LOGINLangkah Karin terasa ringan saat ia melangkah keluar dari gedung fakultas. Langit sore berwarna keemasan, memberikan sedikit ketenangan setelah hari yang cukup melelahkan. Ia hanya ingin pulang, beristirahat, lalu menyingkirkan segala hiruk-pikuk kampus yang sejak tadi menguras tenaganya.
Namun, baru beberapa meter meninggalkan halaman, tubuhnya tiba-tiba terguncang cukup keras. Seseorang menabrakkannya tanpa peringatan, membuat Karin kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Refleks, ia menoleh dengan dahi berkerut. “Hei...” Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, suara nyaring terdengar. “A-aduuh!” Seorang gadis berambut cokelat muda terjatuh di depannya, tapi hanya sebatas terhuyung dan terduduk sebentar. Ia tidak terluka, hanya tampak kaget. Begitu menyadari banyak pasang mata menatap, gadis itu buru-buru berdiri, menepuk roknya yang sedikit berdebu sambil mengerucutkan bibir. Karin sempat hendak menawarkan tangan, tapi sebelum sempat bergerak, gadis itu sudah lebih dulu bersuara tajam. “Kamu sengaja mendorongku?” Karin menatap lekat sosok di hadapannya, dan seketika matanya membulat. Lucia Edison. Tokoh utama wanita dalam novel. Gadis dengan mata cokelat lembut itu kini menatapnya penuh tuduhan, seolah Karin memang sengaja mencari masalah. Beberapa mahasiswa di sekitar langsung berhenti, menoleh, dan memperhatikan mereka. Situasi kecil itu berubah jadi tontonan dalam hitungan detik. Karin menarik napas panjang, menahan menahan diri. 'Dari sekian banyak orang di kampus ini… kenapa harus dia?!' “Aku bahkan tidak melihatmu datang,” ujarnya datar, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. Lucia mengangkat dagu sedikit, ekspresinya menajam. “Jadi kamu mau bilang aku yang salah? Padahal jelas-jelas kamu yang membuatku jatuh.” Karin memejamkan mata sebentar, menahan umpatan yang sudah sampai di ujung lidahnya. 'Shit, ini bukan rencana hidup tenang yang aku mau. Aku bahkan tidak pernah berniat mendekat, apalagi terlibat masalah denganmu yang notabenenya adalah tokoh utama wanita!!!' Beberapa bisik-bisik mulai terdengar di sekeliling mereka. Ada yang tampak khawatir pada Lucia, ada juga yang menatap Karin dengan rasa ingin tahu, bahkan sebagian dengan tatapan tidak suka. Situasi ini jelas membuat Karin semakin terpojok. Dan sebelum ia sempat menjelaskan lebih jauh, Lucia tiba-tiba meringis, tangannya menekan lengannya sendiri dengan ekspresi seolah kesakitan parah. Mata cokelatnya yang semula tajam kini berkilat dengan air mata yang hampir jatuh, menciptakan adegan dramatis di depan kerumunan. “A-aku… sakit…” bisik Lucia, cukup lirih tapi justru berhasil memancing simpati orang-orang di sekitar. Seolah dikomando, bisikan-bisikan langsung menyeruak keluar. “Itu kan Nona Domanic…” “Memang terkenal kasar, kan?” “Kasihan sekali Lucia… baru saja masuk kampus, sudah kena ulahnya.” “Benar-benar tidak berubah, sombong seperti biasanya.” Karin bisa merasakan tatapan-tatapan itu menusuk kulitnya. Setiap kata, setiap lirikan penuh prasangka, semuanya menekan dadanya semakin kuat. 'Ini gila… Lucia Edison, tokoh utama yang seharusnya anggun dan penuh kebaikan, justru bermain drama seperti ini?' Karin menggertakkan giginya, menahan diri agar tidak meledak di depan semua orang. Wajahnya tetap datar, meski tangannya mengepal erat di sisi tubuh. “Berhenti berlebihan,” ucapnya dingin, suara rendah tapi jelas. Lucia mendongak, matanya basah tapi bibirnya tersenyum tipis, senyum yang hanya ditujukan untuk Karin. “Kau tega sekali bicara begitu, setelah menyakitiku?” katanya dengan nada bergetar. Kerumunan itu kembali gaduh. “Dengar itu? Dia bahkan tidak peduli!” “Lucia benar-benar malang.” “Karin memang tidak punya hati.” Karin menegakkan tubuh, suaranya meninggi sedikit. “Aku tidak menyakitimu. Kau sendiri yang menabrakku. Jangan putar balik kenyataan.” Lucia memalingkan wajah, bahunya sedikit bergetar, seolah menahan tangis. “Aku tidak mengira kamu akan sekejam ini…” Karin menatapnya tajam. “Kejam? Kau bahkan belum tahu artinya. Jangan coba-coba memanfaatkan belas kasihan orang lain untuk menjatuhkanku.” Bisikan makin keras, tatapan makin menusuk. Karin tahu, apa pun yang ia katakan hanya akan menambah bukti bagi mereka yang sudah lebih dulu percaya pada reputasi buruknya. Ia menarik napas dalam, menahan amarah yang menggelegak. “Aku tidak akan membuang waktuku untuk berdebat denganmu.” Dalam hati, ia mengumpat kasar. 'Sial! Semua orang percaya pada aktingnya! Kenapa aku harus terjebak dalam adegan murahan seperti ini?! Aku hanya ingin hidup tenang. Tapi dunia ini sepertinya punya rencana lain untukku.' Dan tepat saat bisik-bisik mulai berubah jadi tudingan terbuka, langkah berat seseorang terdengar mendekat dari belakang. Riuh rendah mendadak mereda, seolah semua orang menahan napas, menunggu siapa yang baru saja tiba. Karin pun menoleh, dan matanya membesar tak percaya. Rahangnya mengeras. 'Double shit… kenapa dia harus datang di saat seperti ini?!' Bersambung...Karin sudah memutuskan satu hal: mulai sekarang, menghindari Brayen Alexander adalah prioritas hidupnya.Setelah tahu siapa sebenarnya laki-laki itu — pewaris keluarga Alexander dan tokoh antagonis utama dalam cerita ini — ia tidak ingin berurusan lagi walau cuma satu detik.Sejak keluar dari ruang baca pagi itu, langkahnya berubah seperti agen rahasia yang tengah menyelinap di markas musuh. Ia menunduk sepanjang jalan, sesekali mengintip ke ujung koridor untuk memastikan tak ada siluet tinggi berambut hitam di sekitar.Siren yang berjalan di sebelahnya hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar berlebihan.”“Berlebihan?” Karin berbisik panik, suaranya hampir tak terdengar. “Aku baru aja nyerang musuh utama, Siren. MUSUH. UTAMA. Kau pikir aku masih punya nyawa kalau dia dendam?”Siren menatapnya datar. “Dia cuma laki-laki, bukan iblis.”“Belum tentu,” balas Karin cepat. “Tatapannya waktu tadi aja udah cukup bikin aku mimpi buruk seminggu.”Begitu sampai di depan kelas berikutnya, K
Brayn tidak langsung pergi setelah kalimat terakhirnya. Ia malah menarik kursi di depan Karin dengan gerakan tenang, nyaris tanpa suara, lalu duduk.Siren menatap adegan itu dengan mata yang langsung berbinar geli. Karin, di sisi lain, hanya bisa menegang seperti patung yang baru saja dilumuri lem.“Eh—tunggu, kenapa kau duduk di sini?” tanya Karin cepat, nada suaranya melengking setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya.Brayn menautkan jari-jarinya di atas meja, menatapnya datar tapi dengan sorot yang berbahaya tenang. “Karena ini tempat kosong,” jawabnya kalem, seperti hal sepele. “Atau kau keberatan, Nona Domanic?”Nada “Nona Domanic”-nya terdengar seperti sindiran yang dibungkus sopan santun.Karin menelan ludah, bahunya menegang. “B..bukan masalah, sih… cuma biasanya meja ini udah ada yang duduk...”“Bagus,” potong Brayn pelan. “Berarti aku bisa duduk di sini.”Siren menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah. Matanya berpindah antara Brayn dan
Karin.Nama itu meluncur di kepalanya seperti pukulan keras.“Sialan…” gumamnya dalam hati, wajahnya langsung memucat. “Dari semua manusia di dunia ini… kenapa harus dia orangnya?!”Seketika, potongan-potongan ingatan menyerbu tanpa ampun, mulai dari pesta pertama kali mereka bertemu, tatapan dingin di kelas kemarin, dan semua umpatan, cubitan, bahkan dorongan kecil yang pernah ia layangkan pada laki-laki itu tanpa tahu siapa dia sebenarnya.Karin menunduk cepat, jemarinya refleks menutupi sebagian wajah sambil pura-pura merapikan poni. Tapi gerakannya kaku, seperti robot yang salah program. Napasnya terasa berat, dan dalam kepalanya, segalanya berputar kacau."Astaga… gue udah nyerang tokoh antagonis utama! Tokoh antagonis!""Bukan figuran, bukan pemeran pendukung… tapi ANTAGONIS!"Tubuhnya langsung kehilangan tenaga. Ia bersandar ke kursi, bahunya merosot lemas sementara matanya menatap kosong ke depan.“Bisakah aku mengulang waktu saja?” bisiknya sangat pelan, nyaris tidak terdeng
Suasana kantin masih terasa tenang ketika Karin dan Siren larut dalam percakapan mereka yang setengah serius, setengah sarkastik. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.Pintu kantin terbuka dengan suara denting halus, dan seketika, suasana berubah.Beberapa mahasiswa perempuan yang tadinya sibuk sarapan mendadak saling berbisik, lalu menoleh ke arah pintu. Suara kursi berderit, bisik-bisik kecil mulai mengisi udara.Siren mengangkat pandangan, hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat dua sosok yang baru masuk.Dua laki-laki tampan memasuki ruangan, langkah mereka tenang tapi penuh wibawa.Yang pertama, berambut hitam legam dengan postur tegap. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tatapan matanya lurus ke depan, seolah tak peduli pada keramaian di sekelilingnya. Dan justru ketidakpedulian itu membuat auranya semakin menekan, seakan siapa pun yang melihatnya otomatis menahan napas.Di sampingnya, berjalan laki-laki berambut cokelat keemasan. Sorot matanya tajam tapi santai, bibirnya memben
Karin berjalan meninggalkan taman dengan langkah tenang, meski pipinya masih terasa perih. Begitu jarak antara dirinya dan kerumunan cukup jauh, ia berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan kampus. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan helai rambutnya yang terurai, tapi rasa panas di wajahnya belum juga hilang. Ia menyentuh pipinya perlahan, mengusapnya dengan ujung jari yang dingin. “Sial…” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi jelas mengandung kejengkelan. “Haruskah aku terlibat dengan gadis gila itu?” Sudut bibir Karin terangkat samar, bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir penuh lelah. Ia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi. Lucia Efrains, si gadis sempurna yang dikagumi semua orang, sejak awal selalu mencari masalah dengannya tanpa alasan jelas. Sejujurnya, Karin tidak pernah berniat ikut campur dalam hidup Lucia. Ia bahkan berusaha menghindar sejak pertama kali mereka berpapasan di kampus. Namun dunia rupanya tak semudah itu. Karena kali
Di ruangan klub sosial kampus yang megah, tirai krem bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Aroma teh melati memenuhi udara, namun suasana di dalam jauh dari kata tenang. Lucia menatap layar ponselnya dengan mata membulat, jemarinya yang biasanya halus kini menggenggam perangkat itu begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di layar, potongan video berputar jelas, menampilkan dirinya kemarin sore di pelataran kampus. Ia tampak menahan Karin yang hendak pulang, suaranya tinggi, nadanya menuntut. Sementara itu, Karin hanya berdiri diam, ekspresi tenang dengan tatapan dingin yang tidak bisa ditafsirkan. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh, video itu berbicara sendiri. Komentar demi komentar memenuhi layar, bergulir tanpa henti: “Ternyata bukan Karin yang mulai, ya?” “Tunggu, kok kayaknya Lucia sengaja jatuh?” “Lihat deh ekspresinya, terlalu dibuat-buat.” “Karin nggak nyentuh dia, tapi kenapa Lucia bisa teriak kayak gitu?” “Dulu aku percaya Lu







