Selepas subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukan rutin masing-masing.
Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya.
"Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang.
"Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari sejam lalu berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan frustasi. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar.
"Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius.
"I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masih kotor ….," jelas si pelayan muda.
Wanita tua yang sudah mengabdi belasan tahun pada keluarga kaya itu menatap tepat ke wajah juniornya. Terlihat sekali bahwa sangat kesal dengan kinerja gadis berusia dua puluhan itu. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya beralih pandang ke putri sang majikan.
"Non Diva mau pakai sepatu pink?" Maryam bertanya lembut seperti biasanya. Gadis kecil itu langsung mengangguk, lalu melengos.
"Bagaimana kalau warna sepatunya bibi pilihkan yang lebih serasi dengan baju yang sedang Non pakai sekarang? Kan jadi akan terlihat lebih bagus, iya kan?" bujuknya. Namun sepertinya sia-sia. Anak itu tetap merajuk, tak mau menurut.
"Tapi aku mau yang pink, Bi'. Aku nggak mau yang lain!" Dia mulai membentak.
"Baiklah, kalau begitu biar bibi' bersihkan dulu sepatunya. Non Diva tunggu sebentar ya?"
"Nggak mau! Kelamaan! Aku maunya sekarang! Titik!" Teriakan anak itu justru makin keras, membuat Maryam panik seketika. Wajahnya pun langsung pucat saat kemudian sesosok pria tinggi tegap dengan setelan jas bernuansa abu gelap memasuki ruangan. Wajah pelayan muda yang sedari beberapa menit lalu hanya menunduk pun tak kalah pucatnya.
"Ada apa ini ribut ribut?!" Pemilik suara bariton itu bertanya dengan nada tinggi. Raut mukanya menampakkan ketidak-sukaan melihat wajah putri semata wayangnya tak berseri.
"Ma-afkan saya, Pak Abi. Non Diva ingin memakai sepatu pink-nya yang masih kotor. Kami belum sempat membersihkannya Pak, maafkan saya," jelas Maryam terbata.
"Terus kenapa? Kamu kan bisa bersihkan sepatu itu sekarang, Bi'. Anakku pengen pakai itu, ya ikuti saja apa maunya. Kerja kayak gini aja apa kalian nggak bisa?!" Kalimat bernada bentakan itu membuat nyali dua asisten rumah tangga itu makin ciut.
"Ma-maaf, Pak. Baik, akan saya siapkan segera." Maryam tak berani membantah. Dia langsung bangkit dan bermaksud meninggalkan ruangan.
"Kerja gitu aja nggak becus!" Masih terdengar oleh telinga tuanya umpatan sang majikan.
"Tapi, Pak …." Berbeda dengan Maryam yang langsung melangkahkan kaki, si pelayan muda justru terkesan ingin membela diri. Melihat gelagat itu, Maryam segera mengurungkan niatnya pergi dari ruangan itu dan berusaha mencegah juniornya melakukan hal konyol.
"Baik Pak, akan segera kami bersihkan. Ayo kita ke bawah!" ajaknya pada Si Junior.
"Cepatlah! Jangan sampai kalian membuat anakku menunggu," kata ketus pria itu. "Eh kamu! Tunggu dulu! Sudah berapa lama kerja di sini?!" Geram ditatapnya tajam si pelayan muda. "Kerja Kamu nggak beres. Kamu dipecat hari ini!" lanjutnya gusar.
"Ta-pi Pak, Saya …." Seolah tak terima dengan keputusan tuannya, si pelayan muda terlihat maju satu langkah untuk memprotes. Tapi sebelum dia sempat melanjutkan kalimatnya, pria bernama lengkap Abidzar Aidan Adhitama itu sudah mendahuluinya berucap.
"Aku tidak pernah menerima alasan untuk kesalahan apapun. Kamu tinggalkan rumah ini secepatnya! Bi', kamu urus pesangon untuknya!" perintahnya pada Maryam. Pelayan senior itu pun hanya bisa mengangguk patuh pada perintah sang majikan.
*
Abidzar terpaksa menunda keberangkatan ke kantor hanya karena harus menunggui putri kecilnya yang sedang merajuk hingga sepatu yang diinginkannya kembali bisa dipakai.
Setengah jam perjalanan dengan salah satu koleksi mobil mewahnya, baru lah lelaki dengan garis wajah tegas dan sorot mata tajam itu tiba di salah satu gedung pencakar langit di pusat kota.
Melihatnya turun dari mobil, seorang petugas keamanan langsung sigap menggantikan posisi untuk memarkirkan kendaraannya itu di tempat khusus. Sementara seorang petugas lainnya segera meraih tas kerja dan mengiringi langkahnya memasuki gedung 15 lantai yang merupakan kantor resmi Three Vibes Holdings, dimana lebih dari 60 persen sahamnya adalah milik pribadi Abidzar.
Salah satu orang kepercayaan menyambutnya di lobby dan segera pula mengikuti langkahnya menuju lift dengan mulut berkomat-kamit mengucapkan sesuatu.
"Hari ini ada meeting jam sembilan dengan divisi marketing, Pak. Lalu jam satu, bapak sudah harus ada di Hotel El Amor untuk bertemu klien dari Jepang," jelas lelaki berperawakan tambun itu sambil terengah, mengimbangi langkah kaki jenjang sang bos. Lelaki berambut klimis itu bermaksud melanjutkan kalimatnya usai menata nafas sejenak, tapi Abidzar mendahuluinya.
"Kenapa kamu yang membacakan jadwalku, Steve? Sheila kemana?"
"Sekretaris pribadi Anda sedang ijin hari ini, Pak. Dia sakit," jelasnya buru-buru.
"Sakit?" Dahi Abidzar berkerut. Tapi sejurus kemudian, dia menyunggingkan senyum miringnya yang meremehkan. Baru sebulan bekerja, wanita itu sudah ambruk.
'Wanita lemah,' batin Abidzar sinis.
"Kirim surat pemecatan untuknya hari ini dan carikan aku sekretaris baru secepatnya!" perintahnya tanpa basa-basi.
Steven Chaniago terbengong. "Ta-pi, Pak …." Orang berstatus paling dekat dengan Abidzar di kantor itu nampak ingin memberi penjelasan. Namun seperti biasa, raut muka sang bos menyiratkan ketidak-tertarikannya.
"Steve, kamu tau kan aku paling nggak suka kata 'tapi'?" Mata tajam itu menatap tepat pada bawahannya yang harus susah payah mendongak untuk bisa menatapnya.
"Iy-ya, Pak. Maafkan saya," sesal Steve.
"Kalau gitu kerjakan! Jangan banyak omong!"
Lelaki berperawakan tambun dengan tinggi kurang dari sebahu Abidzar itu menghembuskan nafas pelan dan hati-hati. Tentu dia tak ingin dilihat sedang mengeluh oleh atasannya yang berdiri dengan gusar di sebelahnya. Keringat pun segera bercucuran di balik kemeja Steve, padahal di dalam lift itu suhunya sangatlah dingin.
"Kamu kenapa, Binar? Kok pucet gitu sih?" Mili melambaikan tangannya di depan wajah teman kerja barunya yang kembali dengan kondisi mengkhawatirkan. Binar dengan jantung masih berpacu segera duduk dengan tatap kosong. Tak diperhatikannya Mili bertanya. "Binar!" Mili mulai panik karena Binar masih belum bereaksi."Eh iya, Mil." Akhirnya dia menyahut setelah Mili menepuk lumayan keras bahunya."Heh? Kenapa sih kamu? Habis dimarahin bos ya?" Mili penasaran. Binar langsung menggeleng."Lalu kenapa?" Mili makin penasaran. Sementara Binar menatap Mili ragu. Apakah dia harus menceritakan kejadian yang dialaminya di ruang direktur pada teman barunya? Tapi, bagaimana kalau hal itu malah akan menimbulkan masalah untuknya?"Mmm ... anu itu, ternyata big bos itu masih muda banget ya?" Binar bicara asal setelah tak menemukan kalimat yang tepat untuk mengarang cerita."Hmm." Mili segera memajukan bibir satu senti. "Harusnya sih tadi aku peringatkan kamu sebelum ke sana. Aku lupa." Mili segera menep
Binar meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja. Dia kembali mundur setelah sebelumnya sempat mengitari lagi ruangan dengan dua bola mata, mencari-cari seseorang yang mungkin saja ada di sebuah sudut. Nihil. Tetap tidak ada seorang pun yang dilihatnya di ruangan itu. Tak ingin disebut tidak sopan, Binar memutuskan untuk membuka mulut."Pak … berkas Anda sudah saya taruh di …." Tapi sebelum berhasil menyelesaikan kalimat, mulutnya seketika tercekat saat dia berbalik badan dan mendapati seseorang sedang berdiri di belakangnya. Jarak mereka mungkin hanya satu atau dua meter saja. Tubuh Binar nyaris limbung saking kagetnya."Mencariku?" Pria itu bertanya dengan suara berat. Suara itu terdengar begitu familiar untuk Binar. Bersahabat tapi terdengar begitu jauh karena wajah pemilik suara itu sangat datar, tanpa sedikitpun senyum."Abi-dzar? Ka-mu Abidzar?"Binar sampai kehabisan kata-kata, menyaksikan sosok di depannya adalah orang yang sangat dikenalnya meski dengan penampilan yang su
Langkah berat mengawali hari kedua Binar masuk kerja. Selain harus menenangkan Aaron yang mulai menyadari akan ketidak-hadiran sang ibu di hari-harinya, Binar juga masih terganggu dengan gosip yang sempat dibicarakan Mili tentangnya di kantor. Rasanya mustahil dirinya diisukan berhubungan gelap dengan bos perusahaan sebesar itu padahal bertemu saja belum pernah. Memangnya seperti apa rupa bos mereka itu? Binar sih yakin jika pimpinan perusahaan sebagus itu pastilah sudah bapak-bapak. Lagipula, tidak mungkin bos muda dan tampan setipe CEO CEO di film itu sampai bisa digosipkan dengannya. Memangnya secantik apa dia? Aneh banget. "Sudah nggak apa-apa, kamu berangkat saja. Nanti telat. Biar aku yang urus Aaron.” Ternyata Dhimas sangat membantu pagi itu. Mungkin dia sedang belajar terbiasa dengan kepergian istrinya. "Makasih ya, Mas?" Binar berkaca-kaca, haru dengan sikap suaminya yang begitu dewasa pagi itu.*****Binar seperti dikejar waktu saat akhirnya turun dari ojek online yang mem
Binar masih sibuk dengan layar di depannya saat pesawat komunikasi internal di meja Mili tiba-tiba berbunyi."Ya? Sekarang, Pak? Bali? Untuk dua hari? Minggu depan? Lima kamar? Oke, baik Pak. Segera saya reservasikan." Itu kalimat yang terdengar dengan nada patuh dari mulut Mili.Usai meletakkan alat komunikasi itu, Mili terlihat sibuk lagi dengan layar di depannya. Lalu terdengar juga dia menelpon seseorang dengan nada serius. Dari sekat yang tak begitu tinggi, Binar bisa melihat gadis itu sedang mengunjungi sebuah situs pemesanan kamar hotel dan mencoba memilih beberapa jenis kamar untuk direservasi.Melihat Mili selesai dengan pekerjaan reservasinya, Binar merasa ikut lega. Namun hal itu tak berlangsung lama, karena kemudian alat komunikasi di meja Mili berdering lagi. Binar menyaksikan wajah Mili berubah kesal usai menerima panggilan itu."Ada apa?" tanyanya hati-hati."Salah kamar. Dua kamar minta yang connecting room," jelas Mili santai."Ooh." Binar hanya mengangguk."Nggak usa
"Maaf Bu, tapi sepertinya ada yang salah dengan perjanjian kontrak ini." Binar menyodorkan kembali berkas di depannya pada Gemma yang menemuinya pagi itu di kantor Three Vibes."Kesalahan apa? Coba saya lihat."Wanita 40 tahun berpenampilan glamour dengan kacamata bulat itu meraih berkas yang seharusnya ditandatangani itu, memeriksanya sebentar, berdehem kecil, lalu mendorong kembali benda itu ke arah Binar."Tidak ada yang salah dengan dokumen ini, Nona Binar," ujarnya dingin."Tapi saya kira ini salah, Bu. Saya melamar untuk posisi staff administrasi, bukan sekretaris. Jadi sepertinya bukan saya yang seharusnya menandatangani kontrak kerja ini," jelas Binar hati-hati.Gemma tersenyum paksa, menatap Binar dengan sedikit sinis, lalu memandang dari atas sampai bawah dengan seksama. Sejak Stephen Chaniago menyuruhnya untuk melakukan panggilan wanita bernama Binar dan menempatkannya di posisi sekretaris, Gemma sudah curiga bahwa ada yang tidak beres dengan bos besarnya itu. Meski Gemma ti
Kacau, mungkin kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Binar hari itu.Pertemuan tak sengaja dengan Abidzar membuatnya kehilangan konsentrasi. Parahnya, tak satupun pertanyaan dalam interview yang bisa dia jawab dengan lancar.'Ini gila!' rutuknya dalam hati.Belasan tahun berlalu, tapi pesona Abidzar ternyata masih bisa mempengaruhinya sedalam itu.Sepanjang perjalanan pulang di dalam taksi online yang ditumpanginya, Binar hanya terdiam, pasrah. Keinginanannya untuk bisa diterima bekerja pada perusahaan bergengsi itu kini hanya tinggal angan. Tidak mungkin rasanya dia bisa lolos dengan interview yang super buruk itu.Hilang sudah harapan untuk bisa segera terbebas dari permasalahan yang membelit rumah tangganya. Meski masih ada beberapa perusahaan lain yang belum memberikan jawaban atas lamaran yang dikirimnya, tapi Binar mendadak jadi kehilangan asa.Saat taksi menurunkannya di depan rumah, Dhimas sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada wawancara kerja istrinya hari