Share

Bab 5

Author: Niya a
last update Last Updated: 2025-09-17 10:52:40

Karin melangkah masuk ke kawasan kampus dengan langkah yang tenang namun mantap. Udara pagi yang masih basah oleh embun menyentuh kulitnya, membawa aroma dedaunan yang baru saja tersapu angin.

Di sekitarnya, halaman kampus sudah ramai oleh mahasiswa baru yang sibuk dengan pendaftaran, obrolan riuh, dan suara sepatu yang beradu dengan paving basah.

Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan debar yang muncul entah dari mana. Tapi sebelum rasa itu benar-benar hilang, sebuah gelombang ingatan menyergapnya… bayangan tentang masa lalu si Karin asli, tentang tatapan sombong, komentar sinis, dan cara berjalan yang selalu ingin dilihat orang.

Semua itu kini menjadi beban yang harus ia pikul, meski bukan bagian dari dirinya sepenuhnya.

Langkahnya terhenti sejenak ketika bisik-bisik itu mulai terdengar di sekeliling area pendaftaran.

"Itu Karin Domanic, kan? Aku dengar dia sempat..."

"Shh! Jangan keras-keras, nanti dia dengar."

"Katanya sih sekarang berubah. Masa iya?"

Karin pura-pura tak mendengar. Tatapannya lurus ke depan, dingin dan datar..seperti permukaan kaca yang tak pernah memberi bayangan balik. Ia mengangkat map dokumennya, menyerahkan berkas administrasi kepada petugas, lalu menandatanganinya dengan tenang.

Di balik ekspresi yang nyaris tanpa riak itu, pikirannya berdesir pelan. "Jika itu Karin yang asli...pasti dia sudah melempar senyum sinis, bahkan mungkin sekalian melontarkan dua tiga kalimat pedas hanya untuk menegaskan statusnya. Tapi aku? Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu, karena aku bukan dia."

Di koridor Fakultas Bisnis, seorang laki-laki berpostur tinggi dengan rambut cokelat gelap mendekat. Jas kampusnya terlipat rapi di bahu, wajahnya asing, tapi senyum yang ia bawa terlalu ramah untuk seseorang yang baru pertama kali bertemu.

"Permisi, kau Karin Domanic, ya?"

Karin menatapnya sekilas, ekspresinya datar. "Ya, ada apa?"

"Aku Evan, ketua perwakilan mahasiswa baru di fakultas ini. Hanya ingin menyambutmu. Rasanya… jarang ada mahasiswa dari keluarga sekelas Domanic memilih jurusan bisnis. Biasanya mereka lebih condong ke seni atau hukum."

"Preferensi orang bisa berubah," jawab Karin ringan lalumelirik jam tangannya.

"Kalau tidak ada hal penting lain, aku ingin segera ke ruang orientasi."

Evan sempat terdiam sepersekian detik. Ada sesuatu di balik nada suara Karin… bukan sombong, tapi juga bukan rendah hati. Sebuah sikap netral yang justru membuatnya sulit membaca pemikiran nona muda keluarga Domanic itu.

"Apa dia benar-benar Karin Domanic…?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.

Di balkon lantai dua gedung kampus, sosok yang sejak tadi memperhatikan Karin dari gerbang kampus menyulut rokok keduanya.

"Dia berbeda," gumamnya sambil menghembuskan asap.

Sementara itu, Karin sudah duduk di deretan kursi tengah aula orientasi. Di layar besar terpampang agenda minggu pertama kuliah. Ia membuka buku catatan, mencatat hal-hal penting, tanpa memperhatikan beberapa pasang mata yang diam-diam memperhatikannya.

Hingga sebuah bayangan bergerak di ujung pandangannya.

Ia mengangkat wajah perlahan. Di pintu samping aula, berdiri seseorang yang tak asing lagi. Sorot matanya tajam, seperti menembus kerumunan. Rambut hitamnya rapi, setelan kasual namun tetap berkelas.

"Bukankah dia… laki-laki di pesta itu?" Karin mengerutkan alisnya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Tatapan mereka bertemu. Hanya sekejap. Namun cukup untuk membuat hatinya berdesir dengan rasa waspada yang tak menyenangkan.

"Apa yang dia lakukan di sini?"

"Jangan bilang… dia juga kuliah di sini?"

Laki-laki itu melangkah masuk dengan santai. Ia bahkan tidak mengenakan tanda identitas mahasiswa, namun anehnya, tidak ada satu pun panitia yang menghentikannya.

Karin memutar bola matanya lalu kembali menghadap ke depan, berusaha mengabaikannya seolah tidak pernah mengenalnya.

“Hai, nona galak,” suaranya pelan, namun cukup jelas di telinga Karin. Karena ternya dia berhenti tepat di belakangnya.

Karin tersentak, sedikit mengeraskan genggaman pulpen di tangannya. Nada suaranya berat, dingin, namun santai… dan ini pertama kalinya ia mendengarnya dengan begitu dekat.

Ia menoleh sedikit dengan tatapan tajam. “Siapa yang kamu panggil nona galak, hah?”

Laki-laki itu hanya tersenyum kecil amat saagat kecil hingga krain pun tidak menyadari hal itu. “Hm. Ternyata masih judes juga.”

Karin mendengus pelan, lalu kembali memfokuskan perhatian ke depan. “Dasar muka tembok,” gumamnya, memilih mengabaikan laki-laki menyebalkan itu daripada membuat keributan di hadapan banyak orang.

Di belakangnya, laki-laki itu masih berdiri dengan sikap santai, seolah kehadirannya di sana memang bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan.

Hingga beberapa menit kemudian, Karin mulai merasa tidak nyaman. Ada tatapan yang terus saja menempel di balik punggungnya, menusuk halus tapi cukup mengusik konsentrasinya. Ia menghela napas panjang, berusaha mengabaikannya, namun suara berat itu kembali terdengar...kali ini lebih dekat, hampir sejajar dengan telinganya.

“Aku nggak nyangka kamu bakal masuk kelas ini juga,” ucapnya, rendah dan santai, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Karin meremang.

Karin memejamkan mata sejenak, lalu menoleh separuh dengan tatapan tajam. “Dan aku nggak nyangka kamu ternyata cerewet dan seenggak tahu diri ini, ya. Bisa nggak pindah tempat?”

Alih-alih mundur, laki-laki itu justru sedikit mencondongkan tubuh, satu tangannya bertumpu santai di sandaran kursi Karin. “Hanya padamu,” jawabnya datar, namun mengandung sesuatu yang sulit diartikan.

Karin spontan menoleh penuh, wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal. Sorot matanya tajam, namun justru menemukan sesuatu di sana...bukan hanya iseng, tapi juga tatapan yang mengandung maksud lain.

“Dengar ya,” Karin menurunkan suaranya, tajam namun tetap terkendali, “aku datang ke sini buat belajar, bukan buat jadi bahan godaanmu.”

Laki-laki itu tidak bergeming. Senyum tipisnya terangkat, penuh tantangan. Napasnya terasa hangat menyusup ke sisi wajah Karin, seolah sengaja menguji jarak dan kesabarannya.

Lalu, sebelum Karin sempat bergerak, ia tiba-tiba mendekat lebih jauh dan cepat, nyaris tak sempat diantisipasi. Ujung bibirnya menyentuh telinga Karin sekilas, hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat tubuh Karin menegang kaget.

“Brengsek!” desisnya tajam, menarik beberapa pasang mata untuk menoleh ke arah mereka.

Laki-laki itu hanya menatapnya tenang, seolah menikmati reaksi itu. “Ups,” ujarnya ringan, tanpa rasa bersalah.

“reaksimu ternyata lebih cepat dari yang kubayangkan.”

Rahang Karin mengeras dan tangannya mengepal erat, tapi ia menahan diri agar tidak menciptakan keributan yang lebih besar. Ia berbalik perlahan, lalu tanpa aba-aba langsung mencubit keras lengan pria itu, tepat di bagian ototnya.

Laki-laki itu menahan desis pelan, sudut bibirnya sempat meringis, tapi matanya tetap mengawasi Karin dengan sorot geli.

Karin hanya menyunggingkan senyum tipis tanpa suara, tatapannya dingin dan penuh peringatan.

“Anggap itu teguran pertama,” bisiknya nyaris tak terdengar, sebelum kembali ke posisi semula dan duduk dengan tenang, seolah tak ada satu pun kejadian barusan yang mengusik ketenangannya.

Sementara itu, laki-laki di belakangnya masih berdiri dengan santai dengan Senyum samar, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Karin kembali meremang.

Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke kampus ini… Karin merasa dirinya baru saja membuka pintu menuju sesuatu yang lebih gelap dari sekadar alur hidup Karin yang asli.

Bersambung....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 17

    Karin sudah memutuskan satu hal: mulai sekarang, menghindari Brayen Alexander adalah prioritas hidupnya.Setelah tahu siapa sebenarnya laki-laki itu — pewaris keluarga Alexander dan tokoh antagonis utama dalam cerita ini — ia tidak ingin berurusan lagi walau cuma satu detik.Sejak keluar dari ruang baca pagi itu, langkahnya berubah seperti agen rahasia yang tengah menyelinap di markas musuh. Ia menunduk sepanjang jalan, sesekali mengintip ke ujung koridor untuk memastikan tak ada siluet tinggi berambut hitam di sekitar.Siren yang berjalan di sebelahnya hanya bisa mendesah panjang. “Kau benar-benar berlebihan.”“Berlebihan?” Karin berbisik panik, suaranya hampir tak terdengar. “Aku baru aja nyerang musuh utama, Siren. MUSUH. UTAMA. Kau pikir aku masih punya nyawa kalau dia dendam?”Siren menatapnya datar. “Dia cuma laki-laki, bukan iblis.”“Belum tentu,” balas Karin cepat. “Tatapannya waktu tadi aja udah cukup bikin aku mimpi buruk seminggu.”Begitu sampai di depan kelas berikutnya, K

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 16

    Brayn tidak langsung pergi setelah kalimat terakhirnya. Ia malah menarik kursi di depan Karin dengan gerakan tenang, nyaris tanpa suara, lalu duduk.Siren menatap adegan itu dengan mata yang langsung berbinar geli. Karin, di sisi lain, hanya bisa menegang seperti patung yang baru saja dilumuri lem.“Eh—tunggu, kenapa kau duduk di sini?” tanya Karin cepat, nada suaranya melengking setengah oktaf lebih tinggi dari biasanya.Brayn menautkan jari-jarinya di atas meja, menatapnya datar tapi dengan sorot yang berbahaya tenang. “Karena ini tempat kosong,” jawabnya kalem, seperti hal sepele. “Atau kau keberatan, Nona Domanic?”Nada “Nona Domanic”-nya terdengar seperti sindiran yang dibungkus sopan santun.Karin menelan ludah, bahunya menegang. “B..bukan masalah, sih… cuma biasanya meja ini udah ada yang duduk...”“Bagus,” potong Brayn pelan. “Berarti aku bisa duduk di sini.”Siren menutup mulutnya dengan tangan, berusaha keras menahan tawa yang hampir pecah. Matanya berpindah antara Brayn dan

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 15

    Karin.Nama itu meluncur di kepalanya seperti pukulan keras.“Sialan…” gumamnya dalam hati, wajahnya langsung memucat. “Dari semua manusia di dunia ini… kenapa harus dia orangnya?!”Seketika, potongan-potongan ingatan menyerbu tanpa ampun, mulai dari pesta pertama kali mereka bertemu, tatapan dingin di kelas kemarin, dan semua umpatan, cubitan, bahkan dorongan kecil yang pernah ia layangkan pada laki-laki itu tanpa tahu siapa dia sebenarnya.Karin menunduk cepat, jemarinya refleks menutupi sebagian wajah sambil pura-pura merapikan poni. Tapi gerakannya kaku, seperti robot yang salah program. Napasnya terasa berat, dan dalam kepalanya, segalanya berputar kacau."Astaga… gue udah nyerang tokoh antagonis utama! Tokoh antagonis!""Bukan figuran, bukan pemeran pendukung… tapi ANTAGONIS!"Tubuhnya langsung kehilangan tenaga. Ia bersandar ke kursi, bahunya merosot lemas sementara matanya menatap kosong ke depan.“Bisakah aku mengulang waktu saja?” bisiknya sangat pelan, nyaris tidak terdeng

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 14

    Suasana kantin masih terasa tenang ketika Karin dan Siren larut dalam percakapan mereka yang setengah serius, setengah sarkastik. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.Pintu kantin terbuka dengan suara denting halus, dan seketika, suasana berubah.Beberapa mahasiswa perempuan yang tadinya sibuk sarapan mendadak saling berbisik, lalu menoleh ke arah pintu. Suara kursi berderit, bisik-bisik kecil mulai mengisi udara.Siren mengangkat pandangan, hanya sekilas, tapi cukup untuk melihat dua sosok yang baru masuk.Dua laki-laki tampan memasuki ruangan, langkah mereka tenang tapi penuh wibawa.Yang pertama, berambut hitam legam dengan postur tegap. Wajahnya dingin tanpa ekspresi, tatapan matanya lurus ke depan, seolah tak peduli pada keramaian di sekelilingnya. Dan justru ketidakpedulian itu membuat auranya semakin menekan, seakan siapa pun yang melihatnya otomatis menahan napas.Di sampingnya, berjalan laki-laki berambut cokelat keemasan. Sorot matanya tajam tapi santai, bibirnya memben

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 13

    Karin berjalan meninggalkan taman dengan langkah tenang, meski pipinya masih terasa perih. Begitu jarak antara dirinya dan kerumunan cukup jauh, ia berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan kampus. Angin pagi berembus lembut, menggoyangkan helai rambutnya yang terurai, tapi rasa panas di wajahnya belum juga hilang. Ia menyentuh pipinya perlahan, mengusapnya dengan ujung jari yang dingin. “Sial…” gumamnya pelan, nada suaranya datar tapi jelas mengandung kejengkelan. “Haruskah aku terlibat dengan gadis gila itu?” Sudut bibir Karin terangkat samar, bukan senyum bahagia, melainkan senyum getir penuh lelah. Ia tahu, cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi. Lucia Efrains, si gadis sempurna yang dikagumi semua orang, sejak awal selalu mencari masalah dengannya tanpa alasan jelas. Sejujurnya, Karin tidak pernah berniat ikut campur dalam hidup Lucia. Ia bahkan berusaha menghindar sejak pertama kali mereka berpapasan di kampus. Namun dunia rupanya tak semudah itu. Karena kali

  • OBSESI SANG ANTAGONIS   Bab 12

    Di ruangan klub sosial kampus yang megah, tirai krem bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Aroma teh melati memenuhi udara, namun suasana di dalam jauh dari kata tenang. Lucia menatap layar ponselnya dengan mata membulat, jemarinya yang biasanya halus kini menggenggam perangkat itu begitu erat hingga buku jarinya memutih. Di layar, potongan video berputar jelas, menampilkan dirinya kemarin sore di pelataran kampus. Ia tampak menahan Karin yang hendak pulang, suaranya tinggi, nadanya menuntut. Sementara itu, Karin hanya berdiri diam, ekspresi tenang dengan tatapan dingin yang tidak bisa ditafsirkan. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh, video itu berbicara sendiri. Komentar demi komentar memenuhi layar, bergulir tanpa henti: “Ternyata bukan Karin yang mulai, ya?” “Tunggu, kok kayaknya Lucia sengaja jatuh?” “Lihat deh ekspresinya, terlalu dibuat-buat.” “Karin nggak nyentuh dia, tapi kenapa Lucia bisa teriak kayak gitu?” “Dulu aku percaya Lu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status