Karin melangkah masuk ke kawasan kampus dengan langkah yang tenang namun mantap. Udara pagi yang masih basah oleh embun menyentuh kulitnya, membawa aroma dedaunan yang baru saja tersapu angin.
Di sekitarnya, halaman kampus sudah ramai oleh mahasiswa baru yang sibuk dengan pendaftaran, obrolan riuh, dan suara sepatu yang beradu dengan paving basah. Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan debar yang muncul entah dari mana. Tapi sebelum rasa itu benar-benar hilang, sebuah gelombang ingatan menyergapnya… bayangan tentang masa lalu si Karin asli, tentang tatapan sombong, komentar sinis, dan cara berjalan yang selalu ingin dilihat orang. Semua itu kini menjadi beban yang harus ia pikul, meski bukan bagian dari dirinya sepenuhnya. Langkahnya terhenti sejenak ketika bisik-bisik itu mulai terdengar di sekeliling area pendaftaran. "Itu Karin Domanic, kan? Aku dengar dia sempat..." "Shh! Jangan keras-keras, nanti dia dengar." "Katanya sih sekarang berubah. Masa iya?" Karin pura-pura tak mendengar. Tatapannya lurus ke depan, dingin dan datar..seperti permukaan kaca yang tak pernah memberi bayangan balik. Ia mengangkat map dokumennya, menyerahkan berkas administrasi kepada petugas, lalu menandatanganinya dengan tenang. Di balik ekspresi yang nyaris tanpa riak itu, pikirannya berdesir pelan. "Jika itu Karin yang asli...pasti dia sudah melempar senyum sinis, bahkan mungkin sekalian melontarkan dua tiga kalimat pedas hanya untuk menegaskan statusnya. Tapi aku? Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu, karena aku bukan dia." Di koridor Fakultas Bisnis, seorang laki-laki berpostur tinggi dengan rambut cokelat gelap mendekat. Jas kampusnya terlipat rapi di bahu, wajahnya asing, tapi senyum yang ia bawa terlalu ramah untuk seseorang yang baru pertama kali bertemu. "Permisi, kau Karin Domanic, ya?" Karin menatapnya sekilas, ekspresinya datar. "Ya, ada apa?" "Aku Evan, ketua perwakilan mahasiswa baru di fakultas ini. Hanya ingin menyambutmu. Rasanya… jarang ada mahasiswa dari keluarga sekelas Domanic memilih jurusan bisnis. Biasanya mereka lebih condong ke seni atau hukum." "Preferensi orang bisa berubah," jawab Karin ringan lalumelirik jam tangannya. "Kalau tidak ada hal penting lain, aku ingin segera ke ruang orientasi." Evan sempat terdiam sepersekian detik. Ada sesuatu di balik nada suara Karin… bukan sombong, tapi juga bukan rendah hati. Sebuah sikap netral yang justru membuatnya sulit membaca pemikiran nona muda keluarga Domanic itu. "Apa dia benar-benar Karin Domanic…?" gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. Di balkon lantai dua gedung kampus, sosok yang sejak tadi memperhatikan Karin dari gerbang kampus menyulut rokok keduanya. "Dia berbeda," gumamnya sambil menghembuskan asap. Sementara itu, Karin sudah duduk di deretan kursi tengah aula orientasi. Di layar besar terpampang agenda minggu pertama kuliah. Ia membuka buku catatan, mencatat hal-hal penting, tanpa memperhatikan beberapa pasang mata yang diam-diam memperhatikannya. Hingga sebuah bayangan bergerak di ujung pandangannya. Ia mengangkat wajah perlahan. Di pintu samping aula, berdiri seseorang yang tak asing lagi. Sorot matanya tajam, seperti menembus kerumunan. Rambut hitamnya rapi, setelan kasual namun tetap berkelas. "Bukankah dia… laki-laki di pesta itu?" Karin mengerutkan alisnya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tatapan mereka bertemu. Hanya sekejap. Namun cukup untuk membuat hatinya berdesir dengan rasa waspada yang tak menyenangkan. "Apa yang dia lakukan di sini?" "Jangan bilang… dia juga kuliah di sini?" Laki-laki itu melangkah masuk dengan santai. Ia bahkan tidak mengenakan tanda identitas mahasiswa, namun anehnya, tidak ada satu pun panitia yang menghentikannya. Karin memutar bola matanya lalu kembali menghadap ke depan, berusaha mengabaikannya seolah tidak pernah mengenalnya. “Hai, nona galak,” suaranya pelan, namun cukup jelas di telinga Karin. Karena ternya dia berhenti tepat di belakangnya. Karin tersentak, sedikit mengeraskan genggaman pulpen di tangannya. Nada suaranya berat, dingin, namun santai… dan ini pertama kalinya ia mendengarnya dengan begitu dekat. Ia menoleh sedikit dengan tatapan tajam. “Siapa yang kamu panggil nona galak, hah?” Laki-laki itu hanya tersenyum kecil amat saagat kecil hingga krain pun tidak menyadari hal itu. “Hm. Ternyata masih judes juga.” Karin mendengus pelan, lalu kembali memfokuskan perhatian ke depan. “Dasar muka tembok,” gumamnya, memilih mengabaikan laki-laki menyebalkan itu daripada membuat keributan di hadapan banyak orang. Di belakangnya, laki-laki itu masih berdiri dengan sikap santai, seolah kehadirannya di sana memang bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan. Hingga beberapa menit kemudian, Karin mulai merasa tidak nyaman. Ada tatapan yang terus saja menempel di balik punggungnya, menusuk halus tapi cukup mengusik konsentrasinya. Ia menghela napas panjang, berusaha mengabaikannya, namun suara berat itu kembali terdengar...kali ini lebih dekat, hampir sejajar dengan telinganya. “Aku nggak nyangka kamu bakal masuk kelas ini juga,” ucapnya, rendah dan santai, tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Karin meremang. Karin memejamkan mata sejenak, lalu menoleh separuh dengan tatapan tajam. “Dan aku nggak nyangka kamu ternyata cerewet dan seenggak tahu diri ini, ya. Bisa nggak pindah tempat?” Alih-alih mundur, laki-laki itu justru sedikit mencondongkan tubuh, satu tangannya bertumpu santai di sandaran kursi Karin. “Hanya padamu,” jawabnya datar, namun mengandung sesuatu yang sulit diartikan. Karin spontan menoleh penuh, wajah mereka hanya berjarak beberapa jengkal. Sorot matanya tajam, namun justru menemukan sesuatu di sana...bukan hanya iseng, tapi juga tatapan yang mengandung maksud lain. “Dengar ya,” Karin menurunkan suaranya, tajam namun tetap terkendali, “aku datang ke sini buat belajar, bukan buat jadi bahan godaanmu.” Laki-laki itu tidak bergeming. Senyum tipisnya terangkat, penuh tantangan. Napasnya terasa hangat menyusup ke sisi wajah Karin, seolah sengaja menguji jarak dan kesabarannya. Lalu, sebelum Karin sempat bergerak, ia tiba-tiba mendekat lebih jauh dan cepat, nyaris tak sempat diantisipasi. Ujung bibirnya menyentuh telinga Karin sekilas, hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat tubuh Karin menegang kaget. “Brengsek!” desisnya tajam, menarik beberapa pasang mata untuk menoleh ke arah mereka. Laki-laki itu hanya menatapnya tenang, seolah menikmati reaksi itu. “Ups,” ujarnya ringan, tanpa rasa bersalah, “reaksimu ternyata lebih cepat dari yang kubayangkan.” Rahang Karin mengeras dan tangannya mengepal erat, tapi ia menahan diri agar tidak menciptakan keributan yang lebih besar. Ia berbalik perlahan, lalu tanpa aba-aba langsung mencubit keras lengan pria itu, tepat di bagian ototnya. Laki-laki itu menahan desis pelan, sudut bibirnya sempat meringis, tapi matanya tetap mengawasi Karin dengan sorot geli. Karin hanya menyunggingkan senyum tipis tanpa suara, tatapannya dingin dan penuh peringatan. “Anggap itu teguran pertama,” bisiknya nyaris tak terdengar, sebelum kembali ke posisi semula dan duduk dengan tenang, seolah tak ada satu pun kejadian barusan yang mengusik ketenangannya. Sementara itu, laki-laki di belakangnya masih berdiri dengan santai dengan Senyum samar, nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat bulu kuduk Karin kembali meremang. Dan entah kenapa, untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke kampus ini… Karin merasa dirinya baru saja membuka pintu menuju sesuatu yang lebih gelap dari sekadar alur hidup Karin yang asli. Bersambung....Karin melangkah masuk ke kawasan kampus dengan langkah yang tenang namun mantap. Udara pagi yang masih basah oleh embun menyentuh kulitnya, membawa aroma dedaunan yang baru saja tersapu angin. Di sekitarnya, halaman kampus sudah ramai oleh mahasiswa baru yang sibuk dengan pendaftaran, obrolan riuh, dan suara sepatu yang beradu dengan paving basah. Ia menarik napas panjang, berusaha meredakan debar yang muncul entah dari mana. Tapi sebelum rasa itu benar-benar hilang, sebuah gelombang ingatan menyergapnya… bayangan tentang masa lalu si Karin asli, tentang tatapan sombong, komentar sinis, dan cara berjalan yang selalu ingin dilihat orang. Semua itu kini menjadi beban yang harus ia pikul, meski bukan bagian dari dirinya sepenuhnya. Langkahnya terhenti sejenak ketika bisik-bisik itu mulai terdengar di sekeliling area pendaftaran. "Itu Karin Domanic, kan? Aku dengar dia sempat..." "Shh! Jangan keras-keras, nanti dia dengar." "Katanya sih sekarang berubah. Masa iya?" Karin pur
Minggu depan akan menjadi awal baru bagi Karin. Awal yang selama ini ia tahu akan datang, namun tak pernah benar-benar ia rasakan sedekat ini. Meski sempat dilanda keraguan, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, seperti yang tertulis dalam novel. Keputusan itu bukan lahir dari ambisi besar ataupun keinginan untuk dikenal banyak orang, melainkan karena kedua orang tuanya ingin ia tetap menempuh jalur pendidikan. Terlebih lagi, ia adalah anak satu-satunya dari keluarga Domanic...putri semata wayang Lucas dan Alina Domanic. "Ini nih nasib anak semata wayang," gumamnya pasrah, ia lalu sedikit mengernyitkan dahi saat melihat jadwal pendaftarannya. Ia sebenarnya sudah tahu kalau Lucia dan para tokoh utama lain tetap memilih kampus yang sama dengan jalur cerita aslinya. Namun, kali ini ia dengan sengaja mengambil jalur berbeda yaitu jurusan manajemen bisnis, bukan desain seperti di cerita aslinya. Pilihan itu bukan sekadar soal jurusan, melainkan strate
Karin keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang dan kembali ke tengah pesta. Musik klasik masih mengalun, lampu kristal menggantung anggun, para tamu bercengkerama dengan senyum palsu mereka masing-masing. "Sungguh dunia orang kaya emnag beda" gumamnya pelan. Dan ketika ia ingin kembali ke sudut ruangan, seorang pelayan yang terburu-buru lewat membawa nampan berisi beberapa gelas jus. Tanpa sengaja, salah satu gelas jus itu miring dan...... Brakk! Cairan kuning dari jus itu tumpah tepat di bagian depan gaun hitamnya yang elegan. Beludru hitam yang semula tampak sempurna kini ternodai, lembap, dan lengket. Karin terpaku sejenak. Rasa dingin dari cairan itu membuatnya refleks menarik napas dalam-dalam. bahkan seluruh perhatian tamu di sekitar pun mulai tertuju padanya. Pelayan itu langsung pucat pasi. Tanpa sadar, ia segera berlutut di hadapan Karin, kedua tangannya gemetar memegangi nampan. “Nona, ampun... saya benar-benar tidak sengaja! Saya mohon maaf... saya akan seg
Sore itu, Clara yang kini menempati tubuh Karin Domanic...duduk manis di taman mansion dengan segelas teh hangat di tangan dan sepiring kue tersaji didepannya. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma bunga yang menenangkan, sesuatu yang jarang ia rasakan di hidupnya yang sebelumnya penuh kekacauan. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh langkah ringan di jalan setapak. Kepala pelayan muncul, membungkuk hormat. “Nona Karin, maaf mengganggu. Saya hanya ingin memberitahukan… ada acara penting malam ini. Pesta keluarga dari Edison. Semua tamu penting akan hadir,” ucapnya pelayan itu, nada suaranya sopan, namun ada sedikit getar ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Saat pelayan menyebut nama Edison, tubuh Karin seketika menegang. Matanya melebar, jantungnya seperti berhenti sesaat. "Edison… itu nama keluarga tokoh utama wanita dalam novel ini, Lucia Edison!" pikir Clara panik. Dan detik itu juga, semua potongan ingatan halaman pertama novel itu berputar cepat di kepalan
Kesadaran Clara datang perlahan, seperti seseorang yang ditarik dari mimpi panjang yang begitu nyata. Kelopak matanya terasa berat, namun dengan susah payah ia membuka mata. Pandangan pertamanya bukanlah langit-langit kusam apartemennya yang biasa, melainkan ukiran emas indah pada atap ruangan asing. Cahaya lembut menembus tirai putih yang menjuntai anggun, menebarkan sinar keemasan ke sekeliling kamar yang terlalu mewah untuk ukuran orang biasa sepertinya. Clara terdiam. Dadanya berdegup kencang, hampir menyakitkan. 'Ini… di mana?' Dengan gerakan kaku, ia mendorong tubuhnya untuk bangun. Ranjang di bawahnya begitu empuk hingga hampir menelan seluruh tubuhnya, membuatnya enggan percaya ini nyata. Jari-jarinya perlahan meraba sprei satin yang dingin dan licin di kulit, sangat berbeda dari sprei tipis murahan di apartemennya yang sering kusut. Matanya bergerak gelisah, menyapu seisi ruangan dengan cepat, seakan mencari sesuatu yang bisa menjelaskan keberadaannya. Meja kayu berukir