tengah pesta. Musik klasik masih mengalun, lampu kristal menggantung anggun, para tamu bercengkerama dengan senyum palsu mereka masing-masing. "Sungguh dunia orang kaya emnag beda" gumamnya pelan. Dan ketika ia ingin kembali ke sudut ruangan, seorang pelayan yang terburu-buru lewat membawa nampan berisi beberapa gelas jus. Tanpa sengaja, salah satu gelas jus itu miring dan...... Brakk! Cairan kuning dari jus itu tumpah tepat di bagian depan gaun hitamnya yang elegan. Beludru hitam yang semula tampak sempurna kini ternodai, lembap, dan lengket. Karin terpaku sejenak. Rasa dingin dari cairan itu membuatnya refleks menarik napas dalam-dalam. bahkan seluruh perhatian tamu di sekitar pun mulai tertuju padanya. Pelayan itu langsung pucat pasi. Tanpa sadar, ia segera berlutut di hadapan Karin, kedua tangannya gemetar memegangi nampan. “Nona, ampun... saya benar-benar tidak sengaja! Saya mohon maaf... saya akan seg

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 2

    Sore itu, Clara yang kini menempati tubuh Karin Domanic...duduk manis di taman mansion dengan segelas teh hangat di tangan dan sepiring kue tersaji didepannya. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma bunga yang menenangkan, sesuatu yang jarang ia rasakan di hidupnya yang sebelumnya penuh kekacauan. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh langkah ringan di jalan setapak. Kepala pelayan muncul, membungkuk hormat. “Nona Karin, maaf mengganggu. Saya hanya ingin memberitahukan… ada acara penting malam ini. Pesta keluarga dari Edison. Semua tamu penting akan hadir,” ucapnya pelayan itu, nada suaranya sopan, namun ada sedikit getar ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Saat pelayan menyebut nama Edison, tubuh Karin seketika menegang. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti sesaat. "Edison… itu nama keluarga tokoh utama wanita dalam novel ini, Lucia Edison!" pikir Clara panik. Dan detik itu juga, semua potongan ingatan halaman pertama novel itu berputar cepat di kepalan

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 1

    Kesadaran Clara datang perlahan, seperti seseorang yang ditarik dari mimpi panjang yang begitu nyata. Kelopak matanya terasa berat, namun dengan susah payah ia membuka mata. Pandangan pertamanya bukanlah langit-langit kusam apartemennya yang biasa, melainkan ukiran emas indah pada atap ruangan asing. Cahaya lembut menembus tirai putih yang menjuntai anggun, menebarkan sinar keemasan ke sekeliling kamar yang terlalu mewah untuk ukuran orang biasa sepertinya. Clara terdiam. Dadanya berdegup kencang, hampir menyakitkan. 'Ini… di mana?' Dengan gerakan kaku, ia mendorong tubuhnya untuk bangun. Ranjang di bawahnya begitu empuk hingga hampir menelan seluruh tubuhnya, membuatnya enggan percaya ini nyata. Jari-jarinya perlahan meraba sprei satin yang dingin dan licin di kulit, sangat berbeda dari sprei tipis murahan di apartemennya yang sering kusut. Matanya bergerak gelisah, menyapu seisi ruangan dengan cepat, seakan mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keberadaannya. Meja kayu berukir

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status