Share

OSM - 2

Author: Reinee
last update Last Updated: 2021-05-12 05:03:56

Selepas subuh, rumah besar dan mewah itu sudah terlihat sangat riuh. Beberapa ART tampak lalu lalang dengan kesibukan rutin masing-masing.

Seorang wanita muda berseragam putih tampak sedang kebingungan menghadapi bocah perempuan berusia 7 tahun di depannya.

"Diva kan udah bilang nggak mau pakai sepatu yang itu! Diva maunya pake yang warna pink ada pita ungunya!" Lengkingan suara gadis kecil bermata indah dengan rambut hitam panjang sepinggang itu membuat pias muka pelayannya. Bagian pinggang baju balerinanya bergoyang-goyang seiring dengan tubuh rampingnya yang bergerak ke sana ke mari sambil berkacak pinggang.

"Tapi kan sepatu yang pink itu masih kotor. Hari ini baru mau dicuci, Non," ucap si pelayan yang sedari sejam lalu berjongkok di depan anak itu dengan wajah lelah dan frustasi. Tak berapa lama, seorang ART berusia lebih tua terlihat memasuki kamar.

"Ada apa ini?" tanyanya dengan wajah serius.

"I-ni, Bu Maryam. Non Diva minta sepatu yang warna pink. Tapi sepatu itu kan masih kotor ….," jelas si pelayan muda.

Wanita tua yang sudah mengabdi belasan tahun pada keluarga kaya itu menatap tepat ke wajah juniornya. Terlihat sekali bahwa sangat kesal dengan kinerja gadis berusia dua puluhan itu. Dia menghela nafas panjang sebelum akhirnya beralih pandang ke putri sang majikan.

"Non Diva mau pakai sepatu pink?" Maryam bertanya lembut seperti biasanya. Gadis kecil itu langsung mengangguk, lalu melengos.

"Bagaimana kalau warna sepatunya bibi pilihkan yang lebih serasi dengan baju yang sedang Non pakai sekarang? Kan jadi akan terlihat lebih bagus, iya kan?" bujuknya. Namun sepertinya sia-sia. Anak itu tetap merajuk, tak mau menurut.

"Tapi aku mau yang pink, Bi'. Aku nggak mau yang lain!" Dia mulai membentak.

"Baiklah, kalau begitu biar bibi' bersihkan dulu sepatunya. Non Diva tunggu sebentar ya?"

"Nggak mau! Kelamaan! Aku maunya sekarang! Titik!" Teriakan anak itu justru makin keras, membuat Maryam panik seketika. Wajahnya pun langsung pucat saat kemudian sesosok pria tinggi tegap dengan setelan jas bernuansa abu gelap memasuki ruangan. Wajah pelayan muda yang sedari beberapa menit lalu hanya menunduk pun tak kalah pucatnya.

"Ada apa ini ribut ribut?!" Pemilik suara bariton itu bertanya dengan nada tinggi. Raut mukanya menampakkan ketidak-sukaan melihat wajah putri semata wayangnya tak berseri.

"Ma-afkan saya, Pak Abi. Non Diva ingin memakai sepatu pink-nya yang masih kotor. Kami belum sempat membersihkannya Pak, maafkan saya," jelas Maryam terbata.

"Terus kenapa? Kamu kan bisa bersihkan sepatu itu sekarang, Bi'. Anakku pengen pakai itu, ya ikuti saja apa maunya. Kerja kayak gini aja apa kalian nggak bisa?!" Kalimat bernada bentakan itu membuat nyali dua asisten rumah tangga itu makin ciut.

"Ma-maaf, Pak. Baik, akan saya siapkan segera." Maryam tak berani membantah. Dia langsung bangkit dan bermaksud meninggalkan ruangan.

"Kerja gitu aja nggak becus!" Masih terdengar oleh telinga tuanya umpatan sang majikan.

"Tapi, Pak …." Berbeda dengan Maryam yang langsung melangkahkan kaki, si pelayan muda justru terkesan ingin membela diri. Melihat gelagat itu, Maryam segera mengurungkan niatnya pergi dari ruangan itu dan berusaha mencegah juniornya melakukan hal konyol.

"Baik Pak, akan segera kami bersihkan. Ayo kita ke bawah!" ajaknya pada Si Junior.

"Cepatlah! Jangan sampai kalian membuat anakku menunggu," kata ketus pria itu. "Eh kamu! Tunggu dulu! Sudah berapa lama kerja di sini?!" Geram ditatapnya tajam si pelayan muda. "Kerja Kamu nggak beres. Kamu dipecat hari ini!" lanjutnya gusar.

"Ta-pi Pak, Saya …." Seolah tak terima dengan keputusan tuannya, si pelayan muda terlihat maju satu langkah untuk memprotes. Tapi sebelum dia sempat melanjutkan kalimatnya, pria bernama lengkap Abidzar Aidan Adhitama itu sudah mendahuluinya berucap.

"Aku tidak pernah menerima alasan untuk kesalahan apapun. Kamu tinggalkan rumah ini secepatnya! Bi', kamu urus pesangon untuknya!" perintahnya pada Maryam. Pelayan senior itu pun hanya bisa mengangguk patuh pada perintah sang majikan.

*

Abidzar terpaksa menunda keberangkatan ke kantor hanya karena harus menunggui putri kecilnya yang sedang merajuk hingga sepatu yang diinginkannya kembali bisa dipakai.

Setengah jam perjalanan dengan salah satu koleksi mobil mewahnya, baru lah lelaki dengan garis wajah tegas dan sorot mata tajam itu tiba di salah satu gedung pencakar langit di pusat kota.

Melihatnya turun dari mobil, seorang petugas keamanan langsung sigap menggantikan posisi untuk memarkirkan kendaraannya itu di tempat khusus. Sementara seorang petugas lainnya segera meraih tas kerja dan mengiringi langkahnya memasuki gedung 15 lantai yang merupakan kantor resmi Three Vibes Holdings, dimana lebih dari 60 persen sahamnya adalah milik pribadi Abidzar.

Salah satu orang kepercayaan menyambutnya di lobby dan segera pula mengikuti langkahnya menuju lift dengan mulut berkomat-kamit mengucapkan sesuatu.

"Hari ini ada meeting jam sembilan dengan divisi marketing, Pak. Lalu jam satu, bapak sudah harus ada di Hotel El Amor untuk bertemu klien dari Jepang," jelas lelaki berperawakan tambun itu sambil terengah, mengimbangi langkah kaki jenjang sang bos. Lelaki berambut klimis itu bermaksud melanjutkan kalimatnya usai menata nafas sejenak, tapi Abidzar mendahuluinya.

"Kenapa kamu yang membacakan jadwalku, Steve? Sheila kemana?"

"Sekretaris pribadi Anda sedang ijin hari ini, Pak. Dia sakit," jelasnya buru-buru.

"Sakit?" Dahi Abidzar berkerut. Tapi sejurus kemudian, dia menyunggingkan senyum miringnya yang meremehkan. Baru sebulan bekerja, wanita itu sudah ambruk.

'Wanita lemah,' batin Abidzar sinis.

"Kirim surat pemecatan untuknya hari ini dan carikan aku sekretaris baru secepatnya!" perintahnya tanpa basa-basi.

Steven Chaniago terbengong. "Ta-pi, Pak …." Orang berstatus paling dekat dengan Abidzar di kantor itu nampak ingin memberi penjelasan. Namun seperti biasa, raut muka sang bos menyiratkan ketidak-tertarikannya. 

"Steve, kamu tau kan aku paling nggak suka kata 'tapi'?" Mata tajam itu menatap tepat pada bawahannya yang harus susah payah mendongak untuk bisa menatapnya.

"Iy-ya, Pak. Maafkan saya," sesal Steve.

"Kalau gitu kerjakan! Jangan banyak omong!"

Lelaki berperawakan tambun dengan tinggi kurang dari sebahu Abidzar itu menghembuskan nafas pelan dan hati-hati. Tentu dia tak ingin dilihat sedang mengeluh oleh atasannya yang berdiri dengan gusar di sebelahnya. Keringat pun segera bercucuran di balik kemeja Steve, padahal di dalam lift itu suhunya sangatlah dingin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 15

    Jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok di antara perbukitan yang diselimuti kabut tipis. Dari jendela mobil, Binar melihat hamparan kebun teh terbentang sejauh mata memandang, hijau dan tenang, kontras dengan kegelisahan yang ia rasakan di dadanya. Aroma tanah basah masuk melalui celah kecil ventilasi, mengingatkan pada pagi-pagi masa kecilnya, saat ia masih berlari di jalan berbatu desa itu.Abidzar melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Kapan terakhir kamu pulang?” tanyanya.Binar tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Ia langsung menunduk. Jemarinya meremas pangkuan, suara mesin mobil terdengar lebih keras daripada detak jantungnya sendiri. “Sudah… sangat lama,” jawabnya pelan. “Sejak aku menikah.”“Kenapa?” nada suara Abidzar terdengar datar, tapi ada sesuatu di baliknya. Rasa ingin tahu yang sengaja ditahan agar tidak terdengar seperti interogasi.Binar menelan ludah, menatap keluar jendela. Pemandangan indah itu mendadak terasa asing. “Aku ikut suamiku. Hi

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 14

    Pagi itu, di ruang tamu rumah, Binar menatap Dhimas dengan mata yang berat. Tangannya menggenggam tas kerja yang belum sempat ia siapkan sepenuhnya, sementara Dhimas berdiri di hadapannya dengan senyum mengembang. Bukan senang karena istrinyaakan pergi, tapi lebih ingin menyemangati.“Nggak ada yang ketinggalan kan, Sayang? Ayo dong yang semangat, jangan lesu gitu,” suara Dhimas ringan.Binar menelan ludah. “Sudah kok, Mas. Maaf ya harus ngrepotin Mas dengan Aaron.”“Ngomong apa sih, Sayang? Nggak repot. Kamu have fun ya, nikmati aja, anggap liburan.” Mata Dhimas mengerling. Lalu merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. “I will miss you,” bisiknya lembut di telinga Binar. “Aku janji akan langsung balik setelah sampai kantor, Mas.”Dhimas mengangguk. “Oke… hanya dua hari kan? Kamu hati-hati ya, Sayang.” Dhimas merengkuh makin erat, mencium kening istrinya dalam dalam, lalu melepaskannya dengan senyuman. Binar hanya tersenyum tipis, tak paham kenapa merasa ada hal yang mengganjal di dad

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 13

    Beberapa hari berlalu setelah makan siang itu. Binar merasakan suasana yang berbeda. Abidzar sama sekali tak menghubunginya, pun tak ada panggilan untuknya pergi ke ruangan direktur. Bahkan, sekali waktu dia pernah berpapasan dengan lelaki itu di koridor, tapi Abidzar tak merespon sapaannya. Ia sekadar melirik, lalu melangkah cepat, seolah Binar tak lebih dari kursi kosong di sudut ruangan.Koridor kantor terasa asing dalam diam yang mendadak tercipta. Derap sepatu Abidzar yang biasanya membuat jantung Binar berdegup kencang kini hanya lewat tanpa menorehkan jejak apa pun. Kelegaan menyelinap, tapi entah kenapa ada ruang kosong di dadanya, seakan sesuatu yang dulu menakutkan kini malah menyisakan kehampaan.Tiba-tiba Binar merasa asing. Seperti ada yang hilang. Namun bersamaan dengan itu, ada kelegaan telah terbebas dari tatap intimidasi Abidzar. Binar sempat berpikir, mungkin pria itu tak lagi penasaran padanya setelah pertanyaan-pertanyaan pribadi di makan siang hari itu, hingga kem

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 12

    Langkah kaki Binar terasa berat memasuki gedung kantor pagi itu. Aroma khas pengharum ruangan mewah yang beberapa hari ini menenangkan, kini tak mampu mengusir resah di dadanya. Jemarinya menggenggam erat ujung tas kerjanya, seolah benda itu bisa jadi perisai dari segala kemungkinan buruk yang menantinya. Hatinya terus menimbang, apakah hari ini Abidzar akan kembali membuatnya sesak?"Pagi, Binar," sapa Mili dari meja sebelah, suaranya ringan seperti biasa, sumringah. Binar sempat berpikir mungkin gadis itu sedang jatuh cinta."Pagi," jawab Binar lirih, mencoba tersenyum walau bibir terasa kaku.Mili mencondongkan tubuh sedikit, suaranya diturunkan. "Mukamu pucat sekali. Kamu sakit?""Nggak. Nggak apa-apa kok, Mil." Binar buru-buru menjawab, lalu menyalakan komputer di depannya. Ia tidak ingin membiarkan ketakutannya terbaca, bahkan oleh Mili yang paling dekat dengannya di kantor itu.Namun kegelisahan itu tak bisa begitu saja ditekan. Setiap suara langkah berat di lantai membuatnya m

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 11

    Binar menapaki tangga menuju basement dengan langkah ragu. Gema langkah kaki di lantai marmer membuatnya semakin waswas. Ponsel di sakunya terus berdering dari satu menit yang lalu, tapi ia tak berani mengangkat. Perasaan aneh menghantui, seperti sesuatu yang tak terlihat mengawasi setiap gerakannya.Di salah satu sudut parkiran, sosok tinggi tegap nan tampan itu sudah menunggunya. Abidzar berdiri di samping mobil mewah berwarna metallic, tangan mengepal di saku celana. Jas abu gelap rapi menempel di tubuhnya, memancarkan wibawa yang menusuk relung hati Binar. Mata tajamnya seolah bisa menembus isi pikiran. Bahkan dalam jarak beberapa meter, aura arogan pria itu membuat Binar ciut nyali.“Lama sekali.” Suara Abidzar berat, terkesan menggerutu, tanpa senyum. Tak ada sapaan hangat, hanya terdengar seperti otoritas yang mengancam.“Ma-maaf, Abi. Eh, maksud saya, P-pak. Tapi ini sudah jam pulang. Apa ada hal yang masih harus saya kerjakan?” Binar berusaha berucap pelan, menatap lurus ke w

  • OBSESI SANG MILIARDER   OSM - 10

    "Kamu kenapa, Binar? Kok pucet gitu sih?" Mili melambaikan tangannya di depan wajah teman kerja barunya yang kembali dengan kondisi mengkhawatirkan. Binar dengan jantung masih berpacu segera duduk dengan tatap kosong. Tak diperhatikannya Mili bertanya. "Binar!" Mili mulai panik karena Binar masih belum bereaksi."Eh iya, Mil." Akhirnya dia menyahut setelah Mili menepuk lumayan keras bahunya."Heh? Kenapa sih kamu? Habis dimarahin bos ya?" Mili penasaran. Binar langsung menggeleng."Lalu kenapa?" Mili makin penasaran. Sementara Binar menatap Mili ragu. Apakah dia harus menceritakan kejadian yang dialaminya di ruang direktur pada teman barunya? Tapi, bagaimana kalau hal itu malah akan menimbulkan masalah untuknya?"Mmm ... anu itu, ternyata big bos itu masih muda banget ya?" Binar bicara asal setelah tak menemukan kalimat yang tepat untuk mengarang cerita."Hmm." Mili segera memajukan bibir satu senti. "Harusnya sih tadi aku peringatkan kamu sebelum ke sana. Aku lupa." Mili segera menep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status