LOGINSuasana aula mulai riuh setelah panitia mengumumkan jeda istirahat. Kursi berderit, suara langkah bercampur dengan obrolan mahasiswa baru yang saling berkenalan. Karin merapikan buku catatannya, bersiap berdiri.
Namun begitu ia mendorong kursi ke belakang, ada sesuatu yang membuatnya terhenti. Kerah belakang bajunya tiba-tiba terasa tertarik pelan. Karin menoleh cepat dengan alis mengerut. Laki-laki itu. Ia berdiri tepat di belakangnya dengan ekspresi santai, seolah yang dilakukannya barusan hanyalah hal sepele. “Serius?” Karin mendesis rendah, matanya menyipit kesal. Laki-laki itu mencondongkan sedikit tubuhnya dengan sudut bibir yang terangkat tipis. “Kamu bisa jatuh. Anggap saja aku menyelamatkanmu.” Karin menepis tangannya dengan gerakan cepat. “Menyelamatkan kepalamu sendiri lebih baik,” balasnya datar, lalu berbalik sambil mengangkat tasnya. Alih-alih merasa bersalah, laki-laki itu justru menampilkan senyum kecil penuh percaya diri. Tatapannya mengikuti langkah Karin yang menjauh, seolah menikmati setiap reaksi yang berhasil ia pancing, sampai akhirnya gadis itu lenyap di balik kerumunan. Karin menarik napas panjang, berusaha menyingkirkan rasa jengkel yang terus menempel seperti bayangan. Tangannya refleks menyentuh perutnya yang mulai protes karena lapar dan memutuskan menuju kantin fakultas. Namun, meski langkahnya menjauh, pikiran Karin masih dihantui oleh ulah iseng tadi, gangguan sepele yang entah kenapa meninggalkan kesan kuat. Laki-laki itu… jelas bukan tipe yang mudah diabaikan begitu saja. “Menyebalkan,” desisnya lirih. Setibanya di kantin, Karin langsung menelusuri ruangan dengan pandangan cepat. Ia butuh tempat tenang, jauh dari keramaian mahasiswa baru yang sibuk bercengkerama. Dan tentu saja pilihannya jatuh pada kursi di pojok ruangan, sudut paling aman untuk sekadar menarik napas lega. Setelah meletakkan tas, ia memesan segelas jus jeruk, berharap bisa menenangkan pikiran sekaligus mengisi perutnya. Namun, baru saja ia menyesap tegukan pertama, tenggorokannya nyaris tersedak. Matanya membelalak, terpaku pada sosok yang baru saja memasuki kantin. Siren. Karin buru-buru meletakkan gelasnya dan menyipitkan matanya. 'Tunggu… bukankah di novel aslinya Siren mengambil jurusan hukum? Kenapa sekarang aku melihatnya di fakultas bisnis?' Kebingungan itu jelas tergambar di wajahnya. Siren berjalan mendekat dengan senyum ringan, seolah keberadaannya di tempat itu bukanlah sesuatu yang aneh. “Hai, kita bertemu lagi, Nona Domanic,” sapanya santai. Karin masih menatapnya penuh tanda tanya. “Kenapa… kamu di sini?” suaranya terdengar datar, nyaris tak menyembunyikan keterkejutannya. Siren menarik kursi di depannya tanpa sungkan. “Kebetulan aku juga mahasiswa di sini. Jurusan keuangan, tepatnya....dan jangan lihat aku seolah-olah aku hantu yang salah fakultas.” Senyum tipisnya membuat Karin semakin tidak tenang. 'Kejadian ini jelas sudah berbeda jauh dari alur novel yang aku tahu…' pikir Karin sambil menahan diri agar tidak menatap Siren terlalu lama. Melihat wajah Karin yang kaku, Siren kembali bicara, kali ini dengan nada lebih lembut. “Aku tahu kamu belum terbiasa dengan suasana kampus, apalagi perhatian orang-orang. Kalau kamu mau, kita bisa berteman. Aku rasa itu akan menyenangkan.” Karin terdiam sejenak. Kata-kata Siren membuat dadanya sedikit berdesir, bukan karena nyaman, melainkan karena rasa curiga bercampur penasaran. Ia mengangkat alisnya, mencoba menutupi keterkejutannya dengan sikap dingin. “Berteman, ya?” ucapnya setengah bertanya. Siren mengangguk ringan. “Ya. Aku tidak menggigit, kok.” Karin menatapnya lekat-lekat. Ada bagian dalam dirinya yang ingin segera menolak kehadiran gadis itu, mengusirnya agar tidak ikut mencampuri ruang tenangnya. Namun, di sisi lain, rasa penasaran menahan langkahnya. kenapa sosok yang seharusnya menempuh jalur berbeda justru muncul di hadapannya? Seolah alur yang ia kenal berubah begitu saja. Pelanan, Karin mengangkat gelasnya kembali. Sesekali pandangannya melirik ke arah Siren, yang kini duduk santai seakan tempat itu memang miliknya. Gerak-geriknya tenang, tanpa canggung sedikit pun, seperti kehadirannya di sana adalah hal yang wajar. Dan Seperti dugaan Karin, beberapa mahasiswa di sekitar mulai melirik ke arah mereka. Bisik-bisik kecil terdengar, entah membicarakan kecantikan keduanya, atau sekadar terpesona dengan keanggunan yang tidak bisa dipalsukan. Ia bahkan bisa merasakan tatapan itu menusuk punggungnya, dan entah kenapa justru membuatnya semakin waspada. Siren tampak tidak peduli. Ia tersenyum tenang, menyandarkan sedikit tubuhnya ke kursi. “Sepertinya kita jadi pusat perhatian, hm?” ujarnya ringan. Karin menghela napas pelan. “Aku tidak terbiasa dengan ini.” Siren mencondongkan tubuh ke depan, suaranya merendah. “Aku juga. Tapi kadang, kita tidak bisa menghindari apa yang melekat pada diri kita, kan?” Kata-kata itu membuat Karin menatapnya lebih lama. Ada ketulusan di sana, atau mungkin hanya permainan kata yang rapi. Namun untuk pertama kalinya, Karin merasa Siren tidak sepenuhnya menyebalkan. Dalam hatinya, ia tetap menyimpan kewaspadaan. Bagaimanapun, ini bukan bagian dari jalur cerita yang ia tahu. Siren seharusnya tidak berada di sini, tidak duduk di hadapannya, dan tidak menawarkan persahabatan begitu saja. Namun di sisi lain, Karin sadar ia memang membutuhkan seseorang. Teman. Sesuatu yang ironisnya di novel aslinya tidak pernah Karin punya. Maka, dengan sedikit ragu tapi juga dorongan halus dari pikirannya sendiri, Karin mengangguk tipis. “Baiklah. Kita lihat saja… apakah berteman denganmu benar-benar menyenangkan.” Siren tersenyum lebar, kali ini lebih hangat daripada sebelumnya. “Itu sudah cukup bagi saya, Nona Domanic.” Karin menahan senyum samar yang muncul tanpa izin. Ia masih belum yakin, tapi untuk saat ini, membiarkan Siren duduk di hadapannya mungkin bukan keputusan terburuk yang pernah ia buat. "Entah ini pertanda baik atau awal dari sesuatu yang merepotkan," pikirnya sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. "Selama dia tidak terlalu ikut campur, itu sudah cukup." Namun, di sudut pikirannya, rasa curiga masih belum benar-benar pergi. Siren tidak seharusnya berada di sini. Tidak di fakultas ini. Tidak di cerita yang satu ini. Dan justru karena itulah, Karin tahu satu hal dengan pasti tentang segalanya yang tidak lagi berjalan seperti yang seharusnya. BersambungKarin sudah memutuskan satu hal: mulai sekarang, menghindari Brayen Alexander adalah prioritas hidupnya.Setelah tahu siapa sebenarnya laki-laki itu — pewaris keluarga Alexander dan tokoh antagonis utama dalam cerita ini — ia tidak ingin berurusan lagi walau cuma satu detik.Sejak keluar dari ruang baca pagi itu, langkahnya berubah seperti agen rahasia yang tengah menyelinap di markas musuh. Ia menunduk sepanjang jalan, sesekali mengintip ke ujung koridor untuk memastikan tak ada siluet tinggi berambut hitam di sekitar.Siren yang berjalan di sebelahnya hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar berlebihan.”“Berlebihan?” Karin berbisik panik, suaranya hampir tak terdengar. “Aku baru aja nyerang musuh utama, Siren. MUSUH. UTAMA. Kau pikir aku masih punya nyawa kalau dia dendam?”Siren menatapnya datar. “Dia cuma laki-laki, bukan iblis.”“Belum tentu,” balas Karin cepat. “Tatapannya waktu tadi aja udah cukup bikin aku mimpi buruk seminggu.”Begitu sampai di depan kelas berikutnya, K
Brayn tidak langsung pergi setelah kalimat terakhirnya. Ia malah menarik kursi di depan Karin dengan gerakan tenang, nyaris tanpa suara, lalu duduk.Siren menatap adegan itu dengan mata yang langsung berbinar geli. Karin, di sisi lain, hanya bisa menegang seperti patung yang baru saja dilumuri lem.“Eh—tunggu, kenapa kau duduk di sini?” tanya Karin cepat, nada suaranya melengking setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya.Brayn menautkan jari-jarinya di atas meja, menatapnya datar tapi dengan sorot yang berbahaya tenang. “Karena ini tempat kosong,” jawabnya kalem, seperti hal sepele. “Atau kau keberatan, Nona Domanic?”Nada “Nona Domanic”-nya terdengar seperti sindiran yang dibungkus sopan santun.Karin menelan ludah, bahunya menegang. “B..bukan masalah, sih… cuma biasanya meja ini udah ada yang duduk...”“Bagus,” potong Brayn pelan. “Berarti aku bisa duduk di sini.”Siren menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah. Matanya berpindah antara Brayn dan
Karin.Nama itu meluncur di kepalanya seperti pukulan keras.“Sialan…” gumamnya dalam hati, wajahnya langsung memucat. “Dari semua manusia di dunia ini… kenapa harus dia orangnya?!”Seketika, potongan-potongan ingatan menyerbu tanpa ampun, mulai dari pesta pertama kali mereka bertemu, tatapan dingin di kelas kemarin, dan semua umpatan, cubitan, bahkan dorongan kecil yang pernah ia layangkan pada laki-laki itu tanpa tahu siapa dia sebenarnya.Karin menunduk cepat, jemarinya refleks menutupi sebagian wajah sambil pura-pura merapikan poni. Tapi gerakannya kaku, seperti robot yang salah program. Napasnya terasa berat, dan dalam kepalanya, segalanya berputar kacau."Astaga… gue udah nyerang tokoh antagonis utama! Tokoh antagonis!""Bukan figuran, bukan pemeran pendukung… tapi ANTAGONIS!"Tubuhnya langsung kehilangan tenaga. Ia bersandar ke kursi, bahunya merosot lemas sementara matanya menatap kosong ke depan.“Bisakah aku mengulang waktu saja?” bisiknya sangat pelan, nyaris tidak terdeng
Suasana kantin masih terasa tenang ketika Karin dan Siren larut dalam percakapan mereka yang setengah serius, setengah sarkastik. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.Pintu kantin terbuka dengan suara denting halus, dan seketika, suasana berubah.Beberapa mahasiswa perempuan yang tadinya sibuk sarapan mendadak saling berbisik, lalu menoleh ke arah pintu. Suara kursi berderit, bisik-bisik kecil mulai mengisi udara.Siren mengangkat pandangan, hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat dua sosok yang baru masuk.Dua laki-laki tampan memasuki ruangan, langkah mereka tenang tapi penuh wibawa.Yang pertama, berambut hitam legam dengan postur tegap. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tatapan matanya lurus ke depan, seolah tak peduli pada keramaian di sekelilingnya. Dan justru ketidakpedulian itu membuat auranya semakin menekan, seakan siapa pun yang melihatnya otomatis menahan napas.Di sampingnya, berjalan laki-laki berambut cokelat keemasan. Sorot matanya tajam tapi santai, bibirnya memben
Karin berjalan meninggalkan taman dengan langkah tenang, meski pipinya masih terasa perih. Begitu jarak antara dirinya dan kerumunan cukup jauh, ia berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan kampus. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan helai rambutnya yang terurai, tapi rasa panas di wajahnya belum juga hilang. Ia menyentuh pipinya perlahan, mengusapnya dengan ujung jari yang dingin. “Sial…” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi jelas mengandung kejengkelan. “Haruskah aku terlibat dengan gadis gila itu?” Sudut bibir Karin terangkat samar, bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir penuh lelah. Ia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi. Lucia Efrains, si gadis sempurna yang dikagumi semua orang, sejak awal selalu mencari masalah dengannya tanpa alasan jelas. Sejujurnya, Karin tidak pernah berniat ikut campur dalam hidup Lucia. Ia bahkan berusaha menghindar sejak pertama kali mereka berpapasan di kampus. Namun dunia rupanya tak semudah itu. Karena kali
Di ruangan klub sosial kampus yang megah, tirai krem bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Aroma teh melati memenuhi udara, namun suasana di dalam jauh dari kata tenang. Lucia menatap layar ponselnya dengan mata membulat, jemarinya yang biasanya halus kini menggenggam perangkat itu begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di layar, potongan video berputar jelas, menampilkan dirinya kemarin sore di pelataran kampus. Ia tampak menahan Karin yang hendak pulang, suaranya tinggi, nadanya menuntut. Sementara itu, Karin hanya berdiri diam, ekspresi tenang dengan tatapan dingin yang tidak bisa ditafsirkan. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh, video itu berbicara sendiri. Komentar demi komentar memenuhi layar, bergulir tanpa henti: “Ternyata bukan Karin yang mulai, ya?” “Tunggu, kok kayaknya Lucia sengaja jatuh?” “Lihat deh ekspresinya, terlalu dibuat-buat.” “Karin nggak nyentuh dia, tapi kenapa Lucia bisa teriak kayak gitu?” “Dulu aku percaya Lu







